Sepuluh tahun kemudian, kota Xuelian
Pasar kota Xuelian, di pagi hari yang cerah, seperti biasanya mulai dipenuhi pedagang dan pembeli. Ren Hui, pedagang arak yang menyewa sebuah lapak di pinggir jalan pasar, tengah sibuk menurunkan beberapa guci arak dari gerobaknya. Suasana pasar cukup ramai pagi itu. Aroma rempah dan suara riuh rendah para pedagang serta pembeli memenuhi udara. Beberapa orang datang dan membeli araknya, mengobrol sejenak sebelum melanjutkan aktivitas mereka. "Hei jangan lari kau!" Terdengar seruan-seruan di kejauhan. Menarik perhatian para pengunjung pasar termasuk Ren Hui. Namun, dia tidak mempedulikannya dan kembali sibuk melayani para pelanggannya. Tiba-tiba saja seorang pemuda yang tengah dikejar-kejar beberapa orang menerjang gerobaknya. Guci-guci araknya pun berjatuhan dan pecah hancur. Araknya berhamburan membasahi tanah, menciptakan genangan yang memancarkan aroma tajam. Beberapa pelanggannya kabur tanpa membayar, meninggalkan Ren Hui yang terperangah. "Aiyo, Tuan kau belum membayar!" Ren Hui berseru panik saat melihat para pembeli berlarian. Menghindari keributan sekaligus kabur tanpa membayar terlebih dahulu arak yang telah mereka beli dari Ren Hui. "Aiyo, aku bisa bangkrut kalau begini," keluhnya seraya menepuk dahinya. Ren Hui tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain turut menjauhi tempatnya berjualan untuk menghindari terimbas perkelahian orang-orang yang tidak dikenalnya itu. Nampak seorang pemuda melompat ke atas gerobaknya dengan napas tersengal-sengal, terus berkelahi dengan orang-orang yang tadi mengejarnya. Gerakan mereka cepat dan lincah, seperti tarian maut yang memukau. Pemuda itu melompat ke udara, menghindari serangan pedang yang diarahkan padanya. Dengan satu gerakan cepat, ia menendang salah satu pengeroyoknya hingga terjatuh. Seorang pengeroyok lainnya mencoba menyerangnya dari belakang, tetapi pemuda itu dengan cekatan memutar tubuhnya dan menangkis serangan tersebut dengan lengannya. "Kalian tidak akan menang!" teriak pemuda itu dengan penuh semangat. Ia kemudian melancarkan serangan balik, memukul lawannya dengan keras hingga terlempar beberapa meter. Pengeroyok yang tersisa mulai ragu, tetapi mereka tetap mencoba menyerang. Pemuda itu menghindari setiap serangan dengan gerakan yang anggun dan mematikan. Ia memanfaatkan setiap celah untuk melumpuhkan lawan-lawannya satu per satu. Hingga akhirnya, pemuda itu dapat mengalahkan mereka semua. Tubuh-tubuh lawannya tergeletak tak berdaya di tanah, sementara pemuda itu berdiri dengan dada naik turun, mencoba mengatur napasnya. Pria-pria pengeroyoknya segera bangun dan lari kalang kabut meninggalkan pemuda itu. Dengan santai, pemuda yang sepertinya berasal dari keluarga berada itu menepuk-nepuk lengan jubahnya. Dia tidak menyadari tengah diperhatikan sang pedagang arak yang menatapnya tajam. Ren Hui yang merasa dirugikan menghentikan pemuda yang hendak pergi begitu saja itu. "Hei, tunggu dulu!" serunya dengan suara tegas. Pemuda itu menoleh, menatap Ren Hui sekilas dengan acuh tak acuh."Apa lagi?" tanya pemuda itu dengan nada kesal. "Kau harus membayar kerugianku karena menghancurkan gerobak daganganku," kata Ren Hui tanpa ragu. "Arakku habis berceceran dan pembeliku kabur tanpa membayar gara-gara ulahmu yang berkelahi di sini," ucapnya dengan tegas seraya menunjukkan kekacauan yang diakibatkan perkelahiannya dengan pria-pria tadi. "Iya tenang saja! Aku bayar!" Pemuda itu berseru dengan gaya angkuh dan merogoh saku jubahnya. Namun, setelah cukup lama meraba-raba pinggangnya, wajahnya berubah pucat. "Uangku dicuri," katanya dengan suara lirih. "Aku tidak punya apa-apa lagi." Pemuda itu tersenyum kecut dan menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Ren Hui mengerutkan kening, menatapnya kesal. "Jadi kau tidak bisa membayar kerugianku?" Pemuda itu menggelengkan kepalanya. Ren Hui menghela napas panjang, lalu berkata, "Baiklah! Aku rasa kau bisa menyerahkan perhiasan itu untuk membayar kerugianku." Ren Hui dengan santai menunjuk perhiasan giok yang tergantikan di pinggang pemuda itu. "Eh, mana boleh begitu! Ini lambang keluargaku!" Pemuda itu menyentuh perhiasan di pinggangnya dan menjauhi Ren Hui. Seakan-akan khawatir pedagang arak itu akan merampasnya. "Aku tahu. Keluarga Song sangat kaya raya. Jika aku menemui ayahmu tentu mudah saja bagiku untuk mendapatkan 150 tael perak darinya," sahut Ren Hui dengan santai. "Ah, kau tahu keluargaku?" Pemuda itu mendekat dan berbisik pelan pada Ren Hui. "Kau jangan ke sana ya. Lagi pula dari kota ini cukup jauh ke rumahku," bujuknya dengan gaya memelas. "Lantas bagaimana? Siapa yang akan membayar kerugianku ini? Aiyo, aku ini hanya pedagang arak miskin, bagaimana aku akan melanjutkan hidupku jika merugikan seperti ini?" Ren Hui berlagak mengeluh dengan suara sedikit lebih keras. "Aiyo, jangan begitu. Sekarang aku belum punya uang, begitu mendapatkan uang aku akan membayarmu lima kali lipat," bujuk pemuda itu lagi menenangkan Ren Hui. "Benarkah?" Ren Hui menatapnya dengan mata berbinar. Pemuda itu menganggukkan kepalanya dengan mantap. Namun, tiba-tiba saja Ren Hui memukul kepalanya dengan kipasnya. "Kau pikir aku bodoh! Uang dari mana lagi akan kau dapatkan? Sekarang saja kau tidak punya uang sama sekali!" serunya kesal. Pemuda itu hanya bisa terdiam dan menggaruk-garuk kepalanya. Raut wajahnya terlihat bingung sekaligus memelas. Membuat Ren Hui gemas dan ingin memukulnya lagi. "Begini saja, bagaimana kalau kau bekerja untukku. Kau akan menjadi pelayanku sampai hutangmu lunas." Ren Hui mengambil keputusan setelah beberapa saat terdiam. Pemuda itu terdiam sejenak, lalu mengangguk lemah. "Baiklah, aku akan bekerja untukmu." Suaranya terdengar memelas dan tidak bergairah seperti tadi saat tengah berkelahi. "650 tael perak, itu hutangmu." Ren Hui tersenyum tipis. Seketika pemuda itu berseru kaget, "Aiyo kenapa begitu banyak?" "Dengan bunganya belum termasuk biaya hidupmu saat tinggal denganku. Bukankah kau juga harus makan?" Ren Hui bertanya dengan santai. "Baiklah!" Pemuda itu meringis dan kembali menggaruk-garuk kepalanya. Dia tidak memiliki pilihan selain menyetujui ucapan pedagang arak itu. "Ayo bantu aku merapikan ini." Ren Hui mulai mengumpulkan pecahan guci dan sisa-sisa araknya. Pemuda itu menganggukkan kepalanya. "Siapa namamu?" Ren Hui bertanya pada pemuda itu sembari memasukkan pecahan guci arak ke dalam gerobaknya. "Namaku Song Mingyu. Dan kau?" Pemuda itu mengatakan namanya sekaligus menanyakan namanya. "Panggil saja Ren Hui," sahut Ren Hui pelan. Mereka berdua pun sibuk mengumpulkan sisa-sisa dagangan Ren Hui yang tidak seberapa itu. Pasar pun kembali seperti semula seakan-akan tidak terjadi keributan apapun.Ren Hui mengajak pemuda itu meninggalkan pasar yang ramai. "Ayo, bantu dorong gerobak ini," katanya menunjuk gerobak di depannya. Pemuda itu mengangguk dan dengan terpaksa mendorong gerobak kayu yang kini kosong. Tidak ada guci arak yang tersisa karena pecah semua akibat pertarungan tadi. "Hei pedagang arak!" Seorang pedagang daging berseru memanggil Ren Hui. "Eh Paman Wang!" Ren Hui segera berlari mendekati lapak pedagang itu. Sedangkan Song Mingyu berhenti mendorong gerobak dan menunggunya di tepi jalan di bawah pohon persik. "Sepagi ini kau sudah mau pulang? Apakah arakmu sudah habis semua?" Paman Wang, pedagang daging itu bertanya seraya melirik gerobaknya yang kosong melompong tanpa ada sebuah guci arak pun. "Aiyo Paman, hari ini sungguh sial nasibku." Ren Hui mengeluh kemudian bercerita apa yang baru saja terjadi. "Ah begitu. Tetapi, aku rasa ada baiknya untukmu. Setidaknya ada yang menemanimu sekarang." Paman Wang tersenyum seraya melirik Song Mingyu yang masih duduk d
Ren Hui sibuk mengaduk kuali di atas tungku. Dia memasak saus yang aroma lezatnya menguar, tercium hingga ke seluruh rumah beroda itu. Sedangkan daging dan iga babi tadi tengah dipanggangnya."Kau bisa membersihkan rumah bukan?" tanyanya pada Song Mingyu.Pemuda itu hanya menganggukkan kepalanya. Dia masih terpesona dengan rumah milik Ren Hui yang menurutnya unik dan aneh."Bersihkan semuanya, setelah itu kita makan bersama." Ren Hui mengibaskan tangannya. "Baihua, tunggu sebentar lagi. Tulang iga ini belum matang benar," lanjutnya pada sang rubah putih yang duduk di pintu dapur.Song Mingyu dengan enggan melaksanakan perintah Ren Hui. Dia mengambil kain yang tersampir di sandaran kursi. Untuk sesaat dia berdiri canggung di tengah ruangan. Memperhatikan isi rumah beroda itu.Rumah itu dapat dikatakan tanpa sekat, semua menyatu dalam satu selasar. Di ujung dekat tangga ada dapur kecil. Di ujung lain sepertinya difungsikan sebagai ruang belajar, menilik adanya sebuah lemari kayu di sala
"Ayo bantu aku merapikan gudang arak!" Ren Hui mengajak Song Mingyu setelah mereka selesai makan."Gudang arak?" Song Mingyu tertegun. Dia tidak bisa membayangkan adanya gudang arak di rumah beroda milik Ren Hui."Kenapa?" Ren Hui meliriknya saat melihat pemuda itu tersenyum meringis dan menggaruk-garuk kepalanya. "Ayo!" Ditariknya lengan pemuda itu dan membawanya menuruni tangga diikuti Baihua.Ren Hui membuka pintu dorong yang ada di bagian bawah rumah beroda. Rumah milik Ren Hui ini memiliki tiga lantai. Lantai pertama yang difungsikan sebagai tempat tinggal, lantai atas yang merupakan ruangan terbuka dengan setengahnya tertutup atap. Entah ada apa di atas sana, Song Mingyu belum mengetahuinya.Sedangkan di lantai dasar, nampak berderet-deret guci-guci arak yang tertutup rapat. Lantai dasar ini lebih mirip lemari penyimpanan yang ada di sisi kanan dan kiri rumah beroda. Cukup luas, tetapi untuk masuk lebih dalam membutuhkan upaya yang cukup memeras keringat karena atapnya terlalu r
Beberapa hari berlalu, Song Mingyu sedikit demi sedikit mulai bisa beradaptasi dengan kehidupan bersama Ren Hui di rumah berodanya. Awalnya, dia merasa kehidupan mereka sangat membosankan, hanya mengolah arak dan menjualnya di pasar."Ren Hui, apa kau tidak bosan dengan kehidupanmu?" tanyanya suatu pagi, saat mereka bersama-sama pergi ke pasar untuk menjual arak seperti biasanya."Tidak," sahut Ren Hui singkat. Pria itu berjalan dengan santai di sebelahnya. Membiarkan Song Mingyu sendirian mendorong gerobak di jalan yang sedikit menanjak"Dia sama sekali tidak mau membantu," keluhnya dalam hati. Song Mingyu melirik pria yang kini bersiul-siul dengan riang.Ren Hui memiliki perawakan tinggi dan langsing. Kulitnya putih bersih bak pualam. Sedangkan bibirnya sedikit pucat alami. Sepasang bola mata kecoklatannya dinaungi bulu mata yang lentik dan disempurnakan dengan hidung yang mancung."Kenapa dia nampak lebih cantik? Pantas saja bibi-bibi di sini tidak menyukainya. Mungkin dia dianggap
Mereka tiba di rumah beroda menjelang siang hari. Song Mingyu mengkhawatirkan Ren Hui. Wajahnya tampak lelah dan dia kembali terbatuk-batuk."Ren Hui," ucap Song Mingyu, "apa maksud orang-orang tadi? Mengapa mereka mengira kau menjual arak dewa?" Song Mingyu turut duduk di anak tangga rumah beroda, di sebelahnya.Ren Hui menggeleng lemah, mengipasi wajahnya dengan kipas kertas minyaknya yang selalu dibawanya kemana-mana. "Entahlah! Aku tidak pernah mengolah arak dewa, apalagi menjualnya," sahutnya pelan.Song Mingyu mengangguk dan mempercayai ucapan pada Ren Hui. Dia melihat sendiri, Ren Hui hanya mengolah arak dari bahan-bahan biasa selayaknya arak-arak pada umumnya. Seperti barley, gandum dan beras. Terkadang saja Ren Hui akan mencampurkan beberapa bahan lain sesuai dengan musim.Seperti saat ini di musim semi, Ren Hui mencampurkannya dengan berbagai bunga dan buah yang mekar dan berbuah di musim semi. Bahkan beberapa kali dia melihat Ren Hui me
Song Mingyu tiba di rumah beroda terlebih dahulu. Dia duduk di tangga menunggu Baihua. Dia tidak berharap Ren Hui akan ikut pulang bersama hewan kesayangannya itu. "Baihua!" Dia berseru menyambut Baihua yang berlari menuju ke arahnya dengan membawa sesuatu di moncongnya. "Wah, benar-benar kelinci yang gemuk!" Song Mingyu kembali bersorak gembira. Baihua meletakkan begitu saja hasil buruannya di tanah. "Kelihatannya kau senang sekali!" Tiba-tiba saja terdengar suara Ren Hui. Pria itu berjalan pelan-pelan menuju rumah beroda. Song Mingyu tertegun menatapnya tak berkedip. Ren Hui terlihat baik-baik saja. Meski tubuhnya memang selalu tampak ringkih, setidaknya dia tidak nampak seperti orang yang hampir kehabisan napas seperti yang dilihatnya semalam. "Kau baik-baik saja? tanyanya seraya meraih kelinci di tanah, berdiri kemudian mendekati Ren Hui. "Ah, seperti biasa. Hanya dadaku sedikit sakit," kel
Menjelang siang, Song Mingyu dan Ren Hui mendorong gerobak arak ke desa sebelah. Kali ini mereka tidak melewati jalan yang biasa mereka lewati. "Ren Hui, kenapa kau harus mengirimkan arak ke rumah kepala desa sebelah?" Song Mingyu bertanya karena merasa heran. Seingatnya, setelah perkelahian dengan orang-orang di pasar kemarin, tidak ada yang datang untuk memesan arak. "Dia sudah berlangganan arak padaku sejak lama. Setiap satu bulan sekali, aku akan mengirimkan arak meski tidak dimintanya." Ren Hui tersenyum tipis, menjelaskan keheranan pemuda itu. "Oh begitu!" Song Mingyu mengangguk mengerti. "Jauhkah rumahnya?" Song Mingyu kembali bertanya saat mereka sudah melewati jalan setapak yang menghubungkan padang rumput dengan pemukiman penduduk. "Di sana!" Ren Hui menunjuk pada sekumpulan rumah penduduk yang tak jauh dari jalan yang kini mereka lalui. "Sepertinya lebih ramai dari desa yang biasa kita lalui." Song Mingyu memicingkan mata, menatap sekumpulan rumah yang memang terli
"Anak muda, bawa kemari gucinya!" Tabib tua itu memanggil Song Mingyu setelah puas mengomeli Ren Hui. Song Mingyu pun mendekati mereka dan memberikan guci-guci arak pada tabib itu. "Apakah semakin sulit untuk mencari bahan-bahannya?" Tabib tua itu bertanya pada Ren Hui. Dia menuangkan arak itu ke sebuah cangkir. Seketika aroma harum bercampur pedas yang menenangkan menguar ke seluruh ruangan. "Bantu aku!" pintanya pada Ren Hui. Ren Hui segera membantu tabib itu dengan mengangkat kepala sang gadis yang terbaring di tempat tidur. Sedangkan Tabib tua menyuapinya dengan air dari guci tadi. Perlahan-lahan gadis kecil itu menyesap arak dan mulai terbatuk-batuk. "Rong'er!" Nyonya Fu dan Tuan Muda Fu yang menunggu di luar kamar bergegas masuk. Mereka berhenti di ujung tempat tidur dan saling berpelukan, menatap gadis kecil itu dengan cemas. "Biarkan Nona Muda beristirahat." Tabib tua tersenyum lembut dan mengembalikan cangkir arak