Aku makin kesal dengan kesombongan dan keangkuhan Dilla. Ia pikir hanya dirinya yang berpendidikan. Walau seorang TKW, aku murid berprestasi sejak Sekolah Dasar sampai SMA. Dilla benar-benar mengejekku."Iya, memang apa yang salah dengan TKW?""Nggak ada sih, salahnya cuma jadi pembantu kok," ia terkekeh.Astaghfirullah ia mengejekku. Karena tak tahan diejek, aku mengajak anak-anak untuk langsung pulang tanpa memberitahukan Kang Rahman."Anak-anak, ayo kita pulang saja!" Mereka sedang bermain di area berbeda dengan Kang Rahman.Kulihat ia sedang serius membaca diary itu. Lebih baik kutinggal saja, nanti tinggal aku kirimkan pesan.Saat aku beranjak, kulihat ke belakang, Dilla sedang memegangi ponsel Kang Rahman. Ya, tadi ponselnya ia simpan begitu saja di meja. Perempuan itu memang tak punya adab. Mudah-mudahan aku tak bertemu lagi dengannya.***Hari ini, warungku kembali ramai. Kami menyediakan seratus porsi dan semuanya habis. "Alhamdulillah ya sudah habis semua, Bi," ucapku pada
"Boleh boleh. Nanti saya kasih nomor ponselnya ya! Memangnya buat apa nomor saya Neng Alma?" tanyanya."Kali aja nanti saya butuh uang. Bisa langsung calling sama Pak Ujang," jawabku."Oh gitu. Sekarang pun saya mau bicarakan tentang rumah dan mobilmu."Apa? Maksudnya apa? Aku dan Ibu sama-sama mendekati Pak Ujang."Kita masuk saja ke dalam," katanya. Ia meminta kami masuk ke rumah Susi.Susi memandangiku, aku tak peduli. Yang penting aku masuk dan tau kabar tentang rumahku.Kami duduk sama-sama di ruang tamu. Pak Ujang akan mengatakan sesuatu."Bu Odah dan Neng Alma, rumah dan mobilnya sudah ada yang bantu menebusnya. Ia yang membayar lunas semuanya," ucap Pak Ujang.Aku dan Ibu masih sama-sama terkejut dengan pernyataan Pak Ujang. Siapa yang melakukannya? "Siapa Pak?" tanya seseorang yang ada di dekatku yaitu Ibu."Dan itu berarti rumah dan mobil kalian sudah ada yang punya. Jadi tolong bersihkan isinya karena ada yang akan mengontrak di sana."Ibu semakin penasaran karena Pak Ujan
Kalau aku, jika dihubungi, aku kan balas. Jika tidak, ya tidak usah memulai untuk menghubungi.Kemudian, ada notifikasi pesan di aplikasi hijau. Saat kubuka, ternyata dari nomor baru. Di situ ada video saat Kang Rahman berbicara dengan beberapa orang. Ada Dilla dan dua orang lagi.Kudengarkan percakapan di video itu. Mereka membahas surat dari almarhumah istri Kang Rahman. Isinya ternyata menyuruh Kang Rahman untuk menikahi Dilla.Kang Rahman mencoba menolak melakukan itu, namun kedua orangtua almarhumah Hani memaksa Kang Rahman menerima Dilla jadi istrinya.Kang Rahman tetap nggak mau. Akhirnya Kang Rahman setuju jika kedua anaknya setuju juga. Aku tak tau maksud si pengirim dalam mengirimkan video ini padaku. Aku bukan apa-apanya Kang Rahman. Tapi aku malah diberi video ini. Kubuka info si pengirim, ternyata foto Dilla dengan nama Dill. Itu berarti benar, si empunya nomor WhatsApp ini adalah Dilla. Aku tak mau membalasnya. Buat apa dibalas juga? Aku tak ada sangkut pautnya dengan
Apa ini hanya strategi ibu saja? Iya begitu menginginkan untuk menginap di sini. Sebaiknya ku telepon Susi untuk membawa pulang Ibu dari sini. Mungkin Susi sendiri akan merasa malu jika mertuanya malah menginap di rumahku."Sebentar ya Bu, aku mau ke dalam dulu!" Kutinggalkan ibu sendiri di ruang tamu.Kemudian di dalam kamar, aku menelepon Susi."Halo Susi, jemputlah ibu mertuamu ini. Sedari siang, Ibu sudah di sini dan tak mau pulang sampai sekarang," ungkapku pada Susi di telepon."Apa Ibu ada di rumahmu? Kata ibu tadi akan melihat rumah di kampung.""Maksudmu apa? Apa Ibu mau melihat rumah lama kami?" tanyaku."Ya, rumah lama itu sudah kembali ke tangan ibu," jawab Susi."Kok bisa? bukannya sudah ada yang menebus?" tanyaku."Kamu terlalu polos, Alma. Oh ya, kamu polos apa bod*h ya?" Susi mulai menjengkelkan."Tapi sejak siang ibu ada di rumahku. Justru kamu yang dibod*hi," jawabku."Terserah kamu saja, yang penting aku tahu rahasia itu. Itulah yang membuatmu terlihat b*doh!" ucapn
"Baiklah, Sus. Aku pergi dulu ya!"Kemudian aku menyusuri jalan pelan-pelan. Mencarinya di kanan dan kiri, mungkin Ibu belum jauh berjalan. Kuingat-ingat pakaian Ibu hari ini.Semua terekam dalam ingatanku, lalu aku mencarinya terus. Namun masih belum menemukannya juga.Saat putus asa, aku berhenti dulu di sebuah taman kota. Kuparkirkan mobil tak jauh dari kursi taman. Aku duduk di sana sembari memandangi langit yang hitam pekat. Tentunya sambil berdoa agar Ibu baik-baik saja dan segera bisa kutemukan. Terdengar suara ponsel, Kang Ikbal menelepon."Alma, kamu gimana sih, kok bisa Ibu menghilang di rumahmu?" tanya Kang Ikbal. "Maaf Kang. Aku juga nggak tau Ibu bakal pergi. Karena aku hanya menelepon Susi dari kamar, Ibu kutinggal di ruang tamu," sahutku"Makanya jadi orang harus ikhlas. Ada orang tua datang dan mau menginap, kamu nggak mau menampung Ibu sehingga menelepon Susi. Kamu nggak tau pengorbanan Ibu merawat anak-anak," katanya.Aku diam, walau Ibu jahat tapi ia tetap merawat
"Iya, Pak RT. Silahkan masuk dulu!" Biar aku mengobrol di ruang tamu saja karena di luar ada Kang Ikbal dan Kang Rahman."Iya Bu." Terdengar Pak RT memanggil kedua laki-laki yang ada di depan. "Ayo masuk sini Pak Ikbal dan Pak Rahman!" panggilnya.Mereka menghampiri Pak RT karena suaranya sudah di ruang tamu semua. Aku bergerak cepat mencari berkas yang sudah dikumpulkan agar segera sampai di tangan Pak RT, sehingga bisa segera ditangani.Alhamdulillah ketemu juga, aku masuk kembali ke ruang tamu."Pak RT, ini berkasnya. Tolong dicek berkasnya, Pak. Kali aja ada yang kurang," ucapku.Pak RT mengambilnya dari tanganku, lalu ia membaca satu per satu berkas yang kuberika. Ia memandangi buku nikah yang dipegangnya."Ini kok, Pak Ikbal?" tanya Pak RT membuatku bingung mau menjawab apa. Apa yang dipikirkannya sekarang ya?"Iya, istri sahnya Kang Ikbal itu saya, Pak."Pak RT tersenyum sembari mengangguk."Wah, kejutan sekali ini. Lalu Bu Susi itu siapa? Oooh, berarti Bu Susi istri siri Pak I
[Bukan soal itu. Aku tak peduli perawan atau janda, aku hanya ingin seorang istri yang sreg dengan hatiku.][Kang, coba Akang salat istikharah. Mantapkan hati Akang. Semoga nanti dapat petunjuk.]Itu saja yang bisa kuberikan untuk Kang Rahman. Semoga ia bisa berjodoh dengan Dilla.[Baiklah jika itu saranmu.]Aku berikan saran pada Kang Rahman, tapi kok terasa nyesek hati ini. Apa aku menyukainya?***Sore ini Kang Rahman main memenuhi janji pada anak-anak. Karena ia memang tujuannya bertemu anak-anak, aku tak mau menemuinya. Biarlah mereka saja yang mengobrol bareng.Aku hanya meminta pada Bi Ikah agar melayani Kang Rahman dengan baik. Anak-anak ingin makan pizza bareng Kang Rahman, aku wujudkan dengan memesankannya.Di kamar, aku juga menyusun anggaran jika harus membuka frenchise. Ternyata perlu modal besar. Namun jika ada satu gerai yang buka dan itu berhasil, semua akan mengikuti.Di kemasan frenchise nanti, aku akan mengemas nasi uduk kemasan hemat seharga lima ribu rupiah, porsi
"Ya sudah Paman pulang dulu ya, anak-anak! Teh Alma, saya permisi! Kang Ikbal, mangga," katanya."Hei, Rahman! Kamu nggak usah balik-balik lagi ke sini. Mau pergi ya pergi aja. Mereka anak-anakku kok. Kenapa kamu yang repot anter jalan-jalan segala. Awas ya jangan memperlihatkan wajahmu di sini lagi, bisa aku tuntut kamu nanti," cecar Kang Ikbal.Kang Ikbal sungguh mengesalkan, datang-datang malah marah-marah nggak jelas. Buatku ia sekarang bukan apa-apa setelah berkali-kali menyakiti hati dan mentalku."Anak-anak, kalian mending masuk dulu ya?" pintaku. Aku giring mereka masuk ke kamarnya. Mereka menurut saja padaku."Iya, Hanif kesel sama Bapak. Apa coba ngomong gitu sama Paman!""Sama, aku pun kesal. Bu, kasih tau Bapak. Apa yang udah Bapak kasih sama kita selama Ibu nggak ada? Pasti Bapak nggak bisa jawab," ucap Hanifa.Kasihan anak-anak, mereka trauma karena perlakuan bapaknya. Aku tak mau kondisi dulu tetap berlanjut ke depan. Makanya aku memilih menggugatnya untuk bercerai.Aku