Nyonya Daiyu menyesap teh hijaunya dengan anggun, bibirnya menyentuh cangkir porselen seolah mengalirkan kehalusan dari setiap tegukan. Dengan suara lembut namun tegas, ia membuka percakapan, “Akhir-akhir ini, rumor tentang kemunculan Peti Mati Giok Lavender dan Pedang Surgawi telah menyebar cepat di seluruh kota. Banyak yang percaya bahwa kedua benda itu membawa kekuatan tak terhingga bagi siapapun yang berhasil memilikinya.”
Tatapan ketiga tamunya, Ren Hui, Junjie, dan Song Mingyu, tidak lepas dari sosok anggun Nyonya Daiyu. Mereka duduk di hadapannya dengan penuh perhatian, sementara aroma dupa lembut memenuhi udara, seakan mengiringi percakapan mereka dengan keheningan yang sarat makna.“Apakah rumor itu benar, Nyonya Daiyu?” tanya Ren Hui pelan. Tangannya memutar cangkir teh, gerakannya pelan namun mengisyaratkan kegundahan yang tersembunyi.Nyonya Daiyu tersenyum tipis, tatapannya mengandung misteri. “Hingga saat ini, rumor tetaplah rumor. Namun, segKeesokan paginya, Song Mingyu berlatih pedang di halaman terbuka. Embun pagi masih bergelayut di ujung dedaunan, memantulkan kilau lembut di bawah cahaya matahari yang baru terbit. Gerakannya tegas namun anggun, seperti aliran sungai yang tak terbendung. Setiap tebasan pedang mengukir angin dengan ketelitian yang membuatnya tampak seperti menari, bukan bertarung. Matanya tajam dan penuh konsentrasi, seolah seluruh dunia hanya terdiri dari dia dan pedangnya. Harmoni antara kekuatan dan kelincahan terpancar dalam setiap langkahnya.Dari kejauhan, terdengar kesibukan Ren Hui, yang sibuk menata kendi-kendi arak di dekat gerobak kayu. Suara kendi beradu pelan di udara pagi yang segar. Dia tengah mempersiapkan pengiriman araknya ke Toko Daiyu di pasar, sesuai janjinya pada Nyonya Daiyu semalam. Aroma arak yang khas sesekali tercium, menambah suasana damai di pagi yang cerah itu.Di sisi lain halaman, Junjie tengah duduk bersantai di bawah hangatnya si
Malam perlahan menyelimuti langit Chunyu, menggulungnya dalam keheningan pekat, sembari menghiasinya dengan taburan bintang. Di atas sebuah rumah beroda yang berderak halus, dua sosok duduk bersanding. Angin malam yang segar berembus lembut, membawa aroma daun bambu dan embun dari hutan di kejauhan. Kabut tipis mengambang rendah di lembah, seakan ikut menari bersama angin.Ren Hui dan Junjie, kedua sahabat lama itu, menyesap arak dari cangkir yang berkilau keperakan di bawah sinar bulan. Suara tawa ringan Junjie mengisi kesunyian, membuat malam terasa lebih hidup. Di sampingnya, Ren Hui tersenyum tipis, matanya menatap jauh ke cakrawala, terbenam dalam kenangan yang hanya ia sendiri yang tahu.“Bagaimana dengan keadaan Ye Hun? Apakah ada tanda-tanda dia akan sadar?” tanya Junjie tiba-tiba. Suaranya terdengar lebih lembut daripada biasanya, seakan ia takut mengusik kedamaian malam yang tenang.Ren Hui menghela napas panjang, matanya melembut dalam keheninga
Hari telah beranjak senja ketika Ren Hui selesai mengantarkan arak ke Toko Daiyu. Cahaya keemasan mulai meredup di langit, memantulkan semburat lembayung pada jalanan berbatu di Jalan Kenangan, yang tampak lebih sunyi daripada biasanya. Meski demikian, hiruk-pikuk di pasar terapung masih bergeliat, serupa denyut nadi yang menjaga kehidupan kota tetap mengalir.Di sampingnya, Baihua,rubah putihnya yang setia, melangkah tenang. Mata cerah binatang itu memantau sekeliling dengan cermat, sementara bulu putihnya berkilauan diterpa sisa-sisa sinar matahari yang merambat di sela-sela pohon. Setiap kali Ren Hui menyelesaikan pekerjaannya, waktu berjalan-jalan seperti ini menjadi momen yang ia nanti-nantikan, kesempatan untuk melepaskan diri bersantai dan tentu saja mendengarkan kabar berita terbaru.Sore ini, ia berencana mengunjungi Taman Bunga Seribu Warna, sebuah tempat yang terkenal karena bunga-bunganya yang selalu mekar sepanjang tahun. Harum mawar dan magnolia mengg
Ren Hui melangkah perlahan, mendorong gerobak kayunya yang sederhana. Di sampingnya, Baihua, rubah putihnya yang ceria, berlari-lari kecil, ekornya bergetar penuh semangat. Gerobak itu terasa lebih ringan, hanya berisi beberapa barang, seperti bahan makanan segar dan tumpukan arang. Udara sore yang lembap mengalir, membawa aroma tanah basah dan wangi bunga krisan liar yang mekar di pinggir jalan, menambah keindahan perjalanan pulang yang tenang. Ketika berbelok dari Jalan Kenangan menuju jalan utama, Ren Hui menangkap sekilas keramaian di depan sana. Dia berhenti sejenak, menyesuaikan caping bambu yang melindungi wajahnya dari sinar matahari yang mulai meredup. Meski wajahnya mungkin tidak terlalu dikenal, kewaspadaan tetaplah penting. Pengalaman mengajarkan bahwa beberapa orang masih mengenalinya. Salah satunya adalah Junjie, yang langsung mengenalinya saat mereka bertemu di Pondok Dongfeng di kota Beixing. Ren Hui melanjutkan langkahnya, mendorong ger
Beberapa hari berlalu, festival musim gugur pun tiba. Kota Chunyu, yang biasanya damai, mendadak ramai oleh hiruk-pikuk pengunjung dari segala penjuru. Orang-orang dari berbagai sekte dan para pelancong serta pengelana mulai berbondong-bondong memasuki gerbang kota, membuat suasana berubah seketika.Penginapan-penginapan penuh sesak oleh tamu, dan jalan-jalan yang semula lengang kini dipenuhi wajah-wajah asing yang belum pernah mereka kenal. Aroma wangi arak dan kue bulan yang dipanggang menggantung di udara, bercampur dengan suara para pedagang yang berteriak menawarkan dagangan mereka, menambah suasana meriah di kota ini.Di tengah hiruk-pikuk itu, Ren Hui, Junjie, dan Song Mingyu berjalan menyusuri pusat kota. Mereka baru saja selesai mengantarkan beberapa guci arak kepada para pelanggan tetap. Langkah mereka tenang, namun wajah masing-masing tampak memancarkan kebingungan. Di mana-mana mereka melihat murid-murid sekte yang berasal dari berbagai penjuru Kekaisar
Setelah insiden tak menyenangkan yang sempat mengganggu perjalanan mereka tadi, mereka melanjutkan langkah dengan hati-hati. Matahari yang condong ke barat menghangatkan jalan-jalan di pusat kota Chunyu. Angin musim gugur meniup daun-daun ginkgo yang mulai menguning, membuatnya berputar perlahan di udara sebelum jatuh di sekitar mereka, menciptakan suasana tenang yang kontras dengan hiruk-pikuk pasar di kejauhan.Song Mingyu berjalan di belakang, masih terganggu oleh insiden sebelumnya. Ia akhirnya membuka suara, "Kenapa mereka begitu ketakutan saat mendengar nama Ketua Han?" tanyanya kepada Ren Hui dengan nada pelan namun penuh rasa ingin tahu.Ren Hui, yang berjalan di depan dengan langkah tenang, melirik sekilas ke arah Song Mingyu sebelum menjawab, suaranya datar namun ada nada ketegangan yang samar, "Mereka adalah murid-murid Sekte Besi Hitam. Ketua Han adalah salah satu tetua mereka yang paling ditakuti. Ia terkenal sangat disiplin, tegas, dan tak kenal ampun
Festival Musim Gugur akhirnya tiba. Kota Chunyu yang biasanya damai, kini bergemuruh dengan suara riuh dari pasar dan para pengunjung, dipenuhi aroma harum dupa yang terbawa bersama desau angin musim gugur yang sejuk. Di sepanjang jalan, daun-daun keemasan berguguran, berputar di udara sebelum jatuh perlahan ke tanah, memberikan nuansa magis pada kota itu. Alun-alun pusat, yang menjadi pusat perayaan, dipenuhi penduduk setempat dan para pengunjung yang menantikan pembukaan turnamen bela diri, sebuah acara besar yang paling ditunggu setiap tahun. Sejak pagi buta, Song Mingyu sudah mempersiapkan dirinya. Ketika matahari baru saja menampakkan diri di ufuk timur, dia telah menggenggam gagang pedang Naga Langit—pedang legendaris yang dahulu merupakan pedang milik Ren Jie sang Dewa Pedang, yang tergantung di pinggangnya. Hanfu putih sederhana yang dikenakannya berkibar lembut dihembus angin pagi, sementara jubahnya yang panjang melambai seiring langkah kakinya.
Ren Hui hanya tersenyum tipis saat mendengar pertanyaan Song Mingyu. "Kita lihat saja nanti. Mungkin kaulah kejutan itu, Mingyu," katanya, sambil menepuk bahu pemuda itu dengan lembut.Song Mingyu tersipu, meringis kikuk sebelum menjawab, "Rasanya tidak mungkin." Dia menggaruk tengkuknya, sedikit gelisah. Ren Hui tergelak melihatnya, tertawa ringan yang seakan menari di antara angin musim gugur yang lembut."Daripada memikirkan kejutan, bagaimana kalau kau fokus saja mencari ibumu?" ujar Junjie, suara santainya memecah kehangatan perbincangan. Mendengar itu, mata Song Mingyu membelalak, dan tanpa sadar tangannya terangkat memukul lengan Junjie, meski jelas tidak serius. "Kau benar-benar tidak tahu cara berbicara!" gerutunya.Namun, sebelum Junjie sempat membalas, seseorang tiba-tiba datang, langkahnya tergesa, menghampiri mereka. Napas orang itu terengah-engah, namun ada ketenangan yang terjaga dalam sikapnya. Mata Junjie berkilat, rasa penasaran
Miu Yue berdiri perlahan, melangkah menuju Baihua yang berhenti di ambang pintu, seolah sedang menunggu seseorang. Rubah berbulu putih itu memandangi padang pasir di luar dengan tatapan tajam, angin gurun yang dingin menerobos masuk, membawa aroma pasir dan sedikit kelembaban dari oasis. Wanita itu berjongkok di hadapannya, tangan lembutnya mengusap kepala rubah itu. Namun, Baihua memalingkan wajah, menatapnya dengan mata penuh kewaspadaan—tatapan dingin yang selalu ia tunjukkan pada orang asing yang belum sepenuhnya ia percaya.“Baihua! Kemari!” Suara Junjie memecah keheningan, panggilannya lembut tetapi tegas, memaksa Baihua mengalihkan perhatian dari pintu. Rubah itu melompat ringan, berlari mendekatinya. Junjie, yang saat itu sedang bersandar santai di kursi, membungkuk, matanya meneliti sesuatu yang dijepit di moncong Baihua.“Apa yang kau bawa kali ini?” tanyanya penasaran. Baihua meletakkan benda itu di lantai kayu, lalu menatap Junjie, seakan menunggu tangg
Seperti yang dikatakan Ren Hui, keesokan harinya semua kembali seperti biasa. Pria itu telah meninggalkan rumah beroda untuk berburu, ditemani Baihua, sejak fajar menyingsing. Tanpa berpamitan pada Junjie, langkahnya yang diam-diam menyisakan ruang sunyi di rumah itu. Saat Junjie terbangun dan tak menemukan Ren Hui di mana pun, kebingungan segera menyergapnya.Junjie berdiri di teras, menatap hamparan oasis merah yang membentang di hadapannya. Udara pagi yang dingin menyusup hingga ke tulang, namun tidak mengusir kecemasannya. Meski dikenal santai dan malas, kali ini kerutan di dahinya mengkhianati perasaannya."Kemana dia?" gumamnya pelan, matanya bergerak gelisah, menyapu setiap sudut horizon. Bubur hangat dan teh yang telah disiapkan Ren Hui sejak pagi masih tertata rapi, namun sama sekali tak disentuh.Sebuah suara ragu-ragu memecah kesunyian. "Tuan! Apa Anda menunggu Tuan Ren?" Seorang gadis muda dengan gentong di tangannya menatapnya dari jauh, nada
Junjie membantu Ren Hui menaiki tangga teras rumah beroda dengan hati-hati. Udara malam di gurun terasa menusuk kulit, sementara debu halus beterbangan di sekitar mereka, disapu angin kering yang tak henti-hentinya bertiup. Pria itu tidak banyak berbicara, membuat Junjie merasa tak enak hati. Namun, dia enggan menambah kecanggungan dengan pertanyaan yang mungkin hanya akan memperburuk suasana. Karena itu, dia hanya fokus membantu Ren Hui agar tidak terjadi sesuatu yang tak mereka kehendaki."Duduklah! Aku akan menyeduh obat untukmu." Junjie membawa Ren Hui ke ruang tengah rumah beroda itu. Ia menuntunnya ke kursi kayu sederhana sebelum melepaskan mantel birunya yang kini berdebu, lalu melangkah menuju dapur kecil untuk merebus ramuan obat.Di dapur, Junjie menyalakan tungku kemudian mengambil obat yang ada di lemari penyimpanan. Yingying dan Dewa Obat telah menyiapkan berbagai ramuan untuk mereka, bahkan ramuan untuk penyakit musiman yang sering muncul akibat cuaca ekstrem di gurun. K
Junjie membawa Ren Hui ke pusat kota Hóngshā, tak jauh dari Oasis Merah. Mereka tiba di pasar yang masih ramai meskipun sudah lewat dari puncak kesibukannya. Pedagang dan pembeli masih sibuk bergerak, dengan suara tawar-menawar yang bergema di udara panas siang itu."Nuansa yang jauh berbeda dengan kota-kota lain di Kekaisaran Shenguang," gumam Ren Hui, matanya tertuju pada keramaian di sekelilingnya. Wajahnya tampak antusias, menikmati suasana yang baru."Kau benar! Kondisi alam yang berbeda menghasilkan budaya yang berbeda pula," sahut Junjie santai, berjalan di samping Ren Hui.Mereka melewati tenda-tenda sederhana para pedagang. Sesekali, mereka berhenti untuk melihat-lihat atau membeli barang-barang yang menarik perhatian. Pasar ini hidup dengan aroma rempah-rempah yang tajam dan segar, kilauan batu permata yang memikat mata, dan suara pedagang yang menawarkan dagangan mereka dengan nada cepat. Di sana, penduduk lokal dan musafir dari berbagai penjuru berkumpul untuk berdagang, b
Beberapa hari berlalu, Ren Hui dan Junjie mulai merasa seperti bagian dari kehidupan di Oasis Merah. Mereka telah beradaptasi dengan kehidupan sehari-hari di sana, meskipun tidak lagi menjadi pusat perhatian seperti ketika pertama kali tiba. Hari-hari mereka kini penuh dengan kebiasaan sederhana, membaur bersama penduduk kota Hóngshā sambil menunggu kedatangan Song Mingyu.Di bawah langit biru yang terik, Ren Hui baru saja kembali dari oasis, membawa gentong berisi air segar. Seperti biasanya, beberapa prajurit tampak berlari mendekat, dengan senyum lebar dan semangat membara."Tuan Ren, biar kami yang membawakan airnya!" seru mereka, seolah berlomba-lomba untuk membantu.Ren Hui tertegun sejenak. Setiap kali dia datang untuk mengambil air, para prajurit itu selalu sigap membantu. Tak pernah ada yang membiarkannya mengangkat sendiri beban itu.“Eh, tidak perlu! Aku masih sanggup membawanya sendiri, kalian jangan repot-repot!” jawab Ren Hui, selalu
Miu Yue memandang sekeliling ruangan rumah beroda itu dengan penuh perhatian. Matanya menelusuri setiap sudut, mulai dari ukiran bunga bi’an hua pada tiang kayu hingga rak buku kecil di sudut ruangan. Cahaya matahari pagi masuk melalui jendela kecil, memantulkan kehangatan pada lantai kayu yang dipoles mengilap. Suasana di dalam rumah itu terasa sederhana, tetapi penuh nilai seni, seolah-olah setiap elemen memiliki cerita yang tersembunyi.Namun, kerutan kecil di kening Miu Yue menunjukkan pikirannya tidak sepenuhnya terfokus pada keindahan ruangan itu. Ada sesuatu yang sedang dipertimbangkannya, sesuatu yang mungkin tidak mudah untuk diungkapkan."Sudah puas berkeliling?" Suara Junjie yang malas namun santai memecah keheningan. Ia duduk di meja ruang makan, menyandarkan tubuhnya pada kursi dengan gaya yang sangat santai. Mantel biru yang ia kenakan tampak kusut, seolah-olah baru saja dikenakan tanpa peduli pada penampilan.Miu Yue mengalihkan pandangannya
Keesokan paginya, Ren Hui membawa Baihua untuk berburu kelinci sembari berkeliling oasis yang memancarkan keindahan di tengah gersangnya gurun merah. Sementara itu, Junjie memilih untuk tenggelam dalam buku tebal yang diperolehnya dari Dongfang Yu. Buku itu, konon diperoleh dari seorang tamu asing pada sebuah pelelangan, menyimpan banyak rahasia."Aku masih tidak mengerti," gumam Junjie, membuka kembali bagian terakhir buku tersebut.Tulisan mantra kuno memenuhi halaman terakhir, meski Dongfang Yu sudah menerjemahkan keseluruhan isi buku ke dalam huruf yang lazim dipakai sehari-hari. Namun, maknanya tetap menjadi teka-teki bagi Junjie."Ini hanya dongeng. Entah apakah bunga es abadi itu benar-benar ada atau tidak. Tetapi Dongfang Yu yakin jika bunga itu ada di Kota Es. Bahkan Dewa Obat pun mengatakan hal yang sama," desah Junjie sembari memijat pelipisnya yang berdenyut.Dia menutup buku itu perlahan, menyimpannya ke dalam laci kayu di ujung ruang
Ren Hui menarik napas dalam dan melangkah menuju pintu rumah beroda. Ketika pintu terbuka, hembusan angin malam yang sejuk langsung menerpa wajahnya. Namun, yang membuatnya tertegun adalah sosok di depan sana.Berdiri tegak di teras yang sederhana, seorang wanita berhanfu merah darah, dengan pedang bersarung di pinggang, menatap mereka. Wibawa yang terpancar dari dirinya terasa begitu nyata, dan ada sesuatu yang membuat waktu seperti terhenti sejenak.“Jenderal Miu Yue!” Ren Hui menyapa dengan nada bingung, suaranya nyaris tercekat di tenggorokan.Tatapan sang jenderal beralih ke arahnya, tajam seperti ujung pedang yang siap menusuk. Mata hitam pekatnya menelusuri Ren Hui dengan saksama, seolah ingin mengungkap setiap rahasia yang tersembunyi di balik jubah putih sederhana dan rambut hitam tergerai pria itu. Ren Hui merasa tenggorokannya mengering, ia meneguk ludah dengan gugup.Junjie muncul di samping Ren Hui."Ren Hui, siapa mereka?" J
Di bawah langit yang berkilau bintang, rumah beroda Ren Hui dan Junjie berdiri anggun di tepi oasis yang sunyi. Diteduhi rumpun pohon palem dan kurma, rumah itu menjadi pusat perhatian para penghuni tenda di sekitar oasis, seolah-olah keberadaannya membawa kehangatan di tengah malam yang dingin. Bayang-bayang pohon bergoyang lembut, mengiringi gemericik air yang tenang.Di dalam rumah itu, suasana hangat terpancar. Sebuah meja kayu sederhana penuh keakraban menjadi saksi percakapan mereka. Di atasnya, arak dan kacang rebus tersaji, menambah kenyamanan malam selepas makan malam. Ren Hui duduk dengan santai, menyilangkan kakinya, sementara Junjie tampak lebih serius, tetapi tetap memancarkan ketenangan khasnya."Apa kau yakin, Jenderal Miu mampu mengatasi masalah dengan Pasukan Fēnghuǒ?" tanya Ren Hui, suaranya serak namun tenang, memecah keheningan.Junjie mengangguk dengan mantap, tidak ada keraguan sedikit pun dalam gerakannya. "Itu bukan masalah besar,"