Home / Fantasi / Kembalinya Sang Dewa Pedang / Informasi Dari Toko Daiyu

Share

Informasi Dari Toko Daiyu

Author: Aspasya
last update Last Updated: 2024-09-25 07:00:00

Nyonya Daiyu menyesap teh hijaunya dengan anggun, bibirnya menyentuh cangkir porselen seolah mengalirkan kehalusan dari setiap tegukan. Dengan suara lembut namun tegas, ia membuka percakapan, “Akhir-akhir ini, rumor tentang kemunculan Peti Mati Giok Lavender dan Pedang Surgawi telah menyebar cepat di seluruh kota. Banyak yang percaya bahwa kedua benda itu membawa kekuatan tak terhingga bagi siapapun yang berhasil memilikinya.”

Tatapan ketiga tamunya, Ren Hui, Junjie, dan Song Mingyu, tidak lepas dari sosok anggun Nyonya Daiyu. Mereka duduk di hadapannya dengan penuh perhatian, sementara aroma dupa lembut memenuhi udara, seakan mengiringi percakapan mereka dengan keheningan yang sarat makna.

“Apakah rumor itu benar, Nyonya Daiyu?” tanya Ren Hui pelan. Tangannya memutar cangkir teh, gerakannya pelan namun mengisyaratkan kegundahan yang tersembunyi.

Nyonya Daiyu tersenyum tipis, tatapannya mengandung misteri. “Hingga saat ini, rumor tetaplah rumor. Namun, seg
Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App

Related chapters

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Song Mingyu Berlatih Bersama Junjie

    Keesokan paginya, Song Mingyu berlatih pedang di halaman terbuka. Embun pagi masih bergelayut di ujung dedaunan, memantulkan kilau lembut di bawah cahaya matahari yang baru terbit. Gerakannya tegas namun anggun, seperti aliran sungai yang tak terbendung. Setiap tebasan pedang mengukir angin dengan ketelitian yang membuatnya tampak seperti menari, bukan bertarung. Matanya tajam dan penuh konsentrasi, seolah seluruh dunia hanya terdiri dari dia dan pedangnya. Harmoni antara kekuatan dan kelincahan terpancar dalam setiap langkahnya.Dari kejauhan, terdengar kesibukan Ren Hui, yang sibuk menata kendi-kendi arak di dekat gerobak kayu. Suara kendi beradu pelan di udara pagi yang segar. Dia tengah mempersiapkan pengiriman araknya ke Toko Daiyu di pasar, sesuai janjinya pada Nyonya Daiyu semalam. Aroma arak yang khas sesekali tercium, menambah suasana damai di pagi yang cerah itu.Di sisi lain halaman, Junjie tengah duduk bersantai di bawah hangatnya si

    Last Updated : 2024-09-25
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Hadiah Palsu

    Malam perlahan menyelimuti langit Chunyu, menggulungnya dalam keheningan pekat, sembari menghiasinya dengan taburan bintang. Di atas sebuah rumah beroda yang berderak halus, dua sosok duduk bersanding. Angin malam yang segar berembus lembut, membawa aroma daun bambu dan embun dari hutan di kejauhan. Kabut tipis mengambang rendah di lembah, seakan ikut menari bersama angin.Ren Hui dan Junjie, kedua sahabat lama itu, menyesap arak dari cangkir yang berkilau keperakan di bawah sinar bulan. Suara tawa ringan Junjie mengisi kesunyian, membuat malam terasa lebih hidup. Di sampingnya, Ren Hui tersenyum tipis, matanya menatap jauh ke cakrawala, terbenam dalam kenangan yang hanya ia sendiri yang tahu.“Bagaimana dengan keadaan Ye Hun? Apakah ada tanda-tanda dia akan sadar?” tanya Junjie tiba-tiba. Suaranya terdengar lebih lembut daripada biasanya, seakan ia takut mengusik kedamaian malam yang tenang.Ren Hui menghela napas panjang, matanya melembut dalam keheninga

    Last Updated : 2024-09-25
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Misteri Bunga Biru Tujuh Rupa

    Hari telah beranjak senja ketika Ren Hui selesai mengantarkan arak ke Toko Daiyu. Cahaya keemasan mulai meredup di langit, memantulkan semburat lembayung pada jalanan berbatu di Jalan Kenangan, yang tampak lebih sunyi daripada biasanya. Meski demikian, hiruk-pikuk di pasar terapung masih bergeliat, serupa denyut nadi yang menjaga kehidupan kota tetap mengalir.Di sampingnya, Baihua,rubah putihnya yang setia, melangkah tenang. Mata cerah binatang itu memantau sekeliling dengan cermat, sementara bulu putihnya berkilauan diterpa sisa-sisa sinar matahari yang merambat di sela-sela pohon. Setiap kali Ren Hui menyelesaikan pekerjaannya, waktu berjalan-jalan seperti ini menjadi momen yang ia nanti-nantikan, kesempatan untuk melepaskan diri bersantai dan tentu saja mendengarkan kabar berita terbaru.Sore ini, ia berencana mengunjungi Taman Bunga Seribu Warna, sebuah tempat yang terkenal karena bunga-bunganya yang selalu mekar sepanjang tahun. Harum mawar dan magnolia mengg

    Last Updated : 2024-09-26
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Tak Ada Rindu

    Ren Hui melangkah perlahan, mendorong gerobak kayunya yang sederhana. Di sampingnya, Baihua, rubah putihnya yang ceria, berlari-lari kecil, ekornya bergetar penuh semangat. Gerobak itu terasa lebih ringan, hanya berisi beberapa barang, seperti bahan makanan segar dan tumpukan arang. Udara sore yang lembap mengalir, membawa aroma tanah basah dan wangi bunga krisan liar yang mekar di pinggir jalan, menambah keindahan perjalanan pulang yang tenang. Ketika berbelok dari Jalan Kenangan menuju jalan utama, Ren Hui menangkap sekilas keramaian di depan sana. Dia berhenti sejenak, menyesuaikan caping bambu yang melindungi wajahnya dari sinar matahari yang mulai meredup. Meski wajahnya mungkin tidak terlalu dikenal, kewaspadaan tetaplah penting. Pengalaman mengajarkan bahwa beberapa orang masih mengenalinya. Salah satunya adalah Junjie, yang langsung mengenalinya saat mereka bertemu di Pondok Dongfeng di kota Beixing. Ren Hui melanjutkan langkahnya, mendorong ger

    Last Updated : 2024-09-26
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Ketua Han Datang !

    Beberapa hari berlalu, festival musim gugur pun tiba. Kota Chunyu, yang biasanya damai, mendadak ramai oleh hiruk-pikuk pengunjung dari segala penjuru. Orang-orang dari berbagai sekte dan para pelancong serta pengelana mulai berbondong-bondong memasuki gerbang kota, membuat suasana berubah seketika.Penginapan-penginapan penuh sesak oleh tamu, dan jalan-jalan yang semula lengang kini dipenuhi wajah-wajah asing yang belum pernah mereka kenal. Aroma wangi arak dan kue bulan yang dipanggang menggantung di udara, bercampur dengan suara para pedagang yang berteriak menawarkan dagangan mereka, menambah suasana meriah di kota ini.Di tengah hiruk-pikuk itu, Ren Hui, Junjie, dan Song Mingyu berjalan menyusuri pusat kota. Mereka baru saja selesai mengantarkan beberapa guci arak kepada para pelanggan tetap. Langkah mereka tenang, namun wajah masing-masing tampak memancarkan kebingungan. Di mana-mana mereka melihat murid-murid sekte yang berasal dari berbagai penjuru Kekaisar

    Last Updated : 2024-09-26
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Jurus Yang Diajarkan Junjie

    Setelah insiden tak menyenangkan yang sempat mengganggu perjalanan mereka tadi, mereka melanjutkan langkah dengan hati-hati. Matahari yang condong ke barat menghangatkan jalan-jalan di pusat kota Chunyu. Angin musim gugur meniup daun-daun ginkgo yang mulai menguning, membuatnya berputar perlahan di udara sebelum jatuh di sekitar mereka, menciptakan suasana tenang yang kontras dengan hiruk-pikuk pasar di kejauhan.Song Mingyu berjalan di belakang, masih terganggu oleh insiden sebelumnya. Ia akhirnya membuka suara, "Kenapa mereka begitu ketakutan saat mendengar nama Ketua Han?" tanyanya kepada Ren Hui dengan nada pelan namun penuh rasa ingin tahu.Ren Hui, yang berjalan di depan dengan langkah tenang, melirik sekilas ke arah Song Mingyu sebelum menjawab, suaranya datar namun ada nada ketegangan yang samar, "Mereka adalah murid-murid Sekte Besi Hitam. Ketua Han adalah salah satu tetua mereka yang paling ditakuti. Ia terkenal sangat disiplin, tegas, dan tak kenal ampun

    Last Updated : 2024-09-27
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Turnamen Beladiri Musim Gugur 1

    Festival Musim Gugur akhirnya tiba. Kota Chunyu yang biasanya damai, kini bergemuruh dengan suara riuh dari pasar dan para pengunjung, dipenuhi aroma harum dupa yang terbawa bersama desau angin musim gugur yang sejuk. Di sepanjang jalan, daun-daun keemasan berguguran, berputar di udara sebelum jatuh perlahan ke tanah, memberikan nuansa magis pada kota itu. Alun-alun pusat, yang menjadi pusat perayaan, dipenuhi penduduk setempat dan para pengunjung yang menantikan pembukaan turnamen bela diri, sebuah acara besar yang paling ditunggu setiap tahun. Sejak pagi buta, Song Mingyu sudah mempersiapkan dirinya. Ketika matahari baru saja menampakkan diri di ufuk timur, dia telah menggenggam gagang pedang Naga Langit—pedang legendaris yang dahulu merupakan pedang milik Ren Jie sang Dewa Pedang, yang tergantung di pinggangnya. Hanfu putih sederhana yang dikenakannya berkibar lembut dihembus angin pagi, sementara jubahnya yang panjang melambai seiring langkah kakinya.

    Last Updated : 2024-09-27
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Turnamen Beladiri Musim Gugur 2

    Ren Hui hanya tersenyum tipis saat mendengar pertanyaan Song Mingyu. "Kita lihat saja nanti. Mungkin kaulah kejutan itu, Mingyu," katanya, sambil menepuk bahu pemuda itu dengan lembut.Song Mingyu tersipu, meringis kikuk sebelum menjawab, "Rasanya tidak mungkin." Dia menggaruk tengkuknya, sedikit gelisah. Ren Hui tergelak melihatnya, tertawa ringan yang seakan menari di antara angin musim gugur yang lembut."Daripada memikirkan kejutan, bagaimana kalau kau fokus saja mencari ibumu?" ujar Junjie, suara santainya memecah kehangatan perbincangan. Mendengar itu, mata Song Mingyu membelalak, dan tanpa sadar tangannya terangkat memukul lengan Junjie, meski jelas tidak serius. "Kau benar-benar tidak tahu cara berbicara!" gerutunya.Namun, sebelum Junjie sempat membalas, seseorang tiba-tiba datang, langkahnya tergesa, menghampiri mereka. Napas orang itu terengah-engah, namun ada ketenangan yang terjaga dalam sikapnya. Mata Junjie berkilat, rasa penasaran

    Last Updated : 2024-09-27

Latest chapter

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Puncak Báiyuè Shān

    Salju yang menutupi puncak Báiyuè Shān berkilauan di bawah cahaya redup matahari musim dingin. Ren Hui menatap ke kejauhan, mengamati lekukan pegunungan yang diselimuti kabut tipis. Udara dingin menusuk kulitnya, namun ia tetap berdiri tegak, membiarkan embusan angin pegunungan menggoyangkan ujung jubahnya yang telah tertutup butiran salju tipis.Sebelum memulai pendakian, ia sempat berpesan pada Mo Shuang—salah satunya agar pemuda itu rutin mengunjungi Yingying dan menyampaikan kabar terbaru pada tabib wanita itu. Setelahnya, tanpa banyak membuang waktu, ia mulai mendaki jalur berbatu yang menanjak curam. Meski perjalanannya ke Kota Es sudah cukup sulit, mendaki gunung ini tetap memberikan tantangan tersendiri."Baihua, tinggal sedikit lagi kita akan sampai di puncak." Ren Hui tersenyum puas, menepuk-nepuk kepala rubah putih kesayangannya yang berbulu tebal.Baihua mendengking pelan, menggosokkan tubuhnya pada kaki Ren Hui, seakan memahami ucapannya. Ren Hui terkekeh, lalu mengambil

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kota Es

    Kota Es sebenarnya bukanlah sebuah kota. Dulu, tempat ini diyakini sebagai pemukiman manusia, terbukti dari sisa-sisa bangunan yang masih berdiri, terbuat dari balok-balok es yang kini tertutup salju. Namun, seiring berjalannya waktu, yang tersisa hanyalah hamparan putih membentang luas tanpa jejak kehidupan. Sunyi. Hanya desir angin dingin yang menggigit tulang, melintas tanpa henti.Di bawah langit keperakan yang tertutup awan tipis, Ren Hui dan Mo Shuang akhirnya tiba di tempat itu setelah menempuh perjalanan lebih dari lima hari. Angin gunung menggulung butiran salju halus ke udara, menambah dingin yang menusuk hingga ke tulang. Báiyuè Shān memang tempat yang terpencil, seakan berada di ujung dunia yang terlupakan. Tempat terakhir di gunung ini yang masih sering dikunjungi manusia hanyalah tepian sungai, tempat rumah beroda milik Ren Hui berada."Tidak ada yang berubah," gumam Ren Hui seraya menatap hamparan putih tak berujung di hadapannya. Nafasnya membentuk

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Aku Akan Menunggu

    Seperti yang dijanjikan Mo Shuang, keesokan harinya mereka berdua bersiap-siap untuk pergi ke Kota Es. Udara pagi begitu dingin, selapis embun membeku di atas dedaunan, sementara sinar matahari samar-samar menembus kabut tipis di sekitar pegunungan. Mo Shuang, yang tengah mengikat mantel bulunya, sesaat terdiam saat melihat Ren Hui beraktivitas seperti biasa.Semalam, pria itu bahkan kesulitan untuk berjalan lurus. Kini, seolah tidak terjadi apa-apa, langkahnya ringan dan gerak-geriknya begitu alami."Penglihatanku terkadang kabur begitu saja tanpa sebab," jelas Ren Hui santai ketika menangkap tatapan penuh selidik dari Mo Shuang.Mo Shuang hanya mengangguk. Dia tidak bertanya lebih jauh, meskipun hatinya masih dipenuhi berbagai pertanyaan. Namun, daripada menyinggung sesuatu yang mungkin membuat Ren Hui merasa tidak nyaman, dia memilih untuk menyimpannya sendiri.Menjelang siang, mereka berdua ditemani Baihua, rubah putih yang setia meninggalkan

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Aku Mencari Bunga Es Abadi

    Mo Shuang menatap Ren Hui dengan sorot mata yang sulit ditebak. Udara dingin merayapi pondok kecil mereka, tetapi kehangatan dari tungku di sudut ruangan sedikit menghalau hawa beku yang merayap di kulit. Dengan gerakan telaten, Mo Shuang mengambil sepotong bāozi, kemudian mengupas daun bambu yang membungkus zongzi isi daging, meletakkannya di atas piring tepat di hadapan pria itu.“Maaf, aku merepotkanmu,” ucap Ren Hui pelan, suaranya sarat dengan ketulusan dan sedikit rasa tidak enak hati.Mo Shuang melirik sekilas, lalu mendengus kecil. “Akan lebih merepotkan jika kau tidak mengatakan tujuanmu ke sini, bukan?” sahutnya santai, tetapi di telinga Ren Hui, nada suara wanita itu terdengar dingin, seakan menyembunyikan sesuatu di balik sikap acuhnya.Ren Hui terkekeh pelan, menghangatkan jemarinya di cangkir teh yang masih mengepul. Sepertinya, dia memang harus mengatakan dengan jujur alasan kedatangannya ke Báiyuè Shān setelah lima belas tahun berlalu.

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Tamu

    Ren Hui berdiri di ambang pintu, tatapannya tak lepas dari sosok berjubah hitam yang melangkah perlahan menuju pondok. Langkahnya ringan, seolah tak menyentuh tanah, sementara mantel hitamnya berkibar samar di bawah cahaya remang senja. Salju tipis berjatuhan, menambah kesan misterius pada sosok yang kini berhenti di depan teras.Ren Hui mengedipkan matanya, menyadari bahwa pandangannya semakin memburam. Sosok itu semakin samar, hanya bayangan kabur di dalam pandangannya yang berkabut."Ren Jie!" Suara itu terdengar, mengusik keheningan.Ren Hui tertegun. Suara itu, sangat akrab meski terdengar dingin. Sosok itu membuka tudung mantel hitamnya. Ren Hui tersenyum cerah saat mengenali sosok yang berdiri di hadapannya."Lama tak bertemu, Ren Jie sang Dewa Pedang," sapanya dengan suara setenang air yang membeku. Bahkan tidak ada seulas senyum pun di bibirnya.Senyum cerah Ren Hui semakin merekah, matanya berbinar meskipun dunia di sekelilingny

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Bayangan Hitam di Ujung Senja

    Baihua mendengking lebih keras, ekornya yang lebat melambai gelisah. Rubah putih itu duduk tegak di tengah jalan, tepat di depan Ren Hui, seolah menjadi penghalang agar tuannya tidak melangkah lebih jauh."Ada apa, Baihua?" Ren Hui berjongkok di sisinya, menepuk lembut kepala rubah itu. Bulu putihnya terasa dingin di telapak tangan. "Kalau tidak bergegas, kita akan kemalaman," lanjutnya, mendongak menatap langit. Sinar matahari kian memudar, membiaskan rona jingga samar di cakrawala yang mulai dilingkupi bayangan senja.Baihua kembali mendengking, suaranya menggema lirih di antara desir angin musim dingin. Matanya yang bening berkilau menatap Ren Hui, seolah mencoba menyampaikan sesuatu yang tak terucapkan. Ren Hui hanya tersenyum, mengusap kepala rubah itu dengan lebih lembut, lalu mengangkatnya ke dalam pelukan."Apa kau takut?" bisiknya, suaranya selembut bisikan angin. "Jangan khawatir, bukankah kita selalu bersama? Selamanya?"Rubah itu tidak

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Padang Bunga Yang Membeku

    Ren Hui menapaki jalan setapak berbatu dengan hati-hati. Angin dingin berembus perlahan, membawa aroma salju yang menggantung di udara. Di depan, Baihua berlari kecil mendahuluinya, meninggalkan jejak-jejak samar di atas salju tipis yang menutupi bebatuan. Rubah putih itu seharusnya tetap berada di tepi sungai bersama Yingying, tetapi ketika Ren Hui melangkah menyeberangi jembatan kayu tua, Baihua justru menyusulnya tanpa ragu."Baihua, setelah tiba di atas, kau harus kembali ke sungai. Temani Yingying!" seru Ren Hui.Baihua berhenti berlari, mendengking pelan seolah memprotes perintah itu. Ren Hui terkekeh. Sudah terbiasa dengan tingkah rubah putihnya yang keras kepala. Mereka kembali berjalan, melewati jalan setapak yang mulai menanjak. Batu-batu di bawah kaki mereka terasa licin, tersembunyi di balik lapisan es tipis yang nyaris tak terlihat. Ren Hui menghela napas, memusatkan perhatian pada setiap pijakannya."Baihua, tempat ini tidak banyak berubah,"

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Memulai Perjalanan Menuju Kota Es

    Mentari musim dingin baru saja menyembul dari balik awan-awan putih, menyinari lembut permukaan sungai yang mulai membeku. Kabut tipis masih melayang, menyelimuti tanah dengan hawa dingin yang menggigit.Di tepi sungai, Ren Hui duduk santai di atas batang kayu tua, meniup uap tipis dari cangkir teh jahe di tangannya. Aroma hangat jahe bercampur dengan wangi samar goji berry, lavender, madu dan chamomile, menenangkan pikirannya. Baihua, rubah putih berbulu lembut, meringkuk di dekat kakinya. Sesekali mengibaskan ekor, tampak menikmati kedamaian pagi itu.Tak jauh dari tempatnya duduk, sebuah keranjang bambu berisi bekal tertata rapi di atas rerumputan yang mulai tertutup embun beku. Hari ini, dia akan memulai perjalanannya menuju Kota Es, tempat yang hingga kini hanya dianggap legenda oleh penduduk setempat.Suara nyaring memecah ketenangan pagi, menggema di antara dahan pohon yang tertutup salju. "Ren Hui!" Dari teras rumah beroda, Yingying memanggilnya de

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Tiba Di Kota Embun Beku

    Musim berlalu seakan berkejaran dengan waktu. Guguran daun kemerahan musim gugur telah lama tertiup angin, menyertai perjalanan rumah beroda yang bergerak perlahan menuju Báiyuè Shān. Kini, saat salju tipis turun menutupi tanah, musim dingin hampir merampungkan masanya. Rumah beroda milik Ren Hui tetap berjalan tertatih-tatih, menembus rintik salju hingga mencapai kaki pegunungan.Di tengah perjalanan panjang ini, berbagai kabar besar telah berlalu begitu saja—termasuk eksekusi Liuxing dan bahkan mangkatnya Ibu Suri. Namun, roda nasib terus berputar, membawa mereka semakin jauh dari masa lalu.Di Kota Yanyang, kota terakhir sebelum pendakian ke Báiyuè Shān, rumah beroda melaju pelan. Langit kelabu menaungi kota yang namanya memiliki makna "embun beku," membingkai perhentian terakhir sebelum mereka menapaki jalur menuju Kota Es, tempat yang konon hanya ada dalam legenda.Di depan rumah beroda, seorang pria bermantel putih duduk mengemudikan kendaraan sederh

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status