Kota Tianxia, Kekaisaran Shenguang tahun ke-20 Tianjian
Di atas menara kota Tianxia, dua orang jagoan pedang berdiri saling berhadapan. Ren Jie, Dewa Pedang dari sekte Pedang Langit, menatap tajam ke arah lawannya. Di hadapannya, Wang Jiang, putra penguasa Kota Tianxia yang dijuluki sebagai Raja Pedang, memegang pedangnya dengan penuh keyakinan. Angin malam berhembus lembut, membawa aroma bunga plum yang mekar di sekitar menara. Suara gemerisik daun terdengar samar, seolah menjadi saksi bisu dari pertarungan yang akan segera dimulai. Di bawah sinar bulan yang pucat, kedua pedang itu berkilauan, mencerminkan tekad dan ambisi pemiliknya. "Ren Jie, sudah lama aku menantikan saat ini," kata Wang Jiang dengan suara rendah namun penuh determinasi. "Hari ini, kita akan menentukan siapa yang layak menyandang gelar Raja Pedang di Shenguang." Ren Jie hanya tersenyum tipis. "Aku tidak pernah menginginkan gelar itu, Wang Jiang. Aku datang ke Tianxia untuk mencari jawaban atas kematian guruku dan masalah yang menimpa sekte kami. Namun, jika ini yang kau inginkan, aku akan melayanimu," sahutnya santai tanpa tekanan. Wang Jiang hanya tersenyum sinis menanggapi ucapannya. Dia bergerak lebih dahulu menyerang Ren Jie. Pertarungan keduanya tidak dapat dihindari lagi. Kedua pedang beradu dengan kecepatan yang luar biasa, menciptakan percikan api di udara. Gerakan mereka begitu cepat dan lincah, seolah-olah mereka menari di atas angin. Setiap serangan dan pertahanan dilakukan dengan presisi yang sempurna, menunjukkan keahlian mereka yang luar biasa dalam seni pedang. Menara itu bergetar hebat saat mereka bertarung, hingga akhirnya terbelah menjadi dua bagian. Debu dan puing-puing beterbangan, menambah dramatis suasana pertarungan. Orang-orang yang menyaksikan pertarungan itu berhamburan menyelamatkan diri. Sedangkan di sisi lain, Penguasa Kota, Tuan Wang Lei menatap menara itu dengan cemas. "Semua bermula dari surat tantangan itu," gumamnya lirih. Dia mengkhawatirkan putranya juga kotanya. "Maafkan saya, hingga kini saya belum mendapatkan informasi mengenai pengirim surat tantangan itu, Tuan." Bawahannya melaporkan dengan hati-hati. Tuan Wang Lei, tercenung. Dia masih menatap menara yang perlahan-lahan ambruk dan terbelah dua bagian. "Aiyo!" keluhnya seraya menepuk jidatnya. "Hitung kerugiannya dan aku akan menagih Sekte Pedang Langit untuk biaya perbaikannya," titahnya pada sang bawahan. "Baik Tuan!" Tong Fai, bawahannya mengangguk dan segera mengambil sempoanya. Dengan cekatan dia menghitung dan mencatat. Di menara yang kini terbelah menjadi dua bagian, Ren Jie dan Wang Jiang terus beradu pedang dengan semangat yang tak tergoyahkan. Namun, saat mereka mengeluarkan jurus andalan masing-masing, tiba-tiba mereka merasakan sesuatu yang aneh. Tubuh mereka mulai melemah, dan pandangan mereka kabur. "Apa yang terjadi?" tanya Ren Jie dengan suara serak. Wang Jiang mengerutkan kening. "Kita diracuni!" jawabnya dengan nada marah. "Seseorang telah menggunakan senjata rahasia untuk meracuni kita." Ren Jie melirik dengan mata elangnya yang tajam, sekilas dilihatnya bayangan hitam yang melompat dan menghilang di balik sinar bulan. "Di sana," bisiknya pelan. Wang Jiang menatap arah yang dimaksud Ren Jie. Dengan sisa-sisa tenaga yang mereka miliki, mereka mengejar sosok misterius yang telah meracuni mereka hingga ke hutan di luar kota Tianxia. "Berhenti!" Wang Jiang mengacungkan pedangnya pada sosok yang mengenakan pakaian dan cadar serba hitam itu. Sedangkan Ren Jie mencoba untuk mengenalinya. Namun, sama sekali tak terlintas bayangan dalam benaknya mengenai sosok yang tetap tenang meski berhadapan dengan dua jagoan pedang terhebat di Jianghu saat ini. Sosok itu berhenti dan menatap mereka berdua di balik cadar hitamnya. Dia tersenyum sinis di balik cadarnya. Tiba-tiba saja dia bergerak cepat menyerang mereka berdua. Pertarungan hebat kembali terjadi di hutan yang sepi dan suram. Karena Ren Jie maupun Wang Jian terkena racun, keduanya tidak mampu berbuat banyak. Selain memang ilmu beladiri sosok itu di atas mereka berdua. "Wang Jiang!" Ren Jie menangkap tubuh pemuda yang terkena sabetan pedang sosok itu. "Racun itu melemahkan tenaga dalam kita, ini jebakan!" gumam Wang Jiang seraya memegang pedangnya. "Bertahanlah! Aku akan menghadapinya!" Ren Jie kembali bersiap menyerang sosok misterius itu. Dia terus menyerang meski tubuhnya semakin melemah dan dia jatuh tersungkur di tanah. Ren Jie terjatuh ke tanah, darah mengalir dari luka-lukanya. "Ehm, kalian pikir bisa menang menghadapiku?" Sosok itu berucap sinis. Dia mengayunkan pedangnya bersiap menghabisi Ren Jie. Namun, Wang Jiang dengan sisa tenaganya menghadang serangan itu dan membuatnya tewas seketika. "Wang Jiang!" Ren Jie berteriak histeris. Sayang, dia tidak bisa berbuat banyak. Tubuhnya pun terluka parah, ditambah dengan efek racun membuatnya benar-benar tak berdaya. "Matilah kalian berdua!" Sosok itu menatap keduanya dengan sepasang mata kelam sehitam malam. Kemudian dia pergi meninggalkan mereka berdua begitu saja. "Wang Jiang," gumam Ren Jie lirih. Dia merangkak pelan berusaha meraih tangan Wang Jian. Meski kerap terlibat pertarungan, tetapi mereka bukanlah bermusuhan secara pribadi. Mereka pernah begitu dekat, bersahabat sekaligus berseteru memperebutkan julukan sebagai Raja Pedang nomor satu di Jianghu. "Wang Jiang." Ren Jie meraih tangan pemuda seusianya itu, menggenggamnya erat-erat. Air mata perlahan mengalir di pipinya. Terbayang kembali akan masa lalu mereka saat mereka masih sangat muda. Tahun-tahun terbaik yang pernah dilaluinya bersama dengan sesama jagoan pedang, seperti Wang Jiang. Pandangannya semakin kabur, dan kesadarannya perlahan menghilang. Sebelum benar-benar tak sadarkan diri, dia berjanji dalam hati untuk menemukan pelaku di balik semua ini dan membalas dendam atas kematian Wang Jiang dan gurunya. Di tengah hutan yang sunyi, hanya suara angin yang berhembus lembut menemani Ren Jie yang terbaring tak berdaya di samping Wan Jiang yang sudah tak bernyawa. Malam itu, langit Tianxia dipenuhi bintang-bintang yang berkilauan, menjadi saksi atas dua jagoan pedang yang terperdaya dalam kematian.Lembah Obat, beberapa bulan kemudian Sinar matahari pagi menyelinap melalui celah-celah dinding gubuk sederhana, menciptakan pola cahaya yang menari di lantai kayu. Ren Jie terbangun perlahan, matanya yang lelah berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya. Di kejauhan, terdengar alunan guqin yang merdu, berpadu dengan kicau burung yang seolah menyanyikan lagu alam. "Di mana ini?" gumamnya tak jelas. Bibirnya terasa kering dan lidahnya kelu. Dia mencoba bangkit, tetapi tubuhnya terasa terlalu lemah. Setiap gerakan kecil mengirimkan gelombang rasa sakit yang menusuk hingga ke tulang-tulangnya. Sebelum dia bisa berbuat lebih jauh, suara lembut seorang wanita menghentikannya. "Jangan bergerak terlalu banyak, tubuhmu belum pulih sepenuhnya," katanya dengan nada penuh perhatian. Ren Jie menoleh dan tertegun melihat seorang wanita duduk di ujung ruangan. Dia mengenakan caping bambu bercadar biru yang menutupi wajahnya. Jari-jarinya yang lentik memetik senar guqin dengan keahlian yang memuka
Sepuluh tahun kemudian, kota Xuelian Pasar kota Xuelian, di pagi hari yang cerah, seperti biasanya mulai dipenuhi pedagang dan pembeli. Ren Hui, pedagang arak yang menyewa sebuah lapak di pinggir jalan pasar, tengah sibuk menurunkan beberapa guci arak dari gerobaknya. Suasana pasar cukup ramai pagi itu. Aroma rempah dan suara riuh rendah para pedagang serta pembeli memenuhi udara. Beberapa orang datang dan membeli araknya, mengobrol sejenak sebelum melanjutkan aktivitas mereka. "Hei jangan lari kau!" Terdengar seruan-seruan di kejauhan. Menarik perhatian para pengunjung pasar termasuk Ren Hui. Namun, dia tidak mempedulikannya dan kembali sibuk melayani para pelanggannya. Tiba-tiba saja seorang pemuda yang tengah dikejar-kejar beberapa orang menerjang gerobaknya. Guci-guci araknya pun berjatuhan dan pecah hancur. Araknya berhamburan membasahi tanah, menciptakan genangan yang memancarkan aroma tajam. Beberapa pelanggannya kabur tanpa membayar, meninggalkan Ren Hui yang terperanga
Ren Hui mengajak pemuda itu meninggalkan pasar yang ramai. "Ayo, bantu dorong gerobak ini," katanya menunjuk gerobak di depannya. Pemuda itu mengangguk dan dengan terpaksa mendorong gerobak kayu yang kini kosong. Tidak ada guci arak yang tersisa karena pecah semua akibat pertarungan tadi. "Hei pedagang arak!" Seorang pedagang daging berseru memanggil Ren Hui. "Eh Paman Wang!" Ren Hui segera berlari mendekati lapak pedagang itu. Sedangkan Song Mingyu berhenti mendorong gerobak dan menunggunya di tepi jalan di bawah pohon persik. "Sepagi ini kau sudah mau pulang? Apakah arakmu sudah habis semua?" Paman Wang, pedagang daging itu bertanya seraya melirik gerobaknya yang kosong melompong tanpa ada sebuah guci arak pun. "Aiyo Paman, hari ini sungguh sial nasibku." Ren Hui mengeluh kemudian bercerita apa yang baru saja terjadi. "Ah begitu. Tetapi, aku rasa ada baiknya untukmu. Setidaknya ada yang menemanimu sekarang." Paman Wang tersenyum seraya melirik Song Mingyu yang masih duduk d
Ren Hui sibuk mengaduk kuali di atas tungku. Dia memasak saus yang aroma lezatnya menguar, tercium hingga ke seluruh rumah beroda itu. Sedangkan daging dan iga babi tadi tengah dipanggangnya."Kau bisa membersihkan rumah bukan?" tanyanya pada Song Mingyu.Pemuda itu hanya menganggukkan kepalanya. Dia masih terpesona dengan rumah milik Ren Hui yang menurutnya unik dan aneh."Bersihkan semuanya, setelah itu kita makan bersama." Ren Hui mengibaskan tangannya. "Baihua, tunggu sebentar lagi. Tulang iga ini belum matang benar," lanjutnya pada sang rubah putih yang duduk di pintu dapur.Song Mingyu dengan enggan melaksanakan perintah Ren Hui. Dia mengambil kain yang tersampir di sandaran kursi. Untuk sesaat dia berdiri canggung di tengah ruangan. Memperhatikan isi rumah beroda itu.Rumah itu dapat dikatakan tanpa sekat, semua menyatu dalam satu selasar. Di ujung dekat tangga ada dapur kecil. Di ujung lain sepertinya difungsikan sebagai ruang belajar, menilik adanya sebuah lemari kayu di sala
"Ayo bantu aku merapikan gudang arak!" Ren Hui mengajak Song Mingyu setelah mereka selesai makan."Gudang arak?" Song Mingyu tertegun. Dia tidak bisa membayangkan adanya gudang arak di rumah beroda milik Ren Hui."Kenapa?" Ren Hui meliriknya saat melihat pemuda itu tersenyum meringis dan menggaruk-garuk kepalanya. "Ayo!" Ditariknya lengan pemuda itu dan membawanya menuruni tangga diikuti Baihua.Ren Hui membuka pintu dorong yang ada di bagian bawah rumah beroda. Rumah milik Ren Hui ini memiliki tiga lantai. Lantai pertama yang difungsikan sebagai tempat tinggal, lantai atas yang merupakan ruangan terbuka dengan setengahnya tertutup atap. Entah ada apa di atas sana, Song Mingyu belum mengetahuinya.Sedangkan di lantai dasar, nampak berderet-deret guci-guci arak yang tertutup rapat. Lantai dasar ini lebih mirip lemari penyimpanan yang ada di sisi kanan dan kiri rumah beroda. Cukup luas, tetapi untuk masuk lebih dalam membutuhkan upaya yang cukup memeras keringat karena atapnya terlalu r
Beberapa hari berlalu, Song Mingyu sedikit demi sedikit mulai bisa beradaptasi dengan kehidupan bersama Ren Hui di rumah berodanya. Awalnya, dia merasa kehidupan mereka sangat membosankan, hanya mengolah arak dan menjualnya di pasar."Ren Hui, apa kau tidak bosan dengan kehidupanmu?" tanyanya suatu pagi, saat mereka bersama-sama pergi ke pasar untuk menjual arak seperti biasanya."Tidak," sahut Ren Hui singkat. Pria itu berjalan dengan santai di sebelahnya. Membiarkan Song Mingyu sendirian mendorong gerobak di jalan yang sedikit menanjak"Dia sama sekali tidak mau membantu," keluhnya dalam hati. Song Mingyu melirik pria yang kini bersiul-siul dengan riang.Ren Hui memiliki perawakan tinggi dan langsing. Kulitnya putih bersih bak pualam. Sedangkan bibirnya sedikit pucat alami. Sepasang bola mata kecoklatannya dinaungi bulu mata yang lentik dan disempurnakan dengan hidung yang mancung."Kenapa dia nampak lebih cantik? Pantas saja bibi-bibi di sini tidak menyukainya. Mungkin dia dianggap
Mereka tiba di rumah beroda menjelang siang hari. Song Mingyu mengkhawatirkan Ren Hui. Wajahnya tampak lelah dan dia kembali terbatuk-batuk."Ren Hui," ucap Song Mingyu, "apa maksud orang-orang tadi? Mengapa mereka mengira kau menjual arak dewa?" Song Mingyu turut duduk di anak tangga rumah beroda, di sebelahnya.Ren Hui menggeleng lemah, mengipasi wajahnya dengan kipas kertas minyaknya yang selalu dibawanya kemana-mana. "Entahlah! Aku tidak pernah mengolah arak dewa, apalagi menjualnya," sahutnya pelan.Song Mingyu mengangguk dan mempercayai ucapan pada Ren Hui. Dia melihat sendiri, Ren Hui hanya mengolah arak dari bahan-bahan biasa selayaknya arak-arak pada umumnya. Seperti barley, gandum dan beras. Terkadang saja Ren Hui akan mencampurkan beberapa bahan lain sesuai dengan musim.Seperti saat ini di musim semi, Ren Hui mencampurkannya dengan berbagai bunga dan buah yang mekar dan berbuah di musim semi. Bahkan beberapa kali dia melihat Ren Hui me
Song Mingyu tiba di rumah beroda terlebih dahulu. Dia duduk di tangga menunggu Baihua. Dia tidak berharap Ren Hui akan ikut pulang bersama hewan kesayangannya itu. "Baihua!" Dia berseru menyambut Baihua yang berlari menuju ke arahnya dengan membawa sesuatu di moncongnya. "Wah, benar-benar kelinci yang gemuk!" Song Mingyu kembali bersorak gembira. Baihua meletakkan begitu saja hasil buruannya di tanah. "Kelihatannya kau senang sekali!" Tiba-tiba saja terdengar suara Ren Hui. Pria itu berjalan pelan-pelan menuju rumah beroda. Song Mingyu tertegun menatapnya tak berkedip. Ren Hui terlihat baik-baik saja. Meski tubuhnya memang selalu tampak ringkih, setidaknya dia tidak nampak seperti orang yang hampir kehabisan napas seperti yang dilihatnya semalam. "Kau baik-baik saja? tanyanya seraya meraih kelinci di tanah, berdiri kemudian mendekati Ren Hui. "Ah, seperti biasa. Hanya dadaku sedikit sakit," kel