Malam perlahan menyelimuti langit Chunyu, menggulungnya dalam keheningan pekat, sembari menghiasinya dengan taburan bintang. Di atas sebuah rumah beroda yang berderak halus, dua sosok duduk bersanding. Angin malam yang segar berembus lembut, membawa aroma daun bambu dan embun dari hutan di kejauhan. Kabut tipis mengambang rendah di lembah, seakan ikut menari bersama angin.
Ren Hui dan Junjie, kedua sahabat lama itu, menyesap arak dari cangkir yang berkilau keperakan di bawah sinar bulan. Suara tawa ringan Junjie mengisi kesunyian, membuat malam terasa lebih hidup. Di sampingnya, Ren Hui tersenyum tipis, matanya menatap jauh ke cakrawala, terbenam dalam kenangan yang hanya ia sendiri yang tahu.“Bagaimana dengan keadaan Ye Hun? Apakah ada tanda-tanda dia akan sadar?” tanya Junjie tiba-tiba. Suaranya terdengar lebih lembut daripada biasanya, seakan ia takut mengusik kedamaian malam yang tenang.Ren Hui menghela napas panjang, matanya melembut dalam keheningaHari telah beranjak senja ketika Ren Hui selesai mengantarkan arak ke Toko Daiyu. Cahaya keemasan mulai meredup di langit, memantulkan semburat lembayung pada jalanan berbatu di Jalan Kenangan, yang tampak lebih sunyi daripada biasanya. Meski demikian, hiruk-pikuk di pasar terapung masih bergeliat, serupa denyut nadi yang menjaga kehidupan kota tetap mengalir.Di sampingnya, Baihua,rubah putihnya yang setia, melangkah tenang. Mata cerah binatang itu memantau sekeliling dengan cermat, sementara bulu putihnya berkilauan diterpa sisa-sisa sinar matahari yang merambat di sela-sela pohon. Setiap kali Ren Hui menyelesaikan pekerjaannya, waktu berjalan-jalan seperti ini menjadi momen yang ia nanti-nantikan, kesempatan untuk melepaskan diri bersantai dan tentu saja mendengarkan kabar berita terbaru.Sore ini, ia berencana mengunjungi Taman Bunga Seribu Warna, sebuah tempat yang terkenal karena bunga-bunganya yang selalu mekar sepanjang tahun. Harum mawar dan magnolia mengg
Ren Hui melangkah perlahan, mendorong gerobak kayunya yang sederhana. Di sampingnya, Baihua, rubah putihnya yang ceria, berlari-lari kecil, ekornya bergetar penuh semangat. Gerobak itu terasa lebih ringan, hanya berisi beberapa barang, seperti bahan makanan segar dan tumpukan arang. Udara sore yang lembap mengalir, membawa aroma tanah basah dan wangi bunga krisan liar yang mekar di pinggir jalan, menambah keindahan perjalanan pulang yang tenang. Ketika berbelok dari Jalan Kenangan menuju jalan utama, Ren Hui menangkap sekilas keramaian di depan sana. Dia berhenti sejenak, menyesuaikan caping bambu yang melindungi wajahnya dari sinar matahari yang mulai meredup. Meski wajahnya mungkin tidak terlalu dikenal, kewaspadaan tetaplah penting. Pengalaman mengajarkan bahwa beberapa orang masih mengenalinya. Salah satunya adalah Junjie, yang langsung mengenalinya saat mereka bertemu di Pondok Dongfeng di kota Beixing. Ren Hui melanjutkan langkahnya, mendorong ger
Beberapa hari berlalu, festival musim gugur pun tiba. Kota Chunyu, yang biasanya damai, mendadak ramai oleh hiruk-pikuk pengunjung dari segala penjuru. Orang-orang dari berbagai sekte dan para pelancong serta pengelana mulai berbondong-bondong memasuki gerbang kota, membuat suasana berubah seketika.Penginapan-penginapan penuh sesak oleh tamu, dan jalan-jalan yang semula lengang kini dipenuhi wajah-wajah asing yang belum pernah mereka kenal. Aroma wangi arak dan kue bulan yang dipanggang menggantung di udara, bercampur dengan suara para pedagang yang berteriak menawarkan dagangan mereka, menambah suasana meriah di kota ini.Di tengah hiruk-pikuk itu, Ren Hui, Junjie, dan Song Mingyu berjalan menyusuri pusat kota. Mereka baru saja selesai mengantarkan beberapa guci arak kepada para pelanggan tetap. Langkah mereka tenang, namun wajah masing-masing tampak memancarkan kebingungan. Di mana-mana mereka melihat murid-murid sekte yang berasal dari berbagai penjuru Kekaisar
Setelah insiden tak menyenangkan yang sempat mengganggu perjalanan mereka tadi, mereka melanjutkan langkah dengan hati-hati. Matahari yang condong ke barat menghangatkan jalan-jalan di pusat kota Chunyu. Angin musim gugur meniup daun-daun ginkgo yang mulai menguning, membuatnya berputar perlahan di udara sebelum jatuh di sekitar mereka, menciptakan suasana tenang yang kontras dengan hiruk-pikuk pasar di kejauhan.Song Mingyu berjalan di belakang, masih terganggu oleh insiden sebelumnya. Ia akhirnya membuka suara, "Kenapa mereka begitu ketakutan saat mendengar nama Ketua Han?" tanyanya kepada Ren Hui dengan nada pelan namun penuh rasa ingin tahu.Ren Hui, yang berjalan di depan dengan langkah tenang, melirik sekilas ke arah Song Mingyu sebelum menjawab, suaranya datar namun ada nada ketegangan yang samar, "Mereka adalah murid-murid Sekte Besi Hitam. Ketua Han adalah salah satu tetua mereka yang paling ditakuti. Ia terkenal sangat disiplin, tegas, dan tak kenal ampun
Festival Musim Gugur akhirnya tiba. Kota Chunyu yang biasanya damai, kini bergemuruh dengan suara riuh dari pasar dan para pengunjung, dipenuhi aroma harum dupa yang terbawa bersama desau angin musim gugur yang sejuk. Di sepanjang jalan, daun-daun keemasan berguguran, berputar di udara sebelum jatuh perlahan ke tanah, memberikan nuansa magis pada kota itu. Alun-alun pusat, yang menjadi pusat perayaan, dipenuhi penduduk setempat dan para pengunjung yang menantikan pembukaan turnamen bela diri, sebuah acara besar yang paling ditunggu setiap tahun. Sejak pagi buta, Song Mingyu sudah mempersiapkan dirinya. Ketika matahari baru saja menampakkan diri di ufuk timur, dia telah menggenggam gagang pedang Naga Langit—pedang legendaris yang dahulu merupakan pedang milik Ren Jie sang Dewa Pedang, yang tergantung di pinggangnya. Hanfu putih sederhana yang dikenakannya berkibar lembut dihembus angin pagi, sementara jubahnya yang panjang melambai seiring langkah kakinya.
Ren Hui hanya tersenyum tipis saat mendengar pertanyaan Song Mingyu. "Kita lihat saja nanti. Mungkin kaulah kejutan itu, Mingyu," katanya, sambil menepuk bahu pemuda itu dengan lembut.Song Mingyu tersipu, meringis kikuk sebelum menjawab, "Rasanya tidak mungkin." Dia menggaruk tengkuknya, sedikit gelisah. Ren Hui tergelak melihatnya, tertawa ringan yang seakan menari di antara angin musim gugur yang lembut."Daripada memikirkan kejutan, bagaimana kalau kau fokus saja mencari ibumu?" ujar Junjie, suara santainya memecah kehangatan perbincangan. Mendengar itu, mata Song Mingyu membelalak, dan tanpa sadar tangannya terangkat memukul lengan Junjie, meski jelas tidak serius. "Kau benar-benar tidak tahu cara berbicara!" gerutunya.Namun, sebelum Junjie sempat membalas, seseorang tiba-tiba datang, langkahnya tergesa, menghampiri mereka. Napas orang itu terengah-engah, namun ada ketenangan yang terjaga dalam sikapnya. Mata Junjie berkilat, rasa penasaran
Song Mingyu berdiri di halaman terluar Menara Pengawas Langit. Matahari yang berada tepat di atas kepala memancarkan sinar keemasan, menciptakan bayangan samar di bawah kaki para peserta turnamen. Halaman yang luas, dikelilingi oleh tembok-tembok kokoh yang menjulang, terasa semakin hampa oleh udara yang berdesir ringan. Di depannya, sekumpulan pendekar dari berbagai sekte kecil dan pendekar lepas, berdiri berkerumun, mempersiapkan diri untuk menantang nasib dalam pertarungan yang akan segera dimulai.Suasana dipenuhi deru langkah-langkah resah di atas tanah kering, sementara obrolan berbisik pelan memenuhi udara yang berdebu. Kilatan cahaya memantul dari permukaan pedang dan tombak yang tergenggam erat di tangan para pendekar, seolah siap menumpahkan darah demi ambisi mereka. Di antara semua itu, Song Mingyu tetap tenang, pandangannya menyapu sekeliling, menilai situasi dengan ketelitian seorang ahli strategi.Di depan mereka, seratus prajurit berbaris rapi, membe
Setibanya di kedai teh, Junjie dan Ren Hui memesan meja di sudut yang menghadap langsung ke Menara Pengawas Langit. Mereka memilih duduk di sana, di sebuah meja yang diselimuti bayangan senja. Cahaya matahari yang perlahan memudar menorehkan semburat keemasan di langit, sementara mereka sesekali mencuri pandang ke arah menara, mengawasi Song Mingyu, yang tengah berjuang di tengah hiruk-pikuk turnamen bela diri."Kita tiba lebih awal," ucap Junjie, bersandar malas dengan satu tangan menopang dagu. Doupengnya—topi lebar penutup wajah—tersibak sedikit, tak terlalu mengkhawatirkan karena tempat itu cukup sepi dari orang-orang yang berlalu lalang.Ren Hui hanya mengangguk, kedua tangannya menghangatkan cangkir teh yang mengepul lembut. "Lebih baik begitu. Menunggu mungkin tak menyenangkan, tapi terlambat akan merusak kepercayaan.”Beberapa saat kemudian, langkah-langkah ringan terdengar menaiki tangga kayu. Dua sosok anggun dari Paviliun Yueliang muncul di amba