Tidak bisa dipungkiri jika pada awalnya sosok Miranda masih mengganggu benak Sean. Cinta untuk sang mantan terasa masih membelenggu. Rasa ragu sempat menguasai hatinya.Tetapi semua itu seolah sirna, saat dirinya sudah menyatu dengan Lila. Meskipun untuk saat ini, bentuk tubuhnya tidak proporsional, tetapi tetap menjadi candu yang tidak tergantikan. Tidak ada lagi sosok Miranda terbayang di benaknya,“Lila,” ucap Sean dengan suara serak yang hampir berbisik. Dalam keheningan malam, nama itu terdengar seperti doa. “Aku mencintaimu,” lanjutnya diikuti kecupan kecil yang ia jatuhkan di setiap sudut wajah Lila.Lila mengangkat tangannya, menyentuh wajah Sean dengan lembut. Air mata menggantung di pelupuk matanya, menggenang tetapi tak tumpah.“Sean ...” Hanya itu yang mampu ia ucapkan, karena kata-kata lainnya terjebak dalam pusaran emosi yang memenuhi ruang hatinya.Bukan hanya sekali, kata cinta yang tidak pernah terucap sebelumnya, terdengar berulang kali dari mulut Sean. Seakan menjad
Pagi itu terasa hangat. Sinar matahari menyelinap melalui bukaan lebar, menerangi meja makan tempat Sean dan Lila duduk bersama. Di depan mereka, sepiring roti panggang, omelet, dan secangkir kopi hangat mengisi meja.“Kamu yakin bisa sendiri untuk podcast hari ini?” Sean bertanya sambil menyeruput kopinya. “Biasanya Nadya selalu ada di sana buat kamu.”Lila tersenyum kecil, mengaduk teh di cangkirnya perlahan. “Aku yakin, kok. Lagipula, Nadya juga butuh fokus untuk pernikahannya. Ini kesempatan bagus buat aku belajar lebih mandiri.”Sean mengangguk, menatap istrinya dengan bangga. Tetapi ada rasa takut yang tidak bisa dia tutupi. “Jangan tergoda sama Dennis, ya. Dia itu terkenal playboy.”Lila tertawa pelan mendengar ucapan Sean. “Playboy bilang playboy.”“Aku serius, Lila. Kamu tahu sendiri kan skandal yang melibatkan dirinya.”“Sejujurnya aku lebih khawatir denganmu. Kalau kamu tidak hati-hati, bisa saja kamu terjebak skandal seperti Dennis,” ucap Lila diikuti helaan napas panjang,
Di sebuah bridal ternama, Nadya berdiri di depan deretan gaun pengantin yang berkilauan di bawah sorotan lampu. Tangannya menyentuh lembut salah satu gaun yang menjuntai anggun, Jari-jarinya menyentuh lembut renda halus di salah satu gaun, matanya terpaku pada detail kristal swarovski yang tertata sempurna.Namun, ketika matanya jatuh pada label harga yang tergantung di sana, napasnya tercekat. Angka yang tertera lebih dari sekadar nominal, itu adalah jurang pemisah antara mimpinya dan kenyataan."Semua gaun di sini adalah koleksi eksklusif, Kak," suara ramah seorang karyawan menyapa Nadya. Perempuan itu melangkah mendekat, senyumnya hangat. "Desainnya dibuat langsung oleh desainer terkenal, dan materialnya diimpor dari Eropa. Gaun ini, misalnya, menggunakan sutra terbaik dari Italia."Nadya mengangguk pelan, berusaha menyembunyikan rasa gentar di balik wajahnya yang berusaha tetap tenang. "Oh, bagus sekali," gumamnya, meski pikirannya melayang ke tabungannya yang jelas tidak cukup un
“Maksud Bu Sekar?” tanya lirih Nadya sambil menyeka air matanya.Sekar menatap Nadya dengan dingin, senyum kecil tersungging di bibirnya. “Sebenarnya yang saya minta bukanlah hal yang sulit.”“Jika saya bisa, tentu saya akan melakukannya.” Bagi Nadya hutang budi atau pun uang sama-sama membuatnya tidak nyaman. Tetap ada yang harus dibayar.“Pertemukan saya dengan Lila!” ucap Sekar dengan suara yang terdengar dingin dan tatap mata yang tajam.“Maksud Bu Sekar?” tanya Nadya yang terlihat bingung dengan permintaan perempuan paruh baya di hadapannya.Nadya mengerutkan dahinya. Setahunya Sekar adalah ibu mertua Lila, tentu dengan mudah dia bisa menemui Lila kapan saja. Tetapi mengapa harus meminta bantuan dari dirinya?“Setelah Sean dan Lila rujuk, Sean melarangku untuk bertemu dengan Lila. Sean masih marah padaku, karena dia menganggap aku yang membuat mereka bercerai.” Sekar memperlihatkan wajah sedihnya, berusaha menarik simpati Nadya.Nadya terdiam, dia merasa ada alasan lain yang memb
Sekar meninggalkan restoran dengan langkah cepat, ekspresinya penuh amarah. Nadya hanya bisa menghela napas panjang, perasaan bersalah menghantui dirinya. Dia sadar, kebodohannya menerima bantuan Sekar tanpa berpikir panjang telah menyeretnya ke dalam masalah besar.Sambil meremas tasnya erat, Nadya segera memutuskan untuk menemui Rangga. Apapun nanti yang akan terjadi, yang Nadya tahu adalah dia harus jujur tentang masalah ini kepada calon suaminya.Nadya melangkah gontai menyusuri Lorong rumah sakit. Seharusnya saat ini Rangga bisa fokus pada pemulihan kesehatannya setelah mengalami kecelakaan. Tetapi kebodohannya telah memberi beban berat kepadanya.Wajah Rangga terlihat letih karena baru saja selesai fisioterapi, tetapi senyum kecil tersungging ketika melihat calon istrinya datang.“Sudah kangen, ya?” tanya Rangga dengan nada menggoda.Nadya menggelengkan kepala lemah. Air matanya tidak tertahan lagi, menangisi kesalahan dan kebodohan yang telah dia lakukan.“Jangan katakana kalau
“Kau tahu, kecerdasan itu diturunkan dari ibunya?” Lila mengangguk mengiyakan ucapan Sekar, ibu mertuanya. “Itu sebabnya mama memilihmu untuk menjadi istri Sean, untuk melahirkan keturunan-keturunan yang cerdas bagi keluarga Wismoyojati.” Dahulu Lila adalah salah satu mahasiswa pintar yang mendapatkan beasiswa dari perusahaan Wismoyojati. Saat magang di perusahaan itu, Lila menunjukkan kinerja yang sangat baik, hingga membuat Sekar begitu tertarik kepada dirinya. Bahkan untuk bisa mendapatkan dirinya saat itu, Sekar membanjiri keluarga Lila dengan begitu banyak hadiah, agar Lila bersedia menikah dengan Sean, putra tunggalnya. “Tapi setelah mama pikir-pikir, setelah dua tahun pernikahan kalian, apa gunanya memiliki menantu yang cerdas kalau ternyata mandul?” Lila menunduk menyembunyikan kegetiran hatinya. Setelah dilambungkan setinggi langit, lalu dijatuhkan hingga hancur berantakan. “Sean adalah pewaris tunggal di keluarga Wismoyojati, apa jadinya jika dia tidak memiliki ke
Seburuk inilah komunikasi antara Lila dan dan Sean. Sampai Sean lupa memberi tahu tentang pengumuman brand ambassador produk baru perusahaan mereka. Hati Lila merasa tercubit, keberadaanya sama sekali tidak dianggap, bahkan untuk acara sebesar ini dirinya tidak dilibatkan sama sekali. Jangankan dilibatkan, diberi tahu pun secara mendadak.Lila membuka lemari pakaiannya, tampak kebingungan karena tidak ada satu pun pakaian yang sesuai dengan dress code dalam undangan yang baru saja Sean kirim memalui aplikasi perpesanan. Satu jam lagi acara dimulai, sudah tidak ada waktu untuk ke butik atau memesan secara online. Lila harus bisa memaksimalkan pakaian yang ada.Seperti apa yang sudah Lila duga, penampilannya akan menjadi pusat perhatian. Bukan karena penampilannya yang penuh pesona, tetapi karena dia mengenakan pakaian yang sudah pernah dia gunakan di acara sebelumnya."Lihat, bukankah itu gaun yang sama dengan yang dia pakai di acara amal bulan lalu?" bisik seorang perempuan kepada tem
Lila membiarkan dingin menyelimuti tubuhnya. Malam yang semakin larut membuatnya kesulitan mendapatkan taksi. Ingin rasanya memesan satu kamar di hotel ini untuk sekedar mengistirahatkan tubuhnya, tetapi mengingat ada Sean dan Miranda di kamar yang lain membuat Lila ingin sesegera mungkin meninggalkan hotel bintang lima tersebut.“Sendiri?” Suara bariton yang tak dikenal itu membuyarkan lamunan Lila.Lila segera menyeka air matanya, berusaha menyembunyikan kesedihan dari orang yang tidak dia kenal. Ia berbalik dan melihat seorang pria tampan dengan sorot mata tajam namun ramah.“Butuh tumpangan ... Nyonya Wismoyojati?” tanyanya sambil tersenyum.“Tidak, terima kasih.” Degup jantungnya semakin kencang. Bukan karena terpesona dengan pria tampan di hadapannya, tetapi ada ketakutan tersendiri saat bertemu dengan orang asing pada saat malam merayap berganti hari.“Mau saya temani sampai mendapatkan taksi?” Pria itu menawarkan lagi, nada suaranya tulus dan tenang.“Tidak perlu,” tolak Lila
Sekar meninggalkan restoran dengan langkah cepat, ekspresinya penuh amarah. Nadya hanya bisa menghela napas panjang, perasaan bersalah menghantui dirinya. Dia sadar, kebodohannya menerima bantuan Sekar tanpa berpikir panjang telah menyeretnya ke dalam masalah besar.Sambil meremas tasnya erat, Nadya segera memutuskan untuk menemui Rangga. Apapun nanti yang akan terjadi, yang Nadya tahu adalah dia harus jujur tentang masalah ini kepada calon suaminya.Nadya melangkah gontai menyusuri Lorong rumah sakit. Seharusnya saat ini Rangga bisa fokus pada pemulihan kesehatannya setelah mengalami kecelakaan. Tetapi kebodohannya telah memberi beban berat kepadanya.Wajah Rangga terlihat letih karena baru saja selesai fisioterapi, tetapi senyum kecil tersungging ketika melihat calon istrinya datang.“Sudah kangen, ya?” tanya Rangga dengan nada menggoda.Nadya menggelengkan kepala lemah. Air matanya tidak tertahan lagi, menangisi kesalahan dan kebodohan yang telah dia lakukan.“Jangan katakana kalau
“Maksud Bu Sekar?” tanya lirih Nadya sambil menyeka air matanya.Sekar menatap Nadya dengan dingin, senyum kecil tersungging di bibirnya. “Sebenarnya yang saya minta bukanlah hal yang sulit.”“Jika saya bisa, tentu saya akan melakukannya.” Bagi Nadya hutang budi atau pun uang sama-sama membuatnya tidak nyaman. Tetap ada yang harus dibayar.“Pertemukan saya dengan Lila!” ucap Sekar dengan suara yang terdengar dingin dan tatap mata yang tajam.“Maksud Bu Sekar?” tanya Nadya yang terlihat bingung dengan permintaan perempuan paruh baya di hadapannya.Nadya mengerutkan dahinya. Setahunya Sekar adalah ibu mertua Lila, tentu dengan mudah dia bisa menemui Lila kapan saja. Tetapi mengapa harus meminta bantuan dari dirinya?“Setelah Sean dan Lila rujuk, Sean melarangku untuk bertemu dengan Lila. Sean masih marah padaku, karena dia menganggap aku yang membuat mereka bercerai.” Sekar memperlihatkan wajah sedihnya, berusaha menarik simpati Nadya.Nadya terdiam, dia merasa ada alasan lain yang memb
Di sebuah bridal ternama, Nadya berdiri di depan deretan gaun pengantin yang berkilauan di bawah sorotan lampu. Tangannya menyentuh lembut salah satu gaun yang menjuntai anggun, Jari-jarinya menyentuh lembut renda halus di salah satu gaun, matanya terpaku pada detail kristal swarovski yang tertata sempurna.Namun, ketika matanya jatuh pada label harga yang tergantung di sana, napasnya tercekat. Angka yang tertera lebih dari sekadar nominal, itu adalah jurang pemisah antara mimpinya dan kenyataan."Semua gaun di sini adalah koleksi eksklusif, Kak," suara ramah seorang karyawan menyapa Nadya. Perempuan itu melangkah mendekat, senyumnya hangat. "Desainnya dibuat langsung oleh desainer terkenal, dan materialnya diimpor dari Eropa. Gaun ini, misalnya, menggunakan sutra terbaik dari Italia."Nadya mengangguk pelan, berusaha menyembunyikan rasa gentar di balik wajahnya yang berusaha tetap tenang. "Oh, bagus sekali," gumamnya, meski pikirannya melayang ke tabungannya yang jelas tidak cukup un
Pagi itu terasa hangat. Sinar matahari menyelinap melalui bukaan lebar, menerangi meja makan tempat Sean dan Lila duduk bersama. Di depan mereka, sepiring roti panggang, omelet, dan secangkir kopi hangat mengisi meja.“Kamu yakin bisa sendiri untuk podcast hari ini?” Sean bertanya sambil menyeruput kopinya. “Biasanya Nadya selalu ada di sana buat kamu.”Lila tersenyum kecil, mengaduk teh di cangkirnya perlahan. “Aku yakin, kok. Lagipula, Nadya juga butuh fokus untuk pernikahannya. Ini kesempatan bagus buat aku belajar lebih mandiri.”Sean mengangguk, menatap istrinya dengan bangga. Tetapi ada rasa takut yang tidak bisa dia tutupi. “Jangan tergoda sama Dennis, ya. Dia itu terkenal playboy.”Lila tertawa pelan mendengar ucapan Sean. “Playboy bilang playboy.”“Aku serius, Lila. Kamu tahu sendiri kan skandal yang melibatkan dirinya.”“Sejujurnya aku lebih khawatir denganmu. Kalau kamu tidak hati-hati, bisa saja kamu terjebak skandal seperti Dennis,” ucap Lila diikuti helaan napas panjang,
Tidak bisa dipungkiri jika pada awalnya sosok Miranda masih mengganggu benak Sean. Cinta untuk sang mantan terasa masih membelenggu. Rasa ragu sempat menguasai hatinya.Tetapi semua itu seolah sirna, saat dirinya sudah menyatu dengan Lila. Meskipun untuk saat ini, bentuk tubuhnya tidak proporsional, tetapi tetap menjadi candu yang tidak tergantikan. Tidak ada lagi sosok Miranda terbayang di benaknya,“Lila,” ucap Sean dengan suara serak yang hampir berbisik. Dalam keheningan malam, nama itu terdengar seperti doa. “Aku mencintaimu,” lanjutnya diikuti kecupan kecil yang ia jatuhkan di setiap sudut wajah Lila.Lila mengangkat tangannya, menyentuh wajah Sean dengan lembut. Air mata menggantung di pelupuk matanya, menggenang tetapi tak tumpah.“Sean ...” Hanya itu yang mampu ia ucapkan, karena kata-kata lainnya terjebak dalam pusaran emosi yang memenuhi ruang hatinya.Bukan hanya sekali, kata cinta yang tidak pernah terucap sebelumnya, terdengar berulang kali dari mulut Sean. Seakan menjad
Miranda melangkah keluar dari ruang kerja Sean dengan langkah gontai, matanya masih basah oleh air mata. Wajahnya yang biasanya cerah dan penuh percaya diri kini tampak kusut seolah telah memudar auranya.Di koridor, Bella berdiri dengan ekspresi penuh tanya, menatap Miranda yang tampak hancur. Tanpa sepatah kata pun, Miranda melewati Bella, karena masih meratapi hidupnya yang telah hancur.Bella memperhatikan kepergian Miranda. Selama ini, dia selalu berpikir bahwa Miranda adalah ancaman nyata bagi Lila dan saingan berat baginya untuk bisa mendapatkan Sean.Bagaimana tidak? Miranda memiliki masa lalu dengan Sean, kecantikan luar biasa, dan status karir sebagai model papan atas. Tapi kenyataan di depan matanya membuat Bella terhenyak. Sean menolak Miranda, bahkan saat Miranda jelas-jelas menawarkan diri.Perlahan, Bella mulai menyadari sesuatu yang tidak pernah dia pikirkan sebelumnya. Ternyata dia tidak bisa meremehkan Lila begitu saja.Posisi Lila lebih kuat dari sekadar cinta. Dia
Lila menjalani sesi latihan senam hamil di rumahnya. Meski sempat merasa tidak nyaman dengan Vicky yang dia ketahui adalah teman dekat Bella, tetapi Lila tidak menggantinya. Selama Vicky bisa bersikap professional, Lila tidak akan menggantikannya.Mungkin terdengar naif, tetapi Lila masih memegang teguh nasihat dari sang ayah. “Jangan pernah kau mempersulit jalan rezeki orang lain, kalau kamu tidak mau jalan rezekimu akan di hambat Tuhan.”“Senang ya, selalu diperhatikan suami,” ucap Vicky sambil membetulkan posisi tubuh Lila saat melakukan salah satu gerakan pendinginan.“Dia hanya sedang menjalankan tanggung jawabnya, tidak ada yang istimewa” jawab Lila dengan ekspresi datar, seolah apa yang dilakukan oleh Sean tidak ada istimewanya.Bukan tanpa alasan Lila melakukan hal tersebut. Bukan bermaksud tidak menghargai suaminua, Lila hanya tidak ingin memamerkan segala bentuk perhatian Sean untuknya kepada perempuan lain. Apalagi yang sudah terindikasi menunjukkan rasa tertariknya kepada
Bella menundukkan kepala, suaranya hampir berbisik ketika ia berbicara. “Maaf, Pak Sean. Saya tidak bisa menahan Bu Miranda.”Sean menghela napas panjang, rasa kesal beradu dengan kelelahan yang menumpuk di benaknya. Ia menatap wanita yang berdiri di hadapannya, seseorang yang pernah menjadi bagian dari hidupnya, kini terlihat rapuh, hampir hancur.Sean mengeraskan hatinya, tetapi sulit baginya untuk sepenuhnya mengabaikan Miranda. Ada sesuatu dalam matanya yang membuatnya merasa bertanggung jawab, meski dia tahu seharusnya tidak lagi.Sean mengisyaratkan kepada Bella untuk meninggalkan ruangan. Tanpa protes, sekretarisnya segera melangkah pergi, menutup pintu perlahan. Kini, hanya tinggal mereka berdua di ruangan tersebut. Hening terasa berat, seperti menyelimuti setiap sudut ruang kerja itu.“Sean, aku mohon.” suara Miranda pecah, serak, terhenti oleh isak tangis yang tidak bisa dia tahan. “Aku tahu aku tidak seharusnya datang ke sini, tapi aku tidak punya pilihan lain, Sean. Kamu s
Sean duduk di ruang kerjanya setelah meeting selesai. Wajahnya terlihat lebih santai saat dia membuka ponselnya. Ternyata Lila mengirimkan link podcastnya yang ternyata sudah dirilis. Sean tersenyum lebar melihat thumbnail istrinya, tampak begitu anggun dan percaya diri. Tanpa ragu, dia memutar podcast itu, membiarkan suara lembut Lila mengisi ruangannya.“Cantik,” gumam Sean sambil menyandarkan tubuhnya.Sebenarnya Sean bukan hanya terpesona oleh penampilan fisik istrinya yang semakain hari terlihat semakin cantik di matanya. Tetapi juga cara berbicaranya yang begitu elegan, cerdas, tenang, dan tetap ramah. Setiap kalimat yang keluar dari mulut Lila terasa terarah, memberikan nilai tanpa terkesan menggurui audiensnya. Terbersit penyesalan yang mendalam, karena pernah menyia-nyiakannya dengan mengabaikan segala kelebihan Lila selama dua tahun pernikahan mereka yang terdahulu.Namun, kesenangan Sean mulai terusik saat matanya terpaku pada kolom komentar.“Apa-apaan ini …” gumamnya, e