Song Mingyu dan Junjie duduk berhadapan di depan meja. Junjie bertopang dagu seperti biasa, bak seorang pemalas. Sedangkan Song Mingyu menuangkan teh ke dalam cangkir.
"Meski tubuhnya kosong tetapi jelas dia masih memiliki refleks yang sangat bagus," gumam Junjie dalam hatinya. Dia melirik ke teras di mana sosok Ren Hui tampak dari belakang dengan jelas.Punggungnya tegak dan dia memacu kuda dengan tenang dan santai. Selintas seperti tidak ada yang berubah dari sosoknya semasa masih dikenalnya sebagai Ren Jie, sang Dewa Pedang. Sosok pemuda tampan rupawan yang menawan dengan ilmu pedang yang tinggi dan ambisi dan energi yang luar biasa."Sungguh sulit dipercaya, kini kau menjalani kehidupan seperti ini." Junjie mendesah pelan. Melirik Song Mingyu yang juga menatap Reh Hui. Entah apa yang ada di pikiran pemuda itu. Junjie hanya merasa heran bagaimana bisa pemuda itu tidak mengenali Ren Jie, sang Dewa Pedang yang sepuluh tahun lalu namanya begitu termasyur dBeberapa hari kemudian, setelah perjalanan yang cukup panjang, mereka tiba di kota Yueliang. Kota yang terkenal dengan Paviliun Yueliang, sebuah tempat yang setiap tahunnya mengeluarkan daftar emas, hitam dan putih. Daftar yang berisi peringkat para pendekar di Jiang Hu, orang-orang hebat dan juga para buronan."Wah kota ini jauh dari bayanganku!" Song Mingyu berseru kagum saat rumah beroda mereka perlahan memasuki perbatasan kota."Memang seperti apa yang kau bayangkan?" Junjie bertanya tanpa mengalihkan perhatiannya dari jalan yang mereka telusuri.Seperti biasanya, mereka berdua bergantian mengusiri rumah beroda. Hanya sesekali saja Ren Hui mengusirinya. Beberapa hari ini pria itu sibuk menyuling arak.Selain arak-arak yang biasa dibuatnya, kali ini dia juga membuat arak bambu hijau. Arak beras ketan berkualitas terbaik yang disulingnya dengan embun pagi yang dikumpulkannya setiap pagi dan disimpan dalam batang-batang bambu yang mereka dapatkan
Bukit di sebelah timur Kota Yueliang memang sangat cocok untuk tempat tinggal sementara mereka selama di kota Yueliang. Tempat itu bukan hanya dikelilingi padang rumput yang menghijau, tetapi juga hutan-hutan kecil yang rimbun dan sejuk.Di kejauhan terdengar gemericik air yang lebih mirip deru hujan memecah bebatuan. Tempat yang indah, tenang dan jauh dari keramaian. Tempat yang selalu menjadi pilihan Ren Hui untuk singgah sementara waktu."Aiyo! Air terjun!" Song Mingyu bersorak dan berlari menuju kolam yang bersumber dari air terjun yang menjulang tinggi di hadapan mereka.Junjie menggeleng kepalanya dan duduk di atas bebatuan di tepi kolam. Sedangkan Ren Hui hanya berdiri dan memperhatikan mereka dari teras bagian belakang rumah berodanya."Air terjun jiwa tersembunyi," gumamnya pelan. "Apa maksudmu membawaku kemari?" Ren Hui tersenyum tipis.Dia menarik rak-rak kayu berisi tanaman obatnya lebih ke tepi, menempel di dinding dan tangga
Ren Hui menyalakan dupa dan meletakkannya di atas meja. Sementara Junjie dan Song Mingyu makan dengan lahap. Keduanya sesekali berbincang bahkan berebut makanan."Bagaimana bisa sikap elegannya menguap begitu saja," keluh Ren Hui dalam hati saat melihat keduanya kembali bertengkar hanya karena hal sepele."Ren Hui, kau tidak ingin berlatih beladiri?" Song Mingyu tiba-tiba bertanya padanya. Ren Hui tertegun mendengar pertanyaannya itu. Dia menatap Song Mingyu sebentar, kemudian menggelengkan kepalanya."Ada baiknya kau berlatih," sahut Junjie menimpali percakapan mereka berdua. "Setidaknya untuk menjaga kebugaran tubuhmu," lanjutnya. Tangannya terulur hendak mengambil sepotong tahu berlumur saos kedelai fermentasi."Aiyo, itu tahuku!" Song Mingyu menepis tangannya dan merebut tahu itu dari atas piring. "Eh, kau ini!" Junjie berteriak memprotesnya dan tangan bergerak cepat mengambil tahu di atas piring ya
Ren Hui masih berdiri dan meneguk araknya. Tubuhnya mulai terasa hangat, darahnya seakan mengalir lebih cepat. Pembuluh-pembuluh darahnya seakan terisi tenaga dalam yang kuat lagi seperti dahulu. Bahkan jauh lebih kuat dari sebelumnya. Dadanya bergemuruh, seakan-akan jantungnya meronta hendak melepaskan diri agar bisa berdetak lebih bebas dan kencang. Seperti keinginannya untuk kembali menggunakan pedang yang telah lama tersimpan dan tak pernah digunakannya lagi. Junjie terkejut saat sayup-sayup merasakan sebuah getaran. Pedang yang selalu tersandang di pinggangnya tiba-tiba bergetar, pelan dan semakin cepat. "Pedang ini merasakan hasrat membunuh pemiliknya," gumamnya dalam hati. Seulas senyum tipis muncul di bibirnya. Dia sudah menduga, meski kehilangan kemampuan beladirinya, tetapi Ren Jie tidak kehilangan nalurinya sebagai seorang Dewa Pedang. Begitupun dengan Pedang Naga Langit yang tidak kehil
"Kau ingin melihat tarian pedangku lagi bukan?" tanyanya dengan serius. Tatapan matanya yang tajam menelusuri wajah tampan pria di hadapannya. Seakan-akan ingin mencari kesungguhan dari keinginan yang tadi diucapkannya.Junjie hanya menganggukkan kepalanya, menyingkirkan ujung pedang dan kembali meneguk araknya. Dia pun duduk di pagar kayu teras dan bersandar di dinding gudang arak, menatap Ren Hui dengan tatapan berbinar.Ren Hui pun tersenyum tipis. Dia berputar dengan indah, mengayunkan pedangnya. Pedangnya bergerak cepat selaras dengan gerakan tubuhnya. Hingga tiba-tiba saja ujung pedangnya menyasar dan berhenti beberapa inchi dari leher Junjie.Junjie tertawa pelan dan menghindar dengan lincah. Namun, Ren Hui tidak melepaskannya begitu saja. Dia kembali mengayunkan pedangnya meski kali ini tidak berniat menyerang Junjie.Gerakan pedangnya melambat, berputar dengan indah. Begitupun dengan tubuhnya y
Junjie terbangun keesokan paginya saat mendengar teriakan panik Song Mingyu. Ditingkahi dengan suara batuk seseorang yang terdengar sangat parah."Minumlah!" Terdengar suara Song Mingyu menawarkan air. Semestinya orang yang terbatuk-batuk adalah Ren Hui.Junjie bangun dari tempat tidur dan duduk di tepinya. Kepalanya terasa pusing. Entah berapa kendi arak yang dihabiskannya semalam karena dia merasa arak itu sama sekali tidak memabukkan. Dia hanya merasa sangat ringan bak melayang-layang dalam lautan mimpi."Hei! Bantu aku!" Song Mingyu berseru padanya. Perlahan Junjie membuka matanya. Tatapan matanya menangkap sosok Ren Hui yang tengah terbatuk-batuk. Tiba-tiba saja pria itu memuntahkan darah segar.Junjie segera melompat berlari terburu-buru mendekati mereka berdua. Diperiksanya kondisi Ren Hui kemudian berusaha menyalurkan tenaga dalam murni untuk memulihkan kondisinya. Meski dia tahu mungkin itu tidak akan terlalu memb
"Apakah karena semalam kau berlatih pedang?" Junjie bertanya dengan suara pelan dan berhati-hati. Dia tidak ingin Song Mingyu mendengar percakapan mereka dan mencurigai mereka berdua."Salah satunya karena itu. Namun, alasan yang paling nyata adalah racun tujuh bunga biru," sahut Ren Hui pelan."Apakah ada penawarnya?" Junjie kembali bertanya. Kali ini disertai harapan untuk mendapatkan jawaban yang bagus."Jika ada tentu Ren Jie masih hidup," sahut Ren Hui seraya tersenyum pahit.Junjie mendesah pelan. "Kalau begitu ikutlah ke kota. Aku akan membawamu ke Paviliun Yueliang. Nona Wei Jin tidak mungkin tidak memiliki obat atau penawar untuk racun itu. Dia pasti mau mengobatimu." Junjie berdiri dan berkata dengan tegas."Buang-buang waktu saja. Jika Dewa Obat pun sudah menyerah untuk menetralkan racun di tubuhku apalagi hanya seorang Wei Jin." Ren Hui kembali tersenyum pahit.
Paviliun Yueliang, Kota YueliangSebuah lukisan tergantung di dinding sebuah ruangan yang cukup luas dan ditata dengan begitu elegan. Lukisan seorang pria muda yang tampan nan rupawan membawa pedang di tangan kanannya. Berlatar belakang pohon wisteria yang tengah berbunga lebat dan pegunungan di musim semi, lukisan itu tidak hanya indah. Namun, begitu hidup hingga terasa begitu nyata.Setidaknya bagi gadis cantik berhanfu ungu muda yang berdiri menatap sayu lukisan itu.Seakan-akan diliputi kerinduan yang begitu mendalam akan sosok di dalam lukisan. Bahkan dia melupakan semuanya saat tatapan matanya hanya tertuju pada sosok itu, hingga tidak menyadari kehadiran seseorang.Seorang gadis masuk ke dalam ruangan dan menegur gadis yang berdiri di depan lukisan. "Kakak Jin, dupa sudah terbakar habis dan kau masih memandangi lukisan itu." Dia meletakkan teko teh dan cangkir-cangkir di atas meja di sudut ruangan.