Aku hanya mendengar dari dalam rumahku saja, tidak berani untuk keluar dan ikut campur dalam urusan mereka. Kulihat Kang Ikbal mengacak rambutnya dengan kencang, ia terlihat sangat terpukul.Kang Ikbal memperhatikan rumahku, ia mendekat dan akan membuka pintu gerbang, akan tetapi kesulitan untuk membukanya.Tak lama, Kang Ikbal berteriak memanggil namaku di depan gerbang."Alma, buka pintunya!" Aku sengaja tidak menemuinya ke depan. Bi Ikah bersiap untuk membuka gerbang, tapi aku larang ia untuk membuka pintu."Sudah Bi, jangan dibuka! Biarkan saja Kang Ikbal di depan. Tadi kulihat ia berantem dengan istrinya. Takutnya nanti Kang Ikbal malah baper ingin kembali kepadaku.""Ya Allah. Memangnya Neng Susi kenapa, Neng?" Tanya Bi Ikah."Susi ternyata berselingkuh dengan Pak Ujang," jawabku.Bi Ikah membulatkan matanya. Kemudian ia duduk karena syok dengan kabar yang kusampaikan."Maksud Neng Alma, Pak Ujang rentenir itu ya? Benarkah itu, Neng?" tanyanya lagi."Benar, Bi. Aku sudah beberap
"Bu Alma, saya terkesan dengan Ibu yang masih bisa mengelola bisnis walau masalah tetap ada," ucap Pak RT saat kami membicarakan tentang pembukaan gerai keduanya."Alhamdulillah, Pak. Saya belajar dari majikan saya saat di Arab Saudi. Beliau seorang Dokter, yang pastinya masalah selalu ada. Tapi, bisnis beliau besar di bidang kuliner. Makanya saya belajar di situ. Belajar membantunya untuk mengelola bisnis," terangku pada Pak RT."Pantas saja Bu Alma sangat lihai. Saya jadi terkesan pada Ibu. Saya pun belajar dari Bu Alma," katanya."Asal jangan jatuh cinta sama saya ya, Pak. Saya cuma seorang ibu yang memiliki dua buntut," sahutku. Pak RT terbahak saat aku mengatakannya. Mungkin menurutnya lucu, tapi aku memang serius kali ini."Tapi, pesona Bu Alma itu loh. Ah, laki-laki pasti akan susah melupakan Ibu," katanya."Maksud Pak RT apa? Saya udah menutup aurat seperti ini masih dibilang punya pesona, apa saya harus pakai cadar seperti di Arab Saudi?" Kucandai Pak RT yang bicaranya agak
Kang Ikbal datang dengan berurai air mata. Aku kasihan melihatnya yang seperti itu. Kuminta pada Bi Ikah agar segera memberikannya minum."Kenapa, Kang?" tanyaku saat aku duduk dihadapannya."Maaf mengganggumu malam-malam, Neng. Aku cuma mau mengabarkan kalau Ibu sekarang sedang dirawat di rumah sakit. Mereka tak memberi makan ibuku, ia hanya minum air saja dan itupun dibatas," katanya."Lalu, sekarang di rumah sakit apa?" tanyaku."Di rumah sakit Bahagia.""Gimana dengan Susi dan Pak Ujang? Apa mereka dijerat oleh kasus ini?" tanyaku lagi."Iya, sekarang mereka sudah ditahan. Aku minta kamu bersedia menjadi saksi nanti. Mereka baru ditangkap sore tadi karena polisi perlu mengumpulkan banyak bukti untuk menangkap mereka," sahut Kang Ikbal."Lalu anakmu sama siapa?""Tinggal di rumah abahnya, Haji Sanusi," jawab Kang Ikbal."Alhamdulillah, kalau gitu.""Gimana, Neng? Kamu bisa jadi saksi?" tanyanya lagi."Belum tau, Kang. Semoga bisa, ya!" jawabku."Nanti kamu ke kantor polisi setelah
"Alhamdulillah lancar, Pak. Saya jadi harus ke Bekasi untuk melihat launchingnya kemarin," jawabku."Wah, keren banget Bu Alma.""Alhamdulillah, Pak. Selanjutnya saya akan merambah ke cemilan, yaitu kebab mini. Mudah-mudahan diterima pasar dan akan saya buka frenchisenya juga," jawabku."Semoga berhasil ya, Bu!""Insya Allah, Pak."***Rumah depan dihuni oleh adiknya Susi dan keluarganya. Adiknya Susi seorang perempuan yang memiliki suami dan seorang anak berumur enam tahun.Pak Haji Sanusi memiliki dua orang anak Susi dan Dian. Dian berbeda dengan Susi, ia kehabisan harta Ayahya sehingga nasibnya tidak terlalu baik.Saat Susi dipenjara, rumah depan aman, makanya dipakai adiknya. Yang menjadi masalah adalah yang dulunya rumahku, ternyata Susi mengambil alihnya secara tak sehat dari Kang Ikbal. Ia menuntut rumah itu kembali.Rumah dan mobil kami digadaikan Kang Ikbal demi memenuhi kemauan Susi untuk membeli rumah di kota. Makanya Susi langsung mengatasnamakan namanya.Ternyata karena t
"Apa? Pak RT nggak salah mau melamar saya? Saya baru cerai loh, Pak. Lagipula saya nggak mau memulai lagi sekarang-sekarang. Maaf ya, Pak! Semoga Pak RT bisa mengerti," ucapku.Pak RT diam, lalu menghela napasnya."Baiklah. Saya mengerti.""Ya udah, kita pulang yuk, Pak. Kasihan anak-anak saya nunggu. Oya Pak RT kan masih muda dan belum menikah, cari saya calon yang lain yang masih gadis. Insya Allah saya doakan semoga dipertemukan dengan seseorang yang menjadi tambatan hati Pak RT nanti," sahutku. Semoga Pak RT paham, karena aku tak pantes banget buat brondong.Perjalanan menuju rumah, tinggal sedikit. Pak RT bilang, ia akan kembali ke gerai jualannya. "Ya, Pak. Semoga rame lagi ya di lapak yang baru!" harapku.Sebenarnya yang membuatku menolaknya lagi karena ia adalah pengacara dan rekan bisnisku. Tak mungkin aku menjalin cinta dengan seseorang yang biasa bersamaku di bidang lainnya."Aamiiin. Makasih Bu Alma. Bu, saya masih menunggu ya! Jika dirasa Bu Alma butuh waktu menjawab per
"Ada apa Hanif?""Kapan jenguk Nenek?" tanyanya."Tadi sih rencana hari Minggu ini. Kalian bisa kan?" tanyaku pada Hanif."Aku bisa, Kak Hanifa nggak tau deh. Katanya sih ada kerja kelompok."Aku keluar kamarku untuk menanyai Hanifa."Memangnya kerja kelompok jam berapa?" tanyaku."Jam 9 sampai jam 12 paling, Bu.""Oh, gitu. Berarti kita jenguk Nenek jam satu siang aja ya!" "Oke siap.""Baiklah, Bapak akan siapkan makanan kesukaan kalian. Kalian suka bakso kan?" tanya Kang Ikbal."Iya, kami suka bakso, Pak. Makasih ya, Pak!" ucap Hanifa. "Aku kembali ke kamar ya! Soalnya mau belajar.""Oke anak Bapak yang paling cantik! Semoga kamu pintar selalu ya!""Iya, Pak. Makasih ya."Hanifa ke atas, disusul Hanif yang katanya pengen tiduran aja di kamarnya."Oke, Hanif ganteng. Nggak apa-apa. Bapak juga mau pulang sekarang," katanya."Iya, Kang. Hati-hati aja di jalan ya!""Oke, Neng."Kang Ikbal sekarang hanya memiliki motor bebek biasa. Katanya ia beli bekas. Harganya jauh dibawah motor spor
Kemana perginya Kang Ikbal? Sampai kini ia masih belum kembali. Apa ia menculik anak-anak? Ah, tidak mungkin, ia kan sudah berubah lebih baik. Lagipula anak-anak sudah besar, tak mungkin diam saja saat diculik dan Kang Ikbal sendiri kan ayah dari mereka."Bu, Kang Ikbal lama sekali ya sampai jam segini belum ada kabar?" tanyaku.Ibu menggeleng. Sepertinya aku harus bertindak dan mencarinya."Assalamualaikum. Bu Odah!""Waalaikumsalam, silahkan masuk!" Kupersilahkan orang itu masuk karena mencari ibu. "Ada apa, Pak?" tanyaku lagi setelah ia masuk. Orang ini habis berlari, dan sekarang sedang mengatur napasnya terlebih dahulu. Aku menantikannya untuk bercerita."Itu, Kang Ikbal kan bawa dua anak ya. Trus, di ujung jalan sana, ia kecelakaan. Menghindari truk, dilempar ke kiri dan anak-anaknya luka-luka. Kang Ikbal tadi membawanya ke rumah sakit. Saya ikut mengantarkan ke sana, dan sekarang diminta memberitahukan ke sini," katanya."Astaghfirullah. Memangnya Kang Ikbal nggak bawa ponsel
"Aku di rumah Teteh nih. Katanya lagi ke rumah mantan mertua ya?""Iya, Kang. Tadi memang nengokin ibu. Tapi, terjadi kecelakaan motor Kang Ikbal yang membonceng anak-anak. Sekarang aku ada di rumah sakit Sejahtera, Kang.""Astaghfirullah, aku mau ke sana ya! Ditunggu saja. Pantesan Teteh nggak di rumah. Aku bilangin ke Bi Ikah ya, biar beliau nggak khawatir," ucapnya."Iya, aku lupa bilang, Kang."Kang Rahman sedang di perjalanan menuju rumah sakit ini. Aku masih menunggui Hanifa. Hani sadar, ia mencari adiknya. Hanif ada di ruangan berbeda dengan Hanifa."Bu, Adek Hanif gimana?" tanyanya."Hanif masih tidur. Kamu sabar ya! Kamu juga butuh istirahat yang cukup, Nak," sahutku."Iya, Bu. Mudah-mudahan Hanif juga nggak apa-apa. Tadi aku lihat Hanif kelempar jauh, aku jadi takut Hanif kenapa-napa," ucap Hani."Aamiin, insya Allah." Hanifa tertidur kembali. Mungkin ia masih pusing.Hasil scan sudah ada, katanya Hanif harus operasi secepatnya. Kang Ikbal menandatangani persetujuan operasi