"Ya sudah Paman pulang dulu ya, anak-anak! Teh Alma, saya permisi! Kang Ikbal, mangga," katanya."Hei, Rahman! Kamu nggak usah balik-balik lagi ke sini. Mau pergi ya pergi aja. Mereka anak-anakku kok. Kenapa kamu yang repot anter jalan-jalan segala. Awas ya jangan memperlihatkan wajahmu di sini lagi, bisa aku tuntut kamu nanti," cecar Kang Ikbal.Kang Ikbal sungguh mengesalkan, datang-datang malah marah-marah nggak jelas. Buatku ia sekarang bukan apa-apa setelah berkali-kali menyakiti hati dan mentalku."Anak-anak, kalian mending masuk dulu ya?" pintaku. Aku giring mereka masuk ke kamarnya. Mereka menurut saja padaku."Iya, Hanif kesel sama Bapak. Apa coba ngomong gitu sama Paman!""Sama, aku pun kesal. Bu, kasih tau Bapak. Apa yang udah Bapak kasih sama kita selama Ibu nggak ada? Pasti Bapak nggak bisa jawab," ucap Hanifa.Kasihan anak-anak, mereka trauma karena perlakuan bapaknya. Aku tak mau kondisi dulu tetap berlanjut ke depan. Makanya aku memilih menggugatnya untuk bercerai.Aku
"Bu Alma, nanti saya dampingi di sidang. Mau bareng berangkatnya, Bu?" tanya Pak RT."Nggak usah saya berangkat sendiri saja."Kami bertemu di pengadilan. Kang Ikbal sudah ada di tempat. Agenda pertama adalah mediasi. Kami diminta melakukan mediasi yang didampingi oleh mediator. Waktu untuk mediasi selama 22 - 40 hari.Kami akan melakukan mediasi di dalam pengadilan saja. Karena kalau di luar sepertinya tidak mungkin.Seusai sidang, aku dan Pak RT meninjau gerai frenchise nasi uduk milik Pak RT yang akan segera dibuka. Lokasinya lumayan jauh dari komplek perumahan."Wah, sudah hampir selesai ya, Pak!""Iya. Nanti Bu Alma yang buka, ya!""Wah, harus saya kah?" "Iya, dong. Harus ownernya dong. Biar ketauan siapa yang punya bisnis ini sebenarnya.""Pak RT bisa aja. Oke saya pulang ya! Insya Allah nanti saya datang ke pembukaan gerai milik Bapak. Sukses ya, Pak."Bu Alma nggak apa-apa pulang sendiri?" tanya Pak RT."Nggak apa-apa kok, Pak. Saya dah biasa sendiri. Oke saya permisi, ya!"A
Aku hanya mendengar dari dalam rumahku saja, tidak berani untuk keluar dan ikut campur dalam urusan mereka. Kulihat Kang Ikbal mengacak rambutnya dengan kencang, ia terlihat sangat terpukul.Kang Ikbal memperhatikan rumahku, ia mendekat dan akan membuka pintu gerbang, akan tetapi kesulitan untuk membukanya.Tak lama, Kang Ikbal berteriak memanggil namaku di depan gerbang."Alma, buka pintunya!" Aku sengaja tidak menemuinya ke depan. Bi Ikah bersiap untuk membuka gerbang, tapi aku larang ia untuk membuka pintu."Sudah Bi, jangan dibuka! Biarkan saja Kang Ikbal di depan. Tadi kulihat ia berantem dengan istrinya. Takutnya nanti Kang Ikbal malah baper ingin kembali kepadaku.""Ya Allah. Memangnya Neng Susi kenapa, Neng?" Tanya Bi Ikah."Susi ternyata berselingkuh dengan Pak Ujang," jawabku.Bi Ikah membulatkan matanya. Kemudian ia duduk karena syok dengan kabar yang kusampaikan."Maksud Neng Alma, Pak Ujang rentenir itu ya? Benarkah itu, Neng?" tanyanya lagi."Benar, Bi. Aku sudah beberap
"Bu Alma, saya terkesan dengan Ibu yang masih bisa mengelola bisnis walau masalah tetap ada," ucap Pak RT saat kami membicarakan tentang pembukaan gerai keduanya."Alhamdulillah, Pak. Saya belajar dari majikan saya saat di Arab Saudi. Beliau seorang Dokter, yang pastinya masalah selalu ada. Tapi, bisnis beliau besar di bidang kuliner. Makanya saya belajar di situ. Belajar membantunya untuk mengelola bisnis," terangku pada Pak RT."Pantas saja Bu Alma sangat lihai. Saya jadi terkesan pada Ibu. Saya pun belajar dari Bu Alma," katanya."Asal jangan jatuh cinta sama saya ya, Pak. Saya cuma seorang ibu yang memiliki dua buntut," sahutku. Pak RT terbahak saat aku mengatakannya. Mungkin menurutnya lucu, tapi aku memang serius kali ini."Tapi, pesona Bu Alma itu loh. Ah, laki-laki pasti akan susah melupakan Ibu," katanya."Maksud Pak RT apa? Saya udah menutup aurat seperti ini masih dibilang punya pesona, apa saya harus pakai cadar seperti di Arab Saudi?" Kucandai Pak RT yang bicaranya agak
Kang Ikbal datang dengan berurai air mata. Aku kasihan melihatnya yang seperti itu. Kuminta pada Bi Ikah agar segera memberikannya minum."Kenapa, Kang?" tanyaku saat aku duduk dihadapannya."Maaf mengganggumu malam-malam, Neng. Aku cuma mau mengabarkan kalau Ibu sekarang sedang dirawat di rumah sakit. Mereka tak memberi makan ibuku, ia hanya minum air saja dan itupun dibatas," katanya."Lalu, sekarang di rumah sakit apa?" tanyaku."Di rumah sakit Bahagia.""Gimana dengan Susi dan Pak Ujang? Apa mereka dijerat oleh kasus ini?" tanyaku lagi."Iya, sekarang mereka sudah ditahan. Aku minta kamu bersedia menjadi saksi nanti. Mereka baru ditangkap sore tadi karena polisi perlu mengumpulkan banyak bukti untuk menangkap mereka," sahut Kang Ikbal."Lalu anakmu sama siapa?""Tinggal di rumah abahnya, Haji Sanusi," jawab Kang Ikbal."Alhamdulillah, kalau gitu.""Gimana, Neng? Kamu bisa jadi saksi?" tanyanya lagi."Belum tau, Kang. Semoga bisa, ya!" jawabku."Nanti kamu ke kantor polisi setelah
"Alhamdulillah lancar, Pak. Saya jadi harus ke Bekasi untuk melihat launchingnya kemarin," jawabku."Wah, keren banget Bu Alma.""Alhamdulillah, Pak. Selanjutnya saya akan merambah ke cemilan, yaitu kebab mini. Mudah-mudahan diterima pasar dan akan saya buka frenchisenya juga," jawabku."Semoga berhasil ya, Bu!""Insya Allah, Pak."***Rumah depan dihuni oleh adiknya Susi dan keluarganya. Adiknya Susi seorang perempuan yang memiliki suami dan seorang anak berumur enam tahun.Pak Haji Sanusi memiliki dua orang anak Susi dan Dian. Dian berbeda dengan Susi, ia kehabisan harta Ayahya sehingga nasibnya tidak terlalu baik.Saat Susi dipenjara, rumah depan aman, makanya dipakai adiknya. Yang menjadi masalah adalah yang dulunya rumahku, ternyata Susi mengambil alihnya secara tak sehat dari Kang Ikbal. Ia menuntut rumah itu kembali.Rumah dan mobil kami digadaikan Kang Ikbal demi memenuhi kemauan Susi untuk membeli rumah di kota. Makanya Susi langsung mengatasnamakan namanya.Ternyata karena t
"Apa? Pak RT nggak salah mau melamar saya? Saya baru cerai loh, Pak. Lagipula saya nggak mau memulai lagi sekarang-sekarang. Maaf ya, Pak! Semoga Pak RT bisa mengerti," ucapku.Pak RT diam, lalu menghela napasnya."Baiklah. Saya mengerti.""Ya udah, kita pulang yuk, Pak. Kasihan anak-anak saya nunggu. Oya Pak RT kan masih muda dan belum menikah, cari saya calon yang lain yang masih gadis. Insya Allah saya doakan semoga dipertemukan dengan seseorang yang menjadi tambatan hati Pak RT nanti," sahutku. Semoga Pak RT paham, karena aku tak pantes banget buat brondong.Perjalanan menuju rumah, tinggal sedikit. Pak RT bilang, ia akan kembali ke gerai jualannya. "Ya, Pak. Semoga rame lagi ya di lapak yang baru!" harapku.Sebenarnya yang membuatku menolaknya lagi karena ia adalah pengacara dan rekan bisnisku. Tak mungkin aku menjalin cinta dengan seseorang yang biasa bersamaku di bidang lainnya."Aamiiin. Makasih Bu Alma. Bu, saya masih menunggu ya! Jika dirasa Bu Alma butuh waktu menjawab per
"Ada apa Hanif?""Kapan jenguk Nenek?" tanyanya."Tadi sih rencana hari Minggu ini. Kalian bisa kan?" tanyaku pada Hanif."Aku bisa, Kak Hanifa nggak tau deh. Katanya sih ada kerja kelompok."Aku keluar kamarku untuk menanyai Hanifa."Memangnya kerja kelompok jam berapa?" tanyaku."Jam 9 sampai jam 12 paling, Bu.""Oh, gitu. Berarti kita jenguk Nenek jam satu siang aja ya!" "Oke siap.""Baiklah, Bapak akan siapkan makanan kesukaan kalian. Kalian suka bakso kan?" tanya Kang Ikbal."Iya, kami suka bakso, Pak. Makasih ya, Pak!" ucap Hanifa. "Aku kembali ke kamar ya! Soalnya mau belajar.""Oke anak Bapak yang paling cantik! Semoga kamu pintar selalu ya!""Iya, Pak. Makasih ya."Hanifa ke atas, disusul Hanif yang katanya pengen tiduran aja di kamarnya."Oke, Hanif ganteng. Nggak apa-apa. Bapak juga mau pulang sekarang," katanya."Iya, Kang. Hati-hati aja di jalan ya!""Oke, Neng."Kang Ikbal sekarang hanya memiliki motor bebek biasa. Katanya ia beli bekas. Harganya jauh dibawah motor spor