Sebagai seorang pebisnis, Sean sadar nama istrinya saat ini sedang banyak dibicarakan di berbagai media online sehubungan dengan rencana pernikahan Miranda. Sepertinya banyak pihak yang ingin memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan mereka.Sean menatap wajah Lila dengan sorot mata yang penuh kekhawatiran. Di hadapannya, istrinya yang sedang hamil besar tampak begitu bersemangat, seolah tak terpengaruh oleh rasa letih trimester terakhir kehamilan.Namun, bagi Sean, semangat itu justru menjadi alasan utama kekhawatirannya. Ia menghela napas panjang, mencoba memilah dan memilih kata yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya.“Aku rasa ini kesempatan yang baik untuk karirku,” ucap Lila dengan suara mantap, sambil mengelus lembut perutnya yang membuncit.“Karir?” Sean mengulang, matanya menyipit sedikit, mencari makna di balik kata itu. Di dalam hatinya, ia berharap Lila akan mengubah arah pembicaraan.“Menjadi konten kreator?” tanya Sean terlihat ragu-ragu.Lila menggeleng pelan, seny
Lila duduk di kursi belakang mobil dengan cermin kecil di tangannya. Tangannya sibuk merapikan bedak di wajah dan membetulkan lipstik yang sedikit memudar. Di luar, jalanan yang padat perlahan membawa mereka menuju studio tempat podcast Mellisa Tyson. Sekilas, dia melirik jam di dashboard mobil, waktu semakin dekat, dan kegugupan mulai merayap di hatinya.“Aku takut salah ngomong,” Lila bergumam sambil meletakkan cermin kecil ke dalam tasnya. Nadya, yang duduk di sebelahnya, menoleh dan tersenyum menenangkan.“Lila, kamu sudah sering berbicara di depan kamera. Ingat semua video yang kamu buat? Kamu tahu apa yang harus kamu katakan,” ujar Nadya sambil menepuk lembut bahu sahabatnya.“Tapi ini berbeda. Pendengar mereka jauh lebih luas, dan aku ...,” Lila berhenti, mencoba merangkai kata. Nadya memotong dengan tawa kecil.“Kamu akan baik-baik saja. Percayalah, mereka mengundangmu karena mereka tahu kamu punya sesuatu yang menarik untuk dibagikan. Fokus saja pada apa yang kamu tahu dan ap
“Kau tahu, kecerdasan itu diturunkan dari ibunya?” Lila mengangguk mengiyakan ucapan Sekar, ibu mertuanya. “Itu sebabnya mama memilihmu untuk menjadi istri Sean, untuk melahirkan keturunan-keturunan yang cerdas bagi keluarga Wismoyojati.” Dahulu Lila adalah salah satu mahasiswa pintar yang mendapatkan beasiswa dari perusahaan Wismoyojati. Saat magang di perusahaan itu, Lila menunjukkan kinerja yang sangat baik, hingga membuat Sekar begitu tertarik kepada dirinya. Bahkan untuk bisa mendapatkan dirinya saat itu, Sekar membanjiri keluarga Lila dengan begitu banyak hadiah, agar Lila bersedia menikah dengan Sean, putra tunggalnya. “Tapi setelah mama pikir-pikir, setelah dua tahun pernikahan kalian, apa gunanya memiliki menantu yang cerdas kalau ternyata mandul?” Lila menunduk menyembunyikan kegetiran hatinya. Setelah dilambungkan setinggi langit, lalu dijatuhkan hingga hancur berantakan. “Sean adalah pewaris tunggal di keluarga Wismoyojati, apa jadinya jika dia tidak memiliki ke
Seburuk inilah komunikasi antara Lila dan dan Sean. Sampai Sean lupa memberi tahu tentang pengumuman brand ambassador produk baru perusahaan mereka. Hati Lila merasa tercubit, keberadaanya sama sekali tidak dianggap, bahkan untuk acara sebesar ini dirinya tidak dilibatkan sama sekali. Jangankan dilibatkan, diberi tahu pun secara mendadak.Lila membuka lemari pakaiannya, tampak kebingungan karena tidak ada satu pun pakaian yang sesuai dengan dress code dalam undangan yang baru saja Sean kirim memalui aplikasi perpesanan. Satu jam lagi acara dimulai, sudah tidak ada waktu untuk ke butik atau memesan secara online. Lila harus bisa memaksimalkan pakaian yang ada.Seperti apa yang sudah Lila duga, penampilannya akan menjadi pusat perhatian. Bukan karena penampilannya yang penuh pesona, tetapi karena dia mengenakan pakaian yang sudah pernah dia gunakan di acara sebelumnya."Lihat, bukankah itu gaun yang sama dengan yang dia pakai di acara amal bulan lalu?" bisik seorang perempuan kepada tem
Lila membiarkan dingin menyelimuti tubuhnya. Malam yang semakin larut membuatnya kesulitan mendapatkan taksi. Ingin rasanya memesan satu kamar di hotel ini untuk sekedar mengistirahatkan tubuhnya, tetapi mengingat ada Sean dan Miranda di kamar yang lain membuat Lila ingin sesegera mungkin meninggalkan hotel bintang lima tersebut.“Sendiri?” Suara bariton yang tak dikenal itu membuyarkan lamunan Lila.Lila segera menyeka air matanya, berusaha menyembunyikan kesedihan dari orang yang tidak dia kenal. Ia berbalik dan melihat seorang pria tampan dengan sorot mata tajam namun ramah.“Butuh tumpangan ... Nyonya Wismoyojati?” tanyanya sambil tersenyum.“Tidak, terima kasih.” Degup jantungnya semakin kencang. Bukan karena terpesona dengan pria tampan di hadapannya, tetapi ada ketakutan tersendiri saat bertemu dengan orang asing pada saat malam merayap berganti hari.“Mau saya temani sampai mendapatkan taksi?” Pria itu menawarkan lagi, nada suaranya tulus dan tenang.“Tidak perlu,” tolak Lila
“Ini bukan tentang Ryan atau pun Miranda, ini tentang kita yang memang tidak bisa hidup bersama.” Lila berusaha tetap tenang menghadapi Sean. Entah apa yang membuat suaminya menunjukkan sikap berlebihan dengan sosok Ryan Aditya Mahendra.“Berapa yang kau minta?”Lila menunduk menyeka air mata. Apa pun tentang dirinya, Sean anggap bisa dinegosiasikan dengan uang. Segala urusan bisa diselesaikan dengan uang, termasuk urusan ranjang. Serendah itu Lila di mata Sean, anak sopir taksi yang menerima lamaran Sekar untuk dirinya. Jika bukan demi harta, lalu apa lagi?“Aku tidak menginginkan apapun.” Tenggorokan Lila terasa kering, hingga dia harus menelan ludah untuk bisa melanjutkan kalimatnya. “Tak masalah, tanpa ada gono-gini, asal kita berpisah.”“Jangan pernah membicarakan tentang perceraian lagi, atau aku akan menghentikan uang untuk pengobatan ayahmu.”Ancaman yang terasa begitu mengiris hati Lila. Bukan bermaksud tidak berbakti kepada orang tua, tetapi Lila merasa sudah di ambang batas
Lila menggelengkan kepala, yang dia inginkan saat ini hanya kebebasan, mencari kebahagiaannya sendiri, lepas dari sangkar emas keluarga Wismoyojati. Anggap saja Lila egois, tetapi dia hanya ingin menjaga kewarasannya, baik jiwa maupun raga. Sudah cukup hinaan dari Sekar dan pengabaian dari Sean, sudah cukup selama dua tahun, tubuhnya disentuh tanpa cinta.“Sudah banyak yang saya dapatkan dari keluarga ini, bukan hanya harta benda, tetapi juga ilmu dan kesehatan ayah saya. Saya tidak memiliki apa pun untuk memberi balasan yang sepadan, jadi saya tidak akan mempersulit keinginan mama dan Sean untuk segera memiliki penerus bagi keluarga ini.”Sekar tersenyum lega mendengar ucapan Lila. Permintaan Lila adalah harapannya selama ini. Jika Lila tidak ingin mempersulit, Sekar akan semakin mempermudah perceraian itu terjadi. Apa pun akan dia lakukan untuk bisa segera memiliki cucu, dan perceraian Lila dengan Sean adalah langkah awal.Saat ini di kepala Sekar sudah dipenuhi perempuan-perempuan
Lila merasakan napas panas Sean yang mengalir di telinganya, membuat tubuhnya semakin tegang. Posisinya yang terjepit di antara dinding dan tubuh Sean membuatnya merasa tidak berdaya. Segala ketakutan dan kekhawatiran yang selama ini ia coba pendam kini muncul ke permukaan.Di tengah segala kepedihan dan rasa terhina, ada dorongan kuat dalam hatinya untuk melawan. Ini bukan hanya tentang keinginan untuk bebas, tapi tentang menjaga sisa-sisa harga dirinya yang hampir terkikis habis oleh pernikahan yang hambar dan tidak memiliki masa depan.“Aku tidak mencari pria lain, Sean,” jawab Lila dengan suara yang hampir tidak terdengar, tetapi ada ketegasan di balik kata-katanya. “Aku hanya ingin keluar dari hubungan yang sudah tidak sehat ini. Kita berdua tahu bahwa ini tidak bisa dilanjutkan. Kau tidak mencintaiku, dan aku membebaskanmu mencari cinta dan kebahagiaan dengan wanita lain.”Sean menyipitkan matanya, tatapan mata yang merendahkan Lila, mencoba mencari celah untuk menyerang. “Kau t
Lila duduk di kursi belakang mobil dengan cermin kecil di tangannya. Tangannya sibuk merapikan bedak di wajah dan membetulkan lipstik yang sedikit memudar. Di luar, jalanan yang padat perlahan membawa mereka menuju studio tempat podcast Mellisa Tyson. Sekilas, dia melirik jam di dashboard mobil, waktu semakin dekat, dan kegugupan mulai merayap di hatinya.“Aku takut salah ngomong,” Lila bergumam sambil meletakkan cermin kecil ke dalam tasnya. Nadya, yang duduk di sebelahnya, menoleh dan tersenyum menenangkan.“Lila, kamu sudah sering berbicara di depan kamera. Ingat semua video yang kamu buat? Kamu tahu apa yang harus kamu katakan,” ujar Nadya sambil menepuk lembut bahu sahabatnya.“Tapi ini berbeda. Pendengar mereka jauh lebih luas, dan aku ...,” Lila berhenti, mencoba merangkai kata. Nadya memotong dengan tawa kecil.“Kamu akan baik-baik saja. Percayalah, mereka mengundangmu karena mereka tahu kamu punya sesuatu yang menarik untuk dibagikan. Fokus saja pada apa yang kamu tahu dan ap
Sebagai seorang pebisnis, Sean sadar nama istrinya saat ini sedang banyak dibicarakan di berbagai media online sehubungan dengan rencana pernikahan Miranda. Sepertinya banyak pihak yang ingin memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan mereka.Sean menatap wajah Lila dengan sorot mata yang penuh kekhawatiran. Di hadapannya, istrinya yang sedang hamil besar tampak begitu bersemangat, seolah tak terpengaruh oleh rasa letih trimester terakhir kehamilan.Namun, bagi Sean, semangat itu justru menjadi alasan utama kekhawatirannya. Ia menghela napas panjang, mencoba memilah dan memilih kata yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya.“Aku rasa ini kesempatan yang baik untuk karirku,” ucap Lila dengan suara mantap, sambil mengelus lembut perutnya yang membuncit.“Karir?” Sean mengulang, matanya menyipit sedikit, mencari makna di balik kata itu. Di dalam hatinya, ia berharap Lila akan mengubah arah pembicaraan.“Menjadi konten kreator?” tanya Sean terlihat ragu-ragu.Lila menggeleng pelan, seny
Apa yang bisa diharapkan dari seorang lelaki yang masih dibayang-bayangi oleh masa lalunya?Tidak ada, hanya nestapa yang tergambar membentang. Itu yang dirasakan oleh Risda setelah perpisahan Andika dan Sekar.Meskipun menjadi istri satu-satunya, tetapi status Risda masih tetap menggantung tidak pernah disahkan. Bahkan kejadian buruk yang menimpanya di tahanan hingga harus kehilangan calon anak dan juga rahimnya tidak membuat Andika merasa simpati dan lebih mencintainya.“Dulu mama pikir cinta itu cukup untuk segalanya. Mama pikir jika mama bertahan, papa kamu akan berubah, akan mencintai mama sepenuh hati. Papamu akan menyayangimu dengan tulus. Tapi lihat apa yang terjadi?”Ryan terdiam, ada banyak konsekuensi yang harus ditanggung dengan meninggalkan sang papa dan juga Mahendra Securitas. Selama ini dia menggantung hidup dari perusahaan sang papa, selain itu Risda juga masih membutuhkan pengobatan rutin yang tentunya akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit.Semakin ke sini Ryan s
Ryan membeku. Kata-kata itu menghantamnya seperti pukulan telak yang tak terduga. Pandangannya kosong sejenak, lalu tatapannya terarah pada wajah ayahnya yang tegas namun penuh luka. Ryan mencoba membaca ekspresi itu, mencari tanda bahwa ini hanyalah kebohongan untuk membuatnya menyerah. Tapi tidak ada keraguan di sana. “Papa bercanda, kan?” suaranya bergetar. Ryan mencoba tetap tenang, tapi denyut nadi di pelipisnya mengkhianati dirinya. Andika menggeleng perlahan. “Aku tidak akan bercanda tentang ini, Ryan. Rangga terluka parah. Dia hampir kehilangan nyawanya.” “Tidak mungkin …” Ryan bergumam, seolah berbicara kepada dirinya sendiri. Tangannya mengepal, mencoba menahan getar di tubuhnya. “Aku sudah memastikan semuanya. Mobil Sean yang aku targetkan. Foto-fotonya jelas.” “Foto itu tidak bohong, Ryan,” sahut Andika tegas. “Kau tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, Rangga yang membawa mobil itu seharian. Sean selamat, dan dia tahu apa yang kau lakukan.” Ryan menatap ayahnya, ta
Risda memandang Andika dengan tenang, tetapi ada kekhawatiran di matanya. Ia merasakan ketegangan yang menggantung di udara, seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja. Sean menghembuskan napas secara kasar, ada penyesalan saat melihat kekhawatiran di wajah istrinya. Tentu Andika tidak ingin Risda kembali histeris dan menambah beban, pada saat banyak masalah yang harus dia selesaikan. “Papa tunggu di ruang kerja,” ujar Andika dingin, nyaris tanpa menoleh pada Risda. Ia bergegas pergi, meninggalkan jejak ketegangan yang semakin merayap dalam suasana. “Ryan,” Risda memanggil pelan nama putranya, suaranya lirih seperti doa yang tak sampai. Firasaynya mengatakan akan ada pertengkaran lagi antara suami dan anaknya. “Mama tenang saja, semua akan baik-baik saja.” Ryan berusaha menenangkan hati sang mama. Sebelum pergi Ryan menyempatkan melabuhkan kecupan singkat di pucuk kepala wanita yang telah melahirkannya. Ryan melangkah dengan mantap menuju ke ruang kerja. Andika sudah menungg
Rasa bersalah menuntun Andika mendatangi rumah sakit. Mungkin dia tidak akan pernah meminta maaf secara langsung, tetapi setidaknya dia harus memastikan jika Rangga dalam keadaan baik-baik saja. Namun, ketika ia semakin dekat, matanya menangkap beberapa pria bertubuh tegap berdiri di depan pintu ruangan Rangga. Wajah-wajah mereka tampak dingin dan tak bersahabat. Mereka bukan sekadar penjaga biasa, Andika tahu mereka adalah orang-orang yang profesional, yang sudah pasti mendapat mendapat instruksi dan petunjuk siapa saja yang boleh melihat keadaan Rangga. Langkah Andika terhenti. Ia menimbang-nimbang apakah ia harus melanjutkan atau berbalik pergi. Hatinya ingin masuk, tapi pikirannya berkata sebaliknya. Andika berdiri diam, menatap pintu itu dengan perasaan campur aduk. Ia menggenggam tangannya erat, mencoba menenangkan debaran di dadanya. Rasa tenang itu tidak kunjung di dapat oleh Andika. Ketika ia tengah bergelut dengan pikirannya sendiri, indra pengelihatannya menangkap b
“Saya bisa jelaskan semuanya, ini tidak seperti yang ….”“Siapa dia, Rangga?” tanya Sekar memotong kalimat Rangga, suaranya tegas namun terkontrol. Sekar masuk dengan langkah tegas, wajahnya penuh otoritas.Nadya merasakan tubuhnya membeku dia tidak mengenali perempuan yang baru memasuki ruang perawatan Rangga. Nadya merasa seperti seorang anak kecil yang tertangkap basah sedang melakukan tindakan nakal. Wanita itu menatap mereka berdua dengan sorot mata tajam yang membuat Nadya semakin terpojok.Sementara Rangga mencoba duduk lebih tegak meski rasa sakit kembali menjalari tubuhnya.“Bu ...” Rangga berusaha menjelaskan, tetapi Sekar mengangkat tangan, memberi isyarat untuk diam.“Kalau saja kamu tidak dalam keadaan seperti ini, Rangga, sudah pasti aku akan menghukummu. Beraninya kamu mempermainkan anak gadis orang seperti ini!” Nada Sekar penuh ketegasan, matanya kini beralih ke Nadya. “Dan kamu, siapa namamu? Apa yang kamu lakukan di sini?”Nadya menggigit bibir, mencoba mencari kata
Nadya membeku di tempat, hatinya seperti dihantam ombak besar saat melihat mata Rangga terbuka. Bibirnya bergerak pelan, mencoba memastikan apa yang baru saja ia dengar bukan ilusi.“Kamu ... kamu benar-benar sadar?” Nadya bertanya dengan suara hampir berbisik. Air mata yang semula mengalir kini membanjir tanpa henti. Ada kelegaan, ada haru yang tak bisa ia sembunyikan.Rangga mengangguk lemah, senyum tipis tetap menghiasi wajahnya meskipun rasa sakit masih terasa di sekujur tubuhnya. "Aku sudah bangun, Mbak," jawabnya, suaranya serak dan pelan.Nadya segera meraih tombol panggil perawat yang tergantung di sisi tempat tidur. "Aku harus memanggil dokter. Mereka harus segera memeriksa keadaanmu,” ucap Nadya terburu-buru, tangannya gemetar di atas tombol itu.Namun, Rangga menggerakkan jarinya yang lemah, menggenggam tangan Nadya dengan usaha yang luar biasa.“Tidak perlu, Mbak. Perawat pasti datang saat waktunya mengganti infus atau memberi obat,” ucapnya pelan tapi penuh keyakinan.Nad
Kabar pernikahan Miranda sangat mengejutkan bagi Sean. Rasa cemburu dan kehilangan coba Sean singkirkan jauh-jauh, toh dia sudah lebih dahulu meninggalkan kekasihnya itu, dan memutuskan untuk menjaga komitmen dalam pernikahannya dengan Lila.Sean terdiam sejenak untuk menenangkan dirinya, karena bagaimana pun juga tidak mudah bagi Sean untuk melupakan Miranda begitu saja. Sean menyunggingkan senyum, mencoba menutupi kemulut di hatinya.“Bukankah seharusnya kabar pernikahan Miranda adalah kabar yang baik untuk kita?” tanya Sean dengan nada datar, “Bukankah itu artinya hubunganku dengan Miranda bener-benar sudah berakhir?”Lila tidak menjawab, dia hanya menatap wajah suaminya dengan saksama, mencoba mencari gurat kesedihatan dan sakitnya patah hati di sana.“Aku tahu kau sedang terluka,” ucap Lila dengan sorot mata tajam tertuju ke Sean.Sean menggelengkan kepala, menyanggah ucapan istrinya. “Itu tidak penting ….” Sean terdiam sejenak, balas menatap mata Lila.“La, Aku serius dengan per