Setelah selesai melakukan podcast yang berlangsung lancar, Lila dan Nadya keluar dari studio dengan senyum puas.Sopir yang ditugaskan Sean untuk mengantar kemana pun istri pergi terlihat sigap. Dia langsung membukakan pintu saat melihat Lila dan Nadya semakin mendekat.Di dalam mobil yang nyaman, mereka bersiap menuju rumah sakit untuk melihat kondisi Rangga. Nadya duduk di sebelah Lila, tampak lebih santai setelah acara selesai.“Lila, aku ingin tanya sesuatu,” kata Nadya dengan nada hati-hati, memulai pembicaraan.Lila melirik sahabatnya sambil mengatur posisi duduknya. Kehamilannya yang sudah besar sering membuatnya tidak nyaman saat duduk.“Tanya saja, Nad?”Nadya memainkan jari-jarinya, sedikit gugup. “Kamu sudah tahu rencana pernikahanku dengan Rangga?” tanya balik Nadya.“Sudah, dari Sean.”Lila tidak pernah menduga jika dalam waktu singkat sahabatnya itu memutuskan untuk menikah dengan Rangga yang baru dikenalnya. Meski dari cerita yang dia dengar, itu terjadi atas paksaan Se
Di kantornya, Sean mengerutkan kening di hadapan layar laptop. Dokumen menumpuk di mejanya, setiap satu selesai, rasanya tiga lainnya muncul. Absennya Rangga benar-benar membuat beban kerja Sean meningkat drastis. Sean tahu Rangga butuh waktu untuk pulih, tapi situasi ini mulai menguji kesabarannya. "Pak Sean," Bella mengetuk pintu sebelum masuk, membawa sebuah map tebal berisi jadwal kerja yang telah diperbarui. "Ini jadwal Anda hari ini, cukup padat, terutama ada rapat dengan investor jam dua siang." Sean memijit pelipisnya, lalu melirik map tersebut. "Tolong kosongkan jadwal saat makan siang, Bella," katanya sambil menarik napas panjang. "Saya butuh waktu untuk diri sendiri." Bella mengangguk cepat, meskipun terlihat ragu. "Baik, Pak. Saya akan sesuaikan. Tapi jadwal sore tetap berjalan seperti biasa, ya?" Sean mengangguk tanpa menoleh. "Ya, tetap lanjutkan. Saya hanya butuh istirahat sebentar. Pastikan tidak ada gangguan saat makan siang." “Anda akan makan siang di luar atau
Sean baru saja menempelkan sedotan ke bibirnya, tiba-tiba suara ketukan terdengar dari pintu. Dia menghentikan gerakannya, menoleh ke arah pintu dengan ekspresi yang berubah seketika. Seolah sudah tahu siapa yang datang, Sean berdiri, meninggalkan meja tanpa sempat meminum minumannya. Bella yang masih berdiri di sudut ruangan tampak kaku, senyumnya perlahan memudar. Matanya mengikuti langkah Sean yang dengan cepat menuju pintu. Saat pintu terbuka, wajah Sean berseri-seri melihat sosok Lila berdiri di ambang pintu. “Kamu sudah sampai,” ucapnya hangat. Tanpa ragu, Sean meraih tangan Lila dan menariknya masuk. Dia menyambut istrinya dengan kecupan lembut di pucuk kepala, sebuah isyarat kasih sayang yang tulus. Lila tersenyum kecil menikmati sambutan tak terduga dari Sean. “Aku pikir kamu masih sibuk,” ujar Lila sambil melirik ke dalam ruangan. Matanya sempat menangkap Bella yang berdiri di sudut dengan ekspresi yang sulit diartikan. “Aku sudah selesai dengan sebagian pekerjaan, dan
Sean memandang wajah lelah Lila yang tertidur di sofa, posisi yang sangat tidak ideal untuk ibu hamil. Tampaknya aktivitas panas yang baru saja mereka lakukan membuat Lila mengantuk dan langsung tidur. Tanpa berpikir panjang, Sean meraih blazer Lila yang tadi diletakkannya di samping sofa. Dengan hati-hati Sean menutupi tubuh istrinya, memastikan Lila merasa nyaman. Matanya kemudian melirik jam di pergelangan tangannya. Waktu menunjukkan bahwa dia hampir terlambat untuk bertemu klien penting. Sean menghela napas, menyadari bahwa mengundang Lila untuj makan siang bersama telah memakan lebih banyak waktu dari yang direncanakannya. Tetapi senyum kecil tersungging di wajahnya, dia tidak menyesal sedikit pun. Apa yang baru saja mereka lakukan seolah menjadi bahan bakar yang menyulut semangatnya untuk bekerja lebih keras lagi. Sean merapikan dasinya, lalu berlutut di samping sofa untuk membisikkan sesuatu ke telinga Lila. "Aku harus pergi meeting sebentar. Kamu tidur saja di sini," ucap
Sean duduk di ruang kerjanya setelah meeting selesai. Wajahnya terlihat lebih santai saat dia membuka ponselnya. Ternyata Lila mengirimkan link podcastnya yang ternyata sudah dirilis. Sean tersenyum lebar melihat thumbnail istrinya, tampak begitu anggun dan percaya diri. Tanpa ragu, dia memutar podcast itu, membiarkan suara lembut Lila mengisi ruangannya.“Cantik,” gumam Sean sambil menyandarkan tubuhnya.Sebenarnya Sean bukan hanya terpesona oleh penampilan fisik istrinya yang semakain hari terlihat semakin cantik di matanya. Tetapi juga cara berbicaranya yang begitu elegan, cerdas, tenang, dan tetap ramah. Setiap kalimat yang keluar dari mulut Lila terasa terarah, memberikan nilai tanpa terkesan menggurui audiensnya. Terbersit penyesalan yang mendalam, karena pernah menyia-nyiakannya dengan mengabaikan segala kelebihan Lila selama dua tahun pernikahan mereka yang terdahulu.Namun, kesenangan Sean mulai terusik saat matanya terpaku pada kolom komentar.“Apa-apaan ini …” gumamnya, e
Bella menundukkan kepala, suaranya hampir berbisik ketika ia berbicara. “Maaf, Pak Sean. Saya tidak bisa menahan Bu Miranda.”Sean menghela napas panjang, rasa kesal beradu dengan kelelahan yang menumpuk di benaknya. Ia menatap wanita yang berdiri di hadapannya, seseorang yang pernah menjadi bagian dari hidupnya, kini terlihat rapuh, hampir hancur.Sean mengeraskan hatinya, tetapi sulit baginya untuk sepenuhnya mengabaikan Miranda. Ada sesuatu dalam matanya yang membuatnya merasa bertanggung jawab, meski dia tahu seharusnya tidak lagi.Sean mengisyaratkan kepada Bella untuk meninggalkan ruangan. Tanpa protes, sekretarisnya segera melangkah pergi, menutup pintu perlahan. Kini, hanya tinggal mereka berdua di ruangan tersebut. Hening terasa berat, seperti menyelimuti setiap sudut ruang kerja itu.“Sean, aku mohon.” suara Miranda pecah, serak, terhenti oleh isak tangis yang tidak bisa dia tahan. “Aku tahu aku tidak seharusnya datang ke sini, tapi aku tidak punya pilihan lain, Sean. Kamu s
Lila menjalani sesi latihan senam hamil di rumahnya. Meski sempat merasa tidak nyaman dengan Vicky yang dia ketahui adalah teman dekat Bella, tetapi Lila tidak menggantinya. Selama Vicky bisa bersikap professional, Lila tidak akan menggantikannya.Mungkin terdengar naif, tetapi Lila masih memegang teguh nasihat dari sang ayah. “Jangan pernah kau mempersulit jalan rezeki orang lain, kalau kamu tidak mau jalan rezekimu akan di hambat Tuhan.”“Senang ya, selalu diperhatikan suami,” ucap Vicky sambil membetulkan posisi tubuh Lila saat melakukan salah satu gerakan pendinginan.“Dia hanya sedang menjalankan tanggung jawabnya, tidak ada yang istimewa” jawab Lila dengan ekspresi datar, seolah apa yang dilakukan oleh Sean tidak ada istimewanya.Bukan tanpa alasan Lila melakukan hal tersebut. Bukan bermaksud tidak menghargai suaminua, Lila hanya tidak ingin memamerkan segala bentuk perhatian Sean untuknya kepada perempuan lain. Apalagi yang sudah terindikasi menunjukkan rasa tertariknya kepada
Miranda melangkah keluar dari ruang kerja Sean dengan langkah gontai, matanya masih basah oleh air mata. Wajahnya yang biasanya cerah dan penuh percaya diri kini tampak kusut seolah telah memudar auranya.Di koridor, Bella berdiri dengan ekspresi penuh tanya, menatap Miranda yang tampak hancur. Tanpa sepatah kata pun, Miranda melewati Bella, karena masih meratapi hidupnya yang telah hancur.Bella memperhatikan kepergian Miranda. Selama ini, dia selalu berpikir bahwa Miranda adalah ancaman nyata bagi Lila dan saingan berat baginya untuk bisa mendapatkan Sean.Bagaimana tidak? Miranda memiliki masa lalu dengan Sean, kecantikan luar biasa, dan status karir sebagai model papan atas. Tapi kenyataan di depan matanya membuat Bella terhenyak. Sean menolak Miranda, bahkan saat Miranda jelas-jelas menawarkan diri.Perlahan, Bella mulai menyadari sesuatu yang tidak pernah dia pikirkan sebelumnya. Ternyata dia tidak bisa meremehkan Lila begitu saja.Posisi Lila lebih kuat dari sekadar cinta. Dia
Malika duduk di sudut ruangan, memeluk boneka kelinci kesayangannya sambil memperhatikan Brilian dan Renasya. Matanya menyipit sedikit, menunjukkan perasaan yang tidak bisa ia sembunyikan, cemburu.Brilian tampak begitu bersemangat memperkenalkan Renasya kepada Malika. “Ini Renasya! Dia adikku!” ucap Brlian dengan bangga, tangannya menggandeng Renasya seolah ingin melindungi adik sepupunya tersebut.Malika menggigit bibirnya, merasa ada sesuatu yang berubah. Selama ini, Brilian selalu dekat dengannya, selalu melindungi dan menjaganya seperti kakak sendiri. Tapi sekarang, perhatian Brilian sepenuhnya tertuju pada Renasya.“Kamu kenapa diam saja, Malika?”Malika menggeleng pelan, tapi matanya masih terpaku pada Brilian dan Renasya. Lalu dengan berat hati akhirnya menerima uluran tangan Renasya.Renasya tersenyum saat Malika menggenggam tangannya. “Namaku Rena, aku adiknya Kak Brili. Kita bisa main bersama.”Suasana hati Malika tampaknya sedang tidak baik. Dia tidak seantusias biasanya s
Suasana duka menyelimuti rumah Andika. Cahaya lampu yang temaram dan lantunan doa-doa menciptakan keheningan yang mencekam. Sekar berdiri di sudut ruangan, memperhatikan Sean dan Ryan, tampak keduanya sama-sama dirundung kesedihan.Dalam hati Sekar bertanya, kebaikan apa yang membuat Andika begitu dicintai oleh kedua anaknya. Meski sebagai seorang ayah, Andika telah melakukan sebuah kesalahan fatal yang meninggalkan luka mendalam, baik itu kepada Sean maupun Ryan.Sean, meskipun wajahnya tidak berhiaskan senyum, tetapi dia tetap terlihat tegar. Ia menyapa tamu yang datang, memberi arahan kepada para pelayan agar memastikan segala sesuatu berjalan dengan baik. Namun, sesekali, tatapannya melayang ke arah jenazah sang papa, seolah masih berusaha menerima kenyataan pahit ini.Sementara itu, Ryan duduk diam di samping jenazah Andika, wajahnya kaku tanpa ekspresi. Tidak ada air mata yang jatuh, tetapi kesedihan terpancar jelas di matanya. Ryan seperti sedang menunggu sang papa tertidur, be
Sekar menguatkan hatinya melangkah mendekati ranjang perawatan Andika dengan perasaan yang tak menentu. Napas pria itu tersengal, dengan mata yang setengah terbuka, seolah ingin menangkap sosok Sekar untuk terakhir kalinya. Di sekeliling mereka, suara alat medis terus berbunyi, menjadi latar yang tak bisa diabaikan.Sekar menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan air matanya. Dengan tangan gemetar, ia menggenggam tangan Andika yang terasa semakin dingin. Perasaan bersalah dan kepedihan bersarang dalam hati perempuan paruh baya itu. Bagaimana mungkin cinta mereka yang pernah menggebu-gebu kini berakhir di sini?Sekar mendekatkan mulutnya tepat di telinga Andika. Dengan suara pelan dan bergetar, perempuan paruh baya itu membisikkan sebuah doa, seperti yang pernah ia ucapkan kala melepas kepergian sang papa beberapa tahun yang lalu.Bayangan kebersamaan mereka yang dulu kembali menghampiri pikirannya, berputar-putar tanpa henti.Andika dengan tatap mata kosong yang menerawang, mencoba
Sekar melangkah keluar dari ruang perawatan Andika dengan gurat wajah penuh kekesalan. Ia tidak ingin berlama-lama di tempat itu, karena hanya akan mengingatkan kembali pada luka lama yang sampai saat ini belum bisa sembuh sepenuhnya.Seandainya bukan untuk memberi kejelasan tentang hubungan mereka, bagi Sekar pertemuan ini hanya membuang waktunya. Andika sudah menjadi bagian dari masa lalu yang tak perlu diungkit lagi.Namun, baru beberapa langkah dari pintu, suara langkah kaki yang tergesa-gesa membuatnya berhenti. Sekar menoleh dan melihat seorang dokter bersama beberapa perawat bergegas masuk ke ruang perawatan Andika. Wajah mereka tegang, gerakan mereka cepat dan menunjukkan suasana darurat.Hatinya mendadak berdebar kencang. Sekar bisa saja mengabaikan, dan terus berjalan seperti yang ia rencanakan sejak awal. Namun, tanpa sadar, kaki perempuan paruh baya itu justru melangkah kembali ke arah pintu.Sekar berdiri di ambang pintu, menyaksikan dokter dan perawat mengelilingi Andika
Brilian dengan antusias menceritakan pertemuannya dengan Renasya kepada Sekar. Bocah itu duduk di sofa sambil mengayunkan kakinya, wajahnya bersinar penuh semangat.“Oma, ternyata aku sudah punya adik.”Sekar menatap cucunya. Biasanya yang dia sebut adik adalah Malika dan Mikaila anak dari Rangga dan Nadya.“Namanya Renasya, Oma. Dia cantik sekali! Rambutnya panjang wangi, dia juga lucu, suka tertawa. Tidak cengeng seperti Malika,” cerita Brilian dengan penuh semangat.Sekar, yang sedang membaca majalah di sebelahnya, hanya menanggapi dengan anggukan kecil. “Oh ya?”Brilian mengangguk cepat. “Iya! Aku suka main sama dia. Kalau nanti dia main ke sini, aku mau ngajarin dia main basket.”Sekar tersenyum kecil, tapi tak ada antusiasme di matanya. Ia mendengar cerita cucunya, tapi hatinya tetap dingin. Meski dia sadar jika Renasya tidak berdosa, tetapi Sekar belum bisa menerima Renasya ataupun Ryan sepenuhnya.Bagi Sekar, meski Risda sudah tiada, jejak kesalahan wanita itu masih terasa dal
Suasana di ruang perawatan Andika dipenuhi kebahagiaan. Sean dan Ryan datang bersama keluarga mereka, membawa serta anak dan istri masing-masing. Andika tersenyum melihat dua putranya berdiri berdampingan, membawa keluarga kecil mereka ke hadapannya."Papa, ini Renasya," ujar Ryan sambil menggendong putrinya yang masih malu-malu.Andika menatap gadis kecil itu dengan penuh kasih. "Renasya, ke mari, Nak."Renasya menoleh ke Ryan, memastikan bahwa dia boleh mendekat, lalu dengan ragu melangkah ke tempat tidur Andika. Saat Andika mengulurkan tangannya, Renasya tersenyum dan menggenggam jemari rentanya."Opaaaa!" serunya girang.Andika melihat Brilian yang masih berada di samping Sean. Mereka sudah beberapa kali bertemu, pertemuan yang dirahasiakan dari Sekar tentunya.“Brili tidak kangen opa?” tanya Andika sambil mengulurkan tangannya. “Sini dekat dengan adikmu.”“Dia kakakku?” tanya Renasya dengan polosnya.Bocah yang baru berusia tiga tahun kembali melihat ke arah kedua orang tuanya se
Sean setengah berlari menuju ruang perawatan Andika. Napasnya memburu, tapi hatinya penuh harapan. Begitu membuka pintu, matanya langsung menangkap pemandangan yang membuatnya terdiam sesaat.Andika terbaring di atas brankar dengan mata terbuka, menatap ke arahnya dengan senyum tipis. Di sampingnya, Ryan duduk dengan ekspresi penuh kebahagiaan.“Papa sudah sadar!” seru Ryan, suaranya terdengar lega.Sean nyaris tidak percaya. Ia segera mendekat, meraih tangan sang papa dengan erat. “Papa…” suaranya bergetar. “Akhirnya…”Andika menatap kedua putranya dengan mata berkaca-kaca. “Kalian di sini…” suaranya lemah, tapi penuh kehangatan.Untuk pertama kalinya Andika menyaksikan kedua putranya berada dalam satu tempat dalam keadaan kompak dan rukun.“Papa sudah lama tertidur,” ujar Ryan, mencoba menahan emosinya. “Kami menunggu Papa sadar.”Sean mengangguk cepat. “Kami pikir… Papa tidak akan bangun lagi.”Andika tersenyum samar, menatap mereka satu per satu. “Tuhan masih memberiku waktu… untu
Setelah makan malam selesai, mereka berkumpul di ruang keluarga. Brilian sangat bahagia karena bisa berkumpul dengan keluarganya secara utuh. Bocah itu tidak ingin jauh dari papanya, tampak ingin bermanja sejenak sebelum dia tidur.Sean menyandarkan punggungnya di sofa, menatap mamanya dengan ekspresi penuh selidik. Lila duduk di sampingnya, perutnya yang sudah mulai terlihat membesar tampak menyulitkan pergerakannya. Mungkin karena hamil kembar, perut Lila terlihat lebih besar dari usia kehamilannya saat ini.Sean menautkan jemarinya tampak ragu untuk mulai berbicara. "Mama, aku ingin tahu sesuatu."Sekar menyesap tehnya dengan tenang. "Apa Sean?""Bagaimana caranya Mama meyakinkan Ryan?" Sean menatapnya tajam. "Beberapa kali aku bertemu dengannya, dia jelas menolak. Tapi tiba-tiba, dia setuju. Apa yang Mama lakukan?"Memang selama ini Ryan sering menyebut nama Sekar sebagai alasan penolakannya. Tetapi ternyata setelah Sekar sendiri yang menemuinya, Ryan justru langsung menyetujui ta
Ryan menunduk, menatap map berisi bukti-bukti yang bisa menghancurkan hidupnya dan keluarganya. Sekar telah memainkan kartunya dengan sempurna. Dia terpojok, tak lagi punya pilihan.Dengan Anggun Sekar membersihkan sisa makanan di mulutnya. Senyum kemenangan merekah di bibirnya, lalu dia berucap dengan suaranya rendah namun tajam, “Jangan sia-siakan kesempatan ini. Bayar kebaikan Sean dan jadilah adik yang berguna untuk kakakmu.”Ryan mengepalkan tangannya, merasakan amarah dan rasa tidak berdaya yang bercampur menjadi satu. Sekar telah menang, dan dia tidak bisa melakukan apa-apa.Saat kita berbuat dosa dan kesalahan, tetapi masih bisa berkeliaran, bukan berarti kita benar-benar bebas. Saat semua diam dan melakukan pembiaran, itu karena tidak ada kepentingan dengan menggungkitnya. Tetapi mereka akan menggunakan kesalahan untuk menekan kita pada waktu yang tepat. Pertemuan dengan Sekar menyadarkan Ryan akan hal itu.Mungkin dia bisa menghadapi Sekar sendiri, tetapi jika itu sudah meny