Keesokan paginya, Junjie terbangun dengan tubuh yang masih terasa lesu, seolah-olah seluruh tenaganya telah terhisap habis. Udara pagi yang dingin menusuk kulitnya, membuatnya sedikit menggigil. Cahaya matahari musim gugur yang lembut menyelinap masuk melalui celah-celah jendela, menghangatkan ruangan dengan sinar keemasan yang menenangkan.
Matanya tertuju pada meja kecil di samping tempat tidurnya. Rasa terkejut menyelimuti dirinya saat mendapati berbagai kudapan khas musim gugur tertata rapi di atasnya. Kue bulan dengan isian kacang merah yang manis, buah kesemek segar, dan teh krisan yang wangi menggoda. Semua itu adalah kesukaannya sejak kecil, menghadirkan kembali kenangan yang terasa begitu jauh, namun hangat. Sejenak, hatinya dipenuhi rasa haru. Kenangan itu tidak hanya membawanya kembali ke masa-masa damai, tetapi juga menyentuh bagian terdalam dari hatinya, di mana cinta dan luka tak terpisahkan. Masa lalu yang telah berlalu, pikirnya, meski jiJunjie duduk di tepi tempat tidurnya, menatap hampa ke luar jendela yang terbuka lebar. Angin lembut meniup dedaunan bambu yang menghijau, sementara beberapa helai yang menguning jatuh perlahan ke tanah.Di tangannya ada sepotong kue bulan berisi kacang merah, dia mengunyahnya perlahan, menikmati kelembutannya yang manis. Sesekali menyesap teh krisannya dengan elegan. Teh itu hangat, dengan aroma bunga yang samar, menghangatkan tenggorokannya, memberikan rasa nyaman yang singkat. Suasana di rumah beroda pagi itu kembali tenang seperti biasanya. Song Mingyu sudah sejak pagi pergi ke kota untuk mengantarkan arak ke beberapa kedai yang telah ditunjukkan Ren Hui padanya semalam. Di lantai atas, Yue Yingying merawat Ye Hun dengan penuh kesabaran. Junjie meletakkan cangkir tehnya dengan hati-hati, suara cangkir yang bersentuhan dengan meja kayu nyaris tak terdengar. Dengan tenang, ia bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah dapur, langkahnya terdengar pelan
Langit mulai merona jingga ketika Song Mingyu selesai mengantarkan arak ke beberapa toko di pusat kota. Ia melangkah perlahan di atas jalanan berbatu yang padat, ditemani aroma manis arak yang masih menempel di pakaiannya, menyatu dengan udara sore yang sejuk. Di Jalan Kenangan, pemilik toko-toko menyapanya dengan ramah. Beberapa di antara mereka bahkan menepuk punggungnya dengan akrab, seolah ia bagian dari keseharian mereka."Bagaimana kabar Ren Hui? Apakah dia akan datang ke Festival Musim Gugur tahun ini?" tanya seorang pemilik toko kain dengan senyum lebar. Pria tua itu memandangnya dengan penasaran, tampak heran melihat seorang pelayan di samping pedagang arak yang terkenal pelit.Song Mingyu membalas dengan senyum kecil, merasa hangat oleh perhatian yang diberikan padanya. "Aku tidak tahu, Paman. Dia belum mengatakannya padaku."Pemilik toko kain menghela napas panjang, ekspresinya berubah sedikit sendu. "Dia selalu seperti itu, ya. Datang dan pergi
Saat Song Mingyu hendak keluar dari kerumunan yang padat, sebuah sentuhan ringan terasa di bahunya. Dengan cepat ia menoleh, alangkah terkejutnya dia ketika melihat Ren Hui dan Junjie berdiri tidak jauh darinya.Ren Hui, seperti biasanya, tampil santai, tersenyum lebar sambil melambaikan tangan. Sedangkan Junjie, dengan doupeng yang menutupi wajahnya, berdiri dengan tenang, seolah tak ingin menarik perhatian. Pria itu selalu mengatakan tidak ingin wajah tampannya menjadi pusat perhatian, sebuah alasan yang dianggap konyol oleh Song Mingyu.Ren Hui menatap Song Mingyu dengan tatapan serius, sesuatu yang jarang terlihat darinya. “Mingyu, kau mendaftar untuk ikut turnamen?” tanyanya sambil melirik kerumunan di depan mereka.Song Mingyu menggaruk kepalanya, mengangguk pelan, lalu mendekati kedua pria itu. Dengan suara pelan, ia berbisik, “Hadiahnya selain uang adalah Pedang Surgawi dan Peti Mati Giok Lavender.”Mata Ren Hui membelalak sesaat
Ren Hui, Junjie, dan Song Mingyu turun dari perahu dengan langkah ringan setelah menyerahkan beberapa koin kepada tukang perahu. Gemericik air sungai memantul di bawah perahu, berbaur dengan gemuruh samar dari keramaian yang terdengar dari kejauhan. Udara malam terasa sejuk, membawa aroma khas air sungai yang dingin dan segar. Mereka berhenti di tepi sungai sejenak, menghirup suasana yang penuh dengan misteri.Pandangan mereka tertuju pada pasar malam yang terbentang di depan mata. Lentera-lentera berpendar redup menggantung rendah, cahayanya seperti bayangan kuning yang terombang-ambing di tengah gelap, menambah kesan mistis dan terpencil."Cukup ramai untuk sebuah pasar gelap," gumam Song Mingyu sambil melipat kedua tangannya di dada, matanya memicing menatap deretan kios yang berjajar rapi di kejauhan. Dia merasa kontras antara ketertiban tempat itu dengan citra "pasar gelap" yang biasa terlintas di benaknya.Ren Hui mengangguk tipis, angin malam menyap
Di tengah hiruk-pikuk pasar yang dipenuhi aroma rempah dan suara tawar-menawar, Ren Hui berdiri di depan gerbang megah Toko Daiyu. Dua penjaga bersenjata berdiri tegak, menatap mereka bertiga. Ren Hui, dengan jubahnya yang berkibar lembut, menghampiri mereka."Maaf, kami ingin masuk dan bertemu Nyonya Daiyu," ujarnya, dengan tenang seperti biasanya.Salah satu penjaga menggeleng. "Maaf Tuan, tanpa token tanda pengenal, tidak ada yang bisa masuk.""Token? Biasanya tidak ada peraturan semacam ini!" Ren Hui membalas, suaranya mulai meninggi. Di sampingnya, Song Mingyu dan Junjie mengerutkan dahi, merasakan ketegangan yang mengalir di udara. Ini pertama kalinya mereka mengunjungi tempat yang selama ini hanya mereka dengar saja."Peraturan ini baru diterapkan demi keamanan," jawab penjaga itu, wajahnya tegas. "Terutama setelah desas-desus tentang peti mati giok lavender dan pedang surgawi muncul. Pasar gelap ini rentan keributan dan penyusupan."
Nyonya Daiyu menyesap teh hijaunya dengan anggun, bibirnya menyentuh cangkir porselen seolah mengalirkan kehalusan dari setiap tegukan. Dengan suara lembut namun tegas, ia membuka percakapan, “Akhir-akhir ini, rumor tentang kemunculan Peti Mati Giok Lavender dan Pedang Surgawi telah menyebar cepat di seluruh kota. Banyak yang percaya bahwa kedua benda itu membawa kekuatan tak terhingga bagi siapapun yang berhasil memilikinya.”Tatapan ketiga tamunya, Ren Hui, Junjie, dan Song Mingyu, tidak lepas dari sosok anggun Nyonya Daiyu. Mereka duduk di hadapannya dengan penuh perhatian, sementara aroma dupa lembut memenuhi udara, seakan mengiringi percakapan mereka dengan keheningan yang sarat makna.“Apakah rumor itu benar, Nyonya Daiyu?” tanya Ren Hui pelan. Tangannya memutar cangkir teh, gerakannya pelan namun mengisyaratkan kegundahan yang tersembunyi.Nyonya Daiyu tersenyum tipis, tatapannya mengandung misteri. “Hingga saat ini, rumor tetaplah rumor. Namun, seg
Keesokan paginya, Song Mingyu berlatih pedang di halaman terbuka. Embun pagi masih bergelayut di ujung dedaunan, memantulkan kilau lembut di bawah cahaya matahari yang baru terbit. Gerakannya tegas namun anggun, seperti aliran sungai yang tak terbendung. Setiap tebasan pedang mengukir angin dengan ketelitian yang membuatnya tampak seperti menari, bukan bertarung. Matanya tajam dan penuh konsentrasi, seolah seluruh dunia hanya terdiri dari dia dan pedangnya. Harmoni antara kekuatan dan kelincahan terpancar dalam setiap langkahnya.Dari kejauhan, terdengar kesibukan Ren Hui, yang sibuk menata kendi-kendi arak di dekat gerobak kayu. Suara kendi beradu pelan di udara pagi yang segar. Dia tengah mempersiapkan pengiriman araknya ke Toko Daiyu di pasar, sesuai janjinya pada Nyonya Daiyu semalam. Aroma arak yang khas sesekali tercium, menambah suasana damai di pagi yang cerah itu.Di sisi lain halaman, Junjie tengah duduk bersantai di bawah hangatnya si
Malam perlahan menyelimuti langit Chunyu, menggulungnya dalam keheningan pekat, sembari menghiasinya dengan taburan bintang. Di atas sebuah rumah beroda yang berderak halus, dua sosok duduk bersanding. Angin malam yang segar berembus lembut, membawa aroma daun bambu dan embun dari hutan di kejauhan. Kabut tipis mengambang rendah di lembah, seakan ikut menari bersama angin.Ren Hui dan Junjie, kedua sahabat lama itu, menyesap arak dari cangkir yang berkilau keperakan di bawah sinar bulan. Suara tawa ringan Junjie mengisi kesunyian, membuat malam terasa lebih hidup. Di sampingnya, Ren Hui tersenyum tipis, matanya menatap jauh ke cakrawala, terbenam dalam kenangan yang hanya ia sendiri yang tahu.“Bagaimana dengan keadaan Ye Hun? Apakah ada tanda-tanda dia akan sadar?” tanya Junjie tiba-tiba. Suaranya terdengar lebih lembut daripada biasanya, seakan ia takut mengusik kedamaian malam yang tenang.Ren Hui menghela napas panjang, matanya melembut dalam keheninga