Sepertinya aku tak mau langsung menerima tawarannya untuk pergi jalan-jalan. Tapi kalau Bi Ikah diajak juga, aku akan mempertimbangkannya."Kalau yang ikut kami berempat gimana? Boleh?" tanyaku memastikan."Siapa saja?""Aku, kedua anakku dan Bi Ikah. Gimana Kang?" tanyaku serius."Ya udah atuh, sok aja rame-rame. Lebih menyenangkan pastinya," jawabnya.Aku mengangguk tanda aku setuju. Anak-anak yang mendengar pembicaraan kami langsung berteriak senang. Mereka hampir tak pernah yang namanya jalan-jalan katanya kecuali ke sekolah saja."Bi, ikut ya. Kita makan di luar," kataku pada Bi Ikah."Bibi di rumah aja deh. Takutnya nanti ngeganggu Neng Alma sama anak-anak," katanya."Nggak, Bi. Bibi kan yang selalu bantuin aku. Jadi, sebagai rasa terima kasih, aku ingin ajak Bibi juga makan di luar," ucapku."Ya udah. Bibi ikut," jawabnya.Kami bersiap semua untuk ikut dengan Kang Rahman. Sebenarnya aku juga nggak mau terlihat jalan sama laki-laki lain, sementara statusku masih istrinya Kang I
"Wah, makan di sini. Aku pernah denger kalau Bapak pernah makan di restoran ini sama Bi Susi dan Nenek," kata Hanif."Oh iya, bener. Kita dengerin saat mereka bicara sama Nenek, Bu," timpal Hanifa."Jadi, kalian nggak diajak?""Nggak, kami disuruh berdua di rumah," katanya.Pantas saja dulu, aku minta mereka berikan ponsel pada Hanifa, mereka tak memberinya. Ternyata karena takut perbuatan mereka terungkap nanti."Nggak apa-apa, yang penting kalian sekarang bisa makan juga di sini. Nanti Ibu fotoin biar Ibu pasang di status Ibu nanti, tujuannya biar mereka tau kalau kalian juga bisa makan di restoran yang pernah mereka datangi," sahutku. Kasihan sekali anak-anak sampai tak diajak untuk makan-makan sementara mereka menghamburkan uang."Kata Bapak kalian di rumah aja, makan sama tempe. Kasihan nggak ada yang makan," adu Hanif."Benar itu?"Hanifa mengangguk dan menunduk."Ya sudah, tak usah sedih. Lupakan kesedihan kalian. Sekarang waktunya bahagia karena kalian bisa makan di sini, uca
Aku menghela napas saat melihat nama si penelepon. Dia adalah Kang Ikbal. Baru saja kami bertemu, eh ia sudah kangen aja. Mungkinkah ia marah saat melihatku bersama Kang Rahman?"Halo Kang Ikbal ada apa?""Kamu ngapain jalan sama laki-laki segala. Sampe bawa anak-anak segala dan kalian seperti suami istri aja. Kamu itu masih istriku, Neng!" Kang Ikbal mulai nyerocos membuat kupingku pengang."Kamu sendiri gimana, Kang? Kamu sudah menikahi Susi sejak aku pergi ke Arab Saudi. Sungguh, kamu yang tega telah mengkhianatiku. Padahal kamu yang minta aku pergi, katamu biarlah aku yang menjaga anak-anak. Kamu ikhlas aku pergi mencari penghasilan yang lebih baik.""Aku sama kamu berbeda. Kalau laki-laki itu sah-sah saja menikah lagi tanpa memberitahu istrinya. Jadi, kamu terima saja sekarang kenyataannya," ucap Kang Ikbal.Kepalaku pusing. Kurasa kali ini aku harus mengakhiri obrolan kami."Ya sudah, Kang. Dilanjut nanti saja. Anak-anak udah nungguin dari tadi di mobil," sahutku.Kang Ikbal tak
"Entahlah, Bi. Aku sebenarnya sangat benci dibohongi. Ia sudah tak jujur padaku selama ini. Aku sempat berpikir untuk menggugat cerai. Tapi kalau aku gugat sekarang, mungkin aku tak dapat apa-apa. Sekarang, aku ikuti saja takdir yang sudah diberikan padaku, kita lihat saja pernikahan Kang Ikbal dengan Susi seperti apa, karena aku sudah menemukan celahnya Susi, Bi," ujarku.Bi Ikah mengerutkan keningnya."Maksudmu? Susi punya sebuah rahasia?"Aku mengangguk. Bi Ikah penasaran dengan rahasia Susi."Nanti saja, aku tak akan membuka sekarang. Aku harus mencari banyak bukti. Kang Ikbal akan tau nanti siapa Susi sebenarnya," ucapku yakin. Aku sudah seyakin itu. Bi Ikah mengerti dan tidak bertanya lagi."Diminum dong, Ma. Biar kamu cepat sehat," katanya."Makasih ya, Bi.""Sama-sama."***Malam-malam, setelah selesai makan, Bi Ikah menerima telepon. Wajahnya nampak serius saat menerima telepon. Bi Ikah membesarkan suara lawan bicaranya agar kami bisa sama-sama mendengarkan. Memang benar, it
Ternyata Kang Ikbal dan Susi serta anaknya baru saja tiba. Mereka pulang sangat larut. Habis dari mana mereka? Tapi, ada yang turun lagi dari pintu belakang yaitu Ibu. Ya, Ibu ikut ke rumah mereka.Mungkin Ibu kesepian sendiri di rumah. Ia dengarkan juga usulku untuk tinggal dengan Susi yang merupakan menantunya juga.Mereka memasuki rumah, ibu berjalan paling belakang. Tak lama Kang Ikbal datang lagi setelah ia memposisikan motor sportnya. Ia akan memarkirkan mobil di garasinya.Kupandang laki-laki yang telah menikahiku selama dua belas tahun ini. Rasanya tak percaya kalau ia mengkhianati pernikahan kami. Padahal dulu Kang Ikbal adalah laki-laki yang manis dan romantis.Saat aku di Arab Saudi pun ia selalu meneleponku. Memberikan kata-kata motivasi padaku. Ia tak pernah lupa untuk mendukungku.Makanya aku sangat senang saat bisa pulang. Salah satunya karena aku merindukan Kang Ikbal. Ia selalu kurindukan, kata-katanya pun sangat aku harapkan bisa kan tetap ia katakan saat aku di Indo
Kang Rahman datang, ia ngobrol bareng Pak RT juga. Mereka sudah saling kenal."Nah, kalau yang ini bos juga, bos makanan ringan. Kalau mau pesan banyak bisa di Kang Rahman, pasti di kasih diskon," kata Pak RT mempromosikan Kang Rahman.Di sebelahnya, Kang Ikbal mencebik. Ia tak suka dengan Kang Rahman. Ia pun mungkin tak suka dengan keberadaanku di rumah ini.Kang Rahman mengajakku ke dalam, ada yang mau disampaikannya. Aku meminta izin ke dalam. Kang Ikbal menghela napas dan melebarkan matanya padaku."Permisi ya!" Aku sepertinya harus memanas-manasi Kang Ikbal. Ia harus tau bahwa aku bisa hidup tanpanya. Aku pun bisa sukses ke depan.Saat aku melangkah meninggalkan mereka, Kang Ikbal berdiri dan memanggilku."Bu Alma, saya permisi dulu. Semoga usahanya sukses. Nanti kapan-kapan akan saya borong dagangannya. Terima kasih juga atas jamuannya," kata Kang Ikbal.Aku tersenyum dan mengangguk. "Sama-sama, Pak. Rumah kita berdekatan. Semoga bisa bersinergi ya nantinya," jawabku."Wah, Bu
"Tapi ... eh, semua bukan buat Ibu. Suamimu yang pakai uang itu untuk bisnis dan nambahin beli rumah baru yang Susi tempatin, Ma," ucap Ibu.Kali ini Ibu membuka suara kalau rumah yang digunakan oleh Susi merupakan rumah yang dibeli oleh Kang Ikbal. Tapi aku tak yakin, karena Bi Ikah pernah mengatakan kalau harta ayahnya Susi habis oleh anaknya.Itu berarti Kang Ikbal-lah tersangka utama dalam penggelapan uang Pak Haji Sanusi."Tak usah menutupi, Bu. Aku juga tau perlakuan Ibu pada anak-anak. Mereka sudah menceritakan semuanya padaku. Ibu menimbun uang yang kuberikan untuk anak-anak. Ibu sulap jadi perhiasan dan logam mulia. Ya kan, Bu?" Aku kembali mendesak Ibu untuk mengakui kesalahannya."Tidak, Alma. Kalau tak ada aku, siapa yang mengantar mereka ke sekolah?" tanyanya."Bu, Ibu mengantar mereka ke sekolah saat aku ada. Sebelum-sebelumnya, Ibu tak pernah mengantarkan mereka. Mereka berangkat sendiri dengan dibekali uang tiga ribu rupiah. Padahal aku kasih jatah masing-masing sepulu
Aku ke luar kamar bersama Hanif. "Cium tangan sama Bapakmu, Hanif!" titahku. Hanif bingung, ia menatap wajahku seakan tak percaya dengan apa yang kukatakan. Aku memberikan kode padanya untuk menuruti perintahku."Iya!" Hanif mencium tangan bapaknya tapi dengan mengerucutkan bibirnya."Kamu kenapa? Sakit gigi?" Hanif menggeleng. Lalu ia berlari ke dalam."Hey, Hanif! Bapak pulang loh, masa kamu pergi?" Kang Ikbal sok baik sama anaknya.Aku mendelik padanya, rasanya tak mungkin ia bersikap seperti itu sebelumnya."Neng, atur yang bener anaknya! Sama bapak sendiri nggak sopan gitu. Sama orang lain akrab banget. Kamu jangan deket-deket lagi sama dia! Inget loh, Neng. Kamu masih istriku," katanya dengan penuh percaya diri.Aku hanya berdehem mendengarkan Kang Ikbal mengoceh. Kang Ikbal sepertinya memang kepanasan sama Kang Rahman. Sebentar lagi Kang Rahman datang untuk membawa mereka ke toko buku. Wah, waktu yang pas banget buat memanas-manasi Kang Ikbal."Sebentar, aku ke dalam dulu. M