Mereka tiba di rumah beroda menjelang siang hari. Song Mingyu mengkhawatirkan Ren Hui. Wajahnya tampak lelah dan dia kembali terbatuk-batuk.
"Ren Hui," ucap Song Mingyu, "apa maksud orang-orang tadi? Mengapa mereka mengira kau menjual arak dewa?" Song Mingyu turut duduk di anak tangga rumah beroda, di sebelahnya.Ren Hui menggeleng lemah, mengipasi wajahnya dengan kipas kertas minyaknya yang selalu dibawanya kemana-mana. "Entahlah! Aku tidak pernah mengolah arak dewa, apalagi menjualnya," sahutnya pelan.Song Mingyu mengangguk dan mempercayai ucapan pada Ren Hui. Dia melihat sendiri, Ren Hui hanya mengolah arak dari bahan-bahan biasa selayaknya arak-arak pada umumnya. Seperti barley, gandum dan beras. Terkadang saja Ren Hui akan mencampurkan beberapa bahan lain sesuai dengan musim.Seperti saat ini di musim semi, Ren Hui mencampurkannya dengan berbagai bunga dan buah yang mekar dan berbuah di musim semi. Bahkan beberapa kali dia melihat Ren Hui meSong Mingyu tiba di rumah beroda terlebih dahulu. Dia duduk di tangga menunggu Baihua. Dia tidak berharap Ren Hui akan ikut pulang bersama hewan kesayangannya itu. "Baihua!" Dia berseru menyambut Baihua yang berlari menuju ke arahnya dengan membawa sesuatu di moncongnya. "Wah, benar-benar kelinci yang gemuk!" Song Mingyu kembali bersorak gembira. Baihua meletakkan begitu saja hasil buruannya di tanah. "Kelihatannya kau senang sekali!" Tiba-tiba saja terdengar suara Ren Hui. Pria itu berjalan pelan-pelan menuju rumah beroda. Song Mingyu tertegun menatapnya tak berkedip. Ren Hui terlihat baik-baik saja. Meski tubuhnya memang selalu tampak ringkih, setidaknya dia tidak nampak seperti orang yang hampir kehabisan napas seperti yang dilihatnya semalam. "Kau baik-baik saja? tanyanya seraya meraih kelinci di tanah, berdiri kemudian mendekati Ren Hui. "Ah, seperti biasa. Hanya dadaku sedikit sakit," kel
Menjelang siang, Song Mingyu dan Ren Hui mendorong gerobak arak ke desa sebelah. Kali ini mereka tidak melewati jalan yang biasa mereka lewati. "Ren Hui, kenapa kau harus mengirimkan arak ke rumah kepala desa sebelah?" Song Mingyu bertanya karena merasa heran. Seingatnya, setelah perkelahian dengan orang-orang di pasar kemarin, tidak ada yang datang untuk memesan arak. "Dia sudah berlangganan arak padaku sejak lama. Setiap satu bulan sekali, aku akan mengirimkan arak meski tidak dimintanya." Ren Hui tersenyum tipis, menjelaskan keheranan pemuda itu. "Oh begitu!" Song Mingyu mengangguk mengerti. "Jauhkah rumahnya?" Song Mingyu kembali bertanya saat mereka sudah melewati jalan setapak yang menghubungkan padang rumput dengan pemukiman penduduk. "Di sana!" Ren Hui menunjuk pada sekumpulan rumah penduduk yang tak jauh dari jalan yang kini mereka lalui. "Sepertinya lebih ramai dari desa yang biasa kita lalui." Song Mingyu memicingkan mata, menatap sekumpulan rumah yang memang terli
"Anak muda, bawa kemari gucinya!" Tabib tua itu memanggil Song Mingyu setelah puas mengomeli Ren Hui. Song Mingyu pun mendekati mereka dan memberikan guci-guci arak pada tabib itu. "Apakah semakin sulit untuk mencari bahan-bahannya?" Tabib tua itu bertanya pada Ren Hui. Dia menuangkan arak itu ke sebuah cangkir. Seketika aroma harum bercampur pedas yang menenangkan menguar ke seluruh ruangan. "Bantu aku!" pintanya pada Ren Hui. Ren Hui segera membantu tabib itu dengan mengangkat kepala sang gadis yang terbaring di tempat tidur. Sedangkan Tabib tua menyuapinya dengan air dari guci tadi. Perlahan-lahan gadis kecil itu menyesap arak dan mulai terbatuk-batuk. "Rong'er!" Nyonya Fu dan Tuan Muda Fu yang menunggu di luar kamar bergegas masuk. Mereka berhenti di ujung tempat tidur dan saling berpelukan, menatap gadis kecil itu dengan cemas. "Biarkan Nona Muda beristirahat." Tabib tua tersenyum lembut dan mengembalikan cangkir arak
Song Mingyu pun tersenyum canggung. Dia menendang kaki Ren Hui di bawah meja. Pemuda itu pun membalasnya. Dan pada akhirnya mereka berdua hanya bisa tersenyum canggung dan kikuk saat Nyonya dan Tuan Muda Fu menatap mereka berdua."Apa kau yakin?" Tuan Muda Fu kembali bertanya. Dia menatap Ren Hui dengan serius. Hingga Song Mingyu merasa Tuan Muda ini lebih mengkhawatirkan Ren Hui daripada kondisi adiknya."Tuan Muda, tenang saja." Ren Hui mengedipkan mata. Nyonya Fu yang memperhatikan mereka berdua seketika tersipu malu. Membuat Song Mingyu semakin bingung dengan tingkah orang-orang di sekitarnya ini termasuk sikap Ren Hui yang tidak seperti biasanya.Menjelang sore, mereka meninggalkan kediaman Keluarga Fu. Setelah sebelumnya Ren Hui dan Tuan Muda Fu bercakap-cakap dengan Tabib Wang. Entah apa yang mereka bicarakan, Song Mingyu tidak tahu dan tidak tertarik untuk mengetahuinya. Dia lebih tertarik dengan suasana di kediam
"Aiyo!" Ren Hui berdiri dan mencoba menghindari, tetapi rasanya itu cukup sulit. Dengan terpaksa dia mengangkat tangannya menahan kaki pria itu. Pria itu terkejut karena merasa ada yang aneh, meski berhasil membuat Ren Hui tersungkur. Di saat itulah Song Mingyu datang dan menendang pria itu hingga terjatuh ke tanah.Beberapa orang pria yang sedari tadi hanya melihat kini berdatangan. Mereka mengurung Ren Hui dan Song Mingyu. "Jangan takut, aku pasti bisa menghadapi mereka," gumam Song Mingyu menenangkan Ren Hui. Pria itu mengangguk lemah dan tersenyum tipis."Aku tidak ingin berkelahi dengan kalian. Sungguh memalukan jika aku harus melakukan kekerasan terhadap pedagang lemah seperti dirimu. Tuanku berpesan pada kami untuk meminta baik-baik arak dewa dari dirimu." Salah seorang dari mereka berbicara dengan tegas."Tuan, aku sudah mengatakan. Aku tidak membuat dan menjual arak dewa. Sungguh aku tidak berbohong." Ren Hui men
Menjelang malam hari, rumah beroda milik Ren Hui perlahan-lahan meninggalkan padang rumput. Suara rodanya berderak memecah keheningan di malam hari. Namun, tidak ada penduduk desa yang memperhatikan karena mereka memilih jalur memutar, menghindari pedesaan dan keramaian."Kita mau kemana?" Song Mingyu bertanya seraya menghela tali kekang kuda. Ren Hui yang duduk di sebelahnya tidak segera menjawab. Dia justru memberikan kendi air padanya.Song Mingyu menerimanya dan meminum air segar karena memang merasa haus, setelah sedari gelap turun tadi, dia memacu kudanya secepat mungkin. Meski sejujurnya mereka tetap bergerak lebih lambat. Rumah beroda itu cukup berat dan membuat kuda tidak bisa berlari secepat biasanya."Aku berencana untuk pergi ke kota Chunyu." Ren Hui menyahut pelan. "Chunyu? Kota Hujan Musim Semi, kota yang indah. Aku setuju, kebetulan aku pun belum pernah ke sana." Song Mingyu tersenyum dan mengacungkan jempo
Beberapa hari kemudian, setelah melewati beberapa pedesaan dan kota kecil, mereka pun tiba di Kota Beixing. Kota teramai ketiga di seluruh Kekaisaran Shenguang setelah Ibukota Baiyun dan Kota Lingyun.Berbeda dengan kedua kota yang lainnya, Kota Beixing dikenal sebagai kota judi terbesar di Kekaisaran bahkan mungkin di seluruh wilayah itu. Kota yang terletak di perbatasan utara itu sebenarnya tidak terlalu luas. Namun, di setiap sudut kota bisa ditemukan tempat perjudian yang menarik hati bagi para pengunjung."Wah, kota ini sangat ramai." Song Mingyu bergumam pelan saat rumah beroda itu memasuki daerah pedesaan yang terdekat dengan pusat kota. Ren Hui telah memperingatkannya untuk tidak masuk ke pusat kota dan berhenti di pedesaan saja."Ren Hui, bagaimana dengan tempat ini?" tanyanya pada pria yang tengah sibuk di dalam rumah beroda bersama Baihua, rubah putih kesayangannya.Pria itu melongokkan kepal
Keesokan harinya, seperti yang sudah direncanakan, mereka berdua pergi ke Pondok Dongfeng yang ada di pusat Kota Beixing. Kali ini mereka menggunakan kuda untuk menarik gerobak yang dipenuhi guci-guci arak."Jaraknya lumayan jauh, tidak mungkin kau bisa menarik gerobak bolak-balik seorang diri. Bahkan ada kemungkinan kita harus menginap." Begitu Ren Hui menjelaskan.Itu juga alasannya menitipkan dua ekor kudanya yang lain pada seorang petani yang sepertinya sudah mengenal Ren Hui. Sedangkan rumah berodanya dikunci rapat-rapat dan Baihua turut bersama mereka.Sepanjang perjalanan, Song Mingyu sangat menikmati pemandangan yang mereka lalui. Meski hanya melewati beberapa desa dan diselingi ladang-ladang, tetapi itu cukup menghiburnya. Suasananya jauh berbeda dengan Kota Lingyun, kota tempat asalnya.Kota Lingyun terletak di tengah wilayah kekuasaan Kekaisaran Shenguang, berdampingan dengan ibukota. Pendudu
Mo Shuang menatap Ren Hui dengan sorot mata yang sulit ditebak. Udara dingin merayapi pondok kecil mereka, tetapi kehangatan dari tungku di sudut ruangan sedikit menghalau hawa beku yang merayap di kulit. Dengan gerakan telaten, Mo Shuang mengambil sepotong bāozi, kemudian mengupas daun bambu yang membungkus zongzi isi daging, meletakkannya di atas piring tepat di hadapan pria itu.“Maaf, aku merepotkanmu,” ucap Ren Hui pelan, suaranya sarat dengan ketulusan dan sedikit rasa tidak enak hati.Mo Shuang melirik sekilas, lalu mendengus kecil. “Akan lebih merepotkan jika kau tidak mengatakan tujuanmu ke sini, bukan?” sahutnya santai, tetapi di telinga Ren Hui, nada suara wanita itu terdengar dingin, seakan menyembunyikan sesuatu di balik sikap acuhnya.Ren Hui terkekeh pelan, menghangatkan jemarinya di cangkir teh yang masih mengepul. Sepertinya, dia memang harus mengatakan dengan jujur alasan kedatangannya ke Báiyuè Shān setelah lima belas tahun berlalu.
Ren Hui berdiri di ambang pintu, tatapannya tak lepas dari sosok berjubah hitam yang melangkah perlahan menuju pondok. Langkahnya ringan, seolah tak menyentuh tanah, sementara mantel hitamnya berkibar samar di bawah cahaya remang senja. Salju tipis berjatuhan, menambah kesan misterius pada sosok yang kini berhenti di depan teras.Ren Hui mengedipkan matanya, menyadari bahwa pandangannya semakin memburam. Sosok itu semakin samar, hanya bayangan kabur di dalam pandangannya yang berkabut."Ren Jie!" Suara itu terdengar, mengusik keheningan.Ren Hui tertegun. Suara itu, sangat akrab meski terdengar dingin. Sosok itu membuka tudung mantel hitamnya. Ren Hui tersenyum cerah saat mengenali sosok yang berdiri di hadapannya."Lama tak bertemu, Ren Jie sang Dewa Pedang," sapanya dengan suara setenang air yang membeku. Bahkan tidak ada seulas senyum pun di bibirnya.Senyum cerah Ren Hui semakin merekah, matanya berbinar meskipun dunia di sekelilingny
Baihua mendengking lebih keras, ekornya yang lebat melambai gelisah. Rubah putih itu duduk tegak di tengah jalan, tepat di depan Ren Hui, seolah menjadi penghalang agar tuannya tidak melangkah lebih jauh."Ada apa, Baihua?" Ren Hui berjongkok di sisinya, menepuk lembut kepala rubah itu. Bulu putihnya terasa dingin di telapak tangan. "Kalau tidak bergegas, kita akan kemalaman," lanjutnya, mendongak menatap langit. Sinar matahari kian memudar, membiaskan rona jingga samar di cakrawala yang mulai dilingkupi bayangan senja.Baihua kembali mendengking, suaranya menggema lirih di antara desir angin musim dingin. Matanya yang bening berkilau menatap Ren Hui, seolah mencoba menyampaikan sesuatu yang tak terucapkan. Ren Hui hanya tersenyum, mengusap kepala rubah itu dengan lebih lembut, lalu mengangkatnya ke dalam pelukan."Apa kau takut?" bisiknya, suaranya selembut bisikan angin. "Jangan khawatir, bukankah kita selalu bersama? Selamanya?"Rubah itu tidak
Ren Hui menapaki jalan setapak berbatu dengan hati-hati. Angin dingin berembus perlahan, membawa aroma salju yang menggantung di udara. Di depan, Baihua berlari kecil mendahuluinya, meninggalkan jejak-jejak samar di atas salju tipis yang menutupi bebatuan. Rubah putih itu seharusnya tetap berada di tepi sungai bersama Yingying, tetapi ketika Ren Hui melangkah menyeberangi jembatan kayu tua, Baihua justru menyusulnya tanpa ragu."Baihua, setelah tiba di atas, kau harus kembali ke sungai. Temani Yingying!" seru Ren Hui.Baihua berhenti berlari, mendengking pelan seolah memprotes perintah itu. Ren Hui terkekeh. Sudah terbiasa dengan tingkah rubah putihnya yang keras kepala. Mereka kembali berjalan, melewati jalan setapak yang mulai menanjak. Batu-batu di bawah kaki mereka terasa licin, tersembunyi di balik lapisan es tipis yang nyaris tak terlihat. Ren Hui menghela napas, memusatkan perhatian pada setiap pijakannya."Baihua, tempat ini tidak banyak berubah,"
Mentari musim dingin baru saja menyembul dari balik awan-awan putih, menyinari lembut permukaan sungai yang mulai membeku. Kabut tipis masih melayang, menyelimuti tanah dengan hawa dingin yang menggigit.Di tepi sungai, Ren Hui duduk santai di atas batang kayu tua, meniup uap tipis dari cangkir teh jahe di tangannya. Aroma hangat jahe bercampur dengan wangi samar goji berry, lavender, madu dan chamomile, menenangkan pikirannya. Baihua, rubah putih berbulu lembut, meringkuk di dekat kakinya. Sesekali mengibaskan ekor, tampak menikmati kedamaian pagi itu.Tak jauh dari tempatnya duduk, sebuah keranjang bambu berisi bekal tertata rapi di atas rerumputan yang mulai tertutup embun beku. Hari ini, dia akan memulai perjalanannya menuju Kota Es, tempat yang hingga kini hanya dianggap legenda oleh penduduk setempat.Suara nyaring memecah ketenangan pagi, menggema di antara dahan pohon yang tertutup salju. "Ren Hui!" Dari teras rumah beroda, Yingying memanggilnya de
Musim berlalu seakan berkejaran dengan waktu. Guguran daun kemerahan musim gugur telah lama tertiup angin, menyertai perjalanan rumah beroda yang bergerak perlahan menuju Báiyuè Shān. Kini, saat salju tipis turun menutupi tanah, musim dingin hampir merampungkan masanya. Rumah beroda milik Ren Hui tetap berjalan tertatih-tatih, menembus rintik salju hingga mencapai kaki pegunungan.Di tengah perjalanan panjang ini, berbagai kabar besar telah berlalu begitu saja—termasuk eksekusi Liuxing dan bahkan mangkatnya Ibu Suri. Namun, roda nasib terus berputar, membawa mereka semakin jauh dari masa lalu.Di Kota Yanyang, kota terakhir sebelum pendakian ke Báiyuè Shān, rumah beroda melaju pelan. Langit kelabu menaungi kota yang namanya memiliki makna "embun beku," membingkai perhentian terakhir sebelum mereka menapaki jalur menuju Kota Es, tempat yang konon hanya ada dalam legenda.Di depan rumah beroda, seorang pria bermantel putih duduk mengemudikan kendaraan sederh
Beberapa bulan berlalu, dan keadaan di Kekaisaran Shenguang perlahan kembali stabil. Permaisuri Wu masih duduk di tahtanya, tetapi kekuatan keluarganya telah menyusut drastis. Salah satu pukulan terbesar adalah eksekusi Wu Zhengting, penguasa Kota Chunyu sekaligus adik kandung Permaisuri Wu. Dengan kejatuhan ini, pengaruh keluarga Wu dalam pemerintahan kian meredup, seolah-olah musim semi baru tengah bersemi di dalam istana.Di sisi lain, Nona Muda Pertama Chao, Chao Ping, kembali ke ibu kota dalam keadaan selamat. Namun, ia tidak berusaha memperbaiki perjanjian pertunangannya dengan Chu Wang. Ia hanya datang mengunjungi Perdana Menteri Kiri sebagai seorang sahabat lama."Perjalanan ke Hóngshā telah membuka mata dan hatiku. Hidup tidak hanya berputar pada cinta dan pasangan hidup. Aku telah melihat banyak hal, dan semua itu mengubah cara pandangku," katanya pelan. Ada keteguhan dalam suaranya, seolah ia telah menemukan arah hidup yang lebih luas dari sekadar status
Pagi itu, suasana di dalam rumah beroda terasa hangat oleh aroma teh dan sisa hidangan sarapan. Cahaya matahari menerobos masuk melalui celah jendela, menciptakan bayangan lembut di lantai kayu yang berderit setiap kali seseorang bergerak. Setelah beberapa saat menikmati keheningan pagi, Wei Xueran akhirnya membuka pembicaraan dengan nada tegas, "Yang Mulia Pangeran Yongle, aku diminta Raja An Bang dan Chu Wang untuk membawamu dan Tuan Muda Song kembali ke ibukota."Junjie tetap tenang, meniup permukaan tehnya agar tidak terlalu panas sebelum menyeruputnya perlahan. Sementara itu di seberangnya, Song Mingyu menatapnya sejenak sebelum melirik Wei Xueran dengan alis sedikit terangkat. Keraguan terlihat jelas di wajahnya, seperti seseorang yang berharap mendapat jawaban berbeda."Haruskah aku ikut?" tanyanya akhirnya, suara datarnya menyamarkan harapan kecil dalam hatinya.Wei Xueran menyeringai, menikmati momen itu seolah ia baru saja menang dalam
Keesokan paginya, ketenangan rumah beroda mereka terusik oleh suara ketukan keras di pintu. Langit masih berembun, tetapi Wei Xueran, dengan gaya sembrono khasnya, sudah berdiri di depan pintu bersama Pasukan Bayangan dari Paviliun Embun Pagi."Ren Hui! Junjie! Kalian masih tidur?" Suaranya nyaring menembus udara pagi yang masih dingin, menimbulkan kegemparan di dalam rumah.Junjie mengerjapkan mata malas, baru saja hendak menguap ketika pintu diketuk lebih keras. "Apa dia tidak tahu sopan santun?" gerutunya.Kekacauan itu memuncak saat Wei Xueran masuk begitu saja dan terlibat perkelahian kecil dengan Junjie, hanya karena sepotong kue bulan yang tersisa di atas meja makan. Suara mereka beradu memenuhi ruangan sempit, hingga akhirnya Yingying turun tangan.Tanpa banyak bicara, tabib ilahi itu mengangkat jarum-jarum akupunturnya, yang berkilauan tajam di bawah cahaya pagi."Aiyo Yingying! Singkirkan jarum-jarum mengerikanmu itu dariku!" We