Share

Rahasia Manor Song

Author: Aspasya
last update Last Updated: 2024-09-23 11:00:22

Junjie duduk di tepi tempat tidurnya, menatap hampa ke luar jendela yang terbuka lebar. Angin lembut meniup dedaunan bambu yang menghijau, sementara beberapa helai yang menguning jatuh perlahan ke tanah.

Di tangannya ada sepotong kue bulan berisi kacang merah, dia mengunyahnya perlahan, menikmati kelembutannya yang manis. Sesekali menyesap teh krisannya dengan elegan. Teh itu hangat, dengan aroma bunga yang samar, menghangatkan tenggorokannya, memberikan rasa nyaman yang singkat.

Suasana di rumah beroda pagi itu kembali tenang seperti biasanya. Song Mingyu sudah sejak pagi pergi ke kota untuk mengantarkan arak ke beberapa kedai yang telah ditunjukkan Ren Hui padanya semalam. Di lantai atas, Yue Yingying merawat Ye Hun dengan penuh kesabaran.

Junjie meletakkan cangkir tehnya dengan hati-hati, suara cangkir yang bersentuhan dengan meja kayu nyaris tak terdengar. Dengan tenang, ia bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah dapur, langkahnya terdengar pelan
Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App

Related chapters

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Pengumuman Turnamen Musim Gugur

    Langit mulai merona jingga ketika Song Mingyu selesai mengantarkan arak ke beberapa toko di pusat kota. Ia melangkah perlahan di atas jalanan berbatu yang padat, ditemani aroma manis arak yang masih menempel di pakaiannya, menyatu dengan udara sore yang sejuk. Di Jalan Kenangan, pemilik toko-toko menyapanya dengan ramah. Beberapa di antara mereka bahkan menepuk punggungnya dengan akrab, seolah ia bagian dari keseharian mereka."Bagaimana kabar Ren Hui? Apakah dia akan datang ke Festival Musim Gugur tahun ini?" tanya seorang pemilik toko kain dengan senyum lebar. Pria tua itu memandangnya dengan penasaran, tampak heran melihat seorang pelayan di samping pedagang arak yang terkenal pelit.Song Mingyu membalas dengan senyum kecil, merasa hangat oleh perhatian yang diberikan padanya. "Aku tidak tahu, Paman. Dia belum mengatakannya padaku."Pemilik toko kain menghela napas panjang, ekspresinya berubah sedikit sendu. "Dia selalu seperti itu, ya. Datang dan pergi

    Last Updated : 2024-09-23
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Malam Di Kota Chunyu

    Saat Song Mingyu hendak keluar dari kerumunan yang padat, sebuah sentuhan ringan terasa di bahunya. Dengan cepat ia menoleh, alangkah terkejutnya dia ketika melihat Ren Hui dan Junjie berdiri tidak jauh darinya.Ren Hui, seperti biasanya, tampil santai, tersenyum lebar sambil melambaikan tangan. Sedangkan Junjie, dengan doupeng yang menutupi wajahnya, berdiri dengan tenang, seolah tak ingin menarik perhatian. Pria itu selalu mengatakan tidak ingin wajah tampannya menjadi pusat perhatian, sebuah alasan yang dianggap konyol oleh Song Mingyu.Ren Hui menatap Song Mingyu dengan tatapan serius, sesuatu yang jarang terlihat darinya. “Mingyu, kau mendaftar untuk ikut turnamen?” tanyanya sambil melirik kerumunan di depan mereka.Song Mingyu menggaruk kepalanya, mengangguk pelan, lalu mendekati kedua pria itu. Dengan suara pelan, ia berbisik, “Hadiahnya selain uang adalah Pedang Surgawi dan Peti Mati Giok Lavender.”Mata Ren Hui membelalak sesaat

    Last Updated : 2024-09-24
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Pasar Malam Gelap Kota Chunyu Dan Bayangan Masa Lalu

    Ren Hui, Junjie, dan Song Mingyu turun dari perahu dengan langkah ringan setelah menyerahkan beberapa koin kepada tukang perahu. Gemericik air sungai memantul di bawah perahu, berbaur dengan gemuruh samar dari keramaian yang terdengar dari kejauhan. Udara malam terasa sejuk, membawa aroma khas air sungai yang dingin dan segar. Mereka berhenti di tepi sungai sejenak, menghirup suasana yang penuh dengan misteri.Pandangan mereka tertuju pada pasar malam yang terbentang di depan mata. Lentera-lentera berpendar redup menggantung rendah, cahayanya seperti bayangan kuning yang terombang-ambing di tengah gelap, menambah kesan mistis dan terpencil."Cukup ramai untuk sebuah pasar gelap," gumam Song Mingyu sambil melipat kedua tangannya di dada, matanya memicing menatap deretan kios yang berjajar rapi di kejauhan. Dia merasa kontras antara ketertiban tempat itu dengan citra "pasar gelap" yang biasa terlintas di benaknya.Ren Hui mengangguk tipis, angin malam menyap

    Last Updated : 2024-09-24
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Toko Daiyu

    Di tengah hiruk-pikuk pasar yang dipenuhi aroma rempah dan suara tawar-menawar, Ren Hui berdiri di depan gerbang megah Toko Daiyu. Dua penjaga bersenjata berdiri tegak, menatap mereka bertiga. Ren Hui, dengan jubahnya yang berkibar lembut, menghampiri mereka."Maaf, kami ingin masuk dan bertemu Nyonya Daiyu," ujarnya, dengan tenang seperti biasanya.Salah satu penjaga menggeleng. "Maaf Tuan, tanpa token tanda pengenal, tidak ada yang bisa masuk.""Token? Biasanya tidak ada peraturan semacam ini!" Ren Hui membalas, suaranya mulai meninggi. Di sampingnya, Song Mingyu dan Junjie mengerutkan dahi, merasakan ketegangan yang mengalir di udara. Ini pertama kalinya mereka mengunjungi tempat yang selama ini hanya mereka dengar saja."Peraturan ini baru diterapkan demi keamanan," jawab penjaga itu, wajahnya tegas. "Terutama setelah desas-desus tentang peti mati giok lavender dan pedang surgawi muncul. Pasar gelap ini rentan keributan dan penyusupan."

    Last Updated : 2024-09-24
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Informasi Dari Toko Daiyu

    Nyonya Daiyu menyesap teh hijaunya dengan anggun, bibirnya menyentuh cangkir porselen seolah mengalirkan kehalusan dari setiap tegukan. Dengan suara lembut namun tegas, ia membuka percakapan, “Akhir-akhir ini, rumor tentang kemunculan Peti Mati Giok Lavender dan Pedang Surgawi telah menyebar cepat di seluruh kota. Banyak yang percaya bahwa kedua benda itu membawa kekuatan tak terhingga bagi siapapun yang berhasil memilikinya.”Tatapan ketiga tamunya, Ren Hui, Junjie, dan Song Mingyu, tidak lepas dari sosok anggun Nyonya Daiyu. Mereka duduk di hadapannya dengan penuh perhatian, sementara aroma dupa lembut memenuhi udara, seakan mengiringi percakapan mereka dengan keheningan yang sarat makna.“Apakah rumor itu benar, Nyonya Daiyu?” tanya Ren Hui pelan. Tangannya memutar cangkir teh, gerakannya pelan namun mengisyaratkan kegundahan yang tersembunyi.Nyonya Daiyu tersenyum tipis, tatapannya mengandung misteri. “Hingga saat ini, rumor tetaplah rumor. Namun, seg

    Last Updated : 2024-09-25
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Song Mingyu Berlatih Bersama Junjie

    Keesokan paginya, Song Mingyu berlatih pedang di halaman terbuka. Embun pagi masih bergelayut di ujung dedaunan, memantulkan kilau lembut di bawah cahaya matahari yang baru terbit. Gerakannya tegas namun anggun, seperti aliran sungai yang tak terbendung. Setiap tebasan pedang mengukir angin dengan ketelitian yang membuatnya tampak seperti menari, bukan bertarung. Matanya tajam dan penuh konsentrasi, seolah seluruh dunia hanya terdiri dari dia dan pedangnya. Harmoni antara kekuatan dan kelincahan terpancar dalam setiap langkahnya.Dari kejauhan, terdengar kesibukan Ren Hui, yang sibuk menata kendi-kendi arak di dekat gerobak kayu. Suara kendi beradu pelan di udara pagi yang segar. Dia tengah mempersiapkan pengiriman araknya ke Toko Daiyu di pasar, sesuai janjinya pada Nyonya Daiyu semalam. Aroma arak yang khas sesekali tercium, menambah suasana damai di pagi yang cerah itu.Di sisi lain halaman, Junjie tengah duduk bersantai di bawah hangatnya si

    Last Updated : 2024-09-25
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Hadiah Palsu

    Malam perlahan menyelimuti langit Chunyu, menggulungnya dalam keheningan pekat, sembari menghiasinya dengan taburan bintang. Di atas sebuah rumah beroda yang berderak halus, dua sosok duduk bersanding. Angin malam yang segar berembus lembut, membawa aroma daun bambu dan embun dari hutan di kejauhan. Kabut tipis mengambang rendah di lembah, seakan ikut menari bersama angin.Ren Hui dan Junjie, kedua sahabat lama itu, menyesap arak dari cangkir yang berkilau keperakan di bawah sinar bulan. Suara tawa ringan Junjie mengisi kesunyian, membuat malam terasa lebih hidup. Di sampingnya, Ren Hui tersenyum tipis, matanya menatap jauh ke cakrawala, terbenam dalam kenangan yang hanya ia sendiri yang tahu.“Bagaimana dengan keadaan Ye Hun? Apakah ada tanda-tanda dia akan sadar?” tanya Junjie tiba-tiba. Suaranya terdengar lebih lembut daripada biasanya, seakan ia takut mengusik kedamaian malam yang tenang.Ren Hui menghela napas panjang, matanya melembut dalam keheninga

    Last Updated : 2024-09-25
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Misteri Bunga Biru Tujuh Rupa

    Hari telah beranjak senja ketika Ren Hui selesai mengantarkan arak ke Toko Daiyu. Cahaya keemasan mulai meredup di langit, memantulkan semburat lembayung pada jalanan berbatu di Jalan Kenangan, yang tampak lebih sunyi daripada biasanya. Meski demikian, hiruk-pikuk di pasar terapung masih bergeliat, serupa denyut nadi yang menjaga kehidupan kota tetap mengalir.Di sampingnya, Baihua,rubah putihnya yang setia, melangkah tenang. Mata cerah binatang itu memantau sekeliling dengan cermat, sementara bulu putihnya berkilauan diterpa sisa-sisa sinar matahari yang merambat di sela-sela pohon. Setiap kali Ren Hui menyelesaikan pekerjaannya, waktu berjalan-jalan seperti ini menjadi momen yang ia nanti-nantikan, kesempatan untuk melepaskan diri bersantai dan tentu saja mendengarkan kabar berita terbaru.Sore ini, ia berencana mengunjungi Taman Bunga Seribu Warna, sebuah tempat yang terkenal karena bunga-bunganya yang selalu mekar sepanjang tahun. Harum mawar dan magnolia mengg

    Last Updated : 2024-09-26

Latest chapter

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Selama Dunia Masih Mengijinkan

    Alunan seruling mengalun lembut, menari di antara hembusan angin yang membawa semerbak bunga plum. Melodi itu mengalir hingga kejauhan, menciptakan harmoni yang menyatu dengan ketenangan Danau Jinghu. Airnya sebening cermin, memantulkan rona langit senja yang mulai berpendar keemasan.Seorang pria berhanfu biru berdiri di bawah pohon plum yang tengah berbunga. Tangannya erat menggenggam tali kekang seekor keledai berbulu hitam yang setia menemaninya selama perjalanan panjang.“Lobak, apa kau juga ingin bertemu Baihua?” tanyanya, sembari menepuk kepala hewan itu dengan lembut.Lobak hanya mendengus, entah kesal atau justru gembira. Bertahun-tahun ia hidup dalam kemewahan di Paviliun Embun Pagi, kediaman Pangeran Yongle di ibu kota Baiyun. Meski kemudian, ketika sang pangeran menjalani pengobatan di Lembah Obat yang sunyi, ia tetap dimanjakan dengan limpahan lobak merah, makanan favoritnya.Namun di sini, di tepi Danau Jinghu? Ia tak yakin kehidupannya akan senyaman sebelumnya. Menginga

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kabar-kabar Gembira Di Kekaisaran Shenguang

    Musim semi datang membawa kabar-kabar besar ke seluruh negeri. Di Ibukota Baiyun, suasana penuh sukacita menyelimuti istana. Kaisar Tianjian dengan resmi mengangkat Tuan Muda Song, Song Mingyu, sebagai seorang pangeran. Ia diperkenalkan di hadapan pejabat tinggi sebagai putra mendiang Zhu Zijing dan cucu dari Pangeran Tian Xing Wei. Angin semilir membawa harum bunga persik yang bermekaran, seakan turut menyebarkan kabar baik ini ke seluruh penjuru kekaisaran Shengguan. Di sisi lain, berita tentang Pangeran Yongle pun tersebar luas. Setelah sekian lama bergelut dengan penyakit dinginnya, akhirnya ia menyatakan kesediaannya untuk menjalani pengobatan di Lembah Obat. Tabib Ilahi Yue Yingying dan gurunya, Dewa Obat, telah kembali membawa Bunga Es Abadi, tanaman langka yang dipercaya mampu mengusir penyakit dingin serta menetralisir racun Bunga Salju. Harapan kembali menyala bagi sang pangeran yang selama ini dihantui oleh penderitaan. Dari Pondok Bambu Hija

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kembalinya Sang Dewa Pedang

    Ren Hui berjongkok di depan tanaman yang kini bunganya mekar sempurna. Kelopak bunga es abadi berwarna biru pucat, dengan semburat biru tua di pangkalnya, berkilauan di bawah cahaya bulan purnama. Seperti kristal beku yang baru saja tersapu embun dingin. Kelopaknya tampak rapuh tetapi memancarkan keindahan yang abadi."Sangat indah," gumamnya lirih. Jemarinya terulur, menyentuh kelopak bunga dengan hati-hati, seakan takut merusak keindahan yang begitu halus. Dengan penuh kehati-hatian, ia memetik bunga itu, lalu menyimpannya di dalam kotak kayu kecil yang telah ia siapkan di lengan jubahnya.Angin malam bertiup perlahan, membawa serta rinai salju tipis yang turun dari langit kelabu. Sepertinya ini akan menjadi hujan salju terakhir di musim ini. Ren Hui mendongak, menatap bulan purnama yang kini bersembunyi di balik awan tebal, meninggalkan kesunyian yang menggantung di udara."Bisakah bunga ini tumbuh di Lembah Obat?" gumamnya sambil menatap tanaman yang masih segar meski dikelilingi

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Nada Seruling Di Malam Bulan Purnama

    Waktu berlalu meski terasa lamban bagi Ren Hui. Salju masih menghampar di Puncak Báiyuè Shān, membentuk lapisan putih tebal yang menutupi bebatuan dan dahan pohon yang meranggas. Namun, angin gunung tak lagi menggigit sedingin biasanya. Ada hembusan yang lebih lembut, membawa sedikit kehangatan yang samar. Musim semi sepertinya akan segera menjelang."Menunggu memang menjemukan, tetapi harus aku lakukan," gumam Ren Hui pelan. Tatapannya jatuh pada tanaman yang telah tumbuh lebih tinggi dari sebelumnya.Batang tanaman itu berwarna biru tua transparan, kini tampak lebih kokoh dibanding beberapa bulan lalu. Daun-daunnya yang semula kecil dan rapuh telah melebar, urat-urat biru tua merambat di permukaannya seperti anyaman halus. Namun, bunganya masih menguncup, enggan untuk mekar. Hanya ada satu calon bunga, seolah menunggu momen yang tepat untuk menampakkan keindahannya. Ren Hui telah menantinya cukup lama."Malam nanti, puncak bulan purnama." Ren Hui menghel

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Menunggu

    Paviliun Embun Pagi, Ibukota BaiyunPagi masih muda di Paviliun Embun Pagi. Namun, keheningannya terasa lebih pekat dari biasanya. Salju turun perlahan, menutupi halaman dengan selimut putih yang semakin menebal. Seolah menambah kesan dingin dan muram pada kediaman pribadi Pangeran Yongle.Di tepi jendela yang menghadap taman bersalju, Junjie duduk termenung. Pandangannya kosong, mengikuti butiran salju yang melayang perlahan dari langit kelabu. Jubah birunya yang tebal sedikit tergeser, memperlihatkan ujung jari yang pucat di atas meja kayu dingin."Yang Mulia," suara Kasim Zheng memecah keheningan.Junjie menoleh dengan malas, tatapannya bertemu dengan pria paruh baya yang selalu setia di sisinya. Satu alisnya terangkat, sedikit heran karena Kasim Zheng biasanya tidak datang sepagi ini tanpa alasan yang mendesak."Ada apa?" tanyanya, suaranya berat dengan kantuk yang belum sepenuhnya sirna. Nada malas yang khas itu membuat Kasim Zheng h

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Ketulusan

    Musim dingin berlalu hari demi hari, membawa kabut putih yang melingkupi jurang dalam seperti tirai sutra beku. Hari-hari terasa panjang dan sepi, seakan waktu membeku bersama salju yang perlahan menumpuk di bebatuan dan semak belukar. Ren Hui menunggu, menanti saat Bunga Es Abadi mekar, satu-satunya harapan yang ia genggam di tengah kesunyian jurang.Bersama Baihua, rubah putih yang setia menemaninya, dan Guāng Yǔ, elang emas yang membawanya ke tempat ini, Ren Hui menghabiskan hari-harinya dengan berburu, merawat bunga itu, dan bergelut dengan pikirannya sendiri.Tiba-tiba, deru angin membawa suara kepakan sayap yang kuat. Guāng Yǔ kembali dari perburuannya, cakarnya mencengkeram sesuatu yang berbulu tebal."Guāng Yǔ! Apa yang kau bawa?" Ren Hui menegakkan tubuhnya, suaranya menggema di antara dinding jurang yang terjal.Burung itu melayang turun dengan anggun, lalu melepaskan buruannya—seekor kelinci gemuk yang jatuh terguling di atas salju. Bai

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Sarang Burung Elang Emas Dan Bunga Es Abadi

    Ren Hui tergantung dalam posisi yang tidak nyaman di antara dinding jurang yang dingin. Jari-jarinya mencengkeram erat akar yang menjulur dari sela-sela batu. Di atasnya, Baihua, rubah putih setia itu, berdiri di tepi jurang, ekornya melambai gelisah. Ren Hui mendongak, menatap Baihua sebentar, lalu melirik ke bawah. Burung elang emas yang tadi melayang di antara hamparan salju kini telah lenyap di kejauhan."Aku harus naik atau turun?" gumamnya dalam hati. Kedua pilihan itu sama sulitnya. Jika naik, belum tentu akar ini cukup kuat menopangnya sampai ke atas. Jika turun, dia tak tahu seberapa dalam jurang ini berujung. Namun, rasa penasarannya lebih besar. Apa yang tersembunyi di bawah sana?Tengah bergulat dengan pikirannya sendiri, Ren Hui tak menyadari bahwa akar yang menjadi satu-satunya tumpuan sudah tak lagi sanggup menahan bebannya. Retakan halus terdengar, diikuti oleh getaran kecil yang menjalar ke tangannya. Seketika akar itu tercerabut dari tempatnya!Tubuhnya melayang jatu

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Elang Emas Di Puncak Báiyuè Shān

    Ren Hui terbangun keesokan paginya. Dia tidak tahu pasti apa yang membangunkannya, tetapi ada perasaan aneh yang mengusik tidurnya. Seolah-olah tempat sunyi ini tidak lagi hanya dihuni olehnya dan Baihua. Bahkan rubah putih itu segera berlari keluar dari gua, bulunya yang halus bergetar tipis seakan merasakan sesuatu yang tidak kasatmata."Ada apa, Baihua?" Ren Hui bertanya seraya mengikuti langkah lincah rubah itu.Begitu keluar dari gua, dia tertegun. Matanya menyapu sekeliling, namun tidak menemukan siapa pun. Hanya desau angin yang berembus di antara pepohonan dan suara burung-burung salju yang beterbangan rendah, berkumpul di depan pintu gua seakan hendak melarikan diri dari sesuatu. Sayap-sayap mungil mereka bergetar dalam kepanikan, berhamburan ke langit dengan kepanikan yang mencurigakan."Burung?" Ren Hui bergumam pelan. Keterkejutannya belum hilang sepenuhnya ketika beberapa ekor kelinci tiba-tiba berlarian melintasi salju, mata mereka membelalak

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kilauan Bintang Di Puncak Báiyuè Shān

    Ren Hui melangkah hati-hati di atas lapisan es tipis. Dingin menyusup hingga ke tulang, sementara embusan angin pegunungan menggetarkan ujung mantelnya. Untuk sesaat, ia mengira es itu akan retak di bawah telapak kakinya. Namun, tidak terjadi apa-apa—lapisan es tetap kokoh, seakan mengizinkannya melanjutkan perjalanan.“Aku kira di sinilah tempat tinggal Penguasa Kota Es. Ternyata bukan.” Gumamnya lirih, matanya mengitari hamparan putih yang luas.Puncak Báiyuè Shān begitu sunyi, hanya dikelilingi lautan salju yang tak berujung. Beberapa bongkahan batu menjulang di kejauhan, lapisan es membungkusnya seperti kaca kristal yang memantulkan cahaya bintang. Suasana malam semakin membeku, tetapi di balik kesenyapannya, keindahan tak terbantahkan. Langit bertabur bintang berkilauan, seperti ribuan kristal yang bertabur di permadani hitam.Ren Hui mendongak, matanya menatap langit luas dengan tatapan sendu. Tiba-tiba, pikirannya melayang pada gelang mutiara malam

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status