Sean duduk di ruang kerjanya setelah meeting selesai. Wajahnya terlihat lebih santai saat dia membuka ponselnya. Ternyata Lila mengirimkan link podcastnya yang ternyata sudah dirilis. Sean tersenyum lebar melihat thumbnail istrinya, tampak begitu anggun dan percaya diri. Tanpa ragu, dia memutar podcast itu, membiarkan suara lembut Lila mengisi ruangannya.“Cantik,” gumam Sean sambil menyandarkan tubuhnya.Sebenarnya Sean bukan hanya terpesona oleh penampilan fisik istrinya yang semakain hari terlihat semakin cantik di matanya. Tetapi juga cara berbicaranya yang begitu elegan, cerdas, tenang, dan tetap ramah. Setiap kalimat yang keluar dari mulut Lila terasa terarah, memberikan nilai tanpa terkesan menggurui audiensnya. Terbersit penyesalan yang mendalam, karena pernah menyia-nyiakannya dengan mengabaikan segala kelebihan Lila selama dua tahun pernikahan mereka yang terdahulu.Namun, kesenangan Sean mulai terusik saat matanya terpaku pada kolom komentar.“Apa-apaan ini …” gumamnya, e
Bella menundukkan kepala, suaranya hampir berbisik ketika ia berbicara. “Maaf, Pak Sean. Saya tidak bisa menahan Bu Miranda.”Sean menghela napas panjang, rasa kesal beradu dengan kelelahan yang menumpuk di benaknya. Ia menatap wanita yang berdiri di hadapannya, seseorang yang pernah menjadi bagian dari hidupnya, kini terlihat rapuh, hampir hancur.Sean mengeraskan hatinya, tetapi sulit baginya untuk sepenuhnya mengabaikan Miranda. Ada sesuatu dalam matanya yang membuatnya merasa bertanggung jawab, meski dia tahu seharusnya tidak lagi.Sean mengisyaratkan kepada Bella untuk meninggalkan ruangan. Tanpa protes, sekretarisnya segera melangkah pergi, menutup pintu perlahan. Kini, hanya tinggal mereka berdua di ruangan tersebut. Hening terasa berat, seperti menyelimuti setiap sudut ruang kerja itu.“Sean, aku mohon.” suara Miranda pecah, serak, terhenti oleh isak tangis yang tidak bisa dia tahan. “Aku tahu aku tidak seharusnya datang ke sini, tapi aku tidak punya pilihan lain, Sean. Kamu s
Lila menjalani sesi latihan senam hamil di rumahnya. Meski sempat merasa tidak nyaman dengan Vicky yang dia ketahui adalah teman dekat Bella, tetapi Lila tidak menggantinya. Selama Vicky bisa bersikap professional, Lila tidak akan menggantikannya.Mungkin terdengar naif, tetapi Lila masih memegang teguh nasihat dari sang ayah. “Jangan pernah kau mempersulit jalan rezeki orang lain, kalau kamu tidak mau jalan rezekimu akan di hambat Tuhan.”“Senang ya, selalu diperhatikan suami,” ucap Vicky sambil membetulkan posisi tubuh Lila saat melakukan salah satu gerakan pendinginan.“Dia hanya sedang menjalankan tanggung jawabnya, tidak ada yang istimewa” jawab Lila dengan ekspresi datar, seolah apa yang dilakukan oleh Sean tidak ada istimewanya.Bukan tanpa alasan Lila melakukan hal tersebut. Bukan bermaksud tidak menghargai suaminua, Lila hanya tidak ingin memamerkan segala bentuk perhatian Sean untuknya kepada perempuan lain. Apalagi yang sudah terindikasi menunjukkan rasa tertariknya kepada
Miranda melangkah keluar dari ruang kerja Sean dengan langkah gontai, matanya masih basah oleh air mata. Wajahnya yang biasanya cerah dan penuh percaya diri kini tampak kusut seolah telah memudar auranya.Di koridor, Bella berdiri dengan ekspresi penuh tanya, menatap Miranda yang tampak hancur. Tanpa sepatah kata pun, Miranda melewati Bella, karena masih meratapi hidupnya yang telah hancur.Bella memperhatikan kepergian Miranda. Selama ini, dia selalu berpikir bahwa Miranda adalah ancaman nyata bagi Lila dan saingan berat baginya untuk bisa mendapatkan Sean.Bagaimana tidak? Miranda memiliki masa lalu dengan Sean, kecantikan luar biasa, dan status karir sebagai model papan atas. Tapi kenyataan di depan matanya membuat Bella terhenyak. Sean menolak Miranda, bahkan saat Miranda jelas-jelas menawarkan diri.Perlahan, Bella mulai menyadari sesuatu yang tidak pernah dia pikirkan sebelumnya. Ternyata dia tidak bisa meremehkan Lila begitu saja.Posisi Lila lebih kuat dari sekadar cinta. Dia
Tidak bisa dipungkiri jika pada awalnya sosok Miranda masih mengganggu benak Sean. Cinta untuk sang mantan terasa masih membelenggu. Rasa ragu sempat menguasai hatinya.Tetapi semua itu seolah sirna, saat dirinya sudah menyatu dengan Lila. Meskipun untuk saat ini, bentuk tubuhnya tidak proporsional, tetapi tetap menjadi candu yang tidak tergantikan. Tidak ada lagi sosok Miranda terbayang di benaknya,“Lila,” ucap Sean dengan suara serak yang hampir berbisik. Dalam keheningan malam, nama itu terdengar seperti doa. “Aku mencintaimu,” lanjutnya diikuti kecupan kecil yang ia jatuhkan di setiap sudut wajah Lila.Lila mengangkat tangannya, menyentuh wajah Sean dengan lembut. Air mata menggantung di pelupuk matanya, menggenang tetapi tak tumpah.“Sean ...” Hanya itu yang mampu ia ucapkan, karena kata-kata lainnya terjebak dalam pusaran emosi yang memenuhi ruang hatinya.Bukan hanya sekali, kata cinta yang tidak pernah terucap sebelumnya, terdengar berulang kali dari mulut Sean. Seakan menjad
Pagi itu terasa hangat. Sinar matahari menyelinap melalui bukaan lebar, menerangi meja makan tempat Sean dan Lila duduk bersama. Di depan mereka, sepiring roti panggang, omelet, dan secangkir kopi hangat mengisi meja.“Kamu yakin bisa sendiri untuk podcast hari ini?” Sean bertanya sambil menyeruput kopinya. “Biasanya Nadya selalu ada di sana buat kamu.”Lila tersenyum kecil, mengaduk teh di cangkirnya perlahan. “Aku yakin, kok. Lagipula, Nadya juga butuh fokus untuk pernikahannya. Ini kesempatan bagus buat aku belajar lebih mandiri.”Sean mengangguk, menatap istrinya dengan bangga. Tetapi ada rasa takut yang tidak bisa dia tutupi. “Jangan tergoda sama Dennis, ya. Dia itu terkenal playboy.”Lila tertawa pelan mendengar ucapan Sean. “Playboy bilang playboy.”“Aku serius, Lila. Kamu tahu sendiri kan skandal yang melibatkan dirinya.”“Sejujurnya aku lebih khawatir denganmu. Kalau kamu tidak hati-hati, bisa saja kamu terjebak skandal seperti Dennis,” ucap Lila diikuti helaan napas panjang,
Di sebuah bridal ternama, Nadya berdiri di depan deretan gaun pengantin yang berkilauan di bawah sorotan lampu. Tangannya menyentuh lembut salah satu gaun yang menjuntai anggun, Jari-jarinya menyentuh lembut renda halus di salah satu gaun, matanya terpaku pada detail kristal swarovski yang tertata sempurna.Namun, ketika matanya jatuh pada label harga yang tergantung di sana, napasnya tercekat. Angka yang tertera lebih dari sekadar nominal, itu adalah jurang pemisah antara mimpinya dan kenyataan."Semua gaun di sini adalah koleksi eksklusif, Kak," suara ramah seorang karyawan menyapa Nadya. Perempuan itu melangkah mendekat, senyumnya hangat. "Desainnya dibuat langsung oleh desainer terkenal, dan materialnya diimpor dari Eropa. Gaun ini, misalnya, menggunakan sutra terbaik dari Italia."Nadya mengangguk pelan, berusaha menyembunyikan rasa gentar di balik wajahnya yang berusaha tetap tenang. "Oh, bagus sekali," gumamnya, meski pikirannya melayang ke tabungannya yang jelas tidak cukup un
“Maksud Bu Sekar?” tanya lirih Nadya sambil menyeka air matanya.Sekar menatap Nadya dengan dingin, senyum kecil tersungging di bibirnya. “Sebenarnya yang saya minta bukanlah hal yang sulit.”“Jika saya bisa, tentu saya akan melakukannya.” Bagi Nadya hutang budi atau pun uang sama-sama membuatnya tidak nyaman. Tetap ada yang harus dibayar.“Pertemukan saya dengan Lila!” ucap Sekar dengan suara yang terdengar dingin dan tatap mata yang tajam.“Maksud Bu Sekar?” tanya Nadya yang terlihat bingung dengan permintaan perempuan paruh baya di hadapannya.Nadya mengerutkan dahinya. Setahunya Sekar adalah ibu mertua Lila, tentu dengan mudah dia bisa menemui Lila kapan saja. Tetapi mengapa harus meminta bantuan dari dirinya?“Setelah Sean dan Lila rujuk, Sean melarangku untuk bertemu dengan Lila. Sean masih marah padaku, karena dia menganggap aku yang membuat mereka bercerai.” Sekar memperlihatkan wajah sedihnya, berusaha menarik simpati Nadya.Nadya terdiam, dia merasa ada alasan lain yang memb
Di ruang perawatan, seorang perawat mendekati Lila dengan membawa breast pump dan perlengkapan steril lainnya."Untuk sementara pakai ini dulu ya, Bu. Nanti kalau Adik bayi keadaan sudah membaik bisa diberi ASI secara langsung,” ujar perawat itu dengan lembut. “Saya bantu cara pakainya,” sambungnya dengan ramah.Lila mengangguk pelan, meski tubuhnya masih lemah. Dengan sabar, perawat tersebut menjelaskan cara memasang breast pump dan mengatur tingkat sedotan yang nyaman."Awalnya mungkin hanya sedikit yang keluar, tetapi ini proses yang normal. Yang penting, kita rutin mencobanya agar produksi ASI bisa meningkat," ucap perawat itu sambil tersenyum.Sean duduk di samping Lila, menggenggam tangannya dengan penuh dukungan. Tatap matanya tertuju pada bagian tubuh sang istri yang selama ini menjadi candu baginya.Dan sekarang dia harus berbagi dengan putranya. Ya, untuk sementara waktu, bagian tubuh itu yang akan menjadi sumber penghidupan putranya. Demi putranya Sean harus mengalah, toh s
Sekar tersenyum lega melihat Lila yang sudah sadar, meski masih terlihat lemah. Wajahnya memancarkan kebahagiaan yang tulus.Setelah dokter dan perawat yang menangani Lila keluar, Sekar segera memasuki ruangan. Dia melangkah lebih dekat, mengambil posisi di samping tempat tidur Lila, sementara Sean tetap berada di sisi lain, memegang tangan istrinya dengan erat, seolah tidak ingin melepaskannya lagi."Mama senang sekali kamu sudah sadar," ucap Sekar penuh emosi, suaranya lembut namun terdengar sedikit bergetar.Lila membalas senyum Sekar. "Terima kasih, Ma," ucapnya pelan, suaranya serak tetapi penuh kehangatan.Ini adalah pertemuan pertama Lila dengan Sekar sejak dia rujuk dengan Sean. Dan Lila bisa melihat Sekar yang tersenyum tulus kepadanya seperti saat pertama mereka bertemu, seperti saat awal pernikahannya dengan Sean."Ada beberapa hal penting yang perlu kita bicarakan, terutama mengenai ….""Mama sudah menyetujui nama yang aku berikan untuk anak kita.” Sean segera memotong kal
Ryan pulang dengan langkah berat, pikirannya berkecamuk. Begitu memasuki rumah, ia langsung menuju ruang keluarga di mana Risda sedang sibuk dengan hobi barunya, merajut. Tanpa menunggu, ia duduk di hadapan sang mama."Aku sudah memutuskan, Ma," ucap Ryan lirih, suaranya terdengar penuh beban. "Aku akan meninggalkan Mahendra Securitas."Risda terkejut, tetapi ada senyum yang tertahan. Lalu dia meletakkan benang dan hookpen di meja."Kenapa, Ryan? Apa yang terjadi?" tanya Risda penuh selidik.Ryan menghela napas panjang, menundukkan kepala sejenak sebelum menjawab. "Tadi aku bertemu Sean dan mamanya. Ternyata mamanya yang menyelamatkan Lila dari penculikan. Tapi Ma ... keadaan Lila sangat buruk. Dia belum sadar sampai sekarang, dan bayinya ... bayi Sean harus dirawat di inkubator karena lahir prematur."Risda menatap putranya dengan penuh perhatian, menunggu kelanjutannya."Dalam keadaan seperti itu Sean bahkan tidak diizinkan melihat Lila dan bayinya," lanjut Ryan. "Mamanya memberi sy
Sean tertegun ketika mendengar suara lemah memanggil namanya."Sean..." suara itu hampir seperti bisikan, tetapi cukup jelas untuk membuatnya menegakkan kepala dengan cepat.Awalnya, ia berpikir bahwa rasa lelah dan kerinduannya membuatnya berhalusinasi. Namun, ketika ia melihat mata Lila perlahan terbuka dan jemari halusnya bergerak, menyeka air mata di pipinya, Sean tersadar bahwa ini nyata."Lila!" serunya penuh haru. Sean menunduk, menggenggam tangan istrinya lebih erat. "Kamu sadar, sayang. Syukurlah ... syukurlah kamu sadar."Lila tersenyum lemah, bibirnya bergetar seolah ingin berkata lebih banyak, tetapi ia hanya mampu mengucapkan, "Sean..." Suaranya parau, tetapi cukup untuk membuat Sean tersenyum bahagia.Sean menunduk, mencium dahi Lila dengan penuh kasih. Bibirnya berlabuh di dahi Lila, tetapi tangannya dengan cepat menekan tombol pemanggil perawat. Sambil menunggu dokter dan perawat datang Sean terus memandangi wajah Lila, berharap ini semua nyata dan tidak berakhir dalam
Sean melangkah memasuki ruang perawatan Lila dengan napas tertahan. Setiap langkah terasa berat, seolah setiap inci mendekat ke tempat Lila berbaring menambah beban yang menghimpit dadanya.Di hadapannya, tubuh istrinya yang dulu penuh energi kini terbaring lemah, tak berdaya. Beberapa alat bantu medis menempel di tubuh Lila, memberikan tanda-tanda kehidupan yang rapuh.Sean mendekat, tangan gemetar menyentuh ujung jari Lila yang dingin. Wajahnya pucat, seakan kehilangan cahaya yang dulu selalu membuatnya tersenyum."Maafkan aku, Lil," bisik Sean lirih, kata-kata itu terasa seperti belati yang menusuk dirinya sendiri.Dia mengingat setiap kejadian yang membawa mereka ke titik ini. Keputusannya, kelalaiannya, kesalahannya, semua berputar di kepalanya seperti film buruk yang tak kunjung usai. Pandangannya beralih ke perut Lila yang rata, tempat di mana putra mereka pernah berada. Brilian Anugrah Wismoyojati, nama yang ia berikan untuk bayi kecil yang kini juga berjuang di ruang NICU.Ai
“Ma, sekarang bukan waktu yang tepat untuk membicarakan masalah harta. Bagiku Lila dan putranya jauh lebih berharga dari itu semua.”“Kau mengatakan mereka lebih berharga, tapi nyatakan keselamatan mereka yang kau abaikan. Apa yang menimpa Lila dan anakmu itu semua karena kebodohanmu, dan sampai sekarang tampaknya kau belum menyadarinya.” Sekar menggelengkan kepala menunjukkan rasa kecewa yang mendalam kepada Sean. “Sampai saat ini kau masih mempertahankan pendirianmu untuk menjadi penjaga bagi tukang selingkuh itu dan anak haramnya.”“Bukan begitu, Ma. Aku hanya ingin ….”“Jika tidak seperti itu, seharusnya sejak mengetahui Lila hamil, kau sudah menandatangi surat-surat pengalihan perusahaan, dan juga kau bisa membuat Lila melakukah hal sama. Bukan malah menjauhkan dia dari aku.”Sean hanya diam, saat ini otaknya sedang dipenuhi oleh Lila dan anaknya yang sedang berjuang untuk bertahan hidup. Tetapi di sini dia justru sibuk membicarakan harta yang tidak aka nada harganya lagi jika sa
Ryan duduk diam di hadapan ayahnya, mencoba mencerna semua informasi yang baru saja disampaikan. Dia yang mendampingi masa-masa awal kehamilan Lila masih ingat kapan seharusnya persalinan itu terjadi.“Bukankah ini belum waktunya?” tanya Ryan mencoba memastikan.“Ya, bayi itu lahir prematur. Dan sekarang harus mendapat perawat intensif di inkubator.” Andika tidak bisa menutupi kesedihannya, meskipun kelahiran bayi itu akan membuatnya kehilangan kekayaan tetapi dia tetap menyayangi cucunya.“Apa ini ada hubungannya dengan penculikan itu? Papa tahu siapa yang melakukannya?”Andika mengangguk pelan lalu menghela napas panjang sebelum mulai berbicara. “Sekretaris Sean,” jawab Andika singkat.“Sekar berhasil melacaknya dan menyelamatkan Lila. Tapi Lila harus melahirkan sebelum waktunya, karena sekretaris Sean memberikan obat yang memacu kontraksi.”Ryan mengangguk, merasakan ketegangan menggumpal di dadanya. “Bagaimana keadaan bayinya?” tanyanya pelan.“Bayinya di NICU,” Andika menjawab, w
Sean berdiri mematung di depan pintu ruang perawatan Lila. Dari tempatnya, dia bisa melihat penjagaan ketat yang diatur oleh Sekar. Meski tidak mencolok, keberadaan beberapa pria bertubuh kekar di sekitar area itu sudah cukup memberi peringatan bahwa Sekar tak main-main. Perempuan itu bersikeras melindungi Lila dan tidak akan membiarkan Sean mendekat begitu saja.Perasaan bersalah dan amarah bercampur dalam dada Sean. Dia tahu situasinya rumit, tapi hati kecilnya tetap berbisik bahwa sebagai suami dan ayah, dirinya punya hak.Dengan berat Sean bergerak menjauh dari pintu itu. Dia mengayunkan langkahnya menuju arah yang lain, ruang NICU. Di sana, dua anak buah Theo berjaga dengan postur kaku dan wajah tanpa ekspresi. Mereka mencoba menghalangi Sean untuk memasuki ruang tersebut.“Aku hanya ingin melihat keadaan anakku,” ucap Sean terdengar memohon.“Kami hanya menjalankan perintah, hanya Bu Sekar yang boleh melihat cucunya.” Salah satu dari anak buah Theo memberanikan diri untuk mengha
Sean berdiri membeku di depan Sekar. Wajahnya tertunduk, tangan menggenggam erat di sisinya. Tamparan di pipinya masih terasa panas, namun itu tak seberapa dibandingkan kata-kata tajam yang baru saja dilontarkan ibunya, Sekar. Kata-kata itu berputar di kepalanya seperti belati yang terus-menerus menorehkan luka baru di hatinya.“Ini semua salahmu, Sean!” Suara Sekar meledak, penuh amarah yang sudah lama dipendam. Sekar menatap putranya dengan api kemarahan di matanya. Suaranya naik turun, penuh emosi.“Apa kau tahu betapa menderitanya Lila? Apa kau tahu betapa dekatnya dia dengan bahaya? Tidak, tentu saja kau tidak tahu! Kau terlalu sibuk melindungi Andika dan Ryan, orang-orang yang bahkan tidak layak untuk kau bela!”Sean hanya bisa menunduk mendengar segala ucapan Sekar. Dia tahu apa yang dikatakan sang mama benar, meskipun terdengar begitu menyakitkan. Ia tidak bisa membela diri, tidak bisa menyangkal. Sekar melangkah mendekat, menatap putranya dengan pandangan penuh amarah yang me