Home / Fantasi / Kembalinya Sang Dewa Pedang / Pengumuman Turnamen Musim Gugur

Share

Pengumuman Turnamen Musim Gugur

Author: Aspasya
last update Last Updated: 2024-09-23 15:00:10

Langit mulai merona jingga ketika Song Mingyu selesai mengantarkan arak ke beberapa toko di pusat kota. Ia melangkah perlahan di atas jalanan berbatu yang padat, ditemani aroma manis arak yang masih menempel di pakaiannya, menyatu dengan udara sore yang sejuk. Di Jalan Kenangan, pemilik toko-toko menyapanya dengan ramah. Beberapa di antara mereka bahkan menepuk punggungnya dengan akrab, seolah ia bagian dari keseharian mereka.

"Bagaimana kabar Ren Hui? Apakah dia akan datang ke Festival Musim Gugur tahun ini?" tanya seorang pemilik toko kain dengan senyum lebar. Pria tua itu memandangnya dengan penasaran, tampak heran melihat seorang pelayan di samping pedagang arak yang terkenal pelit.

Song Mingyu membalas dengan senyum kecil, merasa hangat oleh perhatian yang diberikan padanya. "Aku tidak tahu, Paman. Dia belum mengatakannya padaku."

Pemilik toko kain menghela napas panjang, ekspresinya berubah sedikit sendu. "Dia selalu seperti itu, ya. Datang dan pergi
Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App

Related chapters

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Malam Di Kota Chunyu

    Saat Song Mingyu hendak keluar dari kerumunan yang padat, sebuah sentuhan ringan terasa di bahunya. Dengan cepat ia menoleh, alangkah terkejutnya dia ketika melihat Ren Hui dan Junjie berdiri tidak jauh darinya.Ren Hui, seperti biasanya, tampil santai, tersenyum lebar sambil melambaikan tangan. Sedangkan Junjie, dengan doupeng yang menutupi wajahnya, berdiri dengan tenang, seolah tak ingin menarik perhatian. Pria itu selalu mengatakan tidak ingin wajah tampannya menjadi pusat perhatian, sebuah alasan yang dianggap konyol oleh Song Mingyu.Ren Hui menatap Song Mingyu dengan tatapan serius, sesuatu yang jarang terlihat darinya. “Mingyu, kau mendaftar untuk ikut turnamen?” tanyanya sambil melirik kerumunan di depan mereka.Song Mingyu menggaruk kepalanya, mengangguk pelan, lalu mendekati kedua pria itu. Dengan suara pelan, ia berbisik, “Hadiahnya selain uang adalah Pedang Surgawi dan Peti Mati Giok Lavender.”Mata Ren Hui membelalak sesaat

    Last Updated : 2024-09-24
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Pasar Malam Gelap Kota Chunyu Dan Bayangan Masa Lalu

    Ren Hui, Junjie, dan Song Mingyu turun dari perahu dengan langkah ringan setelah menyerahkan beberapa koin kepada tukang perahu. Gemericik air sungai memantul di bawah perahu, berbaur dengan gemuruh samar dari keramaian yang terdengar dari kejauhan. Udara malam terasa sejuk, membawa aroma khas air sungai yang dingin dan segar. Mereka berhenti di tepi sungai sejenak, menghirup suasana yang penuh dengan misteri.Pandangan mereka tertuju pada pasar malam yang terbentang di depan mata. Lentera-lentera berpendar redup menggantung rendah, cahayanya seperti bayangan kuning yang terombang-ambing di tengah gelap, menambah kesan mistis dan terpencil."Cukup ramai untuk sebuah pasar gelap," gumam Song Mingyu sambil melipat kedua tangannya di dada, matanya memicing menatap deretan kios yang berjajar rapi di kejauhan. Dia merasa kontras antara ketertiban tempat itu dengan citra "pasar gelap" yang biasa terlintas di benaknya.Ren Hui mengangguk tipis, angin malam menyap

    Last Updated : 2024-09-24
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Toko Daiyu

    Di tengah hiruk-pikuk pasar yang dipenuhi aroma rempah dan suara tawar-menawar, Ren Hui berdiri di depan gerbang megah Toko Daiyu. Dua penjaga bersenjata berdiri tegak, menatap mereka bertiga. Ren Hui, dengan jubahnya yang berkibar lembut, menghampiri mereka."Maaf, kami ingin masuk dan bertemu Nyonya Daiyu," ujarnya, dengan tenang seperti biasanya.Salah satu penjaga menggeleng. "Maaf Tuan, tanpa token tanda pengenal, tidak ada yang bisa masuk.""Token? Biasanya tidak ada peraturan semacam ini!" Ren Hui membalas, suaranya mulai meninggi. Di sampingnya, Song Mingyu dan Junjie mengerutkan dahi, merasakan ketegangan yang mengalir di udara. Ini pertama kalinya mereka mengunjungi tempat yang selama ini hanya mereka dengar saja."Peraturan ini baru diterapkan demi keamanan," jawab penjaga itu, wajahnya tegas. "Terutama setelah desas-desus tentang peti mati giok lavender dan pedang surgawi muncul. Pasar gelap ini rentan keributan dan penyusupan."

    Last Updated : 2024-09-24
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Informasi Dari Toko Daiyu

    Nyonya Daiyu menyesap teh hijaunya dengan anggun, bibirnya menyentuh cangkir porselen seolah mengalirkan kehalusan dari setiap tegukan. Dengan suara lembut namun tegas, ia membuka percakapan, “Akhir-akhir ini, rumor tentang kemunculan Peti Mati Giok Lavender dan Pedang Surgawi telah menyebar cepat di seluruh kota. Banyak yang percaya bahwa kedua benda itu membawa kekuatan tak terhingga bagi siapapun yang berhasil memilikinya.”Tatapan ketiga tamunya, Ren Hui, Junjie, dan Song Mingyu, tidak lepas dari sosok anggun Nyonya Daiyu. Mereka duduk di hadapannya dengan penuh perhatian, sementara aroma dupa lembut memenuhi udara, seakan mengiringi percakapan mereka dengan keheningan yang sarat makna.“Apakah rumor itu benar, Nyonya Daiyu?” tanya Ren Hui pelan. Tangannya memutar cangkir teh, gerakannya pelan namun mengisyaratkan kegundahan yang tersembunyi.Nyonya Daiyu tersenyum tipis, tatapannya mengandung misteri. “Hingga saat ini, rumor tetaplah rumor. Namun, seg

    Last Updated : 2024-09-25
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Song Mingyu Berlatih Bersama Junjie

    Keesokan paginya, Song Mingyu berlatih pedang di halaman terbuka. Embun pagi masih bergelayut di ujung dedaunan, memantulkan kilau lembut di bawah cahaya matahari yang baru terbit. Gerakannya tegas namun anggun, seperti aliran sungai yang tak terbendung. Setiap tebasan pedang mengukir angin dengan ketelitian yang membuatnya tampak seperti menari, bukan bertarung. Matanya tajam dan penuh konsentrasi, seolah seluruh dunia hanya terdiri dari dia dan pedangnya. Harmoni antara kekuatan dan kelincahan terpancar dalam setiap langkahnya.Dari kejauhan, terdengar kesibukan Ren Hui, yang sibuk menata kendi-kendi arak di dekat gerobak kayu. Suara kendi beradu pelan di udara pagi yang segar. Dia tengah mempersiapkan pengiriman araknya ke Toko Daiyu di pasar, sesuai janjinya pada Nyonya Daiyu semalam. Aroma arak yang khas sesekali tercium, menambah suasana damai di pagi yang cerah itu.Di sisi lain halaman, Junjie tengah duduk bersantai di bawah hangatnya si

    Last Updated : 2024-09-25
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Hadiah Palsu

    Malam perlahan menyelimuti langit Chunyu, menggulungnya dalam keheningan pekat, sembari menghiasinya dengan taburan bintang. Di atas sebuah rumah beroda yang berderak halus, dua sosok duduk bersanding. Angin malam yang segar berembus lembut, membawa aroma daun bambu dan embun dari hutan di kejauhan. Kabut tipis mengambang rendah di lembah, seakan ikut menari bersama angin.Ren Hui dan Junjie, kedua sahabat lama itu, menyesap arak dari cangkir yang berkilau keperakan di bawah sinar bulan. Suara tawa ringan Junjie mengisi kesunyian, membuat malam terasa lebih hidup. Di sampingnya, Ren Hui tersenyum tipis, matanya menatap jauh ke cakrawala, terbenam dalam kenangan yang hanya ia sendiri yang tahu.“Bagaimana dengan keadaan Ye Hun? Apakah ada tanda-tanda dia akan sadar?” tanya Junjie tiba-tiba. Suaranya terdengar lebih lembut daripada biasanya, seakan ia takut mengusik kedamaian malam yang tenang.Ren Hui menghela napas panjang, matanya melembut dalam keheninga

    Last Updated : 2024-09-25
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Misteri Bunga Biru Tujuh Rupa

    Hari telah beranjak senja ketika Ren Hui selesai mengantarkan arak ke Toko Daiyu. Cahaya keemasan mulai meredup di langit, memantulkan semburat lembayung pada jalanan berbatu di Jalan Kenangan, yang tampak lebih sunyi daripada biasanya. Meski demikian, hiruk-pikuk di pasar terapung masih bergeliat, serupa denyut nadi yang menjaga kehidupan kota tetap mengalir.Di sampingnya, Baihua,rubah putihnya yang setia, melangkah tenang. Mata cerah binatang itu memantau sekeliling dengan cermat, sementara bulu putihnya berkilauan diterpa sisa-sisa sinar matahari yang merambat di sela-sela pohon. Setiap kali Ren Hui menyelesaikan pekerjaannya, waktu berjalan-jalan seperti ini menjadi momen yang ia nanti-nantikan, kesempatan untuk melepaskan diri bersantai dan tentu saja mendengarkan kabar berita terbaru.Sore ini, ia berencana mengunjungi Taman Bunga Seribu Warna, sebuah tempat yang terkenal karena bunga-bunganya yang selalu mekar sepanjang tahun. Harum mawar dan magnolia mengg

    Last Updated : 2024-09-26
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Tak Ada Rindu

    Ren Hui melangkah perlahan, mendorong gerobak kayunya yang sederhana. Di sampingnya, Baihua, rubah putihnya yang ceria, berlari-lari kecil, ekornya bergetar penuh semangat. Gerobak itu terasa lebih ringan, hanya berisi beberapa barang, seperti bahan makanan segar dan tumpukan arang. Udara sore yang lembap mengalir, membawa aroma tanah basah dan wangi bunga krisan liar yang mekar di pinggir jalan, menambah keindahan perjalanan pulang yang tenang. Ketika berbelok dari Jalan Kenangan menuju jalan utama, Ren Hui menangkap sekilas keramaian di depan sana. Dia berhenti sejenak, menyesuaikan caping bambu yang melindungi wajahnya dari sinar matahari yang mulai meredup. Meski wajahnya mungkin tidak terlalu dikenal, kewaspadaan tetaplah penting. Pengalaman mengajarkan bahwa beberapa orang masih mengenalinya. Salah satunya adalah Junjie, yang langsung mengenalinya saat mereka bertemu di Pondok Dongfeng di kota Beixing. Ren Hui melanjutkan langkahnya, mendorong ger

    Last Updated : 2024-09-26

Latest chapter

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Puncak Báiyuè Shān

    Salju yang menutupi puncak Báiyuè Shān berkilauan di bawah cahaya redup matahari musim dingin. Ren Hui menatap ke kejauhan, mengamati lekukan pegunungan yang diselimuti kabut tipis. Udara dingin menusuk kulitnya, namun ia tetap berdiri tegak, membiarkan embusan angin pegunungan menggoyangkan ujung jubahnya yang telah tertutup butiran salju tipis.Sebelum memulai pendakian, ia sempat berpesan pada Mo Shuang—salah satunya agar pemuda itu rutin mengunjungi Yingying dan menyampaikan kabar terbaru pada tabib wanita itu. Setelahnya, tanpa banyak membuang waktu, ia mulai mendaki jalur berbatu yang menanjak curam. Meski perjalanannya ke Kota Es sudah cukup sulit, mendaki gunung ini tetap memberikan tantangan tersendiri."Baihua, tinggal sedikit lagi kita akan sampai di puncak." Ren Hui tersenyum puas, menepuk-nepuk kepala rubah putih kesayangannya yang berbulu tebal.Baihua mendengking pelan, menggosokkan tubuhnya pada kaki Ren Hui, seakan memahami ucapannya. Ren Hui terkekeh, lalu mengambil

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kota Es

    Kota Es sebenarnya bukanlah sebuah kota. Dulu, tempat ini diyakini sebagai pemukiman manusia, terbukti dari sisa-sisa bangunan yang masih berdiri, terbuat dari balok-balok es yang kini tertutup salju. Namun, seiring berjalannya waktu, yang tersisa hanyalah hamparan putih membentang luas tanpa jejak kehidupan. Sunyi. Hanya desir angin dingin yang menggigit tulang, melintas tanpa henti.Di bawah langit keperakan yang tertutup awan tipis, Ren Hui dan Mo Shuang akhirnya tiba di tempat itu setelah menempuh perjalanan lebih dari lima hari. Angin gunung menggulung butiran salju halus ke udara, menambah dingin yang menusuk hingga ke tulang. Báiyuè Shān memang tempat yang terpencil, seakan berada di ujung dunia yang terlupakan. Tempat terakhir di gunung ini yang masih sering dikunjungi manusia hanyalah tepian sungai, tempat rumah beroda milik Ren Hui berada."Tidak ada yang berubah," gumam Ren Hui seraya menatap hamparan putih tak berujung di hadapannya. Nafasnya membentuk

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Aku Akan Menunggu

    Seperti yang dijanjikan Mo Shuang, keesokan harinya mereka berdua bersiap-siap untuk pergi ke Kota Es. Udara pagi begitu dingin, selapis embun membeku di atas dedaunan, sementara sinar matahari samar-samar menembus kabut tipis di sekitar pegunungan. Mo Shuang, yang tengah mengikat mantel bulunya, sesaat terdiam saat melihat Ren Hui beraktivitas seperti biasa.Semalam, pria itu bahkan kesulitan untuk berjalan lurus. Kini, seolah tidak terjadi apa-apa, langkahnya ringan dan gerak-geriknya begitu alami."Penglihatanku terkadang kabur begitu saja tanpa sebab," jelas Ren Hui santai ketika menangkap tatapan penuh selidik dari Mo Shuang.Mo Shuang hanya mengangguk. Dia tidak bertanya lebih jauh, meskipun hatinya masih dipenuhi berbagai pertanyaan. Namun, daripada menyinggung sesuatu yang mungkin membuat Ren Hui merasa tidak nyaman, dia memilih untuk menyimpannya sendiri.Menjelang siang, mereka berdua ditemani Baihua, rubah putih yang setia meninggalkan

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Aku Mencari Bunga Es Abadi

    Mo Shuang menatap Ren Hui dengan sorot mata yang sulit ditebak. Udara dingin merayapi pondok kecil mereka, tetapi kehangatan dari tungku di sudut ruangan sedikit menghalau hawa beku yang merayap di kulit. Dengan gerakan telaten, Mo Shuang mengambil sepotong bāozi, kemudian mengupas daun bambu yang membungkus zongzi isi daging, meletakkannya di atas piring tepat di hadapan pria itu.“Maaf, aku merepotkanmu,” ucap Ren Hui pelan, suaranya sarat dengan ketulusan dan sedikit rasa tidak enak hati.Mo Shuang melirik sekilas, lalu mendengus kecil. “Akan lebih merepotkan jika kau tidak mengatakan tujuanmu ke sini, bukan?” sahutnya santai, tetapi di telinga Ren Hui, nada suara wanita itu terdengar dingin, seakan menyembunyikan sesuatu di balik sikap acuhnya.Ren Hui terkekeh pelan, menghangatkan jemarinya di cangkir teh yang masih mengepul. Sepertinya, dia memang harus mengatakan dengan jujur alasan kedatangannya ke Báiyuè Shān setelah lima belas tahun berlalu.

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Tamu

    Ren Hui berdiri di ambang pintu, tatapannya tak lepas dari sosok berjubah hitam yang melangkah perlahan menuju pondok. Langkahnya ringan, seolah tak menyentuh tanah, sementara mantel hitamnya berkibar samar di bawah cahaya remang senja. Salju tipis berjatuhan, menambah kesan misterius pada sosok yang kini berhenti di depan teras.Ren Hui mengedipkan matanya, menyadari bahwa pandangannya semakin memburam. Sosok itu semakin samar, hanya bayangan kabur di dalam pandangannya yang berkabut."Ren Jie!" Suara itu terdengar, mengusik keheningan.Ren Hui tertegun. Suara itu, sangat akrab meski terdengar dingin. Sosok itu membuka tudung mantel hitamnya. Ren Hui tersenyum cerah saat mengenali sosok yang berdiri di hadapannya."Lama tak bertemu, Ren Jie sang Dewa Pedang," sapanya dengan suara setenang air yang membeku. Bahkan tidak ada seulas senyum pun di bibirnya.Senyum cerah Ren Hui semakin merekah, matanya berbinar meskipun dunia di sekelilingny

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Bayangan Hitam di Ujung Senja

    Baihua mendengking lebih keras, ekornya yang lebat melambai gelisah. Rubah putih itu duduk tegak di tengah jalan, tepat di depan Ren Hui, seolah menjadi penghalang agar tuannya tidak melangkah lebih jauh."Ada apa, Baihua?" Ren Hui berjongkok di sisinya, menepuk lembut kepala rubah itu. Bulu putihnya terasa dingin di telapak tangan. "Kalau tidak bergegas, kita akan kemalaman," lanjutnya, mendongak menatap langit. Sinar matahari kian memudar, membiaskan rona jingga samar di cakrawala yang mulai dilingkupi bayangan senja.Baihua kembali mendengking, suaranya menggema lirih di antara desir angin musim dingin. Matanya yang bening berkilau menatap Ren Hui, seolah mencoba menyampaikan sesuatu yang tak terucapkan. Ren Hui hanya tersenyum, mengusap kepala rubah itu dengan lebih lembut, lalu mengangkatnya ke dalam pelukan."Apa kau takut?" bisiknya, suaranya selembut bisikan angin. "Jangan khawatir, bukankah kita selalu bersama? Selamanya?"Rubah itu tidak

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Padang Bunga Yang Membeku

    Ren Hui menapaki jalan setapak berbatu dengan hati-hati. Angin dingin berembus perlahan, membawa aroma salju yang menggantung di udara. Di depan, Baihua berlari kecil mendahuluinya, meninggalkan jejak-jejak samar di atas salju tipis yang menutupi bebatuan. Rubah putih itu seharusnya tetap berada di tepi sungai bersama Yingying, tetapi ketika Ren Hui melangkah menyeberangi jembatan kayu tua, Baihua justru menyusulnya tanpa ragu."Baihua, setelah tiba di atas, kau harus kembali ke sungai. Temani Yingying!" seru Ren Hui.Baihua berhenti berlari, mendengking pelan seolah memprotes perintah itu. Ren Hui terkekeh. Sudah terbiasa dengan tingkah rubah putihnya yang keras kepala. Mereka kembali berjalan, melewati jalan setapak yang mulai menanjak. Batu-batu di bawah kaki mereka terasa licin, tersembunyi di balik lapisan es tipis yang nyaris tak terlihat. Ren Hui menghela napas, memusatkan perhatian pada setiap pijakannya."Baihua, tempat ini tidak banyak berubah,"

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Memulai Perjalanan Menuju Kota Es

    Mentari musim dingin baru saja menyembul dari balik awan-awan putih, menyinari lembut permukaan sungai yang mulai membeku. Kabut tipis masih melayang, menyelimuti tanah dengan hawa dingin yang menggigit.Di tepi sungai, Ren Hui duduk santai di atas batang kayu tua, meniup uap tipis dari cangkir teh jahe di tangannya. Aroma hangat jahe bercampur dengan wangi samar goji berry, lavender, madu dan chamomile, menenangkan pikirannya. Baihua, rubah putih berbulu lembut, meringkuk di dekat kakinya. Sesekali mengibaskan ekor, tampak menikmati kedamaian pagi itu.Tak jauh dari tempatnya duduk, sebuah keranjang bambu berisi bekal tertata rapi di atas rerumputan yang mulai tertutup embun beku. Hari ini, dia akan memulai perjalanannya menuju Kota Es, tempat yang hingga kini hanya dianggap legenda oleh penduduk setempat.Suara nyaring memecah ketenangan pagi, menggema di antara dahan pohon yang tertutup salju. "Ren Hui!" Dari teras rumah beroda, Yingying memanggilnya de

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Tiba Di Kota Embun Beku

    Musim berlalu seakan berkejaran dengan waktu. Guguran daun kemerahan musim gugur telah lama tertiup angin, menyertai perjalanan rumah beroda yang bergerak perlahan menuju Báiyuè Shān. Kini, saat salju tipis turun menutupi tanah, musim dingin hampir merampungkan masanya. Rumah beroda milik Ren Hui tetap berjalan tertatih-tatih, menembus rintik salju hingga mencapai kaki pegunungan.Di tengah perjalanan panjang ini, berbagai kabar besar telah berlalu begitu saja—termasuk eksekusi Liuxing dan bahkan mangkatnya Ibu Suri. Namun, roda nasib terus berputar, membawa mereka semakin jauh dari masa lalu.Di Kota Yanyang, kota terakhir sebelum pendakian ke Báiyuè Shān, rumah beroda melaju pelan. Langit kelabu menaungi kota yang namanya memiliki makna "embun beku," membingkai perhentian terakhir sebelum mereka menapaki jalur menuju Kota Es, tempat yang konon hanya ada dalam legenda.Di depan rumah beroda, seorang pria bermantel putih duduk mengemudikan kendaraan sederh

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status