Pagi itu terasa hangat. Sinar matahari menyelinap melalui bukaan lebar, menerangi meja makan tempat Sean dan Lila duduk bersama. Di depan mereka, sepiring roti panggang, omelet, dan secangkir kopi hangat mengisi meja.“Kamu yakin bisa sendiri untuk podcast hari ini?” Sean bertanya sambil menyeruput kopinya. “Biasanya Nadya selalu ada di sana buat kamu.”Lila tersenyum kecil, mengaduk teh di cangkirnya perlahan. “Aku yakin, kok. Lagipula, Nadya juga butuh fokus untuk pernikahannya. Ini kesempatan bagus buat aku belajar lebih mandiri.”Sean mengangguk, menatap istrinya dengan bangga. Tetapi ada rasa takut yang tidak bisa dia tutupi. “Jangan tergoda sama Dennis, ya. Dia itu terkenal playboy.”Lila tertawa pelan mendengar ucapan Sean. “Playboy bilang playboy.”“Aku serius, Lila. Kamu tahu sendiri kan skandal yang melibatkan dirinya.”“Sejujurnya aku lebih khawatir denganmu. Kalau kamu tidak hati-hati, bisa saja kamu terjebak skandal seperti Dennis,” ucap Lila diikuti helaan napas panjang,
Di sebuah bridal ternama, Nadya berdiri di depan deretan gaun pengantin yang berkilauan di bawah sorotan lampu. Tangannya menyentuh lembut salah satu gaun yang menjuntai anggun, Jari-jarinya menyentuh lembut renda halus di salah satu gaun, matanya terpaku pada detail kristal swarovski yang tertata sempurna.Namun, ketika matanya jatuh pada label harga yang tergantung di sana, napasnya tercekat. Angka yang tertera lebih dari sekadar nominal, itu adalah jurang pemisah antara mimpinya dan kenyataan."Semua gaun di sini adalah koleksi eksklusif, Kak," suara ramah seorang karyawan menyapa Nadya. Perempuan itu melangkah mendekat, senyumnya hangat. "Desainnya dibuat langsung oleh desainer terkenal, dan materialnya diimpor dari Eropa. Gaun ini, misalnya, menggunakan sutra terbaik dari Italia."Nadya mengangguk pelan, berusaha menyembunyikan rasa gentar di balik wajahnya yang berusaha tetap tenang. "Oh, bagus sekali," gumamnya, meski pikirannya melayang ke tabungannya yang jelas tidak cukup un
“Maksud Bu Sekar?” tanya lirih Nadya sambil menyeka air matanya.Sekar menatap Nadya dengan dingin, senyum kecil tersungging di bibirnya. “Sebenarnya yang saya minta bukanlah hal yang sulit.”“Jika saya bisa, tentu saya akan melakukannya.” Bagi Nadya hutang budi atau pun uang sama-sama membuatnya tidak nyaman. Tetap ada yang harus dibayar.“Pertemukan saya dengan Lila!” ucap Sekar dengan suara yang terdengar dingin dan tatap mata yang tajam.“Maksud Bu Sekar?” tanya Nadya yang terlihat bingung dengan permintaan perempuan paruh baya di hadapannya.Nadya mengerutkan dahinya. Setahunya Sekar adalah ibu mertua Lila, tentu dengan mudah dia bisa menemui Lila kapan saja. Tetapi mengapa harus meminta bantuan dari dirinya?“Setelah Sean dan Lila rujuk, Sean melarangku untuk bertemu dengan Lila. Sean masih marah padaku, karena dia menganggap aku yang membuat mereka bercerai.” Sekar memperlihatkan wajah sedihnya, berusaha menarik simpati Nadya.Nadya terdiam, dia merasa ada alasan lain yang memb
Sekar meninggalkan restoran dengan langkah cepat, ekspresinya penuh amarah. Nadya hanya bisa menghela napas panjang, perasaan bersalah menghantui dirinya. Dia sadar, kebodohannya menerima bantuan Sekar tanpa berpikir panjang telah menyeretnya ke dalam masalah besar.Sambil meremas tasnya erat, Nadya segera memutuskan untuk menemui Rangga. Apapun nanti yang akan terjadi, yang Nadya tahu adalah dia harus jujur tentang masalah ini kepada calon suaminya.Nadya melangkah gontai menyusuri Lorong rumah sakit. Seharusnya saat ini Rangga bisa fokus pada pemulihan kesehatannya setelah mengalami kecelakaan. Tetapi kebodohannya telah memberi beban berat kepadanya.Wajah Rangga terlihat letih karena baru saja selesai fisioterapi, tetapi senyum kecil tersungging ketika melihat calon istrinya datang.“Sudah kangen, ya?” tanya Rangga dengan nada menggoda.Nadya menggelengkan kepala lemah. Air matanya tidak tertahan lagi, menangisi kesalahan dan kebodohan yang telah dia lakukan.“Jangan katakana kalau
“Sepertinya otak cantik calon istriku ini pola pikirnya harus ditata ulang,” ucap Rangga sambil menoel hidung Nadya. “Bu Sekar tidak serendah itu.”Bagi Rangga, Sekar benar-benar sosok pahlawan yang telah banyak berjasa kepadanya. Dengan segala bantuan yang diberikan Sekar, Rangga mampu mengangkat derajat keluarganya.“Lalu apa yang diinginkan oleh Bu Sekar darimu?” tanya Nadya terdengar mendesak jawaban secepatnya.“Bu Sekar memintaku untuk memata-matai setiap gerak-gerik Mas Sean, terutama yang berhubungan dengan perempuan. Tapi aku tidak mau, karena menurutku Mas Sean sudah dewasa dan tahu apa yang dia lakukan.”“Dia suka main perempuan?”Rangga tersenyum mendengar pertanyaan Nadya. “Mas Sean bukan lelaki yang seperti itu. Bu Sekar hanya tidak ingin ada skandal yang bisa menghancurkan reputasi perusahaan.”“Kalau kamu?”“Maksudnya?” tanya balik Rangga sambil mengerutkan dahinya, tampak bingung dengan pertanyaan yang baru saja terlontar dari calon istrinya.“Kamu suka main perempuan
Podcast bersama Dennis Surahman telah berakhir. Dennis Surahman mengantar Lila sampai di depan studionya.“Ini podcast yang luar biasa banget. Terima kasih, Lila, sudah mau berbagi cerita di sini. Kalau ada kata-kata saya yang salah atau terlalu nyentil, saya minta maaf. Jangan kapok, ya, kalau diundang lagi!” ucap Dennis dengan gayanya yang begitu akrab sambil terkekeh.Lila tersenyum, merasa nyaman dengan suasana santai yang diciptakan Dennis. “Saya justru senang bisa berbagi di sini. Kalau diundang lagi dan ada waktu dengan senang hati saya akan datang,” jawab Lila sambil tertawa kecil.Dennis mengangguk antusias. “Mantap, itu baru jawaban seorang Lila. Oh iya, satu lagi nih sebelum kita tutup. Saya doakan semoga proses persalinannya nanti lancar, bayinya sehat, dan ibunya juga sehat. Kalau lahirnya cowok, boleh dong disekolahin buat jadi atlet basket, biar kaya bapaknya dulu.”Lila mengerutkan keningnya, karena dia tidak pernah mendengar Sean pernah menjadi atlet basket.“Belum pe
Lila duduk di sofa ruang keluarga, laptop terbuka di depannya. Jari-jarinya mengetik naskah untuk konten berikutnya, tapi pikirannya tidak sepenuhnya fokus. Setiap beberapa menit, dia menoleh ke arah pintu, berharap melihat kemunculan suaminya.Dia menghela napas, mencoba kembali fokus pada pekerjaannya. Namun, bayangan foto-foto Sean dengan Miranda terus mengganggu pikirannya.“Kalau sedang dibutuhkan malah pulang telat," gumamnya pada diri sendiri, mencoba meredakan kegelisahan. Tapi semakin dia berpikir, semakin hatinya terasa berat.Lampu di ruang keluarga menyala temaram, menciptakan suasana yang tenang. Namun, ketenangan itu tidak terasa di hati Lila. Dia menatap layar laptopnya, tapi pikirannya melayang ke berbagai kemungkinan yang membuat dadanya terasa semakin sesak.Suara detik jam dinding terasa semakin jelas di telinganya. Lila menoleh lagi ke arah pintu. Tidak ada tanda-tanda Sean pulang. Dia memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri."Aku h
“Sean, apakah kau masih ingat kejadian saat kita makan siang di kantormu, beberapa hari yang lalu?”Sean tersenyum tipis menatap istrinya. “Kau lebih suka makan siangnya atau sesudahnya?” tanya Sean dengan nada menggoda karena mengira Lila ingin mengulang kembali pergulatan panas siang itu.Tetapi Lila tidak membalas senyum Sean, bahkan tatap matanya tetap serius langsung tertuju ke arah Sean.Senyum Sean perlahan memudar. Dia tahu bahwa istrinya tidak sedang bercanda. Nada suara Lila, tatapan matanya yang serius, menandakan bahwa apa pun yang akan dibicarakannya ini bukan hal sepele.“Bukan itu, Sean. Aku merasa ada yang aneh dengan minuman yang aku minum waktu itu.”“Baik, lalu ….” Sean masih ingat saat pertama meminumnya Lila mengatakan ada yang aneh dengan jus miliknya.Lila menghela napas dalam-dalam, mencoba mengatur emosinya agar bisa berbicara dengan tenang hingga mudah dimengerti oleh Sean.“Setelah makan siang aku merasakan tubuhku memberi reaksi yang berbeda. Aku begitu ing
Begitu melihat Ryan, mata Renasya langsung berbinar. Tanpa ragu, bocah itu berlari ke arahnya dan melompat ke dalam pelukannya.“Papa!” serunya, memeluk erat seolah takut kehilangan lagi. Ryan membalas pelukan itu, mencium puncak kepala putrinya, merasakan kehangatan yang lama ia abaikan.Renasya menatap wajah papanya dengan polos. “Papa sudah nggak pusing lagi?” tanya Renasya, karena setiap kali dia bertanya kenapa harus tinggal bersama Brilian, orang dewasa di rumah itu mengatakan jika papanya sedang pusing.“Kayak Papa Brilian yang selalu pusing, terus minta dimanja sama Mama Lila?” sambung Renasya yang pernah tanpa sengaja melihat Sean yang mengatakan pusing dan langsung mendepat pelukan dari Lila sebelum akhirnya keduanya menuju ke kamar.Ryan mengerutkan kening, sedikit bingung. Ia melirik Sekar, yang hanya menatapnya dengan ekspresi datar.“Papa Brilian kalau pusing, katanya Mama harus peluk dia, harus elus kepalanya, biar cepet sembuh.” Renasya melanjutkan dengan nada serius.
Setiap orang memiliki cara sendiri-sendiri untuk menyingkirkan rasa sedihnya. Ryan lebih memilih diam menyendiri mengasingkan diri dari orang lain. Sepulang kerja, dia akan menyendiri di ruang kerja atau di kamar Risda.Seperti saat ini, Ryan duduk sendiri di ruang kerjanya ditemani secangkir kopi yang sudah dingin dibiarkan begitu saja. Hatinya masih terasa berat. Kepergian Andika meninggalkan lubang besar dalam dirinya, begitu pula kepergian Risda yang masih menyisakan luka.Sungguh jauh berbeda dengan Sean yang memilih untuk sibuk, Ryan justru semakin tenggelam dalam kesedihan. Ia butuh waktu untuk menerima semuanya.Di sisi lain, Sean sibuk membenamkan diri dalam pekerjaan. Setiap harinya ia pulang lebih larut, mencari cara agar pikirannya tidak terlalu banyak melayang pada kehilangan yang ia rasakan.Menjalani biduk rumah tangga hampir delapan tahun, membuat Lila bisa memahami suasana kebatinan suaminya. Termasuk bagaimana dia harus mempersiapkan diri di hadapan Sean dan menuruti
Malika duduk di sudut ruangan, memeluk boneka kelinci kesayangannya sambil memperhatikan Brilian dan Renasya. Matanya menyipit sedikit, menunjukkan perasaan yang tidak bisa ia sembunyikan, cemburu.Brilian tampak begitu bersemangat memperkenalkan Renasya kepada Malika. “Ini Renasya! Dia adikku!” ucap Brlian dengan bangga, tangannya menggandeng Renasya seolah ingin melindungi adik sepupunya tersebut.Malika menggigit bibirnya, merasa ada sesuatu yang berubah. Selama ini, Brilian selalu dekat dengannya, selalu melindungi dan menjaganya seperti kakak sendiri. Tapi sekarang, perhatian Brilian sepenuhnya tertuju pada Renasya.“Kamu kenapa diam saja, Malika?”Malika menggeleng pelan, tapi matanya masih terpaku pada Brilian dan Renasya. Lalu dengan berat hati akhirnya menerima uluran tangan Renasya.Renasya tersenyum saat Malika menggenggam tangannya. “Namaku Rena, aku adiknya Kak Brili. Kita bisa main bersama.”Suasana hati Malika tampaknya sedang tidak baik. Dia tidak seantusias biasanya s
Suasana duka menyelimuti rumah Andika. Cahaya lampu yang temaram dan lantunan doa-doa menciptakan keheningan yang mencekam. Sekar berdiri di sudut ruangan, memperhatikan Sean dan Ryan, tampak keduanya sama-sama dirundung kesedihan.Dalam hati Sekar bertanya, kebaikan apa yang membuat Andika begitu dicintai oleh kedua anaknya. Meski sebagai seorang ayah, Andika telah melakukan sebuah kesalahan fatal yang meninggalkan luka mendalam, baik itu kepada Sean maupun Ryan.Sean, meskipun wajahnya tidak berhiaskan senyum, tetapi dia tetap terlihat tegar. Ia menyapa tamu yang datang, memberi arahan kepada para pelayan agar memastikan segala sesuatu berjalan dengan baik. Namun, sesekali, tatapannya melayang ke arah jenazah sang papa, seolah masih berusaha menerima kenyataan pahit ini.Sementara itu, Ryan duduk diam di samping jenazah Andika, wajahnya kaku tanpa ekspresi. Tidak ada air mata yang jatuh, tetapi kesedihan terpancar jelas di matanya. Ryan seperti sedang menunggu sang papa tertidur, be
Sekar menguatkan hatinya melangkah mendekati ranjang perawatan Andika dengan perasaan yang tak menentu. Napas pria itu tersengal, dengan mata yang setengah terbuka, seolah ingin menangkap sosok Sekar untuk terakhir kalinya. Di sekeliling mereka, suara alat medis terus berbunyi, menjadi latar yang tak bisa diabaikan.Sekar menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan air matanya. Dengan tangan gemetar, ia menggenggam tangan Andika yang terasa semakin dingin. Perasaan bersalah dan kepedihan bersarang dalam hati perempuan paruh baya itu. Bagaimana mungkin cinta mereka yang pernah menggebu-gebu kini berakhir di sini?Sekar mendekatkan mulutnya tepat di telinga Andika. Dengan suara pelan dan bergetar, perempuan paruh baya itu membisikkan sebuah doa, seperti yang pernah ia ucapkan kala melepas kepergian sang papa beberapa tahun yang lalu.Bayangan kebersamaan mereka yang dulu kembali menghampiri pikirannya, berputar-putar tanpa henti.Andika dengan tatap mata kosong yang menerawang, mencoba
Sekar melangkah keluar dari ruang perawatan Andika dengan gurat wajah penuh kekesalan. Ia tidak ingin berlama-lama di tempat itu, karena hanya akan mengingatkan kembali pada luka lama yang sampai saat ini belum bisa sembuh sepenuhnya.Seandainya bukan untuk memberi kejelasan tentang hubungan mereka, bagi Sekar pertemuan ini hanya membuang waktunya. Andika sudah menjadi bagian dari masa lalu yang tak perlu diungkit lagi.Namun, baru beberapa langkah dari pintu, suara langkah kaki yang tergesa-gesa membuatnya berhenti. Sekar menoleh dan melihat seorang dokter bersama beberapa perawat bergegas masuk ke ruang perawatan Andika. Wajah mereka tegang, gerakan mereka cepat dan menunjukkan suasana darurat.Hatinya mendadak berdebar kencang. Sekar bisa saja mengabaikan, dan terus berjalan seperti yang ia rencanakan sejak awal. Namun, tanpa sadar, kaki perempuan paruh baya itu justru melangkah kembali ke arah pintu.Sekar berdiri di ambang pintu, menyaksikan dokter dan perawat mengelilingi Andika
Brilian dengan antusias menceritakan pertemuannya dengan Renasya kepada Sekar. Bocah itu duduk di sofa sambil mengayunkan kakinya, wajahnya bersinar penuh semangat.“Oma, ternyata aku sudah punya adik.”Sekar menatap cucunya. Biasanya yang dia sebut adik adalah Malika dan Mikaila anak dari Rangga dan Nadya.“Namanya Renasya, Oma. Dia cantik sekali! Rambutnya panjang wangi, dia juga lucu, suka tertawa. Tidak cengeng seperti Malika,” cerita Brilian dengan penuh semangat.Sekar, yang sedang membaca majalah di sebelahnya, hanya menanggapi dengan anggukan kecil. “Oh ya?”Brilian mengangguk cepat. “Iya! Aku suka main sama dia. Kalau nanti dia main ke sini, aku mau ngajarin dia main basket.”Sekar tersenyum kecil, tapi tak ada antusiasme di matanya. Ia mendengar cerita cucunya, tapi hatinya tetap dingin. Meski dia sadar jika Renasya tidak berdosa, tetapi Sekar belum bisa menerima Renasya ataupun Ryan sepenuhnya.Bagi Sekar, meski Risda sudah tiada, jejak kesalahan wanita itu masih terasa dal
Suasana di ruang perawatan Andika dipenuhi kebahagiaan. Sean dan Ryan datang bersama keluarga mereka, membawa serta anak dan istri masing-masing. Andika tersenyum melihat dua putranya berdiri berdampingan, membawa keluarga kecil mereka ke hadapannya."Papa, ini Renasya," ujar Ryan sambil menggendong putrinya yang masih malu-malu.Andika menatap gadis kecil itu dengan penuh kasih. "Renasya, ke mari, Nak."Renasya menoleh ke Ryan, memastikan bahwa dia boleh mendekat, lalu dengan ragu melangkah ke tempat tidur Andika. Saat Andika mengulurkan tangannya, Renasya tersenyum dan menggenggam jemari rentanya."Opaaaa!" serunya girang.Andika melihat Brilian yang masih berada di samping Sean. Mereka sudah beberapa kali bertemu, pertemuan yang dirahasiakan dari Sekar tentunya.“Brili tidak kangen opa?” tanya Andika sambil mengulurkan tangannya. “Sini dekat dengan adikmu.”“Dia kakakku?” tanya Renasya dengan polosnya.Bocah yang baru berusia tiga tahun kembali melihat ke arah kedua orang tuanya se
Sean setengah berlari menuju ruang perawatan Andika. Napasnya memburu, tapi hatinya penuh harapan. Begitu membuka pintu, matanya langsung menangkap pemandangan yang membuatnya terdiam sesaat.Andika terbaring di atas brankar dengan mata terbuka, menatap ke arahnya dengan senyum tipis. Di sampingnya, Ryan duduk dengan ekspresi penuh kebahagiaan.“Papa sudah sadar!” seru Ryan, suaranya terdengar lega.Sean nyaris tidak percaya. Ia segera mendekat, meraih tangan sang papa dengan erat. “Papa…” suaranya bergetar. “Akhirnya…”Andika menatap kedua putranya dengan mata berkaca-kaca. “Kalian di sini…” suaranya lemah, tapi penuh kehangatan.Untuk pertama kalinya Andika menyaksikan kedua putranya berada dalam satu tempat dalam keadaan kompak dan rukun.“Papa sudah lama tertidur,” ujar Ryan, mencoba menahan emosinya. “Kami menunggu Papa sadar.”Sean mengangguk cepat. “Kami pikir… Papa tidak akan bangun lagi.”Andika tersenyum samar, menatap mereka satu per satu. “Tuhan masih memberiku waktu… untu