"Bu Alma, nanti saya dampingi di sidang. Mau bareng berangkatnya, Bu?" tanya Pak RT."Nggak usah saya berangkat sendiri saja."Kami bertemu di pengadilan. Kang Ikbal sudah ada di tempat. Agenda pertama adalah mediasi. Kami diminta melakukan mediasi yang didampingi oleh mediator. Waktu untuk mediasi selama 22 - 40 hari.Kami akan melakukan mediasi di dalam pengadilan saja. Karena kalau di luar sepertinya tidak mungkin.Seusai sidang, aku dan Pak RT meninjau gerai frenchise nasi uduk milik Pak RT yang akan segera dibuka. Lokasinya lumayan jauh dari komplek perumahan."Wah, sudah hampir selesai ya, Pak!""Iya. Nanti Bu Alma yang buka, ya!""Wah, harus saya kah?" "Iya, dong. Harus ownernya dong. Biar ketauan siapa yang punya bisnis ini sebenarnya.""Pak RT bisa aja. Oke saya pulang ya! Insya Allah nanti saya datang ke pembukaan gerai milik Bapak. Sukses ya, Pak."Bu Alma nggak apa-apa pulang sendiri?" tanya Pak RT."Nggak apa-apa kok, Pak. Saya dah biasa sendiri. Oke saya permisi, ya!"A
Aku hanya mendengar dari dalam rumahku saja, tidak berani untuk keluar dan ikut campur dalam urusan mereka. Kulihat Kang Ikbal mengacak rambutnya dengan kencang, ia terlihat sangat terpukul.Kang Ikbal memperhatikan rumahku, ia mendekat dan akan membuka pintu gerbang, akan tetapi kesulitan untuk membukanya.Tak lama, Kang Ikbal berteriak memanggil namaku di depan gerbang."Alma, buka pintunya!" Aku sengaja tidak menemuinya ke depan. Bi Ikah bersiap untuk membuka gerbang, tapi aku larang ia untuk membuka pintu."Sudah Bi, jangan dibuka! Biarkan saja Kang Ikbal di depan. Tadi kulihat ia berantem dengan istrinya. Takutnya nanti Kang Ikbal malah baper ingin kembali kepadaku.""Ya Allah. Memangnya Neng Susi kenapa, Neng?" Tanya Bi Ikah."Susi ternyata berselingkuh dengan Pak Ujang," jawabku.Bi Ikah membulatkan matanya. Kemudian ia duduk karena syok dengan kabar yang kusampaikan."Maksud Neng Alma, Pak Ujang rentenir itu ya? Benarkah itu, Neng?" tanyanya lagi."Benar, Bi. Aku sudah beberap
"Bu Alma, saya terkesan dengan Ibu yang masih bisa mengelola bisnis walau masalah tetap ada," ucap Pak RT saat kami membicarakan tentang pembukaan gerai keduanya."Alhamdulillah, Pak. Saya belajar dari majikan saya saat di Arab Saudi. Beliau seorang Dokter, yang pastinya masalah selalu ada. Tapi, bisnis beliau besar di bidang kuliner. Makanya saya belajar di situ. Belajar membantunya untuk mengelola bisnis," terangku pada Pak RT."Pantas saja Bu Alma sangat lihai. Saya jadi terkesan pada Ibu. Saya pun belajar dari Bu Alma," katanya."Asal jangan jatuh cinta sama saya ya, Pak. Saya cuma seorang ibu yang memiliki dua buntut," sahutku. Pak RT terbahak saat aku mengatakannya. Mungkin menurutnya lucu, tapi aku memang serius kali ini."Tapi, pesona Bu Alma itu loh. Ah, laki-laki pasti akan susah melupakan Ibu," katanya."Maksud Pak RT apa? Saya udah menutup aurat seperti ini masih dibilang punya pesona, apa saya harus pakai cadar seperti di Arab Saudi?" Kucandai Pak RT yang bicaranya agak
Kang Ikbal datang dengan berurai air mata. Aku kasihan melihatnya yang seperti itu. Kuminta pada Bi Ikah agar segera memberikannya minum."Kenapa, Kang?" tanyaku saat aku duduk dihadapannya."Maaf mengganggumu malam-malam, Neng. Aku cuma mau mengabarkan kalau Ibu sekarang sedang dirawat di rumah sakit. Mereka tak memberi makan ibuku, ia hanya minum air saja dan itupun dibatas," katanya."Lalu, sekarang di rumah sakit apa?" tanyaku."Di rumah sakit Bahagia.""Gimana dengan Susi dan Pak Ujang? Apa mereka dijerat oleh kasus ini?" tanyaku lagi."Iya, sekarang mereka sudah ditahan. Aku minta kamu bersedia menjadi saksi nanti. Mereka baru ditangkap sore tadi karena polisi perlu mengumpulkan banyak bukti untuk menangkap mereka," sahut Kang Ikbal."Lalu anakmu sama siapa?""Tinggal di rumah abahnya, Haji Sanusi," jawab Kang Ikbal."Alhamdulillah, kalau gitu.""Gimana, Neng? Kamu bisa jadi saksi?" tanyanya lagi."Belum tau, Kang. Semoga bisa, ya!" jawabku."Nanti kamu ke kantor polisi setelah
"Alhamdulillah lancar, Pak. Saya jadi harus ke Bekasi untuk melihat launchingnya kemarin," jawabku."Wah, keren banget Bu Alma.""Alhamdulillah, Pak. Selanjutnya saya akan merambah ke cemilan, yaitu kebab mini. Mudah-mudahan diterima pasar dan akan saya buka frenchisenya juga," jawabku."Semoga berhasil ya, Bu!""Insya Allah, Pak."***Rumah depan dihuni oleh adiknya Susi dan keluarganya. Adiknya Susi seorang perempuan yang memiliki suami dan seorang anak berumur enam tahun.Pak Haji Sanusi memiliki dua orang anak Susi dan Dian. Dian berbeda dengan Susi, ia kehabisan harta Ayahya sehingga nasibnya tidak terlalu baik.Saat Susi dipenjara, rumah depan aman, makanya dipakai adiknya. Yang menjadi masalah adalah yang dulunya rumahku, ternyata Susi mengambil alihnya secara tak sehat dari Kang Ikbal. Ia menuntut rumah itu kembali.Rumah dan mobil kami digadaikan Kang Ikbal demi memenuhi kemauan Susi untuk membeli rumah di kota. Makanya Susi langsung mengatasnamakan namanya.Ternyata karena t
"Apa? Pak RT nggak salah mau melamar saya? Saya baru cerai loh, Pak. Lagipula saya nggak mau memulai lagi sekarang-sekarang. Maaf ya, Pak! Semoga Pak RT bisa mengerti," ucapku.Pak RT diam, lalu menghela napasnya."Baiklah. Saya mengerti.""Ya udah, kita pulang yuk, Pak. Kasihan anak-anak saya nunggu. Oya Pak RT kan masih muda dan belum menikah, cari saya calon yang lain yang masih gadis. Insya Allah saya doakan semoga dipertemukan dengan seseorang yang menjadi tambatan hati Pak RT nanti," sahutku. Semoga Pak RT paham, karena aku tak pantes banget buat brondong.Perjalanan menuju rumah, tinggal sedikit. Pak RT bilang, ia akan kembali ke gerai jualannya. "Ya, Pak. Semoga rame lagi ya di lapak yang baru!" harapku.Sebenarnya yang membuatku menolaknya lagi karena ia adalah pengacara dan rekan bisnisku. Tak mungkin aku menjalin cinta dengan seseorang yang biasa bersamaku di bidang lainnya."Aamiiin. Makasih Bu Alma. Bu, saya masih menunggu ya! Jika dirasa Bu Alma butuh waktu menjawab per
"Ada apa Hanif?""Kapan jenguk Nenek?" tanyanya."Tadi sih rencana hari Minggu ini. Kalian bisa kan?" tanyaku pada Hanif."Aku bisa, Kak Hanifa nggak tau deh. Katanya sih ada kerja kelompok."Aku keluar kamarku untuk menanyai Hanifa."Memangnya kerja kelompok jam berapa?" tanyaku."Jam 9 sampai jam 12 paling, Bu.""Oh, gitu. Berarti kita jenguk Nenek jam satu siang aja ya!" "Oke siap.""Baiklah, Bapak akan siapkan makanan kesukaan kalian. Kalian suka bakso kan?" tanya Kang Ikbal."Iya, kami suka bakso, Pak. Makasih ya, Pak!" ucap Hanifa. "Aku kembali ke kamar ya! Soalnya mau belajar.""Oke anak Bapak yang paling cantik! Semoga kamu pintar selalu ya!""Iya, Pak. Makasih ya."Hanifa ke atas, disusul Hanif yang katanya pengen tiduran aja di kamarnya."Oke, Hanif ganteng. Nggak apa-apa. Bapak juga mau pulang sekarang," katanya."Iya, Kang. Hati-hati aja di jalan ya!""Oke, Neng."Kang Ikbal sekarang hanya memiliki motor bebek biasa. Katanya ia beli bekas. Harganya jauh dibawah motor spor
Kemana perginya Kang Ikbal? Sampai kini ia masih belum kembali. Apa ia menculik anak-anak? Ah, tidak mungkin, ia kan sudah berubah lebih baik. Lagipula anak-anak sudah besar, tak mungkin diam saja saat diculik dan Kang Ikbal sendiri kan ayah dari mereka."Bu, Kang Ikbal lama sekali ya sampai jam segini belum ada kabar?" tanyaku.Ibu menggeleng. Sepertinya aku harus bertindak dan mencarinya."Assalamualaikum. Bu Odah!""Waalaikumsalam, silahkan masuk!" Kupersilahkan orang itu masuk karena mencari ibu. "Ada apa, Pak?" tanyaku lagi setelah ia masuk. Orang ini habis berlari, dan sekarang sedang mengatur napasnya terlebih dahulu. Aku menantikannya untuk bercerita."Itu, Kang Ikbal kan bawa dua anak ya. Trus, di ujung jalan sana, ia kecelakaan. Menghindari truk, dilempar ke kiri dan anak-anaknya luka-luka. Kang Ikbal tadi membawanya ke rumah sakit. Saya ikut mengantarkan ke sana, dan sekarang diminta memberitahukan ke sini," katanya."Astaghfirullah. Memangnya Kang Ikbal nggak bawa ponsel
"Udah, ini sedang dijalan. Teh Alma mau pesen apa? Biar nanti saya bawakan?""Nggak usah.""Oh ... saya bawakan martabak aja ya. Oya teh, saya mau ngenalin teteh sama kedua anak saya. Kapan teteh kira-kira bisa?"Wah, ada apa ya Kang Rahman sampai nyari waktu buat ketemu anaknya."Mmm kapan ya? Memangnya pada di rumah?""Sedang libur pesantren. Ini juga mereka jalan-jalan sama anak-anak saya, Teh.""Masa?""Ya udah nanti aja pas pulang, tinggal turun. Kenalan sama saya," sahutku."Iya sih. Tapi pengennya ada makan siang di rumah saya, Teh. Teteh dan anak-anak datang ke rumah.""Oh gitu. Ya udah aku pikirkan dulu ya!""Baik, Teh."Kang Rahman jangan-jangan memang masih ingin memperistriku? Rasanya aku takut sekali kalau harus menikah lagi. Apalagi Kang Rahman punya dua anak. Kalau mereka nggak suka aku bagaimana? Kalau Pak RT memang masih bujangan, tapi aku belum sreg dengannya. Ah benar-benar memusingkan.Memang, perceraianku dengan Kang Ikbal sudah tiga bulanan. Tapi untuk menentukan
"Bu Alma, kenalkah denganku?" Ia membuka cadarnya sebentar. Aku langsung mengenalinya."Tini! Kamu Tini kan? Apa kabar?" Aku memeluk sahabat lamaku waktu jadi TKW di Arab Saudi."Iya, Alma. Aku Tini!" Kami saling berpelukan. "Kamu udah sukses sekarang, Al. Kalau aku belum bisa sesukses dirimu."Kamu mau buka kebab atau nasi uduk? Kenapa nggak menyapaku tadi?" "Malu aku, Al. Masa orang sepertiku menyapa pembicara. Mending kek gini aja, di balik layar. Hehe. Kamu hebat loh kemarin sempet terkenal, ada di televisi," kata Tini."Ah, iya. Padahal aku sedih banget majikanku meninggal. Beliau seperti ayah bagiku. Yang ngajarin aku bisnis itu siapa lagi kalau bukan majikanku," jawabku."Oh gitu. Pantas, pulang dari sana kamu malah pinter bisnis. Semoga akupun ketularan dengan membuka gerai kebab mini dan nasi uduk," ucapku."Eh, ngobrolnya di rumahku yuk! Kangen nih sama kamu," sahut Tini."Nggak bisa Tin, anakku masih pemulihan kemarin mereka sempat kecelakaan," jawabku."Ya Allah, dua-duan
Luar biasa semangat Kang Ikbal yang mau merubah nasib dengan terus berikhtiar untuk berbisnis.Hanif sudah baikan. Sedikit demi sedikit ia bisa mengingat kejadian sebelumnya. Kadang saat dia inget, langsung ia sebutkan saja."Oya Ibu, aku ingat dulu ibu pergi keluar negeri, trus aku nangis," katanya.Ya Allah, kenangan itu. Saat pertama kali aku akan berangkat ke Arab Saudi. Hanif dan Hanifa menangis terus, mereka bersama Bapaknya. Hanif dipangku oleh Kang Ikbal, sementara Hanifa, ia berdiri di sebelah bapaknya.Saat itu, aku akan menaiki mobil yang akan membawaku ke bandara. Sedih sekali harus meninggalkan suami dan kedua anakku."Ibuu!" teriak Hanif, ia turun dari gendongan bapaknya, lalu mengejar mobilku. Aku yang berada di dalam mobil, tak bisa berbuat apa-apa. Jika aku saat itu turun dan memeluk Hanif, mungkin aku takkan jadi berangkat ke Arab Saudi.Kulihat Hanifa hanya menangis sembari memegangi tangan bapaknya. Satu tangan lagi ia gunakan untuk mengusap wajahnya yang basah.Ak
Saat aku kembali ke ruangan, Hanif sedang dipegangi oleh Kang Rahman dan Pak RT. Infusan bergeser, sehingga ada darah yang naik di selang. Gegas Perawat membenarkan posisinya agar tidak ada darah yang tersedot di selang infus.Selain itu, perbannya sudah tercabik-cabik. Perawat membenarkan posisi perban juga. Aku hanya bisa memperhatikan yang dilakukan perawat."Sudah, Bu.""Sus, mengapa bisa demikian ya? Anak saya jadi tiba-tiba mengamuk tanpa sebab," sahutku."Memang ada beberapa kasus seperti anak ibu. Pasca operasi kepala, mereka tidak bisa kembali normal seperti sedia kala. Biasanya dibutuhkan waktu, sehingga harus sabar agar si pasien kembali sembuh," sahut Perawat itu."Ya Allah, terima kasih ya Sus atas keterangannya. Mudah-mudahan saya diberi kesabaran yang lebih," sahutku."Insya Allah, Bu. Buat yang merawat harus tetap semangat berjuang," katanya.Selepas Perawat keluar dari kamar Hanif, kuhampiri anakku. Ia memandangiku."Hanif, tadi kenapa?" Ia diam, mungkin tidak ingat
"Hanif masih sakit. Dia tak bisa pulang sekarang, Hani. Insya Allah nanti menyusul ya!" sahutku."Iya, Bu. Mudah-mudahan, aku kangen sama Hanif. Nanti siapa temen berantemku? Lagipula nanti aku di atas kesepian, kalau kamar Hanif kosong," katanya."Kalau kamu mau ditemenin Ibu atau Bi Ikah, bilang aja ya!""Iya, pengen banget, Bu. Aku nggak mau sendirian," sahut Hani.Kami pulang dan sampai di rumah setelah 30 menit berlalu."Eh, Neng Hani udah pulang," sapa Bi Ikah."Iya, Bi. Hani Alhamdulillah udah baikan dan diizinkan pulang.""Berarti aa Hanif belum boleh pulang ya?" tanya Bi Ikah."Iya, Bi. Bantu doa ya semoga bisa cepet pulang!" sahutku."Aamiiin."Hani kubawa langsung ke kamarnya agar ia bisa segera beristirahat. Setelah ia merebahkan diri, aku mengatur barang-barangnya. Tak lama Bi Ikah membawakan teh manis hangat untuk anakku."Diminum dulu Neng Hani dan Bu Alma," katanya."Eh, Bibi pake panggil Bu segala. Panggil nama aja kenapa sih?""Kan Ibu udah jadi pengusaha sukses, mas
Tangannya sudah menggenggam, tapi ia belum membuka matanya. Aku bertanya pada perawat, kapan Hanif akan sadar, katanya secepatnya Insya Allah.Aku menungguinya di sini, ya. Di ruangan dingin ini. Sesekali aku, Kang Rahman dan Kang Ikbal bergantian jaga.Hanif sadar pasca sehari dioperasi. Ia memutar matanya, melihat seluruh sudut ruangan tempatnya dirawat. Aku memperhatikan tingkah laku anakku.Alhamdulillah, Hanif udah buka mata. Mudah-mudahan kamu bisa segera keluar dari sini, ya, Nif!" Kuambil tangannya, lalu kucium punggung tangan anakku yang masih kebingungan saat tersadar."Ini dimana?" tanyanya."Di rumah sakit, Nif. Kamu bisa pulang sebentar lagi, ya!" hiburku.Hanif mengangguk, tapi sepertinya ia belum bisa menyerap apa yang terjadi padanya. Ia tertidur kembali, dan aku menjaga di sampingnya. Hingga akhirnya ia terbangun, tapi malah mengamuk."Anda siapa?" tanya Hanif."Aku ibumu. Kamu lupa?" Ia mengangguk. Apa benar ia lupa?"Ya sudah, nggak apa-apa. Ibu ke depan dulu, ya!"
"Aku di rumah Teteh nih. Katanya lagi ke rumah mantan mertua ya?""Iya, Kang. Tadi memang nengokin ibu. Tapi, terjadi kecelakaan motor Kang Ikbal yang membonceng anak-anak. Sekarang aku ada di rumah sakit Sejahtera, Kang.""Astaghfirullah, aku mau ke sana ya! Ditunggu saja. Pantesan Teteh nggak di rumah. Aku bilangin ke Bi Ikah ya, biar beliau nggak khawatir," ucapnya."Iya, aku lupa bilang, Kang."Kang Rahman sedang di perjalanan menuju rumah sakit ini. Aku masih menunggui Hanifa. Hani sadar, ia mencari adiknya. Hanif ada di ruangan berbeda dengan Hanifa."Bu, Adek Hanif gimana?" tanyanya."Hanif masih tidur. Kamu sabar ya! Kamu juga butuh istirahat yang cukup, Nak," sahutku."Iya, Bu. Mudah-mudahan Hanif juga nggak apa-apa. Tadi aku lihat Hanif kelempar jauh, aku jadi takut Hanif kenapa-napa," ucap Hani."Aamiin, insya Allah." Hanifa tertidur kembali. Mungkin ia masih pusing.Hasil scan sudah ada, katanya Hanif harus operasi secepatnya. Kang Ikbal menandatangani persetujuan operasi
Kemana perginya Kang Ikbal? Sampai kini ia masih belum kembali. Apa ia menculik anak-anak? Ah, tidak mungkin, ia kan sudah berubah lebih baik. Lagipula anak-anak sudah besar, tak mungkin diam saja saat diculik dan Kang Ikbal sendiri kan ayah dari mereka."Bu, Kang Ikbal lama sekali ya sampai jam segini belum ada kabar?" tanyaku.Ibu menggeleng. Sepertinya aku harus bertindak dan mencarinya."Assalamualaikum. Bu Odah!""Waalaikumsalam, silahkan masuk!" Kupersilahkan orang itu masuk karena mencari ibu. "Ada apa, Pak?" tanyaku lagi setelah ia masuk. Orang ini habis berlari, dan sekarang sedang mengatur napasnya terlebih dahulu. Aku menantikannya untuk bercerita."Itu, Kang Ikbal kan bawa dua anak ya. Trus, di ujung jalan sana, ia kecelakaan. Menghindari truk, dilempar ke kiri dan anak-anaknya luka-luka. Kang Ikbal tadi membawanya ke rumah sakit. Saya ikut mengantarkan ke sana, dan sekarang diminta memberitahukan ke sini," katanya."Astaghfirullah. Memangnya Kang Ikbal nggak bawa ponsel
"Ada apa Hanif?""Kapan jenguk Nenek?" tanyanya."Tadi sih rencana hari Minggu ini. Kalian bisa kan?" tanyaku pada Hanif."Aku bisa, Kak Hanifa nggak tau deh. Katanya sih ada kerja kelompok."Aku keluar kamarku untuk menanyai Hanifa."Memangnya kerja kelompok jam berapa?" tanyaku."Jam 9 sampai jam 12 paling, Bu.""Oh, gitu. Berarti kita jenguk Nenek jam satu siang aja ya!" "Oke siap.""Baiklah, Bapak akan siapkan makanan kesukaan kalian. Kalian suka bakso kan?" tanya Kang Ikbal."Iya, kami suka bakso, Pak. Makasih ya, Pak!" ucap Hanifa. "Aku kembali ke kamar ya! Soalnya mau belajar.""Oke anak Bapak yang paling cantik! Semoga kamu pintar selalu ya!""Iya, Pak. Makasih ya."Hanifa ke atas, disusul Hanif yang katanya pengen tiduran aja di kamarnya."Oke, Hanif ganteng. Nggak apa-apa. Bapak juga mau pulang sekarang," katanya."Iya, Kang. Hati-hati aja di jalan ya!""Oke, Neng."Kang Ikbal sekarang hanya memiliki motor bebek biasa. Katanya ia beli bekas. Harganya jauh dibawah motor spor