Share

Bab 2: Sindrom

Penulis: Ngolo_Lol
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Tubuh mungil itu menggeliat kala sinar matahari menusuk kelopak matanya yang terasa memberat. Jemari lentiknya bergerak, dan tersentak bangunlah dia kala merasakan kulit asing di sampingnya tertidur. Jantung Binar serasa merosot menatap sosok gagah di sampingnya yang tertidur tengkurap. Mata bulat gadis itu langsung berkaca-kaca mengingat kejadian semalam, lalu meluncurlah anak-anak sungai di pipi yang tampak kemerahan dan lelah itu. Tangannya membekap mulut sendiri, menahan isak tangis, juga takut terhadap sosok di hadapannya.

"Kenapa malah seperti ini?" gumamnya sambil menjambak rambut frustasi. “Tidak, ini tidak mungkin!”

Dengan tangan bergetar, Binar bangkit sambil menahan area nyeri di tengah-tengah tubuhnya. Secepat mungkin dia memungut semua pakaiannya yang tercecer di lantai berdebu dan memakainya. Binar lantas keluar dari dalam gedung terbengkalai sebelum pria yang tertidur bersamanya itu bangun. Binar tak ingin bertemu lagi dengan pria itu. Pria yang dia pikir adalah pahlawan, tetapi ternyata malah mengambil keuntungan terbesar darinya.

"Apa yang telah kulakukan! Kenapa aku malah terjebak dengannya,” tangisnya menyesali keadaan.

Tidak dapat dipungkiri, Binar juga merutuki dirinya sendiri. Harusnya dia melakukan perlawanan pada pria asing itu, harusnya dia tidak terbuai dengan sentuhan yang membuat desir aneh yang menjalar di tubuhnya, harusnya dia tidak berlari mencari perlindungan di dekapan pria itu. Namun apa daya, Binar hanya gadis muda yang baru berumur 22 tahun. Dia masih polos dan belum banyak mengenal dunia, terutama tentang diri seorang pria.

"Permisi, Pak, apa bisa saya ikut menumpang." Binar menyetop sebuah mobil pick up yang lewat di dekat gedung terbengkalai. Sesekali pandangan wanita itu menoleh ke belakang, takut pria yang tidur bersamanya tadi keluar dari gedung itu dan mengejarnya.

"Boleh. Ayo, masuk sini!" Ajakkan si supir langsung disambut gelengan oleh Binar. Dia teramat risi sekarang jika harus berdekatan dengan seorang pria.

"Sa-saya di belakang saja, Pak." Binar langsung menuju ke belakang mobil pick up, duduk bersama tumpukkan sayuran segar.

Sekali lagi, tangis yang sudah dia tahan tadi, kembali meluap. Binar meraup wajahnya kasar, menangis terisak-isak. Dia takut, bagaimana jika kejadian semalam sampai ketahuan oleh orang tuanya. Bagaimana jika Binar sampai hamil. Gadis berparas ayu itu menggeleng keras, menepis semua hal buruk yang melintas.

Selang beberapa menit, akhirnya Binar sampai juga di gang tempat tinggalnya. Beberapa anak kecil yang memang dekat dengan Binar, langsung mengerubungi wanita itu.

"Kak Binar semalam ke mana saja? Bapak sama ibunya nyariin."

"Iya, bahkan bapaknya pulang dalam keadaan basah kuyup. Ibu Kakak juga cemas."

Laporan anak-anak kecil itu membuat hati Binar meringis, apa yang harus dia katakan pada kedua orang tuanya sekarang. Binar, putri sulung yang selalu mereka banggakan telah gagal menjaga kehormatannya. Binar tersenyum tipis menanggapi laporan mereka, lalu melangkah masuk ke rumah.

"Dari mana kamu, Binar? Kenapa semalaman nggak pulang?" Ibunya Binar langsung menginterogasi, ketika melihat putrinya itu memasuki ruang keluarga.

Mata tua itu memindai penampilan sang putri, rambut yang kusut, pakaian yang berdebu, juga wajah Binar yang sembab. Diperhatikan seperti itu, langsung membuat Binar terkena keringat dingin.

"Binar cari kerja, Bu. Pulangnya tertahan hujan, jadi Binar neduh." Wanita itu menjawab sambil menunduk. Tak berani menantang tatapan sang ibu.

Ibunya Binar masih tak puas dengan jawaban sang putri, apalagi melihat Binar yang tampak gelisah. Pasti ada yang disembunyikan putri sulungnya itu, tetapi suara pembeli dari kios kecilnya, mengalihkan perhatian wanita itu.

"Ya sudah, kamu sana mandi dan makan dulu." Sang ibu berlalu meninggalkan Binar.

Wanita itu mengembuskan napas, sedikit lega karena terbebas dari interogasi sang ibu. Dia segera berlari ke kamar mandi, memutuskan untuk mengguyur tubuhnya yang terasa kotor dengan air seember. Namun, dia tetap saja merasa kotor. Adegan panas semalam, menari-nari di benaknya. Binar terisak sambil menggaruk lengannya kasar, berusaha membuat tubuhnya kembali suci lagi.

Hari demi hari berlalu, minggu pun terlewati dengan begitu berat. Binar yang biasanya selalu ceria dan menghabiskan waktu lama untuk bermain bersama dengan anak-anak kecil di sekitaran gang tempat tinggalnya, menjadi berubah. Dia lebih banyak murung di dalam kamar, bahkan jarang membantu ibunya untuk membuka kios, atau sekadar melayani pembeli.

"Ada rokok, Neng?" Seorang pria bermata agak sipit itu bertanya pada Binar yang ada di dalam kios.

Bukannya menjawab pertanyaan si pembeli, tangan Binar malah mendingin. Entah kenapa, wajah pembeli itu tiba-tiba berubah menjadi pria yang telah merenggut kesuciannya di malam penuh badai itu.

"Pergi!" Binar menggeleng ketakutan, beringsut mundur dan berlari masuk ke rumah. Dia tak mau lagi melayani para pembeli yang mampir ke kios kecil mereka.

Hari demi hari terus berlalu, bulan pun berganti lagi.

Binar menggigit bibir resah sambil bermondar-mandir di dalam kamar kecilnya. Sesekali dia menatap kalender cemas, di angka yang dia lingkari merah bulan lalu. Ya, Binar telah terlambat datang bulan. Perutnya yang terbalut baju kaus pink, Binar cengkeram sambil menggelengkan kepala.

"Tidak, aku tidak mungkin hamil!" sangkalnya berbanding terbalik dengan pemikirannya saat ini. "Aku tidak boleh hamil. Jangan sampai!" Rasa takut mengungkung dia begitu saja, Binar kembali menangis dan mengutuk dirinya sendiri. Kenapa dia harus terbuai dan pasrah saja ketika pria itu melancarkan nafsunya.

*

*

Di sisi lainnya, di sebuah rumah besar bergaya Eropa, tampak sebuah keluarga kecil sedang menikmati makan malam yang sangat lezat.

"Bagaimana istrimu, Aiman, apa sudah hamil?" tanya Ambarawati---ibunya Aiman.

Syeira---sang menantu, yang sedang mengunyah makanan, menjadi terhenti untuk sesaat. Dia melirik pada mertuanya dengan raut sendu.

"Belum, Ma.” Aiman meletakkan sendok makannya. Mengambil alih, menjawab pertanyaan sang ibu.

Walaupun sudah menjalani kehidupan rumah tangga selama lima tahun bersama wanita yang dicintai, tetapi Aiman belum juga dikaruniai buah hati sampai sekarang. Di rumah mewah bercat putih bersih itu, terkadang Aiman membayangkan segera hadirnya seorang jagoan kecil. Syeira dan jagoan kecil itu akan menyambutnya sepulang bekerja. Meleburkan rasa lelahnya dengan senyum mungil dan tatapan polos khas anak kecil. Ah, andai hal itu segera terjadi.

"Masa belum terus sih, Man? Kalian sudah menikah selama lima tahun. Teman kalian yang baru menikah tiga tahun aja, udah mau launcing anak kedua. Kalian kapan punyanya?" Wanita dengan dress krem selutut itu mengoceh, mengeluarkan unek-unek.

Beberapa tahun belakangan ini, Ambar memang sangat mendesak agar Aiman cepat memiliki anak. Ambar sangat tidak sabar ingin secepatnya menggendong cucu.

Aiman dan Syeira baik-baik saja, tidak ada yang bermasalah dengan kesuburan. Mereka sudah banyak melakukan berbagai cara, dari mulai pengobatan alternatif sampai kedokteran. Semua jenis jamu yang katanya untuk kesuburan pun sudah diminum oleh Syeira. Tapi apa daya, jika Tuhan belum berkehendak.

"InsyaAllah, secepatnya, Ma."

Aiman menggenggam tangan Syeira. Melemparkan senyuman hangat seraya menatapnya lekat, mengisyaratkan agar jangan sakit hati dengan ucapan ibunya. Syeira pun tampak paham dengan isyarat yang Aiman berikan. Dia balas melayangkan senyum simpul serta mengedipkan kedua matanya singkat. Aiman sangat bersyukur mempunyai istri setegar Syeira.

"Mending kita makan saja. Keburu dingin makanannya," ucap Aiman mengalihkan drama tentang cucu.

"Ayam rempah wangi pedas kesukaan Nyonya Besar sudah siap!" Seorang ART datang membawa mangkuk besar.

Begitu makanan itu diletakkan di meja, aroma rempah-rempah yang menguar dari mangkuk tersebut langsung mengaduk-aduk perut Aiman.

"Huek!" Aiman membekap mulut, lalu berlari ke wastafel dengan Syeira yang mengekor.

"Mas Aiman kenapa?" tanya Syeira khawatir. Sementara Aiman terus memuntahkan isi perut. "Mas Aiman salah makan apa, sih?"

Tubuh Aiman tiba-tiba dibanjiri keringat dingin. Aiman merasa lemas.

"Aku buatkan Mas bubur aja, yah?” Syeira menawarkan.

Aiman segera menahan lengan Syeira. "Tak perlu. Aku hanya ingin makan mangga muda."

"Hah?"

Bab terkait

  • Kekhilafan Satu Malam   Bab 3: Menutupi Kebenaran

    Mata bulat Binar mendongak, memandang salah satu pohon yang berbuah lebat yang membuat dia menelan ludah berkali-kali. Binar mencoba melompat, menggapai ranting buah asam di atas sana. Entah mengapa, dia sangat teringin sekali buah asam yang di mana ketika memakannya akan membuat gigi terasa geli. "Tinggi sekali!" Binar mendengkus kasar, tubuh mungilnya kepayahan menggapai ranting pohon asam yang lumayan tinggi itu. "Tunggu, tunggu, tunggu!" Binar menghadang beberapa bocah kecil laki-laki yang baru saja pulang bermain bola di lapangan. "Ada apa, Kak?" tanya salah satunya. "Emm, minta tolong ambilin Kakak buah asamnya, donk." Pupil mata Binar membesar, menatap anak-anak kecil itu dan buah asam di atas sana. Memandanginya saling bergantian. "Siap, Kak Binar Cantik!" Mereka antusias menjawab sambil menjajarkan jemari tangannya di kening. Detik berikutnya, mereka sontak saling naik di pohon asam tersebut. Bahkan terlihat saling berlomba, siapa yang lebih cepat mengambilkan buah asamn

  • Kekhilafan Satu Malam   Bab 4: Wanita Hina

    Plak! "Dasar anak tidak tau malu! Kenapa kamu sampai melakukan hal sehina ini?!" Sebuah tamparan keras mendarat di pipi mulus Binar. Membuat wanita berparas ayu itu tersungkur ke lantai. Bibir ranumnya mengeluarkan darah di bagian sudut. Binar hanya menunduk malu, menerima amarah dari orang tua yang dicintainya. Sadar akan kesalahan yang telah diperbuatnya beberapa bulan yang lalu. Pagi tadi, Binar yang sedang membantu sang ibu membuat sarapan, tiba-tiba kepalanya berputar dan terasa berat. Dia langsung kehilangan keseimbangan, pingsan. Warsih yang kembali dari kios, merasa panik melihat Binar yang telah tergeletak di lantai dapur. Dia segera meminta tolong pada tetangga, membawa putri sulungnya itu ke puskesmas, takut sampai putrinya terkena penyakit berbahaya. Pasalnya, sang putri sedari kecil tidak pernah pingsan walau bekerja seharian di bawah terik pekik matahari. "Selamat yah, sebentar lagi Ibu akan menjadi seorang nenek. Usia kandungan putri Ibu sudah dua bulan lebih." Ucap

  • Kekhilafan Satu Malam   Bab 5: Terlunta-lunta

    Sudah berhari-hari Binar terlunta-lunta di jalanan. Kadang makan, kadang tidak. Tidur sembarangan, tak ada tempat untuk singgah. Malam ini, mengingatkan Binar pada malam dia bertemu dengan pria berparas kaukasoid yang awalnya dia pikir seorang pahlawan itu. Namun, dengan teganya sang pria beralis tebal tersebut merenggut mahkota yang Binar jaga selama ini. Angin kencang berlalu lalang, menerbangkan daun-daun kering yang ada di jalanan, menemani langkah Binar yang tak tentu arah. Mata bulat itu telah lelah menitikkan air mata. Bibirnya berkedut, meratapi nasib yang sedang menimpanya. Pandangan Binar mengedar ke sekeliling, memandang ruko-ruko yang berjajar di pinggir jalan juga beberapa kedai. Dia mengusap perutnya yang masih rata. Di balik baju berwarna hijau kumuh itu, terdengar suara bergemuruh lirih. Binar kelaparan. Langkahnya dibawa menuju ke kedai nasi goreng. Air ludah ditelan Binar berkali-kali ketika melihat si koki mengaduk-aduk nasi yang berwarna kuning kecoklatan dengan

  • Kekhilafan Satu Malam   Bab 6: Malaikat Penolong

    "Ha-haus ....""Mas Aiman nggak perlu menjemputku. Aku akan segera pulang. Ah, sudah dulu yah, Mas." Begitu mendengar suara lirih dari Binar yang meminta air minum, Syeira langsung menghentikan panggilan dengan suaminya. Membuat Aiman di ujung sambungan telepon sana, berdecak. Mau menjemput istrinya, namun tidak tahu istrinya berada di rumah sakit mana. Syeira segera mendekat pada Binar yang memakai baju biru rumah sakit. Wanita yang terbaring di ranjang rumah sakit itu, tampak lemah dengan sorot mata kuyu dan bibir kering. "Kamu mau minum?" tanya Syeira lembut. Binar hanya mengangguk lemah menatap wajah sejuk di hadapannya. Dalam hati dia sangat bersyukur dipertemukan malaikat penolong seperti wanita di hadapannya itu. Syeira menaikan posisi ranjang Binar di bagian kepala, lantas membantu wanita itu untuk minum. Binar pun langsung menerima bantuan tersebut dengan lelehan air mata, merasa terharu. Berkat bantuan Syeira, tenggorokannya yang telah kering bagai di padang pasir, kini

  • Kekhilafan Satu Malam   Bab 7: Tempat Tinggal Baru

    Waktu sudah menunjukkan pukul 22.45, saat mobil yang dikendarai Syeira memasuki pekarangan rumah yang terdapat air mancur dengan patung dua angsa berciuman di tengah-tengahnya. Sebelumnya, kedua wanita itu mampir dulu untuk makan malam, maka dari itu agak larut malam sampai ke rumahnya. Mata Binar sedikit jelalatan melihat-lihat keindahan pekarangan halaman rumah Syeira, ada taman di samping kiri sana, juga gazebo yang terbuat dari semen dan dicat putih tulang. "Ayo keluar!" ajak Syeira setelah membuka pintu. Wanita dengan dress selutut itu, mendahului naik anak tangga setinggi setengah meter agar mencapai teras rumah bergaya Eropa itu. Dengan rasa sungkan, Binar akhirnya keluar dari mobil. Sekali lagi, mata bulat itu mengedarkan pandangan ke sekitar. Tatapan matanya bertemu dengan security yang tadinya membukakan pintu untuk mobil Syeira. Binar tersenyum hormat pada pria yang lebih tua tersebut, tetapi sang pria seumuran ayahnya itu hanya memasang raut

  • Kekhilafan Satu Malam   Bab 8: ART Pengganggu

    Mendengar ketukan pintu kamar, seketika tawa Syeira dan Aiman terhenti. Aiman memasang raut bingung, siapa yang beraninya mengetuk pintu kamar mereka sepagi ini. Sementara Syeira langsung membungkus tubuhnya dengan handuk kimono, tahu siapa yang memanggilnya tersebut. "Siapa?" Aiman bertanya datar. "ART baru, Mas. Sebentar yah, siapa tau saja dia butuh sesuatu yang penting." Syeira melangkah keluar kamar mandi. Meninggalkan Aiman yang berdecak kesal, tak suka kesenangannya dengan Syeira terganggu, apalagi hanya diganggu seorang ART. Syeira membuka pintu bercat putih dengan ukiran rumit tersebut. Di luar pintu, Binar berdiri sambil menunduk, meremas jari-jari tangannya. Mendengar pintu kamar sang majikan terbuka, dia lantas mendongak. "Maaf, mengganggu pagi-pagi, Kak. Aku hanya ingin mengatakan sarapannya sudah siap. Takut keburu dingin." Binar langsung berucap pada intinya. Syeira melongo untuk beberapa saat. "Sepagi ini?"

  • Kekhilafan Satu Malam   Bab 9: Ingin Pergi

    Sontak saja baik Binar maupun Aiman sama-sama berubah pucat pasi. Aiman membeku, jantungnya berdentum keras dengan tatapan menghujam pada Binar. Sementara mata bulat Binar langsung berkaca-kaca, bibirnya bergetar. Dia mencengkeram bahu kursi dengan dada yang naik turun dengan berat. Bayangan memori kehangatan di malam penuh badai yang dingin itu terlintas di pelupuk mata keduanya, seolah-olah sedang menonton tayangan bioskop. Binar beringsut mundur dengan tungkai yang terasa lemas. Pandangannya pun tiba-tiba mengabur. "Binar!" Syeira panik melihat Binar pingsan. Langsung saja dia menepuk-nepuk pipi wanita yang telah terbaring di lantai itu. Sementara Aiman masih berusaha mengendalikan dirinya sendiri. Rasa syok melihat wanita yang pernah menghabiskan malam berdua dengannya itu hadir di depan mata. "Mas!" seru Syeira membuat Aiman terlonjak kaget. "Ayo, tolong angkat dia, bawa ke kamar!""A-apa?" Mata Aiman mengerjap beberapa kali

  • Kekhilafan Satu Malam   Bab 10: Susan Adela

    Binar tak ingin bertemu lagi dengan pria itu. Binar tak ingin menganggu kehidupan rumah tangga malaikat penolongnya itu. Binar cukup tahu diri, kejadian di malam penuh badai itu, bukan murni kesalahan Aiman saja. Binar juga ikut andil dalam kekhilafan di malam itu. Binar terlalu terbuai dalam kehangatan yang Aiman ciptakan di malam penuh badai yang dingin itu. Andai Binar menolak dan melakukan perlawanan, pasti hal ini semua tidak akan pernah terjadi. Baru saja Binar menjauh dua langkah dari ranjang, tungkainya kembali lemas. Dia memegang kepalanya yang agak pening. Segera Syeira menahan lengan Binar, takut dia terjatuh lagi. "Kamu mau ke mana?" Syeira berucap cemas. "Kondisi kamu belum memungkinkan untuk pergi jauh lagi dari sini? Emang kamu punya tempat tinggal?"Pertanyaan Syeira hanya ditanggapi bulir-bulir bening yang berjatuhan deras dari mata Binar. Bagaimana harus menjelaskan pada Syeira, bahwa dia tidak mau tinggal di rumah itu sebab s

Bab terbaru

  • Kekhilafan Satu Malam   Bab 171: Pelecehan Abimanyu

    Malam kian larut, ditemani gerimis serta angin yang kencang. Abimanyu memanahkan tatapan pada rintik-rintik hujan yang menetes. Pikirannya tenggelam, entah ke mana. Beberapa kali dia mendengar sang ibu mengetuk pintu kamarnya, meminta dia agar keluar makan malam. Tapi Abimanyu memilih bungkam. Entahlah, rasanya Abimanyu belum bisa menerima keadaan jika Chelsi adalah adiknya. Rasanya, Abimanyu ingin meminta pada ibunya agar membuang saja gadis itu. Jujur, Abimanyu kurang menyukai kehadiran Chelsi. Bahkan sangat! Sebab kasih sayang ayah dan ibunya mulai terbagi pada gadis itu. Terlebih, Abimanyu menyimpan perasaan pada Chelsi. "Bagaimana caranya membuang perasaan bodoh ini?!"Terdengar bunyi mengkriuk lapar dari perut sang pria. Abimanyu memutuskan untuk turun ke lantai bawah. Melewati kamar yang dalamnya bernuansa warna pink itu, Abimanyu terhenti sekejap. Terus jalan lagi. Hasratnya ingin masuk ke dalam sebenarnya. Rum

  • Kekhilafan Satu Malam   Bab 170: Rasa yang Tersesat

    Sudah berhari-hari kini Chelsi tinggal di kediaman Adipati. Dia mulai mengakrabkan diri dengan semua hal yang ada di rumah besar itu. Baik dengan kedua orang tuanya, para ART, peraturan, ruangan, aktivitas, bahkan perabotan. Hanya satu hal yang belum Chelsi akrabkan. Abimanyu. Semenjak Chelsi menginjakan kaki di rumah Adipati sebagai putri kandung Affandi dan Binar, keberadaan sang abang tersebut seperti hilang di telan bumi. Abimanyu tak pernah pulang ke rumah, hampir seminggu malah sekarang. Binar khawatir tentang keberadaan sang putra. Ditelepon pun, ponsel pria itu tak aktif. Hal tersebut makin membuat hati Binar tak tenteram. "Iya, Bang Abi ke kantor beberapa hari yang lalu. Hanya sebentar, karena dia harus keluar negeri mengurusi tender di sana." Penjelasan Angkasa lewat telepon sedikit membuat Binar mengembuskan napas lega. Tapi masa sesibuk itu Abimanyu, sampai tak punya waktu sedikit pun buat bicara dengan ibunya. Binar memilih mengirimkan

  • Kekhilafan Satu Malam   Bab 169: Keluarga Baru

    "Chelsi." Gadis itu sedikit tersentak ketika kedua bahunya dipegang oleh Syeira."Ah, iya. Kenapa?" Chelsi menatap Syeira dengan sorot kebingungan. "Ayo, masuk." Syeira merangkul gadis manis itu. "Saya nggak nyangka, ternyata kamu putrinya Binar dan Affandi. Kamu tidak pernah tau, seterpukul apa dulu Binar saat bayinya dinyatakan meninggal di ruang inkubator."Chelsi tertegun mendengar hal tersebut. Dia menatap Binar yang sejak tadi menatapnya dengan mata basah. Terasa sakit hati gadis itu melihat wajah Binar yang terus-terusan meneteskan air mata itu. Lantas pandangannya mengarah ke Affandi. Petugas medis itu juga tampak basah matanya, dengan wajah memerah, berusaha menahan tangis. Apakah benar, kedua orang tersebut adalah orang tuanya? Chelsi bahkan tak berani bermimpi untuk hal itu. "Sini." Affandi meraih lengan halus Chelsi, mengajaknya agar lebih menempel padanya. Telapak tangannya, Affandi letakkan di dada sendiri seray

  • Kekhilafan Satu Malam   Bab 168: Putriku!

    Serempak mata orang-orang di dalam ruangan tersebut membulat sempurna. Terlebih Vena, tubuh wanita itu menegang dengan bulir-bulir yang mulai mencuat di pelipis. Tungkainya melemas. Perlahan, dia memutar kepalanya, melihat sang putri yang masih dicekal erat oleh petugas medis kesehatan itu. Sementara Chelsi hanya menatap Affandi dengan tatapan syok. Mana mungkin? Tapi benarkah? Pikiran dan perasaan gadis itu campur aduk. Lalu dia menatap sang ibu--Vena. Mata Chelsi berkaca-kaca, melihat wajah memucat ibunya. Apakah mungkin yang dikatakan sang dokter benarkah nyatanya? Dia ...."Lepaskan putriku, Venuska!" Kembali Affandi bersuara tegas, menatap tajam pada Vena. Jelas hal tersebut membuat nyali wanita itu menciut. Tapi tidak, Chelsi tetap putrinya!"Tidak! Dia anakku! Dia putriku. Hanya putriku!" Vena menarik kembali Chelsi, agak kasar. Namun, Affandi tetap menahan."Sakit," r

  • Kekhilafan Satu Malam   Bab 167: Menjenguk Binar

    Akhirnya, Abimanyu, Chelsi, juga Angaksa pergi ke rumah sakit. Abimanyu dan Chelsi semobil? Tentu saja tidak. Gadis itu semobil dengan calon suaminya. Membiarkan dada Abimanyu terbakar di mobil lainnya sana.Abimanyu memilih melajukan kecepatan mobilnya di atas rata-rata. Pergi entah ke mana. Hendak mendinginkan dulu perasaannya yang memanas.**"Saya di sini saja, Bu. Nggak usah masuk ke dalam." Seorang wanita berusia senja itu, tampak sungkan ketika lengannya ditarik oleh Syeira masuk ke ruang rawat Binar. Lebih tepatnya, dia takut masuk ke dalam. Takut bertemu dengan si petugas medis yang dulunya pernah menjadi mantannya itu.Tadi, di saat mereka kembali bertemu demi membahas tentang pernikahan Angkasa dan Chelsi, tiba-tiba Affandi menelepon, memberitahukan berita gembira. Jika Nona kesayangannya telah sadar dari koma. Jelas hal tersebut juga menjadi s

  • Kekhilafan Satu Malam   Bab 166: Toko Perhiasan

    Biasanya, jika Abimanyu dulu terpaksa harus mengantar Friska, maka gadis itu akan berceloteh panjang lebar hingga membuat kuping Abimanyu terasa panas. Bukan hanya itu, Friska juga suka sekali menempel pada lengan berotot Abimanyu. Hingga membuat sang pria gerah juga geram setengah mati.Namun sekarang, hampir lima belas menit perjalanan pun, gadis berkuncir kuda itu belum juga membuka suara. Dia hanya menoleh ke arah luar jendela. Memerhatikan gedung-gedung yang berpapasan dengan mereka. Diamnya Friska malah membuat perasaan Abimanyu tak enak. Abimanyu memang lebih menyukai suasa yang hening ketimbang ribut, tetapi diamnya Friska malah membuat pria itu resah.'Kau terlihat seperti jalang yang haus belaian.' Lagi, kalimat itu mengusik pikiran Abimanyu. Dia tak ingat betul kalimat apa saja yang meluncur dari mulutnya saat emosi waktu itu. Tapi yang Abimanyu tahu, kemungkinan salah satu ucapannya benar-b

  • Kekhilafan Satu Malam   Bab 165: Binar Siuman

    Perlahan-lahan, kelopak mata yang tampak lemah itu berkedip pelan. Ingin membuka mata, tetapi silau mentari begitu menusuk. Kembali dia menutup mata erat. Tangannya terasa menyentuh sebuah permukaan berbulu lebat. Sebuah rambut. Diusapnya rambut tersebut dengan pelan. Aksinya tersebut malah mengganggu tidur si empu rambut. Abimanyu menggeliat, dan gesekan kepalanya pada samping perut sang ibu, membuat si empu perut melenguh. Melotot langsung kedua bola mata itu."Mah?" Abimanyu bangkit berdiri, memanggil ayahnya yang tidur di samping sofa di belakangnya."Tangan Mama gerak lagi." Hati Abimanyu berdesir hangat. Sangat bahagia melihat wajah ibunya yang terus menunjukkan respon aktif."Nona?" Affandi mengusap pipi Binar, tampak berkaca-kaca mata petugas medis itu melihat bibir Binar yang bergerak-gerak."A--bi ..., bagai-mana kead---"

  • Kekhilafan Satu Malam   Bab 164: Kalahkan Abimanyu Dulu

    Dua sejoli yang saling membulat matanya itu sama-sama menatap tanpa berkedip. Abimanyu masih tetap menahan pinggang Chelsi, sedangkan gadis itu meringis ketakutan dengan debaran jantung yang menggila mendengar suara panggilan di luar pintu. Itu suara Syeira. Bagaimana jika ibunya Angkasa tersebut melihat dirinya dan Abimanyu dalam satu kamar, dipeluk sang pria pula."Pak, saya mohon, lepaskan saya," cicit gadis itu menatap wajah Abimanyu di samping kiri kepalanya."Kenapa, hmm?" Abimanyu malah mendekatkan wajahnya di bahu Chelsi, membuat debaran jantung gadis itu kian jadi. Serasa hampir meledak saja jantungnya."Chelsi, kamu masih di dalam 'kan?" Syeira kembali mengetuk pintu."Pak, saya mohon." Chelsi meringis, menjauhkan wajahnya dari rahang Abimanyu yang kasar karena bulu-bulu tipis yang memenuhi pipinya."Aku mau mele

  • Kekhilafan Satu Malam    Bab 163: Perasaan Abimanyu

    Melihat Abimanyu yang bergerak mendekat setelah menutup pintu, Chelsi menatap waspada. Terlebih dirinya yang hanya mengenakan handuk, tumpahan air minum tadi lumayan membuat gaunnya basah parah. Syeira menyarankan agar Chelsi mengganti pakaian basah tersebut dengan gaunnya."Pak, keluar dari sini!" Chelsi gegas menarik selimut menutupi tubuhnya.Abimanyu terus mengayunkan langkah dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Chelsi mundur perlahan dengan tatapan yang tak terlepas dari mata elang itu. Abimanyu terus mendekat, mengikis jarak, terus, dan terus. Sampai membuat gadis yang membalut tubuhnya dengan selimut itu terpojok di dinding.Chelsi kelabakan. Mengerjap beberapa saat, dan menoleh ke belakang. Lalu kembali mendongak, menatap mata elang itu yang berada tepat di depan keningnya. Dia hendak kabur, tetapi Abimanyu sigap menekan dinding sebelah kiri gadis itu. Chelsi henda

DMCA.com Protection Status