“Saya bisa jelaskan semuanya, ini tidak seperti yang ….”“Siapa dia, Rangga?” tanya Sekar memotong kalimat Rangga, suaranya tegas namun terkontrol. Sekar masuk dengan langkah tegas, wajahnya penuh otoritas.Nadya merasakan tubuhnya membeku dia tidak mengenali perempuan yang baru memasuki ruang perawatan Rangga. Nadya merasa seperti seorang anak kecil yang tertangkap basah sedang melakukan tindakan nakal. Wanita itu menatap mereka berdua dengan sorot mata tajam yang membuat Nadya semakin terpojok.Sementara Rangga mencoba duduk lebih tegak meski rasa sakit kembali menjalari tubuhnya.“Bu ...” Rangga berusaha menjelaskan, tetapi Sekar mengangkat tangan, memberi isyarat untuk diam.“Kalau saja kamu tidak dalam keadaan seperti ini, Rangga, sudah pasti aku akan menghukummu. Beraninya kamu mempermainkan anak gadis orang seperti ini!” Nada Sekar penuh ketegasan, matanya kini beralih ke Nadya. “Dan kamu, siapa namamu? Apa yang kamu lakukan di sini?”Nadya menggigit bibir, mencoba mencari kata
Rasa bersalah menuntun Andika mendatangi rumah sakit. Mungkin dia tidak akan pernah meminta maaf secara langsung, tetapi setidaknya dia harus memastikan jika Rangga dalam keadaan baik-baik saja. Namun, ketika ia semakin dekat, matanya menangkap beberapa pria bertubuh tegap berdiri di depan pintu ruangan Rangga. Wajah-wajah mereka tampak dingin dan tak bersahabat. Mereka bukan sekadar penjaga biasa, Andika tahu mereka adalah orang-orang yang profesional, yang sudah pasti mendapat mendapat instruksi dan petunjuk siapa saja yang boleh melihat keadaan Rangga. Langkah Andika terhenti. Ia menimbang-nimbang apakah ia harus melanjutkan atau berbalik pergi. Hatinya ingin masuk, tapi pikirannya berkata sebaliknya. Andika berdiri diam, menatap pintu itu dengan perasaan campur aduk. Ia menggenggam tangannya erat, mencoba menenangkan debaran di dadanya. Rasa tenang itu tidak kunjung di dapat oleh Andika. Ketika ia tengah bergelut dengan pikirannya sendiri, indra pengelihatannya menangkap b
Risda memandang Andika dengan tenang, tetapi ada kekhawatiran di matanya. Ia merasakan ketegangan yang menggantung di udara, seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja. Sean menghembuskan napas secara kasar, ada penyesalan saat melihat kekhawatiran di wajah istrinya. Tentu Andika tidak ingin Risda kembali histeris dan menambah beban, pada saat banyak masalah yang harus dia selesaikan. “Papa tunggu di ruang kerja,” ujar Andika dingin, nyaris tanpa menoleh pada Risda. Ia bergegas pergi, meninggalkan jejak ketegangan yang semakin merayap dalam suasana. “Ryan,” Risda memanggil pelan nama putranya, suaranya lirih seperti doa yang tak sampai. Firasaynya mengatakan akan ada pertengkaran lagi antara suami dan anaknya. “Mama tenang saja, semua akan baik-baik saja.” Ryan berusaha menenangkan hati sang mama. Sebelum pergi Ryan menyempatkan melabuhkan kecupan singkat di pucuk kepala wanita yang telah melahirkannya. Ryan melangkah dengan mantap menuju ke ruang kerja. Andika sudah menungg
Ryan membeku. Kata-kata itu menghantamnya seperti pukulan telak yang tak terduga. Pandangannya kosong sejenak, lalu tatapannya terarah pada wajah ayahnya yang tegas namun penuh luka. Ryan mencoba membaca ekspresi itu, mencari tanda bahwa ini hanyalah kebohongan untuk membuatnya menyerah. Tapi tidak ada keraguan di sana. “Papa bercanda, kan?” suaranya bergetar. Ryan mencoba tetap tenang, tapi denyut nadi di pelipisnya mengkhianati dirinya. Andika menggeleng perlahan. “Aku tidak akan bercanda tentang ini, Ryan. Rangga terluka parah. Dia hampir kehilangan nyawanya.” “Tidak mungkin …” Ryan bergumam, seolah berbicara kepada dirinya sendiri. Tangannya mengepal, mencoba menahan getar di tubuhnya. “Aku sudah memastikan semuanya. Mobil Sean yang aku targetkan. Foto-fotonya jelas.” “Foto itu tidak bohong, Ryan,” sahut Andika tegas. “Kau tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, Rangga yang membawa mobil itu seharian. Sean selamat, dan dia tahu apa yang kau lakukan.” Ryan menatap ayahnya, ta
Apa yang bisa diharapkan dari seorang lelaki yang masih dibayang-bayangi oleh masa lalunya?Tidak ada, hanya nestapa yang tergambar membentang. Itu yang dirasakan oleh Risda setelah perpisahan Andika dan Sekar.Meskipun menjadi istri satu-satunya, tetapi status Risda masih tetap menggantung tidak pernah disahkan. Bahkan kejadian buruk yang menimpanya di tahanan hingga harus kehilangan calon anak dan juga rahimnya tidak membuat Andika merasa simpati dan lebih mencintainya.“Dulu mama pikir cinta itu cukup untuk segalanya. Mama pikir jika mama bertahan, papa kamu akan berubah, akan mencintai mama sepenuh hati. Papamu akan menyayangimu dengan tulus. Tapi lihat apa yang terjadi?”Ryan terdiam, ada banyak konsekuensi yang harus ditanggung dengan meninggalkan sang papa dan juga Mahendra Securitas. Selama ini dia menggantung hidup dari perusahaan sang papa, selain itu Risda juga masih membutuhkan pengobatan rutin yang tentunya akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit.Semakin ke sini Ryan s
Sebagai seorang pebisnis, Sean sadar nama istrinya saat ini sedang banyak dibicarakan di berbagai media online sehubungan dengan rencana pernikahan Miranda. Sepertinya banyak pihak yang ingin memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan mereka.Sean menatap wajah Lila dengan sorot mata yang penuh kekhawatiran. Di hadapannya, istrinya yang sedang hamil besar tampak begitu bersemangat, seolah tak terpengaruh oleh rasa letih trimester terakhir kehamilan.Namun, bagi Sean, semangat itu justru menjadi alasan utama kekhawatirannya. Ia menghela napas panjang, mencoba memilah dan memilih kata yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya.“Aku rasa ini kesempatan yang baik untuk karirku,” ucap Lila dengan suara mantap, sambil mengelus lembut perutnya yang membuncit.“Karir?” Sean mengulang, matanya menyipit sedikit, mencari makna di balik kata itu. Di dalam hatinya, ia berharap Lila akan mengubah arah pembicaraan.“Menjadi konten kreator?” tanya Sean terlihat ragu-ragu.Lila menggeleng pelan, seny
Lila duduk di kursi belakang mobil dengan cermin kecil di tangannya. Tangannya sibuk merapikan bedak di wajah dan membetulkan lipstik yang sedikit memudar. Di luar, jalanan yang padat perlahan membawa mereka menuju studio tempat podcast Mellisa Tyson. Sekilas, dia melirik jam di dashboard mobil, waktu semakin dekat, dan kegugupan mulai merayap di hatinya.“Aku takut salah ngomong,” Lila bergumam sambil meletakkan cermin kecil ke dalam tasnya. Nadya, yang duduk di sebelahnya, menoleh dan tersenyum menenangkan.“Lila, kamu sudah sering berbicara di depan kamera. Ingat semua video yang kamu buat? Kamu tahu apa yang harus kamu katakan,” ujar Nadya sambil menepuk lembut bahu sahabatnya.“Tapi ini berbeda. Pendengar mereka jauh lebih luas, dan aku ...,” Lila berhenti, mencoba merangkai kata. Nadya memotong dengan tawa kecil.“Kamu akan baik-baik saja. Percayalah, mereka mengundangmu karena mereka tahu kamu punya sesuatu yang menarik untuk dibagikan. Fokus saja pada apa yang kamu tahu dan ap
Setelah selesai melakukan podcast yang berlangsung lancar, Lila dan Nadya keluar dari studio dengan senyum puas.Sopir yang ditugaskan Sean untuk mengantar kemana pun istri pergi terlihat sigap. Dia langsung membukakan pintu saat melihat Lila dan Nadya semakin mendekat.Di dalam mobil yang nyaman, mereka bersiap menuju rumah sakit untuk melihat kondisi Rangga. Nadya duduk di sebelah Lila, tampak lebih santai setelah acara selesai.“Lila, aku ingin tanya sesuatu,” kata Nadya dengan nada hati-hati, memulai pembicaraan.Lila melirik sahabatnya sambil mengatur posisi duduknya. Kehamilannya yang sudah besar sering membuatnya tidak nyaman saat duduk.“Tanya saja, Nad?”Nadya memainkan jari-jarinya, sedikit gugup. “Kamu sudah tahu rencana pernikahanku dengan Rangga?” tanya balik Nadya.“Sudah, dari Sean.”Lila tidak pernah menduga jika dalam waktu singkat sahabatnya itu memutuskan untuk menikah dengan Rangga yang baru dikenalnya. Meski dari cerita yang dia dengar, itu terjadi atas paksaan Se
Malika duduk di sudut ruangan, memeluk boneka kelinci kesayangannya sambil memperhatikan Brilian dan Renasya. Matanya menyipit sedikit, menunjukkan perasaan yang tidak bisa ia sembunyikan, cemburu.Brilian tampak begitu bersemangat memperkenalkan Renasya kepada Malika. “Ini Renasya! Dia adikku!” ucap Brlian dengan bangga, tangannya menggandeng Renasya seolah ingin melindungi adik sepupunya tersebut.Malika menggigit bibirnya, merasa ada sesuatu yang berubah. Selama ini, Brilian selalu dekat dengannya, selalu melindungi dan menjaganya seperti kakak sendiri. Tapi sekarang, perhatian Brilian sepenuhnya tertuju pada Renasya.“Kamu kenapa diam saja, Malika?”Malika menggeleng pelan, tapi matanya masih terpaku pada Brilian dan Renasya. Lalu dengan berat hati akhirnya menerima uluran tangan Renasya.Renasya tersenyum saat Malika menggenggam tangannya. “Namaku Rena, aku adiknya Kak Brili. Kita bisa main bersama.”Suasana hati Malika tampaknya sedang tidak baik. Dia tidak seantusias biasanya s
Suasana duka menyelimuti rumah Andika. Cahaya lampu yang temaram dan lantunan doa-doa menciptakan keheningan yang mencekam. Sekar berdiri di sudut ruangan, memperhatikan Sean dan Ryan, tampak keduanya sama-sama dirundung kesedihan.Dalam hati Sekar bertanya, kebaikan apa yang membuat Andika begitu dicintai oleh kedua anaknya. Meski sebagai seorang ayah, Andika telah melakukan sebuah kesalahan fatal yang meninggalkan luka mendalam, baik itu kepada Sean maupun Ryan.Sean, meskipun wajahnya tidak berhiaskan senyum, tetapi dia tetap terlihat tegar. Ia menyapa tamu yang datang, memberi arahan kepada para pelayan agar memastikan segala sesuatu berjalan dengan baik. Namun, sesekali, tatapannya melayang ke arah jenazah sang papa, seolah masih berusaha menerima kenyataan pahit ini.Sementara itu, Ryan duduk diam di samping jenazah Andika, wajahnya kaku tanpa ekspresi. Tidak ada air mata yang jatuh, tetapi kesedihan terpancar jelas di matanya. Ryan seperti sedang menunggu sang papa tertidur, be
Sekar menguatkan hatinya melangkah mendekati ranjang perawatan Andika dengan perasaan yang tak menentu. Napas pria itu tersengal, dengan mata yang setengah terbuka, seolah ingin menangkap sosok Sekar untuk terakhir kalinya. Di sekeliling mereka, suara alat medis terus berbunyi, menjadi latar yang tak bisa diabaikan.Sekar menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan air matanya. Dengan tangan gemetar, ia menggenggam tangan Andika yang terasa semakin dingin. Perasaan bersalah dan kepedihan bersarang dalam hati perempuan paruh baya itu. Bagaimana mungkin cinta mereka yang pernah menggebu-gebu kini berakhir di sini?Sekar mendekatkan mulutnya tepat di telinga Andika. Dengan suara pelan dan bergetar, perempuan paruh baya itu membisikkan sebuah doa, seperti yang pernah ia ucapkan kala melepas kepergian sang papa beberapa tahun yang lalu.Bayangan kebersamaan mereka yang dulu kembali menghampiri pikirannya, berputar-putar tanpa henti.Andika dengan tatap mata kosong yang menerawang, mencoba
Sekar melangkah keluar dari ruang perawatan Andika dengan gurat wajah penuh kekesalan. Ia tidak ingin berlama-lama di tempat itu, karena hanya akan mengingatkan kembali pada luka lama yang sampai saat ini belum bisa sembuh sepenuhnya.Seandainya bukan untuk memberi kejelasan tentang hubungan mereka, bagi Sekar pertemuan ini hanya membuang waktunya. Andika sudah menjadi bagian dari masa lalu yang tak perlu diungkit lagi.Namun, baru beberapa langkah dari pintu, suara langkah kaki yang tergesa-gesa membuatnya berhenti. Sekar menoleh dan melihat seorang dokter bersama beberapa perawat bergegas masuk ke ruang perawatan Andika. Wajah mereka tegang, gerakan mereka cepat dan menunjukkan suasana darurat.Hatinya mendadak berdebar kencang. Sekar bisa saja mengabaikan, dan terus berjalan seperti yang ia rencanakan sejak awal. Namun, tanpa sadar, kaki perempuan paruh baya itu justru melangkah kembali ke arah pintu.Sekar berdiri di ambang pintu, menyaksikan dokter dan perawat mengelilingi Andika
Brilian dengan antusias menceritakan pertemuannya dengan Renasya kepada Sekar. Bocah itu duduk di sofa sambil mengayunkan kakinya, wajahnya bersinar penuh semangat.“Oma, ternyata aku sudah punya adik.”Sekar menatap cucunya. Biasanya yang dia sebut adik adalah Malika dan Mikaila anak dari Rangga dan Nadya.“Namanya Renasya, Oma. Dia cantik sekali! Rambutnya panjang wangi, dia juga lucu, suka tertawa. Tidak cengeng seperti Malika,” cerita Brilian dengan penuh semangat.Sekar, yang sedang membaca majalah di sebelahnya, hanya menanggapi dengan anggukan kecil. “Oh ya?”Brilian mengangguk cepat. “Iya! Aku suka main sama dia. Kalau nanti dia main ke sini, aku mau ngajarin dia main basket.”Sekar tersenyum kecil, tapi tak ada antusiasme di matanya. Ia mendengar cerita cucunya, tapi hatinya tetap dingin. Meski dia sadar jika Renasya tidak berdosa, tetapi Sekar belum bisa menerima Renasya ataupun Ryan sepenuhnya.Bagi Sekar, meski Risda sudah tiada, jejak kesalahan wanita itu masih terasa dal
Suasana di ruang perawatan Andika dipenuhi kebahagiaan. Sean dan Ryan datang bersama keluarga mereka, membawa serta anak dan istri masing-masing. Andika tersenyum melihat dua putranya berdiri berdampingan, membawa keluarga kecil mereka ke hadapannya."Papa, ini Renasya," ujar Ryan sambil menggendong putrinya yang masih malu-malu.Andika menatap gadis kecil itu dengan penuh kasih. "Renasya, ke mari, Nak."Renasya menoleh ke Ryan, memastikan bahwa dia boleh mendekat, lalu dengan ragu melangkah ke tempat tidur Andika. Saat Andika mengulurkan tangannya, Renasya tersenyum dan menggenggam jemari rentanya."Opaaaa!" serunya girang.Andika melihat Brilian yang masih berada di samping Sean. Mereka sudah beberapa kali bertemu, pertemuan yang dirahasiakan dari Sekar tentunya.“Brili tidak kangen opa?” tanya Andika sambil mengulurkan tangannya. “Sini dekat dengan adikmu.”“Dia kakakku?” tanya Renasya dengan polosnya.Bocah yang baru berusia tiga tahun kembali melihat ke arah kedua orang tuanya se
Sean setengah berlari menuju ruang perawatan Andika. Napasnya memburu, tapi hatinya penuh harapan. Begitu membuka pintu, matanya langsung menangkap pemandangan yang membuatnya terdiam sesaat.Andika terbaring di atas brankar dengan mata terbuka, menatap ke arahnya dengan senyum tipis. Di sampingnya, Ryan duduk dengan ekspresi penuh kebahagiaan.“Papa sudah sadar!” seru Ryan, suaranya terdengar lega.Sean nyaris tidak percaya. Ia segera mendekat, meraih tangan sang papa dengan erat. “Papa…” suaranya bergetar. “Akhirnya…”Andika menatap kedua putranya dengan mata berkaca-kaca. “Kalian di sini…” suaranya lemah, tapi penuh kehangatan.Untuk pertama kalinya Andika menyaksikan kedua putranya berada dalam satu tempat dalam keadaan kompak dan rukun.“Papa sudah lama tertidur,” ujar Ryan, mencoba menahan emosinya. “Kami menunggu Papa sadar.”Sean mengangguk cepat. “Kami pikir… Papa tidak akan bangun lagi.”Andika tersenyum samar, menatap mereka satu per satu. “Tuhan masih memberiku waktu… untu
Setelah makan malam selesai, mereka berkumpul di ruang keluarga. Brilian sangat bahagia karena bisa berkumpul dengan keluarganya secara utuh. Bocah itu tidak ingin jauh dari papanya, tampak ingin bermanja sejenak sebelum dia tidur.Sean menyandarkan punggungnya di sofa, menatap mamanya dengan ekspresi penuh selidik. Lila duduk di sampingnya, perutnya yang sudah mulai terlihat membesar tampak menyulitkan pergerakannya. Mungkin karena hamil kembar, perut Lila terlihat lebih besar dari usia kehamilannya saat ini.Sean menautkan jemarinya tampak ragu untuk mulai berbicara. "Mama, aku ingin tahu sesuatu."Sekar menyesap tehnya dengan tenang. "Apa Sean?""Bagaimana caranya Mama meyakinkan Ryan?" Sean menatapnya tajam. "Beberapa kali aku bertemu dengannya, dia jelas menolak. Tapi tiba-tiba, dia setuju. Apa yang Mama lakukan?"Memang selama ini Ryan sering menyebut nama Sekar sebagai alasan penolakannya. Tetapi ternyata setelah Sekar sendiri yang menemuinya, Ryan justru langsung menyetujui ta
Ryan menunduk, menatap map berisi bukti-bukti yang bisa menghancurkan hidupnya dan keluarganya. Sekar telah memainkan kartunya dengan sempurna. Dia terpojok, tak lagi punya pilihan.Dengan Anggun Sekar membersihkan sisa makanan di mulutnya. Senyum kemenangan merekah di bibirnya, lalu dia berucap dengan suaranya rendah namun tajam, “Jangan sia-siakan kesempatan ini. Bayar kebaikan Sean dan jadilah adik yang berguna untuk kakakmu.”Ryan mengepalkan tangannya, merasakan amarah dan rasa tidak berdaya yang bercampur menjadi satu. Sekar telah menang, dan dia tidak bisa melakukan apa-apa.Saat kita berbuat dosa dan kesalahan, tetapi masih bisa berkeliaran, bukan berarti kita benar-benar bebas. Saat semua diam dan melakukan pembiaran, itu karena tidak ada kepentingan dengan menggungkitnya. Tetapi mereka akan menggunakan kesalahan untuk menekan kita pada waktu yang tepat. Pertemuan dengan Sekar menyadarkan Ryan akan hal itu.Mungkin dia bisa menghadapi Sekar sendiri, tetapi jika itu sudah meny