Junjie dengan hati-hati menuntun kuda dengan tangan kirinya sedangkan tangan kanannya membawa lentera. Begitu pula dengan Song Mingyu. Meski di sepanjang jalan juga ada beberapa lentera yang menyala, tetapi itu tidak cukup untuk menerangi jalan. Apalagi semakin jauh melangkah semakin tebal juga kabutnya."Ini masih siang, tetapi cuaca seperti sore menjelang malam hari." Song Mingyu mengangkat lenteranya lebih tinggi agar dapat melihat jalur jalan di depan mereka agar tidak salah memilih arah."Sepanjang waktu tempat ini diselimuti kabut. Hanya saja tidak selalu tebal." Junjie kembali menjelaskan. "Ah pantas saja kau tadi membeli lentera. Aku pikir untuk perjalanan pulang nanti." Song Mingyu berkata pelan dan melirik JunjieTiba-tiba merasa aneh dengan penampilan pria yang berjalan di sisinya itu. "Junjie, ada hantu," bisik Song Mingyu pelan. Junjie seketika berhenti berjalan. Dia membuka doupeng yang menutupi wajahnya. "Di mana?" tanyan
Song Mingyu tertegun saat telah memasuki Paviliun Yueliang. Tidak ada kabut yang menyelimuti dan cuaca pun terang benderang.Di hadapan mereka terhampar sebuah pemandangan yang sangat indah. Sebuah taman dengan bunga-bunga yang bermekaran. Kolam yang berair jernih dengan ikan-ikan koi berenang di dalamnya dan sebuah jembatan batu melengkung dengan sebuah lonceng tergantung di atas."Eh, kenapa tiba-tiba kabutnya menghilang?" tanyanya pada Junjie. Dia mengusap-usap matanya untuk memastikan tidak ada yang salah dengan matanya."Paviliun Yueliang adalah sebuah organisasi yang rapi. Selain Keluarga Wei, ada juga Keluarga Qiao dan Keluarga Dongfang. Keluarga Qiao dikenal dengan teknik rahasianya. Salah satunya adalah kabut tadi." Junjie mengambil lentera di tangan Song Mingyu. Kemudian mematikan kedua lentera itu, meletakkannya di atas pagar batu di sebelahnya."Mingyu, jangan mempercayai apapun yang saat ini kau lihat. Yang in
Song Mingyu menatap wanita cantik yang menyambut Junjie dengan sangat sopan. Dia merasa heran, karena sepertinya mereka berdua adalah kenalan lama."Mingyu, kau tunggu di sini sebentar ya." Junjie memintanya untuk menunggu di ruangan itu kemudian meninggalkannya, mengikuti wanita cantik itu masuk ke ruangan di sebelah.Song Mingyu hanya menganggukkan kepalanya. Dia masih merasa aneh dengan Paviliun Yueliang ini. Tidak pernah terbersit sedikit pun jika Paviliun Yueliang ternyata sebuah desa bukan bangunan megah seperti Manor Song.Paviliun Yueliang adalah sebuah desa yang berada di Bukit Hujan Kabut dan selalu diselimuti kabut setiap saat. Di desa ini ada tiga keluarga utama, Keluarga Wei, Qiao dan Dongfang. Ketiga keluarga inilah yang mendirikan Paviliun Yueliang.Sepanjang perjalanan tadi, Song Mingyu menyaksikan suasana desa seperti layaknya desa-desa yang lain. Penduduk desa beraktivitas seperti biasa. Ada pasar juga dan suasananya sangat tenan
Wei Jin kembali duduk seperti posisinya semula. Dia menatap Junjie lekat-lekat sembari bertopang dagu. Setelah berpikir beberapa saat, dia berdiri. "Mari kita lihat, apa yang dimilikinya. Semoga cukup berharga untuk ditukar dengan lukisan Sang Dewa Pedang."Junjie pun turut berdiri. Kemudian mereka berdua kembali ke ruangan tadi untuk menemui Song Mingyu. Pemuda itu berdiri di depan jendela. Sepertinya dia tengah menikmati pemandangan di halaman kediaman ketua Paviliun Yueliang."Mingyu, Nona Wei Jin ingin mengetahui apa yang kau miliki mengenai Ren Jie." Junjie menegurnya dengan lembut.Song Mingyu menoleh dan merasa sedikit canggung. Dia buru-buru membungkukkan tubuhnya memberi salam pada Wei Jin. Meski tadi sempat bertemu, tetapi Wei Jin mengabaikannya karena segera ingin membicarakan beberapa hal dengan Junjie."Duduklah!" Wei Jin mempersilakannya untuk duduk bersamanya dan Junjie. "Informasi apa ya
Sebuah pedang yang sangat tajam hingga dapat menyayat lawannya dengan sangat tipis bak serpihan kelopak bunga yang berguguran. Pedang itu terbuat dari batu meteor yang jatuh ke bumi ratusan tahun lalu. Permukaannya berkilau indah bak giok kemala. Dengan bias-bias warna yang indah. Ukiran bunga lotus ungu di gagangnya sebagai perlambang nirwana mempercantik pedang legendaris itu.Wei Jin, Junjie dan Song Mingyu sekali lagi menatap kedua lukisan itu untuk meyakinkan bahwa mereka tidak salah dalam mengambil kesimpulan. Ketiganya saling berpandangan dan kembali duduk. Terdiam untuk beberapa saat."Dari mana kau tahu Ren Jie sudah menguasai jurus Pedang Surgawi?" Wei Jin bertanya dengan hati-hati dan menatap tajam Song Mingyu."Maafkan aku! Aku tidak bisa memberi tahu siapa pun mengenai orang yang telah memberiku informasi itu." Song Mingyu menundukkan kepalanya dan ber-kowtow sebagai permintaan maaf pada Wei Jin.
Mereka bertiga duduk mengelilingi meja setelah menghabiskan makan malam mereka. Hanya sup pangsit berisi sayuran dan ikan kukus serta mi. Namun, terasa begitu lezat hingga semua habis tak bersisa dalam waktu singkat."Aku sudah membeli bahan obat yang kau minta. Aku simpan di laci sebelah sana." Junjie menunjuk pada lemari yang menempel pada dinding di belakangnya."Terima kasih. Bagaimana hutangmu? Sudah bisa kau lunasi bukan?" Ren Hui melirik Junjie sementara tangannya menyalakan sebatang dupa."Aiyo! Tidak bisakah kau menunggu besok?" Junjie berteriak kesal. Diiringi tawa tertahan Song Mingyu. Pemuda itu hampir saja meledak dalam tawa seandainya saja tidak mendapatkan tatapan tajam Ren Hui. "Bagaimana denganmu? Aku rasa hutangmu pun sudah lunas. Besok kau boleh pergi." Ren Hui berkata padanya dengan santai.Song Mingyu pun terdiam. Sedangkan Junjie tersenyum tipis meliriknya. Ren Hui menatap mereka b
Ren Hui menatap Junjie lekat-lekat. Amarah dalam dirinya kembali menggelegak. Dia maupun gurunya tidak memiliki ambisi berlebihan. Apalagi hingga perihal kenegaraan dan politik. Itu bukan ranah mereka. Namun, pada akhirnya hal itu juga yang menyeret guru dan adik seperguruannya pada kematian."Ayahmu di bawah kendali Permaisuri Wu dan merasa ketakutan akan kehilangan posisinya sehingga mencurigai setiap orang, tidak terkecuali dirimu." Ren Hui kembali bergumam pelan.Junjie hanya terdiam. Dia tidak membantah atau mengiyakan pernyataan Ren Hui. Jauh di lubuk hatinya dia mengakui ucapan Ren Hui tidak sepenuhnya salah. Namun, juga tidak sepenuhnya benar. Dia pun memiliki pendapat sendiri mengenai ayahnya, Kaisar Tianjian."Bagaimana pun juga dia tetaplah ayahku," gumamnya lirih. Meski memiliki banyak hal yang membebani hatinya, dia tidak dapat memungkiri garis darah yang mengaliri tubuhnya."Aku tahu" Ren
Ren Hui kembali menatap lukisan dirinya. Meski hatinya juga diliputi beberapa pertanyaan mengenai Song Mingyu, tetapi perasaan meluap-luap dalam hatinya saat menatap lukisan itu lebih kuat dan menyeretnya untuk mengenang kembali masa lalunya."Jurus Pedang Surgawi terdiri atas dua puluh delapan langkah yang harus kau kuasai dengan sempurna pada level tertinggi. Kau tidak boleh gagal dan berhenti di tengah jalan karena akan berakibat fatal pada kultivasimu." Gurunya, Liuxing memperingatkannya sebelum memulai mengajarinya jurus itu."Aku mengerti!" Ren Jie mengangguk dengan tegas dan mantap. Sedari kecil dia memiliki keinginan yang kuat untuk menjadi Dewa Pedang terhebat di Kekaisaran Shenguang.Ambisinya itu bukan karena dendam atau keserakahan. Namun, hanya sebuah ambisi pribadi selain tentunya untuk mengelak dari kewajiban memasuki istana dan juga menjadi ketua sekte. Dia melakukan semua itu untuk Zhu Zijing, adik seperguruannya."Kakak, coba pik
Rumah beroda itu berderak pelan meninggalkan Oasis Merah, sebuah tempat peristirahatan yang sunyi di tengah bentangan pasir. Mentari pagi baru saja menyembul di cakrawala, menyapu gurun dengan semburat jingga. Para penghuni tenda-tenda dan karavan masih terlelap, terlindung dari dinginnya pagi. Hanya derak roda dan deru angin gurun yang menemani perjalanan itu.Song Mingyu mengendalikan rumah beroda dengan hati-hati, ditemani Baihua, rubah putih yang setia menempel di sisinya. Di samping mereka, keledai hitam bernama Lobak berjalan perlahan, menggerutu dengan dengusan-dengusan kecil."Sudahlah, Lobak! Kau jangan merajuk lagi," tegur Song Mingyu dengan nada geli sambil melirik keledai yang tampak cemberut. Dia terkekeh, seakan keledai itu mengerti.Meski pasir merah yang bergulung-gulung di bawah roda kerap membuat perjalanan terseok-seok, rumah beroda itu terus melaju. Lobak, meski tak puas, tetap setia mengikuti di sisi, tanpa ada niat sedikit pun untuk m
Ibukota Kekaisaran Shenguang dalam beberapa hari ini terasa sunyi. Hanya derap langkah prajurit berpatroli yang memecah keheningan lorong-lorong kota di jam-jam tertentu. Udara pagi menghembuskan hawa dingin, membawa serta aroma lembab dari batu-batu jalanan yang jarang terinjak. Para penduduk menjalani hidup penuh tekanan, tak berani beraktivitas seperti biasanya. Lorong-lorong yang dulu ramai kini tampak lengang, bagaikan labirin batu yang kosong.Namun, sesekali ada sedikit kelonggaran. Penduduk diizinkan membuka toko atau berdagang, meski hanya dalam waktu dan ruang yang terbatas. Di bawah pengawasan ketat para prajurit. Suasana tetap terkendali, langkah-langkah mereka terasa berat seolah takut menimbulkan gema yang bisa mengundang bahaya."Masih terkendali, bukan, Tuan Han Jin?" Mo Yuan, orang kepercayaan Chu Wang, menatap lurus pria yang berkuda di sampingnya. Sorot matanya dingin, seperti batu giok tanpa cela, mengamati situasi kota dengan kewaspadaan tinggi
Malam di Oasis Merah terasa seperti sebuah kanvas gelap yang dilukis dengan ketegangan. Setelah pertempuran sengit di perbatasan, keheningan menggantikan gemuruh perang, namun bukan kedamaian yang hadir—melainkan bayangan ancaman yang membekap udara. Kedua belah pihak mundur dengan luka masing-masing, menyisakan jejak pertempuran yang masih menguar di antara angin padang pasir.Pasukan Jenderal Miu Yue kembali ke Oasis Merah, diikuti oleh Ren Hui, Junjie, dan Song Mingyu. Di sisi lain, Pangeran Luo membawa pasukannya ke perbatasan, sementara Pasukan Hantu Kematian menghilang tanpa jejak, terkubur dalam badai pasir yang diciptakan Zhu Ling.Di dalam rumah beroda, api lentera yang bergoyang lembut diterpa angin malam menghangatkan suasana yang sedikit muram. Song Mingyu menatap Junjie dengan pandangan penuh tanya. Hening malam diselingi bunyiangin yang terasa lebih nyaring dari biasanya. "Apakah ini hasil yang kau inginkan?" tanyanya akhirnya, memecah kehen
Junjie menjadi sasaran utama serangan Liuxing. Pedang Bintang Jatuh milik Liuxing menderu, menghunus udara dengan kilatan seperti sambaran petir. Tanpa ragu, Junjie menarik tubuh Ren Hui, memindahkannya dari lintasan maut itu. Pada saat yang sama, Dongfang Yu bergerak bagaikan bayangan. Serulingnya terangkat, dan dengan satu sapuan cepat, dia menangkis serangan Liuxing. Gerakannya yang lincah menyerupai tarian musim semi, menyapu langkah Liuxing hingga pria itu terpaksa mundur. "Wah! Ini curang, Nona Dongfang Yu!" Sebuah suara keras memecah ketegangan. Zhu Ling, diikuti Xuan Yu serta Pasukan Hantu Kematian, telah mengepung Dongfang Yu. "Oh, curang, ya?" Dongfang Yu terkekeh kecil, suaranya seperti lonceng perak di malam gelap. "Tadi memang aku berniat curang. Tapi sekarang, rasanya kalian yang mencurangiku." Senyumnya menggantung dingin, dan dia kembali meniup serulingnya. Nada seruling itu melengking tajam, menghunjam tel
Ren Hui mengangkat Pedang Bintang Ilusi tinggi-tinggi, mata pedang itu bersinar dingin, siap menyambar lawannya dengan kekuatan tak terbayangkan. Liuxing, tak kalah sigap, memposisikan Pedang Bintang Jatuhnya. Dengan setiap gerakan tubuhnya, pedang itu memancarkan aura seperti sebuah bintang yang siap runtuh ke bumi.Junjie, yang telah beberapa saat menghindar dari serangan Xuan Yu, merasa gelisah. Meski tidak berniat membalas serangan, tatapannya terarah penuh kecemasan pada pertarungan Ren Hui dan Liuxing. "Celaka! Jika keduanya mengeluarkan serangan meteor, gurun ini akan hancur lebur," gumamnya dalam hati, menatap badai pasir yang semakin mengganas."Menyingkir!" Tanpa berpikir panjang, Junjie berteriak, suaranya menggema di tengah hutan pasir yang bergulung. "Semua, cepat menjauh!"Kekhawatiran Junjie berubah menjadi kenyataan. Pedang Ren Hui berkelebat cepat, seakan-akan meteorit yang meluncur dari langit, menembus keheningan udara yang kian mencekam
“Badai pasir,” gumam Miu Yue, suaranya bergetar di antara desau angin yang menderu-deru. Kekhawatiran terpancar jelas dari sorot matanya yang sempat melirik horizon yang perlahan memerah. Tanpa sadar, dia menggenggam erat lengan Song Mingyu, seperti mencari kekuatan dalam kegentingan. Sentuhan dingin jemarinya segera disambut kehangatan tangan pemuda itu, yang diam-diam berusaha menenangkan ketakutannya.Gemuruh angin yang membawa pasir merah bergulung-gulung laksana naga yang menari liar di cakrawala. Ini bukan sekadar ancaman sepele, tetapi fenomena alam yang mampu melahap seluruh kehidupan yang berdiri di hadapannya. Bukit pasir berguguran, lalu terbentuk kembali dengan wujud yang baru—seolah gurun ini hidup, berubah dengan setiap hempasan badai.“Berlindung di balik kereta!” Miu Yue dan Kasim Ong berteriak bersamaan.Tanpa membuang waktu, para prajurit berlarian ke balik kereta-kereta berat yang penuh dengan barang bawaan. Kereta-kereta itu,
Ren Hui dan Liuxing kini benar-benar berhadapan di tengah hamparan gurun pasir merah yang menderu diterpa angin. Matahari menggantung rendah di langit, menciptakan kilauan tembaga di atas pasir yang seolah menyala. Kedua pria itu berdiri diam sejenak, ketegangan melingkupi mereka seperti senar busur yang ditarik hingga hampir putus.Liuxing, dengan tatapan dinginnya, tak ingin membuang waktu. Tanpa sepatah kata, dia melancarkan serangan pertama. Pedang Bintang Jatuh di tangannya menyambar seperti badai musim gugur, menciptakan gelombang energi yang menghantam gurun. Pasir berhamburan ke udara, berputar seperti topan kecil yang melenyapkan batas antara langit dan bumi. Tanah bergemuruh seolah naga kuno bangkit dari tidurnya.Ren Hui bergerak cepat, tubuhnya melompat dengan kelincahan seekor kijang yang melintasi jurang.Pasir merah beterbangan, menciptakan kabut yang menutupi pertarungan. Di kejauhan, para saksi hanya bisa menyipitkan mata, berusaha menembus tirai debu."Junjie! Menjau
Junjie dan Ren Hui saling berpandangan, diam dalam kerangka waktu yang terasa membeku. Ini bukan pertama kalinya mereka harus menghadapi pertarungan bersama, meskipun momen seperti ini jarang terjadi. Hidup mereka, seperti dua sungai berbeda, mengalir di jalur yang tak pernah bersinggungan kecuali saat menghadapi musuh-musuh mereka.Junjie lebih sering bergulat dengan dunia politik dan pertempuran besar di medan perang, tempat strategi dan kekuatan militer saling bertaut. Sebaliknya, Ren Hui hidup di bawah bayang-bayang duel maut, bertarung satu lawan satu dengan ahli beladiri atau murid-murid sekte lain. Dunia mereka bertolak belakang, tetapi hari ini garis nasib mempertemukan mereka kembali.“Bertarung atau kabur?” Ren Hui bertanya santai, memutar payung di tangannya dengan gerakan malas, seakan badai pasir yang mengancam itu hanyalah angin musim semi.“Menurutmu?” Junjie balas bertanya, suaranya serupa desau angin dingin yang menggugurkan daun-daun terakhir. Dia mengibaskan lengan
Junjie dan Ren Hui menatap pria di belakang Liuxing. Tanpa topeng hantu, pria itu memancarkan daya tarik yang tak terduga. Wajahnya muda, tampan, seperti pualam yang dipahat sempurna oleh tangan seorang seniman."Ah, kau Yu!" seru Ren Hui tiba-tiba, suaranya melengking, penuh keterkejutan. Jarinya terulur lurus, seolah ingin memastikan bahwa yang dilihatnya nyata. Xuan Yu, asisten Peramal Ilahi yang mereka temui di tenda beberapa hari lalu, kini berdiri di barisan Pasukan Hantu Kematian.Ren Hui terkekeh kecil, menarik lengan mantel biru Junjie. "Aiyo! Kau sungguh tak pantas menjadi anggota Pasukan Hantu Kematian. Kau terlalu tampan untuk menjadi hantu." Nada bercandanya ringan, tapi matanya memancarkan kewaspadaan, seperti mata elang mengawasi mangsa.Ucapan Ren Hui memicu tawa kecil dari Zhu Ling, A Xian, Song Mingyu, bahkan Pangeran Luo. Namun, Junjie tetap diam, wajahnya seperti biasa, tanpa ekspresi berarti."Wah, pedagang arak," balas Xuan Y