Sean memandang wajah lelah Lila yang tertidur di sofa, posisi yang sangat tidak ideal untuk ibu hamil. Tampaknya aktivitas panas yang baru saja mereka lakukan membuat Lila mengantuk dan langsung tidur. Tanpa berpikir panjang, Sean meraih blazer Lila yang tadi diletakkannya di samping sofa. Dengan hati-hati Sean menutupi tubuh istrinya, memastikan Lila merasa nyaman. Matanya kemudian melirik jam di pergelangan tangannya. Waktu menunjukkan bahwa dia hampir terlambat untuk bertemu klien penting. Sean menghela napas, menyadari bahwa mengundang Lila untuj makan siang bersama telah memakan lebih banyak waktu dari yang direncanakannya. Tetapi senyum kecil tersungging di wajahnya, dia tidak menyesal sedikit pun. Apa yang baru saja mereka lakukan seolah menjadi bahan bakar yang menyulut semangatnya untuk bekerja lebih keras lagi. Sean merapikan dasinya, lalu berlutut di samping sofa untuk membisikkan sesuatu ke telinga Lila. "Aku harus pergi meeting sebentar. Kamu tidur saja di sini," ucap
Sean duduk di ruang kerjanya setelah meeting selesai. Wajahnya terlihat lebih santai saat dia membuka ponselnya. Ternyata Lila mengirimkan link podcastnya yang ternyata sudah dirilis. Sean tersenyum lebar melihat thumbnail istrinya, tampak begitu anggun dan percaya diri. Tanpa ragu, dia memutar podcast itu, membiarkan suara lembut Lila mengisi ruangannya.“Cantik,” gumam Sean sambil menyandarkan tubuhnya.Sebenarnya Sean bukan hanya terpesona oleh penampilan fisik istrinya yang semakain hari terlihat semakin cantik di matanya. Tetapi juga cara berbicaranya yang begitu elegan, cerdas, tenang, dan tetap ramah. Setiap kalimat yang keluar dari mulut Lila terasa terarah, memberikan nilai tanpa terkesan menggurui audiensnya. Terbersit penyesalan yang mendalam, karena pernah menyia-nyiakannya dengan mengabaikan segala kelebihan Lila selama dua tahun pernikahan mereka yang terdahulu.Namun, kesenangan Sean mulai terusik saat matanya terpaku pada kolom komentar.“Apa-apaan ini …” gumamnya, e
Bella menundukkan kepala, suaranya hampir berbisik ketika ia berbicara. “Maaf, Pak Sean. Saya tidak bisa menahan Bu Miranda.”Sean menghela napas panjang, rasa kesal beradu dengan kelelahan yang menumpuk di benaknya. Ia menatap wanita yang berdiri di hadapannya, seseorang yang pernah menjadi bagian dari hidupnya, kini terlihat rapuh, hampir hancur.Sean mengeraskan hatinya, tetapi sulit baginya untuk sepenuhnya mengabaikan Miranda. Ada sesuatu dalam matanya yang membuatnya merasa bertanggung jawab, meski dia tahu seharusnya tidak lagi.Sean mengisyaratkan kepada Bella untuk meninggalkan ruangan. Tanpa protes, sekretarisnya segera melangkah pergi, menutup pintu perlahan. Kini, hanya tinggal mereka berdua di ruangan tersebut. Hening terasa berat, seperti menyelimuti setiap sudut ruang kerja itu.“Sean, aku mohon.” suara Miranda pecah, serak, terhenti oleh isak tangis yang tidak bisa dia tahan. “Aku tahu aku tidak seharusnya datang ke sini, tapi aku tidak punya pilihan lain, Sean. Kamu s
Lila menjalani sesi latihan senam hamil di rumahnya. Meski sempat merasa tidak nyaman dengan Vicky yang dia ketahui adalah teman dekat Bella, tetapi Lila tidak menggantinya. Selama Vicky bisa bersikap professional, Lila tidak akan menggantikannya.Mungkin terdengar naif, tetapi Lila masih memegang teguh nasihat dari sang ayah. “Jangan pernah kau mempersulit jalan rezeki orang lain, kalau kamu tidak mau jalan rezekimu akan di hambat Tuhan.”“Senang ya, selalu diperhatikan suami,” ucap Vicky sambil membetulkan posisi tubuh Lila saat melakukan salah satu gerakan pendinginan.“Dia hanya sedang menjalankan tanggung jawabnya, tidak ada yang istimewa” jawab Lila dengan ekspresi datar, seolah apa yang dilakukan oleh Sean tidak ada istimewanya.Bukan tanpa alasan Lila melakukan hal tersebut. Bukan bermaksud tidak menghargai suaminua, Lila hanya tidak ingin memamerkan segala bentuk perhatian Sean untuknya kepada perempuan lain. Apalagi yang sudah terindikasi menunjukkan rasa tertariknya kepada
Miranda melangkah keluar dari ruang kerja Sean dengan langkah gontai, matanya masih basah oleh air mata. Wajahnya yang biasanya cerah dan penuh percaya diri kini tampak kusut seolah telah memudar auranya.Di koridor, Bella berdiri dengan ekspresi penuh tanya, menatap Miranda yang tampak hancur. Tanpa sepatah kata pun, Miranda melewati Bella, karena masih meratapi hidupnya yang telah hancur.Bella memperhatikan kepergian Miranda. Selama ini, dia selalu berpikir bahwa Miranda adalah ancaman nyata bagi Lila dan saingan berat baginya untuk bisa mendapatkan Sean.Bagaimana tidak? Miranda memiliki masa lalu dengan Sean, kecantikan luar biasa, dan status karir sebagai model papan atas. Tapi kenyataan di depan matanya membuat Bella terhenyak. Sean menolak Miranda, bahkan saat Miranda jelas-jelas menawarkan diri.Perlahan, Bella mulai menyadari sesuatu yang tidak pernah dia pikirkan sebelumnya. Ternyata dia tidak bisa meremehkan Lila begitu saja.Posisi Lila lebih kuat dari sekadar cinta. Dia
Tidak bisa dipungkiri jika pada awalnya sosok Miranda masih mengganggu benak Sean. Cinta untuk sang mantan terasa masih membelenggu. Rasa ragu sempat menguasai hatinya.Tetapi semua itu seolah sirna, saat dirinya sudah menyatu dengan Lila. Meskipun untuk saat ini, bentuk tubuhnya tidak proporsional, tetapi tetap menjadi candu yang tidak tergantikan. Tidak ada lagi sosok Miranda terbayang di benaknya,“Lila,” ucap Sean dengan suara serak yang hampir berbisik. Dalam keheningan malam, nama itu terdengar seperti doa. “Aku mencintaimu,” lanjutnya diikuti kecupan kecil yang ia jatuhkan di setiap sudut wajah Lila.Lila mengangkat tangannya, menyentuh wajah Sean dengan lembut. Air mata menggantung di pelupuk matanya, menggenang tetapi tak tumpah.“Sean ...” Hanya itu yang mampu ia ucapkan, karena kata-kata lainnya terjebak dalam pusaran emosi yang memenuhi ruang hatinya.Bukan hanya sekali, kata cinta yang tidak pernah terucap sebelumnya, terdengar berulang kali dari mulut Sean. Seakan menjad
Pagi itu terasa hangat. Sinar matahari menyelinap melalui bukaan lebar, menerangi meja makan tempat Sean dan Lila duduk bersama. Di depan mereka, sepiring roti panggang, omelet, dan secangkir kopi hangat mengisi meja.“Kamu yakin bisa sendiri untuk podcast hari ini?” Sean bertanya sambil menyeruput kopinya. “Biasanya Nadya selalu ada di sana buat kamu.”Lila tersenyum kecil, mengaduk teh di cangkirnya perlahan. “Aku yakin, kok. Lagipula, Nadya juga butuh fokus untuk pernikahannya. Ini kesempatan bagus buat aku belajar lebih mandiri.”Sean mengangguk, menatap istrinya dengan bangga. Tetapi ada rasa takut yang tidak bisa dia tutupi. “Jangan tergoda sama Dennis, ya. Dia itu terkenal playboy.”Lila tertawa pelan mendengar ucapan Sean. “Playboy bilang playboy.”“Aku serius, Lila. Kamu tahu sendiri kan skandal yang melibatkan dirinya.”“Sejujurnya aku lebih khawatir denganmu. Kalau kamu tidak hati-hati, bisa saja kamu terjebak skandal seperti Dennis,” ucap Lila diikuti helaan napas panjang,
Di sebuah bridal ternama, Nadya berdiri di depan deretan gaun pengantin yang berkilauan di bawah sorotan lampu. Tangannya menyentuh lembut salah satu gaun yang menjuntai anggun, Jari-jarinya menyentuh lembut renda halus di salah satu gaun, matanya terpaku pada detail kristal swarovski yang tertata sempurna.Namun, ketika matanya jatuh pada label harga yang tergantung di sana, napasnya tercekat. Angka yang tertera lebih dari sekadar nominal, itu adalah jurang pemisah antara mimpinya dan kenyataan."Semua gaun di sini adalah koleksi eksklusif, Kak," suara ramah seorang karyawan menyapa Nadya. Perempuan itu melangkah mendekat, senyumnya hangat. "Desainnya dibuat langsung oleh desainer terkenal, dan materialnya diimpor dari Eropa. Gaun ini, misalnya, menggunakan sutra terbaik dari Italia."Nadya mengangguk pelan, berusaha menyembunyikan rasa gentar di balik wajahnya yang berusaha tetap tenang. "Oh, bagus sekali," gumamnya, meski pikirannya melayang ke tabungannya yang jelas tidak cukup un
Rumah Sean dan Lila penuh dengan kebahagiaan saat acara akikah Brilian berlangsung. Tamu-tamu datang silih berganti, membawa doa dan harapan terbaik untuk bayi mungil itu.Sean tampak sibuk menyapa tamu, sementara Sekar dengan sigap memonopoli perhatian Brilian. Sekar hampir tidak memberikan kesempatan bagi Lila untuk menggendong anaknya sendiri."Kamu masih dalam masa pemulihan, Lila. Jangan memaksakan diri," ucap Sekar yang terdengar sangat otoriter dan tidak ingin dibantah. Ia bahkan menambahkan alasan yang terdengar aneh, "Kalau sampai Brilian menendang perutmu bagaimana? Bahaya kalau sampai bekas jahitanmu terbuka lagi?"Lila hanya tersenyum tipis, memilih untuk tidak memperdebatkan hal itu. Dia tahu, meskipun terkadang menyebalkan, perhatian Sekar adalah bentuk kasih sayangnya.Di tengah keramaian, hadir Waluya dan Inayah, orang tua Lila. Kehadiran mereka membuat mata Lila berbinar."Bapak, Ibu!" seru Lila dengan penuh haru. Dia bergegas bangkit dari duduknya untuk menyambut ked
Sean mengepalkan tangannya, tetapi tetap menjaga nada suaranya rendah, mengingat Lila dan Brilian ada di sana. “Aku tidak memperumit apa pun. Aku hanya meminta waktu, Mama.”Sekar mendesah berat, lalu mengalihkan pandangannya ke Lila. “Lila, kau tahu aku hanya ingin yang terbaik untuk Brilian. Tetapi lihat saja apa yang sudah Sean lakukan. Bertahun-tahun kau dibuat seperti wanita yang tidak bisa memberikan keturunan. Siapa yang melakukan semua itu, Lila? Bukankah Sean?”Lila hanya diam. Ucapan Sekar seolah mengorek luka lama yang membuatnya pernah bercerai dengan Sean.“Itu sudah masa lalu. Aku mohon jangan mengungkitnya lagi.” Sean tidak ingin pembicaraan tentang masa lalu itu kembali mempengaruhi Lila.Saat ini dia dan Lila ingin memperbaiki rumah tangganya. Apalagi saat ini sudah ada Brilian di antara mereka“Masa lalu itu berpengaruh pada masa kini, Sean. Kalau saja kau tidak keras kepala, semua ini tidak perlu terjadi,” Sekar balas menukas.Melihat Lila semakin tertekan, Sean men
Ruangan bayi itu terasa hangat dengan sinar matahari pagi yang masuk melalui tirai jendela. Di sebuah kursi empuk, Lila duduk dengan Brilian di pelukannya. Bayi kecil itu, dengan kulitnya yang mulai merona sehat, menyusu dengan tenang. Sean duduk di sampingnya, matanya tidak pernah lepas dari pemandangan menakjubkan di depannya.“Dia sangat kuat,” bisik Sean dengan suara penuh rasa syukur, tangannya menyentuh lembut bahu Lila.Lila tersenyum, meski matanya masih sedikit berkaca-kaca. “Aku tidak pernah merasa sebahagia ini, Sean. Melihatnya seperti ini, mendekapnya ... Semua rasa sakit itu terasa sepadan.”Dokter spesialis anak yang selama ini menangani Brilian tampak lega melihat interaksi keluarga kecil di hadapannya. Dia pun langsung menyampaikan kabar baik untuk mereka.“Brilian telah menunjukkan perkembangan yang luar biasa. Berat badannya sudah meningkat stabil, dan paru-parunya bekerja dengan baik. Jika tidak ada perubahan signifikan, dalam beberapa hari ke depan, kalian bisa me
Kedatangan Theo di sambut hangat, mereka seperti teman yang sudah lama tidak bertemu.“Abang ada?”“Di dalam,” jawab singkat pria berbadan tegap di hadapannya.Setelah berbasa-basi sebentar, Theo melangkah mantap menuju ke sebuah ruang yang sepertinya sudah sangat dia kenal.“Bang!” sapa Theo sambil membuka pintu.Selo Ardi tersenyum tipis melihat kedatangan Theo. Pria itu sedang duduk di balik meja kayu besar dengan secangkir kopi di tangannya.Selo Ardi bergegas bangkit menyambut kedatangan Theo yang dahulu adalah anak buahnya. Mereka berpelukan sebentar sambil menepuk punggung."Duduklah," ucap Selo Ardi sambil menunjuk kursi di depan meja."Terima kasih, Bang," sahut Theo dengan penuh rasa hormat setelah mengambil tempat.Sejenak kedua saling beradu pandang. Selo Ardi menghembuskan napas kasar sambil tersenyum lebar kala menatap mantan anak buahnya dulu.“Aku bangga padamu.” Selo Ardi merasa Theo banyak belajar dan bisa menjalankan setiap misi dengan baik.“Ini semua juga karena A
“Apa maksudmu Risda? Kenapa sekarang?”Risda menghela napas panjang. “Aku tidak tahu apa yang harus aku pertahankan lagi dalam rumah tangga kita. Jika selama ini aku berusaha bertahan demi kebahagiaan Ryan, lalu apa gunanya jika ternyata Ryan tidak pernah bahagia?”Risda menyeka air mata. Dia tidak sedang menghakimi Andika, karena sadar akan kesalahan yang telah dia lakukan. Saat masih muda, Risda merasa tawaran Andika adalah sebuah keberuntungan yang akan membuatnya hidup senang tanpa bersusah payah, tetapi ternyata ada konsekuensi besar yang harus dia terima.“Bukan aku tidak bersyukur, Mas. Mungkin sudah waktunya kita mencari kebahagiaan masing-masing. Aku tahu kau sangat menderita setelah meninggalkan Bu Sekar dan Sean.”Andika terdiam, mencoba mencerna kata-kata itu. Ryan muncul dari kamarnya, membawa koper terakhir. “Mama benar, Pa. Sudah waktunya Mama memikirkan dirinya sendiri.”Andika memandang Ryan, lalu Risda. Hatinya bergejolak, namun ia tidak tahu apa yang harus dikatakan
Di ruang perawatan, seorang perawat mendekati Lila dengan membawa breast pump dan perlengkapan steril lainnya."Untuk sementara pakai ini dulu ya, Bu. Nanti kalau Adik bayi keadaan sudah membaik bisa diberi ASI secara langsung,” ujar perawat itu dengan lembut. “Saya bantu cara pakainya,” sambungnya dengan ramah.Lila mengangguk pelan, meski tubuhnya masih lemah. Dengan sabar, perawat tersebut menjelaskan cara memasang breast pump dan mengatur tingkat sedotan yang nyaman."Awalnya mungkin hanya sedikit yang keluar, tetapi ini proses yang normal. Yang penting, kita rutin mencobanya agar produksi ASI bisa meningkat," ucap perawat itu sambil tersenyum.Sean duduk di samping Lila, menggenggam tangannya dengan penuh dukungan. Tatap matanya tertuju pada bagian tubuh sang istri yang selama ini menjadi candu baginya.Dan sekarang dia harus berbagi dengan putranya. Ya, untuk sementara waktu, bagian tubuh itu yang akan menjadi sumber penghidupan putranya. Demi putranya Sean harus mengalah, toh s
Sekar tersenyum lega melihat Lila yang sudah sadar, meski masih terlihat lemah. Wajahnya memancarkan kebahagiaan yang tulus.Setelah dokter dan perawat yang menangani Lila keluar, Sekar segera memasuki ruangan. Dia melangkah lebih dekat, mengambil posisi di samping tempat tidur Lila, sementara Sean tetap berada di sisi lain, memegang tangan istrinya dengan erat, seolah tidak ingin melepaskannya lagi."Mama senang sekali kamu sudah sadar," ucap Sekar penuh emosi, suaranya lembut namun terdengar sedikit bergetar.Lila membalas senyum Sekar. "Terima kasih, Ma," ucapnya pelan, suaranya serak tetapi penuh kehangatan.Ini adalah pertemuan pertama Lila dengan Sekar sejak dia rujuk dengan Sean. Dan Lila bisa melihat Sekar yang tersenyum tulus kepadanya seperti saat pertama mereka bertemu, seperti saat awal pernikahannya dengan Sean."Ada beberapa hal penting yang perlu kita bicarakan, terutama mengenai ….""Mama sudah menyetujui nama yang aku berikan untuk anak kita.” Sean segera memotong kal
“Sean ….”Sean tertegun ketika mendengar suara lemah memanggil namanya. "Sean..." suara itu hampir seperti bisikan, tetapi cukup jelas untuk membuatnya menegakkan kepala dengan cepat. Awalnya, ia berpikir bahwa rasa lelah dan kerinduannya membuatnya berhalusinasi. Namun, ketika ia melihat mata Lila perlahan terbuka dan jemari halusnya bergerak, menyeka air mata di pipinya, Sean tersadar bahwa ini nyata. "Lila!" serunya penuh haru. Sean menunduk, menggenggam tangan istrinya lebih erat. "Kamu sadar, sayang. Syukurlah ... syukurlah kamu sadar." Lila tersenyum lemah, bibirnya bergetar seolah ingin berkata lebih banyak, tetapi ia hanya mampu mengucapkan, "Sean..." Suaranya parau, tetapi cukup untuk membuat Sean tersenyum bahagia. Sean menunduk, mencium dahi Lila dengan penuh kasih. Bibirnya berlabuh di dahi Lila, tetapi tangannya dengan cepat menekan tombol pemanggil perawat. Sambil menunggu dokter dan perawat datang Sean terus memandangi wajah Lila, berharap ini semua nyata dan ti
Ryan pulang dengan langkah berat, pikirannya berkecamuk. Begitu memasuki rumah, ia langsung menuju ruang keluarga di mana Risda sedang sibuk dengan hobi barunya, merajut. Tanpa menunggu, ia duduk di hadapan sang mama. "Aku sudah memutuskan, Ma," ucap Ryan lirih, suaranya terdengar penuh beban. "Aku akan meninggalkan Mahendra Securitas." Risda terkejut, tetapi ada senyum yang tertahan. Lalu dia meletakkan benang dan hookpen di meja. "Kenapa, Ryan? Apa yang terjadi?" tanya Risda penuh selidik. Ryan menghela napas panjang, menundukkan kepala sejenak sebelum menjawab. "Tadi aku bertemu Sean dan mamanya. Ternyata mamanya yang menyelamatkan Lila dari penculikan. Tapi Ma ... keadaan Lila sangat buruk. Dia belum sadar sampai sekarang, dan bayinya ... bayi Sean harus dirawat di inkubator karena lahir prematur." Risda menatap putranya dengan penuh perhatian, menunggu kelanjutannya. "Dalam keadaan seperti itu Sean bahkan tidak diizinkan melihat Lila dan bayinya," lanjut Ryan. "Mamanya