Share

Kekhilafan Satu Malam
Kekhilafan Satu Malam
Author: Ngolo_Lol

Bab 1: Pemangsa

Author: Ngolo_Lol
last update Last Updated: 2024-02-07 11:57:56

Gadis berparas ayu itu, berteriak kencang, meronta-meronta ketika beberapa preman menarik tubuh mungilnya ke sudut jalan yang sepi. Gadis itu bernama Binar Widya. Di tengah kekalutannya, dia berharap ada seseorang yang datang di tengahnya malam penuh badai ini. Menolongnya dari terkaman binatang buas itu.

“Lepas!” Binar mendaratkan gigitan pada preman yang mencengkeram lengannya yang polos.

“Dasar jalang!” Gadis malang yang berusaha melindungi harga dirinya itu malah mendapatkan sebuah tamparan.

“Hey, lepaskan wanita itu!” Seorang pria bertampang kaukasoid, tiba-tiba datang menghadang kerumunan itu. Tangan sang pria terkepal erat, tak terima melihat wanita berparas ayu itu diperlakukan dengan kasar.

Mereka semua sontak mengalihkan pandangan ke pria asing itu. Sementara sang wanita menatap si pria dengan sayu, kesenduan di matanya seolah-olah menaruh harapan besar terhadap pria yang mengenakan setelan jas itu, agar menyelematakannya dari para bajingan yang mencengkeramnya.

"Oh, ada yang mau ikut campur urusan kita rupanya." Bos preman berucap sinis. "Hajar pria bodoh itu!" perintahnya.

Pria bertampang kaukasoid itu membuka jas hitamnya, lalu segera menggulung lengan kemeja hingga ke siku. Menatap satu per satu preman yang mulai mendekat dengan tampang garang. Detik berikutnya, adegan baku pukul pun tak terelakkan lagi. Sebuah pukulan melayang ke wajah pria itu, disusul dengan tendangan dari arah belakang. Pria itu menunduk, lalu berputar menendang preman yang ada di belakang. Membuat lawannya jatuh terjungkal. Namun, dia harus menahan serangan lainnya lagi yang tiba-tiba menghantam punggungnya. Pria itu terbatuk, tetapi segera berbalik. Memberikan pukulan beruntun pada preman yang kalah tangkas dengannya.

"Kurang ajar!" Bos preman yang masih memegang si gadis, merasa murka melihat teman-temannya yang sudah terkapar kesakitan di kaki pria asing itu.

Dia mengempaskan Binar secara kasar. Lalu menyerang pria yang sudah menganggu santapan makan malamnya ini. Si pria mundur teratur, menghindari balok kayu yang secara membabi buta dilayangkan ke arahnya. Balok kayu yang dipegang preman, terus-terusan dilayangkan ke pria asing itu. Kiri kanan, secara cepat. Sang pria berjongkok, dengan secepat kilat memutar kaki untuk menjegal preman itu. Dia terjungkal, pria itu tambah dengan mendaratkan siku di dada si preman dengan keras.

"Aaarggh!" Si preman mengerang sekeras mungkin, merobek keheningan di daerah yang tampak sepi itu.

Sang pria bangkit berdiri dengan napas yang berat. "Pergi! Pergi, sebelum saya habisi!" ujarnya dingin.

Tanpa menunggu waktu lama, para preman itu saling rangkul, lalu pergi dengan terseok-seok.

Pria itu mengayunkan kaki ke arah Binar, gadis itu pun juga mendekat. Selarik senyum terukir di bibirnya yang mungil. Ada binar kebahagiaan yang terpancar di mata bulatnya. Bersamaan dengan itu, angin kencang kembali berlalu-lalang, membuat rambut panjang si gadis meliuk-liuk mengikuti irama angin.

"Terima kasih banyak atas bantuan Anda." Binar menautkan telapak tangan di dada.

Sang pria mengangguk. "Sama-sama."

Mereka saling diam beberapa saat, saling pandang satu sama lain. Sampai butir-butir air hujan menggangu momen saling tatap mereka. Gadis ayu itu membuang pandangan, menoleh ke sana kemari, seakan sedang mencari sesuatu. Mengurangi rasa gugup ketika dipandangi sepasang mata tajam pria tampan di hadapannya.

"Di mana rumahmu?"

Binar menyebutkan sebuah gang yang masih asing di telinga sang pria. Sementara hujan lama-kelamaan makin deras. Angin pun bertambah kencang.

"Bagaimana kalau kita cari tempat berteduh dulu. Nanti setelah hujannya reda, saya antar pulang."

Tawaran sang pria langsung diangguki oleh Binar. Selain tidak ada kendaraan yang lewat, hujan yang deras tidak memungkinkan untuk mereka melanjutkan perjalanan. Kebetulan di samping sana, sekitar 50 meter, ada sebuah bangunan yang terbengkalai.

"Kita berteduh di sana saja." Sang pria menunjuk di arah jam sembilan.

Binar mengangguk, lalu mereka berlari ke bangunan tersebut.

Hawa sejuk membuat Binar memeluk dirinya sendiri, sesekali dia menggosok-gosokan telapak tangannya satu sama lain. Terlihat sangat kedinginan. Sementara sang pria menyandarkan punggung di tembok yang terdapat banyak coretan, sambil menunggu hujan reda. Sesekali pria beralis tebal itu mencuri pandang pada Binar. Tubuhnya yang basah, membuat pakaian yang membalut tubuh gadis itu tercetak jelas. Sang pria menelan ludah berat, kala pikiran liar mulai melintas di kepala. Berusaha dia untuk menepis hal bodoh itu.

“Kenapa keluyuran di tempat seperti ini?" Pria itu menyugar rambutnya yang basah.

"Aku sedang cari pekerjaan."

"Sampai larut malam?" Alis tebal itu terangkat sebelah.

"Aku nggak punya ongkos pulang. Jadi, jalan kaki.” Binar tersenyum tipis.

Sang pria mengangguk-angguk.

"Kalau Anda sendiri?" Binar bertanya balik.

"Saya baru pulang dari luar kota, ban mobilku pecah. Saya sedang berusaha mencari bengkel di sekitar sini tadi.”

"Owh, begitu. Bengkel adanya sekitar satu kilometer lagi dari sini," jawab Binar.

Mereka kembali diam. Hujan di luar sana masih saja deras disertai angin kencang. Binar terus-terusan mengusap-usap lengannya yang polos. Rambut panjangnya yang masih meneteskan air, dia bawa ke samping, lalu memerasnya agar cepat kering. Kembali pria asing itu menelan ludah berat melihat leher jenjang Binar yang putih mulus. Binar menyadari sang pria sedang menatapnya, sebuah senyum sungkan Binar perlihatkan. Ah, bibir ranum Binar begitu menggoda. Sebagai pria normal, pria asing itu mulai terpancing dengan lekuk tubuh Binar yang begitu menantang.

"Aaaa!"

Tiba-tiba petir menyambar yang langsung disambut teriakkan ketakutan Binar. Gadis itu phobia petir. Dia langsung menghambur di permukaan dada bidang, mencari perlindungan. Pria asing itu merasakan napas gadis yang sedang memeluknya terengah-engah, ketakutan. Sontak saja kelakukan gadis itu menyentilkan debar halus di dada sang pria, yang makin lama membuatnya berdebar kencang dan mampu melumpuhkan akal sehat pria tersebut.

Sang pria menangkup wajah lugu Binar. Memandangi mata indahnya, yang langsung membuat pikiran pria itu tenggelam.

"Kamu takut petir?" tanya pria asing itu. Kebetulan, petir lagi-lagi menyambar. Binar mencengkeram kedua lengan pria di hadapannya sambil menutup mata erat. Terlihat jelas dadanya naik turun dengan cepat. Dan itu mampu membuat otak si pria bergerak liar.

"Saya bisa membuatmu untuk menyingkirkan rasa takutmu itu."

Binar mendongak, menatap lekat.

Petir kembali menyambar, sang pria segera mendaratkan kecupan di bibir yang ranum itu. Bisa pria asing itu rasakan, Binar begitu tegang dengan apa yang dia lakukan. Binar beralih mencengkeram erat dada kemeja pria itu, hingga membuat beberapa kancingnya terlepas.

"Hmp!"

Aksi itu terus berlanjut dan berlanjut, meminta lebih dan ingin merasakan yang jauh lebih menantang lagi. Petir kembali menyambar disertai raungannya yang keras. Namun, Binar tak ketakutan lagi dengan suara sang petir. Angin kencang berembus menyapa tubuh mereka. Namun, dinginnya tak mampu menembus kehangatan yang sedang mereka ciptakan. Sampai pria asing itu tidak menyadari, kelakuannya sudah keterlaluan.

Siapa sangka, gadis yang dia tolong dari para pemangsa, malah menjadi mangsanya sendiri!

Di tengah-tengah adegan panas itu, ponsel pria asing itu sejak tadi bergetar.

Syeira Istriku.

[Mas Aiman, kerjanya udah belum?]

[Mas langsung pulang 'kan malam ini? Biar aku buatkan makanan kesukaan Mas Aiman.]

[Mas, kapan pulang? Hati-hati di jalan, hujan sangat deras.]

Related chapters

  • Kekhilafan Satu Malam   Bab 2: Sindrom

    Tubuh mungil itu menggeliat kala sinar matahari menusuk kelopak matanya yang terasa memberat. Jemari lentiknya bergerak, dan tersentak bangunlah dia kala merasakan kulit asing di sampingnya tertidur. Jantung Binar serasa merosot menatap sosok gagah di sampingnya yang tertidur tengkurap. Mata bulat gadis itu langsung berkaca-kaca mengingat kejadian semalam, lalu meluncurlah anak-anak sungai di pipi yang tampak kemerahan dan lelah itu. Tangannya membekap mulut sendiri, menahan isak tangis, juga takut terhadap sosok di hadapannya. "Kenapa malah seperti ini?" gumamnya sambil menjambak rambut frustasi. “Tidak, ini tidak mungkin!”Dengan tangan bergetar, Binar bangkit sambil menahan area nyeri di tengah-tengah tubuhnya. Secepat mungkin dia memungut semua pakaiannya yang tercecer di lantai berdebu dan memakainya. Binar lantas keluar dari dalam gedung terbengkalai sebelum pria yang tertidur bersamanya itu bangun. Binar tak ingin bertemu lagi dengan pria itu. Pria yang dia pikir adalah pahlaw

    Last Updated : 2024-02-07
  • Kekhilafan Satu Malam   Bab 3: Menutupi Kebenaran

    Mata bulat Binar mendongak, memandang salah satu pohon yang berbuah lebat yang membuat dia menelan ludah berkali-kali. Binar mencoba melompat, menggapai ranting buah asam di atas sana. Entah mengapa, dia sangat teringin sekali buah asam yang di mana ketika memakannya akan membuat gigi terasa geli. "Tinggi sekali!" Binar mendengkus kasar, tubuh mungilnya kepayahan menggapai ranting pohon asam yang lumayan tinggi itu. "Tunggu, tunggu, tunggu!" Binar menghadang beberapa bocah kecil laki-laki yang baru saja pulang bermain bola di lapangan. "Ada apa, Kak?" tanya salah satunya. "Emm, minta tolong ambilin Kakak buah asamnya, donk." Pupil mata Binar membesar, menatap anak-anak kecil itu dan buah asam di atas sana. Memandanginya saling bergantian. "Siap, Kak Binar Cantik!" Mereka antusias menjawab sambil menjajarkan jemari tangannya di kening. Detik berikutnya, mereka sontak saling naik di pohon asam tersebut. Bahkan terlihat saling berlomba, siapa yang lebih cepat mengambilkan buah asamn

    Last Updated : 2024-02-07
  • Kekhilafan Satu Malam   Bab 4: Wanita Hina

    Plak! "Dasar anak tidak tau malu! Kenapa kamu sampai melakukan hal sehina ini?!" Sebuah tamparan keras mendarat di pipi mulus Binar. Membuat wanita berparas ayu itu tersungkur ke lantai. Bibir ranumnya mengeluarkan darah di bagian sudut. Binar hanya menunduk malu, menerima amarah dari orang tua yang dicintainya. Sadar akan kesalahan yang telah diperbuatnya beberapa bulan yang lalu. Pagi tadi, Binar yang sedang membantu sang ibu membuat sarapan, tiba-tiba kepalanya berputar dan terasa berat. Dia langsung kehilangan keseimbangan, pingsan. Warsih yang kembali dari kios, merasa panik melihat Binar yang telah tergeletak di lantai dapur. Dia segera meminta tolong pada tetangga, membawa putri sulungnya itu ke puskesmas, takut sampai putrinya terkena penyakit berbahaya. Pasalnya, sang putri sedari kecil tidak pernah pingsan walau bekerja seharian di bawah terik pekik matahari. "Selamat yah, sebentar lagi Ibu akan menjadi seorang nenek. Usia kandungan putri Ibu sudah dua bulan lebih." Ucap

    Last Updated : 2024-02-07
  • Kekhilafan Satu Malam   Bab 5: Terlunta-lunta

    Sudah berhari-hari Binar terlunta-lunta di jalanan. Kadang makan, kadang tidak. Tidur sembarangan, tak ada tempat untuk singgah. Malam ini, mengingatkan Binar pada malam dia bertemu dengan pria berparas kaukasoid yang awalnya dia pikir seorang pahlawan itu. Namun, dengan teganya sang pria beralis tebal tersebut merenggut mahkota yang Binar jaga selama ini. Angin kencang berlalu lalang, menerbangkan daun-daun kering yang ada di jalanan, menemani langkah Binar yang tak tentu arah. Mata bulat itu telah lelah menitikkan air mata. Bibirnya berkedut, meratapi nasib yang sedang menimpanya. Pandangan Binar mengedar ke sekeliling, memandang ruko-ruko yang berjajar di pinggir jalan juga beberapa kedai. Dia mengusap perutnya yang masih rata. Di balik baju berwarna hijau kumuh itu, terdengar suara bergemuruh lirih. Binar kelaparan. Langkahnya dibawa menuju ke kedai nasi goreng. Air ludah ditelan Binar berkali-kali ketika melihat si koki mengaduk-aduk nasi yang berwarna kuning kecoklatan dengan

    Last Updated : 2024-02-07
  • Kekhilafan Satu Malam   Bab 6: Malaikat Penolong

    "Ha-haus ....""Mas Aiman nggak perlu menjemputku. Aku akan segera pulang. Ah, sudah dulu yah, Mas." Begitu mendengar suara lirih dari Binar yang meminta air minum, Syeira langsung menghentikan panggilan dengan suaminya. Membuat Aiman di ujung sambungan telepon sana, berdecak. Mau menjemput istrinya, namun tidak tahu istrinya berada di rumah sakit mana. Syeira segera mendekat pada Binar yang memakai baju biru rumah sakit. Wanita yang terbaring di ranjang rumah sakit itu, tampak lemah dengan sorot mata kuyu dan bibir kering. "Kamu mau minum?" tanya Syeira lembut. Binar hanya mengangguk lemah menatap wajah sejuk di hadapannya. Dalam hati dia sangat bersyukur dipertemukan malaikat penolong seperti wanita di hadapannya itu. Syeira menaikan posisi ranjang Binar di bagian kepala, lantas membantu wanita itu untuk minum. Binar pun langsung menerima bantuan tersebut dengan lelehan air mata, merasa terharu. Berkat bantuan Syeira, tenggorokannya yang telah kering bagai di padang pasir, kini

    Last Updated : 2024-03-27
  • Kekhilafan Satu Malam   Bab 7: Tempat Tinggal Baru

    Waktu sudah menunjukkan pukul 22.45, saat mobil yang dikendarai Syeira memasuki pekarangan rumah yang terdapat air mancur dengan patung dua angsa berciuman di tengah-tengahnya. Sebelumnya, kedua wanita itu mampir dulu untuk makan malam, maka dari itu agak larut malam sampai ke rumahnya. Mata Binar sedikit jelalatan melihat-lihat keindahan pekarangan halaman rumah Syeira, ada taman di samping kiri sana, juga gazebo yang terbuat dari semen dan dicat putih tulang. "Ayo keluar!" ajak Syeira setelah membuka pintu. Wanita dengan dress selutut itu, mendahului naik anak tangga setinggi setengah meter agar mencapai teras rumah bergaya Eropa itu. Dengan rasa sungkan, Binar akhirnya keluar dari mobil. Sekali lagi, mata bulat itu mengedarkan pandangan ke sekitar. Tatapan matanya bertemu dengan security yang tadinya membukakan pintu untuk mobil Syeira. Binar tersenyum hormat pada pria yang lebih tua tersebut, tetapi sang pria seumuran ayahnya itu hanya memasang raut

    Last Updated : 2024-03-27
  • Kekhilafan Satu Malam   Bab 8: ART Pengganggu

    Mendengar ketukan pintu kamar, seketika tawa Syeira dan Aiman terhenti. Aiman memasang raut bingung, siapa yang beraninya mengetuk pintu kamar mereka sepagi ini. Sementara Syeira langsung membungkus tubuhnya dengan handuk kimono, tahu siapa yang memanggilnya tersebut. "Siapa?" Aiman bertanya datar. "ART baru, Mas. Sebentar yah, siapa tau saja dia butuh sesuatu yang penting." Syeira melangkah keluar kamar mandi. Meninggalkan Aiman yang berdecak kesal, tak suka kesenangannya dengan Syeira terganggu, apalagi hanya diganggu seorang ART. Syeira membuka pintu bercat putih dengan ukiran rumit tersebut. Di luar pintu, Binar berdiri sambil menunduk, meremas jari-jari tangannya. Mendengar pintu kamar sang majikan terbuka, dia lantas mendongak. "Maaf, mengganggu pagi-pagi, Kak. Aku hanya ingin mengatakan sarapannya sudah siap. Takut keburu dingin." Binar langsung berucap pada intinya. Syeira melongo untuk beberapa saat. "Sepagi ini?"

    Last Updated : 2024-03-27
  • Kekhilafan Satu Malam   Bab 9: Ingin Pergi

    Sontak saja baik Binar maupun Aiman sama-sama berubah pucat pasi. Aiman membeku, jantungnya berdentum keras dengan tatapan menghujam pada Binar. Sementara mata bulat Binar langsung berkaca-kaca, bibirnya bergetar. Dia mencengkeram bahu kursi dengan dada yang naik turun dengan berat. Bayangan memori kehangatan di malam penuh badai yang dingin itu terlintas di pelupuk mata keduanya, seolah-olah sedang menonton tayangan bioskop. Binar beringsut mundur dengan tungkai yang terasa lemas. Pandangannya pun tiba-tiba mengabur. "Binar!" Syeira panik melihat Binar pingsan. Langsung saja dia menepuk-nepuk pipi wanita yang telah terbaring di lantai itu. Sementara Aiman masih berusaha mengendalikan dirinya sendiri. Rasa syok melihat wanita yang pernah menghabiskan malam berdua dengannya itu hadir di depan mata. "Mas!" seru Syeira membuat Aiman terlonjak kaget. "Ayo, tolong angkat dia, bawa ke kamar!""A-apa?" Mata Aiman mengerjap beberapa kali

    Last Updated : 2024-03-28

Latest chapter

  • Kekhilafan Satu Malam   Bab 171: Pelecehan Abimanyu

    Malam kian larut, ditemani gerimis serta angin yang kencang. Abimanyu memanahkan tatapan pada rintik-rintik hujan yang menetes. Pikirannya tenggelam, entah ke mana. Beberapa kali dia mendengar sang ibu mengetuk pintu kamarnya, meminta dia agar keluar makan malam. Tapi Abimanyu memilih bungkam. Entahlah, rasanya Abimanyu belum bisa menerima keadaan jika Chelsi adalah adiknya. Rasanya, Abimanyu ingin meminta pada ibunya agar membuang saja gadis itu. Jujur, Abimanyu kurang menyukai kehadiran Chelsi. Bahkan sangat! Sebab kasih sayang ayah dan ibunya mulai terbagi pada gadis itu. Terlebih, Abimanyu menyimpan perasaan pada Chelsi. "Bagaimana caranya membuang perasaan bodoh ini?!"Terdengar bunyi mengkriuk lapar dari perut sang pria. Abimanyu memutuskan untuk turun ke lantai bawah. Melewati kamar yang dalamnya bernuansa warna pink itu, Abimanyu terhenti sekejap. Terus jalan lagi. Hasratnya ingin masuk ke dalam sebenarnya. Rum

  • Kekhilafan Satu Malam   Bab 170: Rasa yang Tersesat

    Sudah berhari-hari kini Chelsi tinggal di kediaman Adipati. Dia mulai mengakrabkan diri dengan semua hal yang ada di rumah besar itu. Baik dengan kedua orang tuanya, para ART, peraturan, ruangan, aktivitas, bahkan perabotan. Hanya satu hal yang belum Chelsi akrabkan. Abimanyu. Semenjak Chelsi menginjakan kaki di rumah Adipati sebagai putri kandung Affandi dan Binar, keberadaan sang abang tersebut seperti hilang di telan bumi. Abimanyu tak pernah pulang ke rumah, hampir seminggu malah sekarang. Binar khawatir tentang keberadaan sang putra. Ditelepon pun, ponsel pria itu tak aktif. Hal tersebut makin membuat hati Binar tak tenteram. "Iya, Bang Abi ke kantor beberapa hari yang lalu. Hanya sebentar, karena dia harus keluar negeri mengurusi tender di sana." Penjelasan Angkasa lewat telepon sedikit membuat Binar mengembuskan napas lega. Tapi masa sesibuk itu Abimanyu, sampai tak punya waktu sedikit pun buat bicara dengan ibunya. Binar memilih mengirimkan

  • Kekhilafan Satu Malam   Bab 169: Keluarga Baru

    "Chelsi." Gadis itu sedikit tersentak ketika kedua bahunya dipegang oleh Syeira."Ah, iya. Kenapa?" Chelsi menatap Syeira dengan sorot kebingungan. "Ayo, masuk." Syeira merangkul gadis manis itu. "Saya nggak nyangka, ternyata kamu putrinya Binar dan Affandi. Kamu tidak pernah tau, seterpukul apa dulu Binar saat bayinya dinyatakan meninggal di ruang inkubator."Chelsi tertegun mendengar hal tersebut. Dia menatap Binar yang sejak tadi menatapnya dengan mata basah. Terasa sakit hati gadis itu melihat wajah Binar yang terus-terusan meneteskan air mata itu. Lantas pandangannya mengarah ke Affandi. Petugas medis itu juga tampak basah matanya, dengan wajah memerah, berusaha menahan tangis. Apakah benar, kedua orang tersebut adalah orang tuanya? Chelsi bahkan tak berani bermimpi untuk hal itu. "Sini." Affandi meraih lengan halus Chelsi, mengajaknya agar lebih menempel padanya. Telapak tangannya, Affandi letakkan di dada sendiri seray

  • Kekhilafan Satu Malam   Bab 168: Putriku!

    Serempak mata orang-orang di dalam ruangan tersebut membulat sempurna. Terlebih Vena, tubuh wanita itu menegang dengan bulir-bulir yang mulai mencuat di pelipis. Tungkainya melemas. Perlahan, dia memutar kepalanya, melihat sang putri yang masih dicekal erat oleh petugas medis kesehatan itu. Sementara Chelsi hanya menatap Affandi dengan tatapan syok. Mana mungkin? Tapi benarkah? Pikiran dan perasaan gadis itu campur aduk. Lalu dia menatap sang ibu--Vena. Mata Chelsi berkaca-kaca, melihat wajah memucat ibunya. Apakah mungkin yang dikatakan sang dokter benarkah nyatanya? Dia ...."Lepaskan putriku, Venuska!" Kembali Affandi bersuara tegas, menatap tajam pada Vena. Jelas hal tersebut membuat nyali wanita itu menciut. Tapi tidak, Chelsi tetap putrinya!"Tidak! Dia anakku! Dia putriku. Hanya putriku!" Vena menarik kembali Chelsi, agak kasar. Namun, Affandi tetap menahan."Sakit," r

  • Kekhilafan Satu Malam   Bab 167: Menjenguk Binar

    Akhirnya, Abimanyu, Chelsi, juga Angaksa pergi ke rumah sakit. Abimanyu dan Chelsi semobil? Tentu saja tidak. Gadis itu semobil dengan calon suaminya. Membiarkan dada Abimanyu terbakar di mobil lainnya sana.Abimanyu memilih melajukan kecepatan mobilnya di atas rata-rata. Pergi entah ke mana. Hendak mendinginkan dulu perasaannya yang memanas.**"Saya di sini saja, Bu. Nggak usah masuk ke dalam." Seorang wanita berusia senja itu, tampak sungkan ketika lengannya ditarik oleh Syeira masuk ke ruang rawat Binar. Lebih tepatnya, dia takut masuk ke dalam. Takut bertemu dengan si petugas medis yang dulunya pernah menjadi mantannya itu.Tadi, di saat mereka kembali bertemu demi membahas tentang pernikahan Angkasa dan Chelsi, tiba-tiba Affandi menelepon, memberitahukan berita gembira. Jika Nona kesayangannya telah sadar dari koma. Jelas hal tersebut juga menjadi s

  • Kekhilafan Satu Malam   Bab 166: Toko Perhiasan

    Biasanya, jika Abimanyu dulu terpaksa harus mengantar Friska, maka gadis itu akan berceloteh panjang lebar hingga membuat kuping Abimanyu terasa panas. Bukan hanya itu, Friska juga suka sekali menempel pada lengan berotot Abimanyu. Hingga membuat sang pria gerah juga geram setengah mati.Namun sekarang, hampir lima belas menit perjalanan pun, gadis berkuncir kuda itu belum juga membuka suara. Dia hanya menoleh ke arah luar jendela. Memerhatikan gedung-gedung yang berpapasan dengan mereka. Diamnya Friska malah membuat perasaan Abimanyu tak enak. Abimanyu memang lebih menyukai suasa yang hening ketimbang ribut, tetapi diamnya Friska malah membuat pria itu resah.'Kau terlihat seperti jalang yang haus belaian.' Lagi, kalimat itu mengusik pikiran Abimanyu. Dia tak ingat betul kalimat apa saja yang meluncur dari mulutnya saat emosi waktu itu. Tapi yang Abimanyu tahu, kemungkinan salah satu ucapannya benar-b

  • Kekhilafan Satu Malam   Bab 165: Binar Siuman

    Perlahan-lahan, kelopak mata yang tampak lemah itu berkedip pelan. Ingin membuka mata, tetapi silau mentari begitu menusuk. Kembali dia menutup mata erat. Tangannya terasa menyentuh sebuah permukaan berbulu lebat. Sebuah rambut. Diusapnya rambut tersebut dengan pelan. Aksinya tersebut malah mengganggu tidur si empu rambut. Abimanyu menggeliat, dan gesekan kepalanya pada samping perut sang ibu, membuat si empu perut melenguh. Melotot langsung kedua bola mata itu."Mah?" Abimanyu bangkit berdiri, memanggil ayahnya yang tidur di samping sofa di belakangnya."Tangan Mama gerak lagi." Hati Abimanyu berdesir hangat. Sangat bahagia melihat wajah ibunya yang terus menunjukkan respon aktif."Nona?" Affandi mengusap pipi Binar, tampak berkaca-kaca mata petugas medis itu melihat bibir Binar yang bergerak-gerak."A--bi ..., bagai-mana kead---"

  • Kekhilafan Satu Malam   Bab 164: Kalahkan Abimanyu Dulu

    Dua sejoli yang saling membulat matanya itu sama-sama menatap tanpa berkedip. Abimanyu masih tetap menahan pinggang Chelsi, sedangkan gadis itu meringis ketakutan dengan debaran jantung yang menggila mendengar suara panggilan di luar pintu. Itu suara Syeira. Bagaimana jika ibunya Angkasa tersebut melihat dirinya dan Abimanyu dalam satu kamar, dipeluk sang pria pula."Pak, saya mohon, lepaskan saya," cicit gadis itu menatap wajah Abimanyu di samping kiri kepalanya."Kenapa, hmm?" Abimanyu malah mendekatkan wajahnya di bahu Chelsi, membuat debaran jantung gadis itu kian jadi. Serasa hampir meledak saja jantungnya."Chelsi, kamu masih di dalam 'kan?" Syeira kembali mengetuk pintu."Pak, saya mohon." Chelsi meringis, menjauhkan wajahnya dari rahang Abimanyu yang kasar karena bulu-bulu tipis yang memenuhi pipinya."Aku mau mele

  • Kekhilafan Satu Malam    Bab 163: Perasaan Abimanyu

    Melihat Abimanyu yang bergerak mendekat setelah menutup pintu, Chelsi menatap waspada. Terlebih dirinya yang hanya mengenakan handuk, tumpahan air minum tadi lumayan membuat gaunnya basah parah. Syeira menyarankan agar Chelsi mengganti pakaian basah tersebut dengan gaunnya."Pak, keluar dari sini!" Chelsi gegas menarik selimut menutupi tubuhnya.Abimanyu terus mengayunkan langkah dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Chelsi mundur perlahan dengan tatapan yang tak terlepas dari mata elang itu. Abimanyu terus mendekat, mengikis jarak, terus, dan terus. Sampai membuat gadis yang membalut tubuhnya dengan selimut itu terpojok di dinding.Chelsi kelabakan. Mengerjap beberapa saat, dan menoleh ke belakang. Lalu kembali mendongak, menatap mata elang itu yang berada tepat di depan keningnya. Dia hendak kabur, tetapi Abimanyu sigap menekan dinding sebelah kiri gadis itu. Chelsi henda

DMCA.com Protection Status