Aku ke luar kamar bersama Hanif. "Cium tangan sama Bapakmu, Hanif!" titahku. Hanif bingung, ia menatap wajahku seakan tak percaya dengan apa yang kukatakan. Aku memberikan kode padanya untuk menuruti perintahku."Iya!" Hanif mencium tangan bapaknya tapi dengan mengerucutkan bibirnya."Kamu kenapa? Sakit gigi?" Hanif menggeleng. Lalu ia berlari ke dalam."Hey, Hanif! Bapak pulang loh, masa kamu pergi?" Kang Ikbal sok baik sama anaknya.Aku mendelik padanya, rasanya tak mungkin ia bersikap seperti itu sebelumnya."Neng, atur yang bener anaknya! Sama bapak sendiri nggak sopan gitu. Sama orang lain akrab banget. Kamu jangan deket-deket lagi sama dia! Inget loh, Neng. Kamu masih istriku," katanya dengan penuh percaya diri.Aku hanya berdehem mendengarkan Kang Ikbal mengoceh. Kang Ikbal sepertinya memang kepanasan sama Kang Rahman. Sebentar lagi Kang Rahman datang untuk membawa mereka ke toko buku. Wah, waktu yang pas banget buat memanas-manasi Kang Ikbal."Sebentar, aku ke dalam dulu. M
Ternyata yang datang adalah Pak RT. Pak RT datang mau menawarkan kerjasama. "Silahkan duduk, Pak. Mau menawarkan kerjasama seperti apa, Pak?" tanyaku."Nasi uduk Bu Alma kan enak banget. Rasanya itu khas, berbeda dengan nasi uduk biasanya. Saya mau menawarkan kerjasama membuka cabang baru. Nanti saya yang kelola, gimana?" tanya Pak RT.Aku, Kang Rahman dan Kang Ikbal menyimak apa yang dikatakan oleh Pak RT."Oh gitu. Sistemnya bagaimana, Pak?""Gini aja, Bu Alma buat sistem frenchise. Jadi Bu Alma buat paket untuk penjual pemula, nanti disana dijelaskan paket penjualannya seperti apa, yang didapat apa saja, serta keuntungan nanti setelah bisnis dijalankan," katanya."Ah, ini aja belum tentu bagus hasilnya. Kalau kayak gitu, Alma harus membuktikan kalau bisnis dia berhasil. Perhitungan nggak bakal ada kalau belum pernah dicoba," timpal Kang Ikbal.Aku melirik pada Kang Ikbal. Bisa-bisanya ia bicara, sementara Pak RT sebenarnya tak tau kalau kami suami istri. Pak RT hanya tau kalau Kan
Kemudian ada Susi di luar rumahnya. Ia membulatkan matanya saat melihat Kang Ikbal keluar dari gerbang. Sepertinya Susi memang mencari suaminya, karena memang mobilnya sudah terparkir sedari tadi, tapi orangnya tak datang-datang. Akhirnya ia menemukan suaminya keluar dari rumahku.Kali ini aku merasa menang dari Susi. Lumayan juga rasanya begitu memuaskan hati."Kang Ikbal, aku berangkat dulu. Nggak usah baper. Kamu harus berjuang dari awal, Kang!" teriakku agar Susi mendengar kata-kataku.Kang Ikbal tak menjawab, ia menyebrang ke rumahnya dan cuek terhadap Susi sehingga Kang Ikbal masuk lebih dulu. Sedangkan Susi masih menahan marahnya.Di perjalanan aku senyum-senyum sendiri, itu membuat Kang Rahman agak cemberut."Teh, sedang mikirin Kang Ikbal ya?" tanyanya.Aku melirik padanya, lalu melirik ke anak-anak, mereka tertidur. Mudah-mudahan memang tidur beneran."Iya. Aku jadi puas. Sudah membuat sahabat sekaligus musuh dalam selimutku cemburu. Akang lihat sendiri bagaimana Kang Ikbal
"Kang Rahman!" Seseorang memanggil Kang Rahman."Eh, iya, Dilla.""Iya, Kang. Akang udah nikah lagi? Kok nggak bilang-bilang sama keluarga Teh Hani? Kemarin padahal kita masih wa-an loh Kang," katanya.Hani adalah nama istri Kang Rahman yang sudah meninggal. Jadi Dilla ini siapa?"Belum kok. Akang nggak nikah lagi. Ini cuma temen dan anak-anaknya," kata Kang Rahman.Lalu, Dilla ini menengok ke arahku. Ia memperhatikan dari atas sampai bawah. Aku risih banget kalau diperhatikan seperti itu. Orang itu seperti sedang menghakimi kita."Boleh kenalan sama Teteh cantik ini?" Dilla memberikan tangannya padaku."Em, boleh." Aku memberikan tanganku. Sambil berjabat tangan ia mengatakan, "Dilla, aku adik almarhumah Teh Hani." Dilla terus memandangiku."Saya Alma, dulu tetangga Kang Rahman di kampung," ucapku."Oh, jadi Teh Alma janda ya?" Tiba-tiba saja Dilla menduga kalau aku seorang janda. Apa maksud dari pertanyaannya?"Dil, ngapai kamu pake ngomong gitu segala? Akang nggak suka kamu meneba
Aku makin kesal dengan kesombongan dan keangkuhan Dilla. Ia pikir hanya dirinya yang berpendidikan. Walau seorang TKW, aku murid berprestasi sejak Sekolah Dasar sampai SMA. Dilla benar-benar mengejekku."Iya, memang apa yang salah dengan TKW?""Nggak ada sih, salahnya cuma jadi pembantu kok," ia terkekeh.Astaghfirullah ia mengejekku. Karena tak tahan diejek, aku mengajak anak-anak untuk langsung pulang tanpa memberitahukan Kang Rahman."Anak-anak, ayo kita pulang saja!" Mereka sedang bermain di area berbeda dengan Kang Rahman.Kulihat ia sedang serius membaca diary itu. Lebih baik kutinggal saja, nanti tinggal aku kirimkan pesan.Saat aku beranjak, kulihat ke belakang, Dilla sedang memegangi ponsel Kang Rahman. Ya, tadi ponselnya ia simpan begitu saja di meja. Perempuan itu memang tak punya adab. Mudah-mudahan aku tak bertemu lagi dengannya.***Hari ini, warungku kembali ramai. Kami menyediakan seratus porsi dan semuanya habis. "Alhamdulillah ya sudah habis semua, Bi," ucapku pada
"Boleh boleh. Nanti saya kasih nomor ponselnya ya! Memangnya buat apa nomor saya Neng Alma?" tanyanya."Kali aja nanti saya butuh uang. Bisa langsung calling sama Pak Ujang," jawabku."Oh gitu. Sekarang pun saya mau bicarakan tentang rumah dan mobilmu."Apa? Maksudnya apa? Aku dan Ibu sama-sama mendekati Pak Ujang."Kita masuk saja ke dalam," katanya. Ia meminta kami masuk ke rumah Susi.Susi memandangiku, aku tak peduli. Yang penting aku masuk dan tau kabar tentang rumahku.Kami duduk sama-sama di ruang tamu. Pak Ujang akan mengatakan sesuatu."Bu Odah dan Neng Alma, rumah dan mobilnya sudah ada yang bantu menebusnya. Ia yang membayar lunas semuanya," ucap Pak Ujang.Aku dan Ibu masih sama-sama terkejut dengan pernyataan Pak Ujang. Siapa yang melakukannya? "Siapa Pak?" tanya seseorang yang ada di dekatku yaitu Ibu."Dan itu berarti rumah dan mobil kalian sudah ada yang punya. Jadi tolong bersihkan isinya karena ada yang akan mengontrak di sana."Ibu semakin penasaran karena Pak Ujan
Kalau aku, jika dihubungi, aku kan balas. Jika tidak, ya tidak usah memulai untuk menghubungi.Kemudian, ada notifikasi pesan di aplikasi hijau. Saat kubuka, ternyata dari nomor baru. Di situ ada video saat Kang Rahman berbicara dengan beberapa orang. Ada Dilla dan dua orang lagi.Kudengarkan percakapan di video itu. Mereka membahas surat dari almarhumah istri Kang Rahman. Isinya ternyata menyuruh Kang Rahman untuk menikahi Dilla.Kang Rahman mencoba menolak melakukan itu, namun kedua orangtua almarhumah Hani memaksa Kang Rahman menerima Dilla jadi istrinya.Kang Rahman tetap nggak mau. Akhirnya Kang Rahman setuju jika kedua anaknya setuju juga. Aku tak tau maksud si pengirim dalam mengirimkan video ini padaku. Aku bukan apa-apanya Kang Rahman. Tapi aku malah diberi video ini. Kubuka info si pengirim, ternyata foto Dilla dengan nama Dill. Itu berarti benar, si empunya nomor WhatsApp ini adalah Dilla. Aku tak mau membalasnya. Buat apa dibalas juga? Aku tak ada sangkut pautnya dengan
Apa ini hanya strategi ibu saja? Iya begitu menginginkan untuk menginap di sini. Sebaiknya ku telepon Susi untuk membawa pulang Ibu dari sini. Mungkin Susi sendiri akan merasa malu jika mertuanya malah menginap di rumahku."Sebentar ya Bu, aku mau ke dalam dulu!" Kutinggalkan ibu sendiri di ruang tamu.Kemudian di dalam kamar, aku menelepon Susi."Halo Susi, jemputlah ibu mertuamu ini. Sedari siang, Ibu sudah di sini dan tak mau pulang sampai sekarang," ungkapku pada Susi di telepon."Apa Ibu ada di rumahmu? Kata ibu tadi akan melihat rumah di kampung.""Maksudmu apa? Apa Ibu mau melihat rumah lama kami?" tanyaku."Ya, rumah lama itu sudah kembali ke tangan ibu," jawab Susi."Kok bisa? bukannya sudah ada yang menebus?" tanyaku."Kamu terlalu polos, Alma. Oh ya, kamu polos apa bod*h ya?" Susi mulai menjengkelkan."Tapi sejak siang ibu ada di rumahku. Justru kamu yang dibod*hi," jawabku."Terserah kamu saja, yang penting aku tahu rahasia itu. Itulah yang membuatmu terlihat b*doh!" ucapn
"Udah, ini sedang dijalan. Teh Alma mau pesen apa? Biar nanti saya bawakan?""Nggak usah.""Oh ... saya bawakan martabak aja ya. Oya teh, saya mau ngenalin teteh sama kedua anak saya. Kapan teteh kira-kira bisa?"Wah, ada apa ya Kang Rahman sampai nyari waktu buat ketemu anaknya."Mmm kapan ya? Memangnya pada di rumah?""Sedang libur pesantren. Ini juga mereka jalan-jalan sama anak-anak saya, Teh.""Masa?""Ya udah nanti aja pas pulang, tinggal turun. Kenalan sama saya," sahutku."Iya sih. Tapi pengennya ada makan siang di rumah saya, Teh. Teteh dan anak-anak datang ke rumah.""Oh gitu. Ya udah aku pikirkan dulu ya!""Baik, Teh."Kang Rahman jangan-jangan memang masih ingin memperistriku? Rasanya aku takut sekali kalau harus menikah lagi. Apalagi Kang Rahman punya dua anak. Kalau mereka nggak suka aku bagaimana? Kalau Pak RT memang masih bujangan, tapi aku belum sreg dengannya. Ah benar-benar memusingkan.Memang, perceraianku dengan Kang Ikbal sudah tiga bulanan. Tapi untuk menentukan
"Bu Alma, kenalkah denganku?" Ia membuka cadarnya sebentar. Aku langsung mengenalinya."Tini! Kamu Tini kan? Apa kabar?" Aku memeluk sahabat lamaku waktu jadi TKW di Arab Saudi."Iya, Alma. Aku Tini!" Kami saling berpelukan. "Kamu udah sukses sekarang, Al. Kalau aku belum bisa sesukses dirimu."Kamu mau buka kebab atau nasi uduk? Kenapa nggak menyapaku tadi?" "Malu aku, Al. Masa orang sepertiku menyapa pembicara. Mending kek gini aja, di balik layar. Hehe. Kamu hebat loh kemarin sempet terkenal, ada di televisi," kata Tini."Ah, iya. Padahal aku sedih banget majikanku meninggal. Beliau seperti ayah bagiku. Yang ngajarin aku bisnis itu siapa lagi kalau bukan majikanku," jawabku."Oh gitu. Pantas, pulang dari sana kamu malah pinter bisnis. Semoga akupun ketularan dengan membuka gerai kebab mini dan nasi uduk," ucapku."Eh, ngobrolnya di rumahku yuk! Kangen nih sama kamu," sahut Tini."Nggak bisa Tin, anakku masih pemulihan kemarin mereka sempat kecelakaan," jawabku."Ya Allah, dua-duan
Luar biasa semangat Kang Ikbal yang mau merubah nasib dengan terus berikhtiar untuk berbisnis.Hanif sudah baikan. Sedikit demi sedikit ia bisa mengingat kejadian sebelumnya. Kadang saat dia inget, langsung ia sebutkan saja."Oya Ibu, aku ingat dulu ibu pergi keluar negeri, trus aku nangis," katanya.Ya Allah, kenangan itu. Saat pertama kali aku akan berangkat ke Arab Saudi. Hanif dan Hanifa menangis terus, mereka bersama Bapaknya. Hanif dipangku oleh Kang Ikbal, sementara Hanifa, ia berdiri di sebelah bapaknya.Saat itu, aku akan menaiki mobil yang akan membawaku ke bandara. Sedih sekali harus meninggalkan suami dan kedua anakku."Ibuu!" teriak Hanif, ia turun dari gendongan bapaknya, lalu mengejar mobilku. Aku yang berada di dalam mobil, tak bisa berbuat apa-apa. Jika aku saat itu turun dan memeluk Hanif, mungkin aku takkan jadi berangkat ke Arab Saudi.Kulihat Hanifa hanya menangis sembari memegangi tangan bapaknya. Satu tangan lagi ia gunakan untuk mengusap wajahnya yang basah.Ak
Saat aku kembali ke ruangan, Hanif sedang dipegangi oleh Kang Rahman dan Pak RT. Infusan bergeser, sehingga ada darah yang naik di selang. Gegas Perawat membenarkan posisinya agar tidak ada darah yang tersedot di selang infus.Selain itu, perbannya sudah tercabik-cabik. Perawat membenarkan posisi perban juga. Aku hanya bisa memperhatikan yang dilakukan perawat."Sudah, Bu.""Sus, mengapa bisa demikian ya? Anak saya jadi tiba-tiba mengamuk tanpa sebab," sahutku."Memang ada beberapa kasus seperti anak ibu. Pasca operasi kepala, mereka tidak bisa kembali normal seperti sedia kala. Biasanya dibutuhkan waktu, sehingga harus sabar agar si pasien kembali sembuh," sahut Perawat itu."Ya Allah, terima kasih ya Sus atas keterangannya. Mudah-mudahan saya diberi kesabaran yang lebih," sahutku."Insya Allah, Bu. Buat yang merawat harus tetap semangat berjuang," katanya.Selepas Perawat keluar dari kamar Hanif, kuhampiri anakku. Ia memandangiku."Hanif, tadi kenapa?" Ia diam, mungkin tidak ingat
"Hanif masih sakit. Dia tak bisa pulang sekarang, Hani. Insya Allah nanti menyusul ya!" sahutku."Iya, Bu. Mudah-mudahan, aku kangen sama Hanif. Nanti siapa temen berantemku? Lagipula nanti aku di atas kesepian, kalau kamar Hanif kosong," katanya."Kalau kamu mau ditemenin Ibu atau Bi Ikah, bilang aja ya!""Iya, pengen banget, Bu. Aku nggak mau sendirian," sahut Hani.Kami pulang dan sampai di rumah setelah 30 menit berlalu."Eh, Neng Hani udah pulang," sapa Bi Ikah."Iya, Bi. Hani Alhamdulillah udah baikan dan diizinkan pulang.""Berarti aa Hanif belum boleh pulang ya?" tanya Bi Ikah."Iya, Bi. Bantu doa ya semoga bisa cepet pulang!" sahutku."Aamiiin."Hani kubawa langsung ke kamarnya agar ia bisa segera beristirahat. Setelah ia merebahkan diri, aku mengatur barang-barangnya. Tak lama Bi Ikah membawakan teh manis hangat untuk anakku."Diminum dulu Neng Hani dan Bu Alma," katanya."Eh, Bibi pake panggil Bu segala. Panggil nama aja kenapa sih?""Kan Ibu udah jadi pengusaha sukses, mas
Tangannya sudah menggenggam, tapi ia belum membuka matanya. Aku bertanya pada perawat, kapan Hanif akan sadar, katanya secepatnya Insya Allah.Aku menungguinya di sini, ya. Di ruangan dingin ini. Sesekali aku, Kang Rahman dan Kang Ikbal bergantian jaga.Hanif sadar pasca sehari dioperasi. Ia memutar matanya, melihat seluruh sudut ruangan tempatnya dirawat. Aku memperhatikan tingkah laku anakku.Alhamdulillah, Hanif udah buka mata. Mudah-mudahan kamu bisa segera keluar dari sini, ya, Nif!" Kuambil tangannya, lalu kucium punggung tangan anakku yang masih kebingungan saat tersadar."Ini dimana?" tanyanya."Di rumah sakit, Nif. Kamu bisa pulang sebentar lagi, ya!" hiburku.Hanif mengangguk, tapi sepertinya ia belum bisa menyerap apa yang terjadi padanya. Ia tertidur kembali, dan aku menjaga di sampingnya. Hingga akhirnya ia terbangun, tapi malah mengamuk."Anda siapa?" tanya Hanif."Aku ibumu. Kamu lupa?" Ia mengangguk. Apa benar ia lupa?"Ya sudah, nggak apa-apa. Ibu ke depan dulu, ya!"
"Aku di rumah Teteh nih. Katanya lagi ke rumah mantan mertua ya?""Iya, Kang. Tadi memang nengokin ibu. Tapi, terjadi kecelakaan motor Kang Ikbal yang membonceng anak-anak. Sekarang aku ada di rumah sakit Sejahtera, Kang.""Astaghfirullah, aku mau ke sana ya! Ditunggu saja. Pantesan Teteh nggak di rumah. Aku bilangin ke Bi Ikah ya, biar beliau nggak khawatir," ucapnya."Iya, aku lupa bilang, Kang."Kang Rahman sedang di perjalanan menuju rumah sakit ini. Aku masih menunggui Hanifa. Hani sadar, ia mencari adiknya. Hanif ada di ruangan berbeda dengan Hanifa."Bu, Adek Hanif gimana?" tanyanya."Hanif masih tidur. Kamu sabar ya! Kamu juga butuh istirahat yang cukup, Nak," sahutku."Iya, Bu. Mudah-mudahan Hanif juga nggak apa-apa. Tadi aku lihat Hanif kelempar jauh, aku jadi takut Hanif kenapa-napa," ucap Hani."Aamiin, insya Allah." Hanifa tertidur kembali. Mungkin ia masih pusing.Hasil scan sudah ada, katanya Hanif harus operasi secepatnya. Kang Ikbal menandatangani persetujuan operasi
Kemana perginya Kang Ikbal? Sampai kini ia masih belum kembali. Apa ia menculik anak-anak? Ah, tidak mungkin, ia kan sudah berubah lebih baik. Lagipula anak-anak sudah besar, tak mungkin diam saja saat diculik dan Kang Ikbal sendiri kan ayah dari mereka."Bu, Kang Ikbal lama sekali ya sampai jam segini belum ada kabar?" tanyaku.Ibu menggeleng. Sepertinya aku harus bertindak dan mencarinya."Assalamualaikum. Bu Odah!""Waalaikumsalam, silahkan masuk!" Kupersilahkan orang itu masuk karena mencari ibu. "Ada apa, Pak?" tanyaku lagi setelah ia masuk. Orang ini habis berlari, dan sekarang sedang mengatur napasnya terlebih dahulu. Aku menantikannya untuk bercerita."Itu, Kang Ikbal kan bawa dua anak ya. Trus, di ujung jalan sana, ia kecelakaan. Menghindari truk, dilempar ke kiri dan anak-anaknya luka-luka. Kang Ikbal tadi membawanya ke rumah sakit. Saya ikut mengantarkan ke sana, dan sekarang diminta memberitahukan ke sini," katanya."Astaghfirullah. Memangnya Kang Ikbal nggak bawa ponsel
"Ada apa Hanif?""Kapan jenguk Nenek?" tanyanya."Tadi sih rencana hari Minggu ini. Kalian bisa kan?" tanyaku pada Hanif."Aku bisa, Kak Hanifa nggak tau deh. Katanya sih ada kerja kelompok."Aku keluar kamarku untuk menanyai Hanifa."Memangnya kerja kelompok jam berapa?" tanyaku."Jam 9 sampai jam 12 paling, Bu.""Oh, gitu. Berarti kita jenguk Nenek jam satu siang aja ya!" "Oke siap.""Baiklah, Bapak akan siapkan makanan kesukaan kalian. Kalian suka bakso kan?" tanya Kang Ikbal."Iya, kami suka bakso, Pak. Makasih ya, Pak!" ucap Hanifa. "Aku kembali ke kamar ya! Soalnya mau belajar.""Oke anak Bapak yang paling cantik! Semoga kamu pintar selalu ya!""Iya, Pak. Makasih ya."Hanifa ke atas, disusul Hanif yang katanya pengen tiduran aja di kamarnya."Oke, Hanif ganteng. Nggak apa-apa. Bapak juga mau pulang sekarang," katanya."Iya, Kang. Hati-hati aja di jalan ya!""Oke, Neng."Kang Ikbal sekarang hanya memiliki motor bebek biasa. Katanya ia beli bekas. Harganya jauh dibawah motor spor