Lila duduk di kursi belakang mobil dengan cermin kecil di tangannya. Tangannya sibuk merapikan bedak di wajah dan membetulkan lipstik yang sedikit memudar. Di luar, jalanan yang padat perlahan membawa mereka menuju studio tempat podcast Mellisa Tyson. Sekilas, dia melirik jam di dashboard mobil, waktu semakin dekat, dan kegugupan mulai merayap di hatinya.“Aku takut salah ngomong,” Lila bergumam sambil meletakkan cermin kecil ke dalam tasnya. Nadya, yang duduk di sebelahnya, menoleh dan tersenyum menenangkan.“Lila, kamu sudah sering berbicara di depan kamera. Ingat semua video yang kamu buat? Kamu tahu apa yang harus kamu katakan,” ujar Nadya sambil menepuk lembut bahu sahabatnya.“Tapi ini berbeda. Pendengar mereka jauh lebih luas, dan aku ...,” Lila berhenti, mencoba merangkai kata. Nadya memotong dengan tawa kecil.“Kamu akan baik-baik saja. Percayalah, mereka mengundangmu karena mereka tahu kamu punya sesuatu yang menarik untuk dibagikan. Fokus saja pada apa yang kamu tahu dan ap
Setelah selesai melakukan podcast yang berlangsung lancar, Lila dan Nadya keluar dari studio dengan senyum puas.Sopir yang ditugaskan Sean untuk mengantar kemana pun istri pergi terlihat sigap. Dia langsung membukakan pintu saat melihat Lila dan Nadya semakin mendekat.Di dalam mobil yang nyaman, mereka bersiap menuju rumah sakit untuk melihat kondisi Rangga. Nadya duduk di sebelah Lila, tampak lebih santai setelah acara selesai.“Lila, aku ingin tanya sesuatu,” kata Nadya dengan nada hati-hati, memulai pembicaraan.Lila melirik sahabatnya sambil mengatur posisi duduknya. Kehamilannya yang sudah besar sering membuatnya tidak nyaman saat duduk.“Tanya saja, Nad?”Nadya memainkan jari-jarinya, sedikit gugup. “Kamu sudah tahu rencana pernikahanku dengan Rangga?” tanya balik Nadya.“Sudah, dari Sean.”Lila tidak pernah menduga jika dalam waktu singkat sahabatnya itu memutuskan untuk menikah dengan Rangga yang baru dikenalnya. Meski dari cerita yang dia dengar, itu terjadi atas paksaan Se
Di kantornya, Sean mengerutkan kening di hadapan layar laptop. Dokumen menumpuk di mejanya, setiap satu selesai, rasanya tiga lainnya muncul. Absennya Rangga benar-benar membuat beban kerja Sean meningkat drastis. Sean tahu Rangga butuh waktu untuk pulih, tapi situasi ini mulai menguji kesabarannya. "Pak Sean," Bella mengetuk pintu sebelum masuk, membawa sebuah map tebal berisi jadwal kerja yang telah diperbarui. "Ini jadwal Anda hari ini, cukup padat, terutama ada rapat dengan investor jam dua siang." Sean memijit pelipisnya, lalu melirik map tersebut. "Tolong kosongkan jadwal saat makan siang, Bella," katanya sambil menarik napas panjang. "Saya butuh waktu untuk diri sendiri." Bella mengangguk cepat, meskipun terlihat ragu. "Baik, Pak. Saya akan sesuaikan. Tapi jadwal sore tetap berjalan seperti biasa, ya?" Sean mengangguk tanpa menoleh. "Ya, tetap lanjutkan. Saya hanya butuh istirahat sebentar. Pastikan tidak ada gangguan saat makan siang." “Anda akan makan siang di luar atau
Sean baru saja menempelkan sedotan ke bibirnya, tiba-tiba suara ketukan terdengar dari pintu. Dia menghentikan gerakannya, menoleh ke arah pintu dengan ekspresi yang berubah seketika. Seolah sudah tahu siapa yang datang, Sean berdiri, meninggalkan meja tanpa sempat meminum minumannya. Bella yang masih berdiri di sudut ruangan tampak kaku, senyumnya perlahan memudar. Matanya mengikuti langkah Sean yang dengan cepat menuju pintu. Saat pintu terbuka, wajah Sean berseri-seri melihat sosok Lila berdiri di ambang pintu. “Kamu sudah sampai,” ucapnya hangat. Tanpa ragu, Sean meraih tangan Lila dan menariknya masuk. Dia menyambut istrinya dengan kecupan lembut di pucuk kepala, sebuah isyarat kasih sayang yang tulus. Lila tersenyum kecil menikmati sambutan tak terduga dari Sean. “Aku pikir kamu masih sibuk,” ujar Lila sambil melirik ke dalam ruangan. Matanya sempat menangkap Bella yang berdiri di sudut dengan ekspresi yang sulit diartikan. “Aku sudah selesai dengan sebagian pekerjaan, dan
Sean memandang wajah lelah Lila yang tertidur di sofa, posisi yang sangat tidak ideal untuk ibu hamil. Tampaknya aktivitas panas yang baru saja mereka lakukan membuat Lila mengantuk dan langsung tidur. Tanpa berpikir panjang, Sean meraih blazer Lila yang tadi diletakkannya di samping sofa. Dengan hati-hati Sean menutupi tubuh istrinya, memastikan Lila merasa nyaman. Matanya kemudian melirik jam di pergelangan tangannya. Waktu menunjukkan bahwa dia hampir terlambat untuk bertemu klien penting. Sean menghela napas, menyadari bahwa mengundang Lila untuj makan siang bersama telah memakan lebih banyak waktu dari yang direncanakannya. Tetapi senyum kecil tersungging di wajahnya, dia tidak menyesal sedikit pun. Apa yang baru saja mereka lakukan seolah menjadi bahan bakar yang menyulut semangatnya untuk bekerja lebih keras lagi. Sean merapikan dasinya, lalu berlutut di samping sofa untuk membisikkan sesuatu ke telinga Lila. "Aku harus pergi meeting sebentar. Kamu tidur saja di sini," ucap
Sean duduk di ruang kerjanya setelah meeting selesai. Wajahnya terlihat lebih santai saat dia membuka ponselnya. Ternyata Lila mengirimkan link podcastnya yang ternyata sudah dirilis. Sean tersenyum lebar melihat thumbnail istrinya, tampak begitu anggun dan percaya diri. Tanpa ragu, dia memutar podcast itu, membiarkan suara lembut Lila mengisi ruangannya.“Cantik,” gumam Sean sambil menyandarkan tubuhnya.Sebenarnya Sean bukan hanya terpesona oleh penampilan fisik istrinya yang semakain hari terlihat semakin cantik di matanya. Tetapi juga cara berbicaranya yang begitu elegan, cerdas, tenang, dan tetap ramah. Setiap kalimat yang keluar dari mulut Lila terasa terarah, memberikan nilai tanpa terkesan menggurui audiensnya. Terbersit penyesalan yang mendalam, karena pernah menyia-nyiakannya dengan mengabaikan segala kelebihan Lila selama dua tahun pernikahan mereka yang terdahulu.Namun, kesenangan Sean mulai terusik saat matanya terpaku pada kolom komentar.“Apa-apaan ini …” gumamnya, e
Bella menundukkan kepala, suaranya hampir berbisik ketika ia berbicara. “Maaf, Pak Sean. Saya tidak bisa menahan Bu Miranda.”Sean menghela napas panjang, rasa kesal beradu dengan kelelahan yang menumpuk di benaknya. Ia menatap wanita yang berdiri di hadapannya, seseorang yang pernah menjadi bagian dari hidupnya, kini terlihat rapuh, hampir hancur.Sean mengeraskan hatinya, tetapi sulit baginya untuk sepenuhnya mengabaikan Miranda. Ada sesuatu dalam matanya yang membuatnya merasa bertanggung jawab, meski dia tahu seharusnya tidak lagi.Sean mengisyaratkan kepada Bella untuk meninggalkan ruangan. Tanpa protes, sekretarisnya segera melangkah pergi, menutup pintu perlahan. Kini, hanya tinggal mereka berdua di ruangan tersebut. Hening terasa berat, seperti menyelimuti setiap sudut ruang kerja itu.“Sean, aku mohon.” suara Miranda pecah, serak, terhenti oleh isak tangis yang tidak bisa dia tahan. “Aku tahu aku tidak seharusnya datang ke sini, tapi aku tidak punya pilihan lain, Sean. Kamu s
Lila menjalani sesi latihan senam hamil di rumahnya. Meski sempat merasa tidak nyaman dengan Vicky yang dia ketahui adalah teman dekat Bella, tetapi Lila tidak menggantinya. Selama Vicky bisa bersikap professional, Lila tidak akan menggantikannya.Mungkin terdengar naif, tetapi Lila masih memegang teguh nasihat dari sang ayah. “Jangan pernah kau mempersulit jalan rezeki orang lain, kalau kamu tidak mau jalan rezekimu akan di hambat Tuhan.”“Senang ya, selalu diperhatikan suami,” ucap Vicky sambil membetulkan posisi tubuh Lila saat melakukan salah satu gerakan pendinginan.“Dia hanya sedang menjalankan tanggung jawabnya, tidak ada yang istimewa” jawab Lila dengan ekspresi datar, seolah apa yang dilakukan oleh Sean tidak ada istimewanya.Bukan tanpa alasan Lila melakukan hal tersebut. Bukan bermaksud tidak menghargai suaminua, Lila hanya tidak ingin memamerkan segala bentuk perhatian Sean untuknya kepada perempuan lain. Apalagi yang sudah terindikasi menunjukkan rasa tertariknya kepada
Ryan menunduk, suaranya nyaris tenggelam dalam riuh rendah restoran. "Ibuku seorang penderita skizofrenia."Rina terkejut. Matanya membulat, menatap Ryan yang kini tampak begitu rapuh di hadapannya. Ia tidak menyangka, di balik sikapnya yang selalu tenang dan terkendali, Ryan menyimpan luka sedalam ini.Rina bertanya dalam hati, apakah ini yang membuatnya selalu terlihat murung?Ryan menghela napas, menatap ke arah lain. "Aku sadar, menikah denganku tidak akan mudah, Rina. Aku tidak bisa menjanjikan hidup yang sempurna. Aku tidak bisa menjanjikan segalanya akan baik-baik saja. Tapi ..." Ia menatap Rina, dalam dan tulus. "Aku bisa menjanjikan ketulusan."Rina masih diam, hatinya berkecamuk. Ia tidak pernah membayangkan beban yang harus ditanggung Ryan. Ia tahu, memiliki anggota keluarga dengan gangguan mental bukanlah sesuatu yang mudah. Ada tanggung jawab, ada pengorbanan, ada kesedihan yang mungkin tidak bisa dimengerti orang lain.Tanpa sadar, Rina meraih tangan Ryan. Ia menggenggam
Ryan menatap bayangannya di cermin, menyisir rambutnya dengan perlahan. Wajahnya tampak tenang, tapi pikirannya tidak. Rina masih memenuhi benaknya.Sejak perpisahan mereka, ia berusaha mengalihkan perhatian dengan pekerjaan dan kesibukan lainnya, tetapi bayangan gadis itu selalu muncul, terutama di saat-saat seperti ini, saat ia sendiri, berdiri di depan cermin, menghadapi dirinya sendiri.Dengan helaan napas panjang, Ryan meraih ponselnya dari meja. Jemarinya ragu sejenak sebelum akhirnya mengetik pesan."Rina, bisakah kita bertemu? Mungkin untuk yang terakhir kali."Ia menatap layar, mempertimbangkan apakah ini keputusan yang tepat. Namun sebelum bisa berubah pikiran, ia menekan tombol kirim.Detik-detik berlalu terasa lambat. Ia menunggu dalam diam, berharap, tapi juga takut akan jawaban yang mungkin ia terima. Lalu, ponselnya bergetar."Baiklah, di mana?"Ryan merasakan dadanya sedikit lega, meski di baliknya ada kegelisahan. Ia segera mengetik balasan."Bagaimana kalau di Restor
Setelah makan malam, mereka duduk santai di ruang keluarga. Sekar duduk di sofa dengan nyaman, sementara Lila menyandarkan kepalanya di bahu Sean yang duduk di sampingnya. Brilian sudah tertidur pulas di kamarnya, membuat malam terasa lebih tenang.Sekar menyesap teh hangatnya, lalu melirik ke arah Sean. “Sean, apartemen kamu di Regal Hight itu sampai sekarang masih kosong, ya?” tanya Sekar santai.Sean menoleh ke ibunya, lalu mengangkat bahu. “Iya, Ma. Kenapa?”Sekar menatapnya dengan tajam. “Apa rencanamu dengan apartemen itu?”Sean menghela napas, melirik sekilas ke arah Lila yang tampak mendengarkan obrolan mereka dengan tenang. “Belum ada rencana, Ma,” jawab Sean akhirnya.Sekar langsung bersuara dengan nada tegas, “Kalau begitu lebih baik disewakan saja. Daripada dibiarkan kosong, hanya menghabiskan biaya perawatan.”Sean kembali melirik Lila, kali ini lebih lama. Sebenarnya, dia punya rencana sendiri untuk apartemen itu. Sesekali, dia ingin mengajak istrinya ke sana, menghabisk
Setelah kelahiran Brilian, ada rasa kurang nyaman saat mereka menikmati kebersamaan. Beberapa kali Brilian terbangun di saat yang tidak tepat, hingga membuat Sean dan Lila terpaksa menyelesaikan dengan cepat, bahkan pernah akhirnya tidak dilanjutkan.Tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada, Sean dan Lila menikmati kesempatan yang diberikan oleh Sekar. Terasa seperti bulan madu saat menikmati kebersamaan penuh gairah tanpa ada gangguan.Tidak harus terburu-buru untuk saling memberikan kenikmatan. Bahkan Sean tidak perlu membekap mulut Lila agar suara desah dan jeritannya membangun Brilian.Setelah berburu kenikmatan bersama dalam berbagai gaya diiringi dengan erangan dan desahan, akhirnya Sean dan Lila bisa mencapai puncak bersama. Sean melabuhkan kecupan lembut di bibir Lila sebelum menjatuhkan tubuhnya tepat di samping Lila dan memeluknya dengan erat. Sementara itu Lila berusaha menormalkan kembali deru napasnya yang tidak beraturan.“Apa motif mama melakukan ini semua?” Lirih suara
Sean mendekati mamanya dengan hati-hati. Ia tahu Sekar tidak suka ditentang, tetapi ia juga tidak bisa diam melihat istrinya terluka.Dengan nada lembut berharap tidak menyinggung perasaan sang mama, Sean melontarkan pertanyaan, “Ma, kenapa Lila menangis? Apa ada sesuatu yang terjadi?”Sekar menoleh ke arah Sean, dia terlihat santai sambil tetap bermain dengan Brilian.“Ah, cuma masalah kecil, Sean. Aku hanya bilang ingin tidur dengan Brilian malam ini. Sepertinya Lila tidak terima.”Sean menarik napas panjang, mencoba meredam emosinya. “Ma, aku tahu Mama sangat menyayangi Brili. Tapi Lila sudah seharian di kantor. Dia hanya ingin memeluk anaknya malam ini. Tidak bisakah Mama memberikan waktu untuk Lila dan Brili bersama? Besok, Mama bisa bermain sepuasnya dengan Brili saat kami bekerja.”Sekar menatap tajam ke arah Sean, matanya seolah ingin menembus akal sehat putra semata wayangnya.“Mama tidak ingin mengajakmu hitung-hitungan. Mama tidak pernah meminta imbalan untuk merawat Brili,
Inayah memijit pelipisnya dengan kesal setelah mendengar keluh kesah Delisa melalui telepon. Kata demi kata yang terlontar dari bibir putri bungsunya masih terngiang-ngiang di telinganya."Bu, Mbak Lila sekarang sombong. Dia nggak peduli lagi sama aku setelah jadi bos. Apa dia lupa kalau aku adiknya?" Nada bicara Delisa terdengar penuh keluhan, membuat hati Inayah ingin segera bertindak.Yang ada dalam benak Inayah, saudara itu harus selalu rukun dan saling menolong. Tidak ada salahnya Lila yang sudah memiliki kehidupan yang baik menolong adiknya yang sedang merintis karir.Tanpa berpikir panjang, Inayah meraih ponselnya dan bersiap menghubungi Lila. Namun, sebelum ia sempat menekan nomor, Waluya menghentikannya."Tunggu dulu, Bu. Jangan bertindak gegabah. Masalah Lila dan Lisa kali ini tentang pekerjaan, bukan urusan keluarga," ucap Waluya dengan tenang."Tapi, Pak, masa Lila begitu sama Lisa? Mereka kan saudara! Lila harusnya lebih perhatian sama adiknya," sahut Inayah dengan nada t
Setelah acara pengumuman berakhir, suasana di Mahendra Securitas mulai kembali tenang. Sekar terlihat tenang tetapi penuh perhatian ketika menggendong Brilian yang tertidur pulas di pelukannya.Langkahnya mantap menuju mobil, sementara Lila berjalan di sampingnya dengan raut wajah yang terlihat berat melepas kepergian putranya. Untuk pertama kalinya dia akan terpisah dalam waktu yang lama dengan putranya.Sekar tersenyum lembut, menatap menantunya dengan penuh pengertian. “Lila, Brilian akan baik-baik saja. Aku akan merawatnya dengan baik, seperti dulu waktu merawat Sean. Kamu fokus saja pada tugasmu di sini. Percayalah, ini juga untuk kebaikan Brilian.”Meskipun hatinya masih ragu, Lila akhirnya mengangguk. Dia tahu Sekar memiliki pengalaman dan kasih sayang yang luar biasa. Saat Sekar bersiap memasuki mobil bersama Brilian, Lila dan Sean mendekat untuk memberikan kecupan perpisahan kepada putra kecil mereka.Lila mencium kening Brilian dengan lembut, air mata hampir jatuh dari sudut
Mahendra Securitas sedang dipenuhi kasak-kusuk. Di sudut-sudut kantor, pembicaraan tentang pengganti Sekar menjadi topik utama.Beberapa karyawan menduga Andika dan Ryan, dua nama lama yang pernah menjadi bagian perusahaan, akan kembali memimpin. Namun, Nadya, yang dikenal sebagai tangan kanan Sekar, menepis rumor tersebut.Dengan senyuman penuh rahasia, Nadya hanya berkata, “Tunggu saja, kalian akan tercengang.”Di salah satu ruangan, Delisa mendengar percakapan itu. Rasa ingin tahunya memuncak, dan dengan hati-hati, ia mendekati Nadya. Dalam hati Delisa merasa senang saat mendengar jika Sekar akan digantikan. Gadis mud aitu sudah merasa tidak betah dengan sikap keras Sekar kepadanya.“Kak Nadya,” katanya dengan nada penuh harap, “apa benar akan ada pemimpin baru? Siapa dia?”Nadya menatap Delisa, senyumnya penuh teka-teki. “Kamu akan tahu nanti, Delisa. Ini kejutan besar,” jawabnya singkat, meninggalkan Delisa semakin penasaran.Semua karyawan diminta berkumpul di aula perusahaan se
Akhir pekan itu, suasana cerah menyambut kedatangan Sean dan Lila di rumah Sekar. Mobil berhenti perlahan di depan rumah dengan halaman luas yang dikelilingi pohon-pohon rindang.Sekar yang sejak tadi menunggu di teras langsung bangkit dengan senyum mengembang, begitu melihat Lila turun dari mobil sambil menggendong Brilian, cucunya yang baru berusia enam bulan.“Cucu oma sudah datang!” seru Sekar dengan penuh semangat.Lila menyerahkan Brilian pada ibu mertuanya, dan Sekar langsung memeluk bayi itu erat, mengajak bicara dengan nada lembut penuh kasih sayang.“Gantengnya oma. Sudah besar ya sekarang? Lihat, kamu makin gemuk!” ucapnya sambil mencium pipi Brilian yang montok.Meski Brilian belum mampu memberi jawaban, tetapi Sekar terus berbicara sendiri dengan penuh antusias. Sean dan Lila hanya tersenyum, mengikuti di belakangnya sambil membawa tas perlengkapan bayi.Kebahagiaan terpancar jelas di wajah mereka saat melihat Sekar begitu ceria bersama cucunya.Dan kini, mereka duduk di