Sudah berhari-hari Binar terlunta-lunta di jalanan. Kadang makan, kadang tidak. Tidur sembarangan, tak ada tempat untuk singgah.
Malam ini, mengingatkan Binar pada malam dia bertemu dengan pria berparas kaukasoid yang awalnya dia pikir seorang pahlawan itu. Namun, dengan teganya sang pria beralis tebal tersebut merenggut mahkota yang Binar jaga selama ini. Angin kencang berlalu lalang, menerbangkan daun-daun kering yang ada di jalanan, menemani langkah Binar yang tak tentu arah. Mata bulat itu telah lelah menitikkan air mata. Bibirnya berkedut, meratapi nasib yang sedang menimpanya.Pandangan Binar mengedar ke sekeliling, memandang ruko-ruko yang berjajar di pinggir jalan juga beberapa kedai. Dia mengusap perutnya yang masih rata. Di balik baju berwarna hijau kumuh itu, terdengar suara bergemuruh lirih. Binar kelaparan. Langkahnya dibawa menuju ke kedai nasi goreng. Air ludah ditelan Binar berkali-kali ketika melihat si koki mengaduk-aduk nasi yang berwarna kuning kecoklatan dengan taburan lauk itu."Heh, ngapain kamu berdiri di sana terus? Minggir! Ngalangin orang yang mau beli saja!" Seorang pria yang cekatan mengaduk nasi goreng itu, membentak Binar. Membuat wanita itu terlonjak kaget."Maaf, Pak, apa saya bisa minta makan?" Mata bulat Binar penuh harap. Dia sudah sangat kelaparan. Hampir seharian ini, dia belum mengisi perutnya."Kamu pikir ini kedai amal apa? Kalau kamu minta gratis, nanti orang lain juga pada minta gratis. Terus, saya bisa dapat modal dari mana?" cerocos pria bertopi hitam itu."Nanti saya bantu cuci piring, Pak. Semua piringnya bakal saya cuciin, asal saya bisa makan malam ini." Binar menyatukan telapak tangannya. Memohon belas kasih. "Saya juga bisa membantu masak nasi gorengnya," lanjut Binar.Kasihan melihat penampilan Binar yang tampak kuyu dengan mata sembab, akhirnya penjual nasi goreng itu memberikan Binar sepiring nasi. Namun, hanya nasi putih dan segelas air mineral."Kalau mau nasi goreng sama teh, beli!" ujar bapak tersebut. "Udah untung saya kasi ini."Binar tersenyum getir sambil menerima makanan yang diberikan dengan setengah hati itu. Tanpa menunggu waktu lama, Binar melahap makanan hambar itu. Sesekali dia menyeka bulir bening yang tak mampu dibendung oleh mata bulatnya. Pikiran Binar kalut selama menyantap makanan itu, apa yang harus dia lakukan terhadap kehidupan di perutnya sekarang? Bagaimana dia merawat janin itu, sementara untuk merawat dirinya sendiri dia tak mampu."Buruan cuci sana piring-piring kotornya!" perintah si pria yang tadi memberikan nasi goreng pada Binar.Binar yang telah selesai makan langsung membawa piring dan gelas kotornya ke dapur. Di sana, dia harus menghela napas berat. "Banyak sekali," desahnya melihat piring dan perabotan dapur lainnya yang menggunung.Namun, biar bagaimanapun juga Binar mencuci semua perabotan kotor itu sesuai dengan kesepakatan. Dia tetap bersyukur, di langkahnya yang sudah sangat begitu jauh dari rumah dan tanpa membawa sepersen pun uang masih bisa makan untuk malam ini. Ya, malam ini. Entah dengan besok.Beberapa kali Binar mengusap keringat yang membanjiri kening dan pelipisnya. Lelah? Tentu saja. Tangannya kebas mencuci perabotan yang sedari tadi terus bertambah. Kakinya kesemutan berdiri di depan wastafel sejak tadi. Dia ingin pergi, tetapi piring-piring itu terus berdatangan. Dan dia diperintahkan untuk terus mencucinya. Binar yang malang."Sudah sana, menjauh dari kedaiku. Jangan pernah lagi kemari!" Pria pemilik kedai mengusir Binar setelah melihat dia memecahkan piring. "Dasar, wanita sial!" lanjutnya mengumpat."Maaf, Pak."Binar hanya mampu mengeluarkan air mata menghadapi kelakukan kejam dari orang-orang tak berhati itu. Dia melanjutkan langkah, pergi entah ke mana.Di depan teras sebuah ruko, Binar meringkuk memeluk diri sendiri di atas bentangan kardus usang. Menenggelamkan wajah di antara kedua lutut, menangis meratapi takdir yang menimpanya."Bapak, maafin Binar, Pak. Maafin Binar yang sudah membuat Bapak dan Ibu kecewa, maafkan Binar ...." Suara wanita berparas ayu itu sangat parau, mewakili kesakitan di lubuk hatinya.Lelah menangis, dia tertidur dengan sesenggukan sambil memeluk lengannya yang polos. Gerimis mulai turun, yang sesekali airnya membelai wajah Binar sebab tepisan dari sang angin. Binar mengigil.**Langit yang gelap serta udara yang dingin kini telah berganti cerah dengan ditemani hangatnya sang mentari. Menyinari tubuh yang masih meringkuk itu. Sesekali Binar menyebut-nyebut nama ayah dan ibunya. Berharap mereka akan datang membawanya pulang.Seorang pemilik ruko datang dengan tampang angkuh, dia melotot tajam pada Binar yang dianggapnya gelandangan."Bangun!" Sebuah air seember langsung diguyurkannya pada Binar. "Pergi dari sini! Jangan rusak pemandangan tokoku!"Binar tersentak kaget dengan kepala yang kesakitan, dia menatap nanar pada pemilik ruko sambil mengusap wajahnya yang basah kuyup. Detik berikutnya, dia mulai mengangkat tubuh, pergi dari ruko tersebut.Panas matahari kian terik, Binar bingung hendak melangkah ke mana, hendak mencari tempat tinggal ke mana. Dia terlunta-lunta."Maling, maling! Tolong, orang itu maling tas saya!"Seorang wanita ber-dress maroon berteriak sambil mengejar seorang pria yang memegang sebuah tas dengan warna yang sama dengan dress wanita tersebut. Beberapa orang di sekitar yang mendengar teriakkan wanita itu, langsung ikutan membantu mengejar malingnya.Kebetulan, langkah pencopet itu menuju ke arah Binar. Dengan sigap Binar menahan tas yang sedang dipegang oleh si maling. Saling baku tarik beberapa saat, sebelum sang copet mendorong tubuh lemah Binar hingga menabrak trotoar. Sikunya lecet parah. Na'as bagi si pencopet, selesai mendorong Binar, dia tak punya waktu lagi untuk kabur. Warga sudah berhasil mencengkramnya, lalu menghajar si pencopet. Lantas membawanya ke pihak yang berwajib."Terima kasih bapak-bapak," ucap wanita feminim itu. Lantas dia bersimpuh, memerhatikan Binar yang meringis kesakitan. "Astaga, lenganmu! Kau butuh perawatan," ujar wanita yang bernama Syeira tersebut.Binar menampakkan senyum getir memandang wanita cantik berwajah sejuk di hadapannya. Ternyata, masih ada orang baik yang rela mendekatinya, walaupun penampilan Binar sekarang yang basah tak lebihnya bagai tikus got."Aku tidak apa-apa," ungkapnya sungkan. Takut mengotori dress mewah Syeira."Ayo, kamu harus ikut aku. Kita harus obati luka-lukamu."Baru saja Syeira membantu memapah tubuh Binar yang tampak lemah, tubuh itu luruh dari genggaman Syeira. Binar pingsan sebab tak mampu menahan rasa sakit di tubuhnya. Selain menahan rasa sakit akibat lengannya yang lecet, tubuh Binar sedang drop parah. Dia kedinginan semalaman, hingga membuat dia diserang demam, dia juga kelaparan. Ditambah lagi dia sedang mengandung."Astaga, tolong! Tolong bantu saya angkat wanita ini ke mobil saya," pinta Syeira panik.Dia membawa Binar ke rumah sakit.**Sudah hampir seharian Syeira menemani Binar yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan selang infus di punggung tangan Binar. Wanita itu tidak memiliki apa pun selain kain yang membungkus tubuhnya. Tidak ada ponsel atau KTP yang bisa membuat Syeira menghubungi keluarga wanita yang telah menyelamatkan tasnya dari copet tersebut."Pasien kurang sehat, kandungannya lemah. Dia kekurangan nutrisi. Tolong dipastikan ibu dari si bayi memakan makanan yang bergizi agar janinnya kuat." Ucapan dokter yang memeriksa Binar terngiang-ngiang di pikiran Syeira."Kasihan, keadaan wanita itu pasti membuat janin yang dikandungnya juga tersiksa," gumam Syeira. Dia ingin pulang, tetapi tak tega harus meninggalkan wanita yang terbaring lemah itu sendirian.Drrrt!Ponsel Syeira berdering, dia mengalihkan pandangan pada benda pipih itu. Dia segera menjawab panggilan dari pria yang sangat dicintainya itu, yang beberapa hari ini komunikasi mereka sedikit menjauh, sebab gejala aneh yang menimpa suaminya seminggu belakangan ini."Sayang, kamu lagi di mana? Aku sejak tadi datang, tapi kamu tak ada di rumah." Aiman langsung saja mengomel."Masih ingat pulang kamu?" Syeira menyindir, sebab belakangan ini Aiman sering tidur di kantor."Kan sudah aku bilang, aku sibuk." Suara itu terdengar lemah.Syeira mengembuskan napas panjang. "Maaf, sebab aku nggak ada di rumah. Tadi siang saat belanja, aku dicopet. Dan seseorang yang menolongku, sekarang sedang dalam perawatan. Aku sedang menemaninya di rumah sakit, setidaknya sampai dia siuman.""Ok, kamu tunggu di sana. Aku akan menjemputmu.""Ha-haus ....""Mas Aiman nggak perlu menjemputku. Aku akan segera pulang. Ah, sudah dulu yah, Mas." Begitu mendengar suara lirih dari Binar yang meminta air minum, Syeira langsung menghentikan panggilan dengan suaminya. Membuat Aiman di ujung sambungan telepon sana, berdecak. Mau menjemput istrinya, namun tidak tahu istrinya berada di rumah sakit mana. Syeira segera mendekat pada Binar yang memakai baju biru rumah sakit. Wanita yang terbaring di ranjang rumah sakit itu, tampak lemah dengan sorot mata kuyu dan bibir kering. "Kamu mau minum?" tanya Syeira lembut. Binar hanya mengangguk lemah menatap wajah sejuk di hadapannya. Dalam hati dia sangat bersyukur dipertemukan malaikat penolong seperti wanita di hadapannya itu. Syeira menaikan posisi ranjang Binar di bagian kepala, lantas membantu wanita itu untuk minum. Binar pun langsung menerima bantuan tersebut dengan lelehan air mata, merasa terharu. Berkat bantuan Syeira, tenggorokannya yang telah kering bagai di padang pasir, kini
Waktu sudah menunjukkan pukul 22.45, saat mobil yang dikendarai Syeira memasuki pekarangan rumah yang terdapat air mancur dengan patung dua angsa berciuman di tengah-tengahnya. Sebelumnya, kedua wanita itu mampir dulu untuk makan malam, maka dari itu agak larut malam sampai ke rumahnya. Mata Binar sedikit jelalatan melihat-lihat keindahan pekarangan halaman rumah Syeira, ada taman di samping kiri sana, juga gazebo yang terbuat dari semen dan dicat putih tulang. "Ayo keluar!" ajak Syeira setelah membuka pintu. Wanita dengan dress selutut itu, mendahului naik anak tangga setinggi setengah meter agar mencapai teras rumah bergaya Eropa itu. Dengan rasa sungkan, Binar akhirnya keluar dari mobil. Sekali lagi, mata bulat itu mengedarkan pandangan ke sekitar. Tatapan matanya bertemu dengan security yang tadinya membukakan pintu untuk mobil Syeira. Binar tersenyum hormat pada pria yang lebih tua tersebut, tetapi sang pria seumuran ayahnya itu hanya memasang raut
Mendengar ketukan pintu kamar, seketika tawa Syeira dan Aiman terhenti. Aiman memasang raut bingung, siapa yang beraninya mengetuk pintu kamar mereka sepagi ini. Sementara Syeira langsung membungkus tubuhnya dengan handuk kimono, tahu siapa yang memanggilnya tersebut. "Siapa?" Aiman bertanya datar. "ART baru, Mas. Sebentar yah, siapa tau saja dia butuh sesuatu yang penting." Syeira melangkah keluar kamar mandi. Meninggalkan Aiman yang berdecak kesal, tak suka kesenangannya dengan Syeira terganggu, apalagi hanya diganggu seorang ART. Syeira membuka pintu bercat putih dengan ukiran rumit tersebut. Di luar pintu, Binar berdiri sambil menunduk, meremas jari-jari tangannya. Mendengar pintu kamar sang majikan terbuka, dia lantas mendongak. "Maaf, mengganggu pagi-pagi, Kak. Aku hanya ingin mengatakan sarapannya sudah siap. Takut keburu dingin." Binar langsung berucap pada intinya. Syeira melongo untuk beberapa saat. "Sepagi ini?"
Sontak saja baik Binar maupun Aiman sama-sama berubah pucat pasi. Aiman membeku, jantungnya berdentum keras dengan tatapan menghujam pada Binar. Sementara mata bulat Binar langsung berkaca-kaca, bibirnya bergetar. Dia mencengkeram bahu kursi dengan dada yang naik turun dengan berat. Bayangan memori kehangatan di malam penuh badai yang dingin itu terlintas di pelupuk mata keduanya, seolah-olah sedang menonton tayangan bioskop. Binar beringsut mundur dengan tungkai yang terasa lemas. Pandangannya pun tiba-tiba mengabur. "Binar!" Syeira panik melihat Binar pingsan. Langsung saja dia menepuk-nepuk pipi wanita yang telah terbaring di lantai itu. Sementara Aiman masih berusaha mengendalikan dirinya sendiri. Rasa syok melihat wanita yang pernah menghabiskan malam berdua dengannya itu hadir di depan mata. "Mas!" seru Syeira membuat Aiman terlonjak kaget. "Ayo, tolong angkat dia, bawa ke kamar!""A-apa?" Mata Aiman mengerjap beberapa kali
Binar tak ingin bertemu lagi dengan pria itu. Binar tak ingin menganggu kehidupan rumah tangga malaikat penolongnya itu. Binar cukup tahu diri, kejadian di malam penuh badai itu, bukan murni kesalahan Aiman saja. Binar juga ikut andil dalam kekhilafan di malam itu. Binar terlalu terbuai dalam kehangatan yang Aiman ciptakan di malam penuh badai yang dingin itu. Andai Binar menolak dan melakukan perlawanan, pasti hal ini semua tidak akan pernah terjadi. Baru saja Binar menjauh dua langkah dari ranjang, tungkainya kembali lemas. Dia memegang kepalanya yang agak pening. Segera Syeira menahan lengan Binar, takut dia terjatuh lagi. "Kamu mau ke mana?" Syeira berucap cemas. "Kondisi kamu belum memungkinkan untuk pergi jauh lagi dari sini? Emang kamu punya tempat tinggal?"Pertanyaan Syeira hanya ditanggapi bulir-bulir bening yang berjatuhan deras dari mata Binar. Bagaimana harus menjelaskan pada Syeira, bahwa dia tidak mau tinggal di rumah itu sebab s
Seharian Aiman jadi tak fokus kerjanya, rapat melamun, di ruangannya pun melamun. Hanya menatap layar yang selalu menampilkan kejadian di malam penuh badai itu, tayangan yang selalu muncul setiap kali dia melamun. Berusaha dia menimbun memori itu, tetapi setiap kali sindrom aneh yang dia alami, wajah kuyu Binar selalu muncul di hadapannya. "Arh, bisa gila lama-lama kalau begini!" Diraupnya kasar wajah mulus tanpa cambang maupun kumis tipis itu. Terdengar ketukan pintu yang membuat Aiman menyahut dengan malas. Lantas, masuklah seorang wanita dengan mengenakan dress biru tua seatas lutut. "Pak, karena rapat yang sedikit kacau tadi, kita berdua harus membahas harga-harga saham ini dulu." Sang asisten berucap. Perkataan wanita dengan rambut pendek itu, tak ditanggapi Aiman. Dia malah menatap lekat wanita yang memakai pakaian ketat tersebut, yang di mana dress-nya membuat lekuk tubuh wanita itu terlihat jelas dengan bagian leher yang rend
Mata yang selalu teduh itu mendongak, menatap tajam pada sang suami. Tak sadar, dia mencengkram lengan suaminya itu. Memang benar, wanita makhluk pencemburu orangnya. Sekarang ini, rasa panas menjalar di dada Syeira saat Aiman tak kunjung memberikan jawaban yang dia nantikan. Aiman hanya menatap manik hitam milik Syeira, mencoba menyelam di kedalaman manik pekat itu, mencoba mnyembunyikan semua kesalahannya. "Apa kamu berpikir aku tega mengkhianatimu?" Aiman bertanya balik dengan raut datar. Syeira menatap kedua bola mata Aiman secara bergantian beberapa saat, lalu kembali menelusupkan wajahnya di dada sang suami. "Aku percaya padamu, Mas. Sangat percaya."Jantung Aiman serasa dipukul, dadanya memanas. Sebajingan itu dia sekarang. Bukan hanya mengkhianati, tetapi juga pecundang, dan pembohong yang tak berani mengakui perbuatannya. **Selesai subuh, Binar sudah mulai bekerja. Memasak makanan juga beberapa lauk. Walapun Syeira mengatakan tak perlu membuat makanan berat seperti kemar
Aiman menatap mata bulat Binar yang melebar sempurna, dia tersihir dengan bulatan mata indah itu, membuat Aiman tenggelam beberapa saat di dalamnya. Sementara Binar melihat tatapan sayu Aiman seperti hendak menerkamnya. Binar meringis. Hendak bangun, tetapi tangannya terjepit di bawah tubuh Aiman. Seketika bulir-bulir dingin mulai mencuat di pelipis Binar. Syeira yang sempat terbengong melihat adegan keduanya yang beberapa saat saling menatap, membuat Syeira sedikit merasa aneh. Ada sedikit rasa panas yang menjalar di dadanya, terlebih lagi ketika ucapan ibunya melintas di kepala. Namun detik berikutnya, Syeira segera mengempaskan pikiran buruk tersebut. Syeira sadar, alasan Binar tak kunjung bangkit dari ranjang, sebab tangannya terjepit oleh tubuh suaminya. "Astaga ... Mas, kamu apa-apaan sih? Tangan Binar kamu jepit!" Syeira membalikkan tubuh Aiman agar terlentang. Binar buru-buru menarik lengan mulusnya. Dia bangkit berdiri. "Maaf, Kak," ucap Binar berlalu keluar kamar cepat-cep
Malam kian larut, ditemani gerimis serta angin yang kencang. Abimanyu memanahkan tatapan pada rintik-rintik hujan yang menetes. Pikirannya tenggelam, entah ke mana. Beberapa kali dia mendengar sang ibu mengetuk pintu kamarnya, meminta dia agar keluar makan malam. Tapi Abimanyu memilih bungkam. Entahlah, rasanya Abimanyu belum bisa menerima keadaan jika Chelsi adalah adiknya. Rasanya, Abimanyu ingin meminta pada ibunya agar membuang saja gadis itu. Jujur, Abimanyu kurang menyukai kehadiran Chelsi. Bahkan sangat! Sebab kasih sayang ayah dan ibunya mulai terbagi pada gadis itu. Terlebih, Abimanyu menyimpan perasaan pada Chelsi. "Bagaimana caranya membuang perasaan bodoh ini?!"Terdengar bunyi mengkriuk lapar dari perut sang pria. Abimanyu memutuskan untuk turun ke lantai bawah. Melewati kamar yang dalamnya bernuansa warna pink itu, Abimanyu terhenti sekejap. Terus jalan lagi. Hasratnya ingin masuk ke dalam sebenarnya. Rum
Sudah berhari-hari kini Chelsi tinggal di kediaman Adipati. Dia mulai mengakrabkan diri dengan semua hal yang ada di rumah besar itu. Baik dengan kedua orang tuanya, para ART, peraturan, ruangan, aktivitas, bahkan perabotan. Hanya satu hal yang belum Chelsi akrabkan. Abimanyu. Semenjak Chelsi menginjakan kaki di rumah Adipati sebagai putri kandung Affandi dan Binar, keberadaan sang abang tersebut seperti hilang di telan bumi. Abimanyu tak pernah pulang ke rumah, hampir seminggu malah sekarang. Binar khawatir tentang keberadaan sang putra. Ditelepon pun, ponsel pria itu tak aktif. Hal tersebut makin membuat hati Binar tak tenteram. "Iya, Bang Abi ke kantor beberapa hari yang lalu. Hanya sebentar, karena dia harus keluar negeri mengurusi tender di sana." Penjelasan Angkasa lewat telepon sedikit membuat Binar mengembuskan napas lega. Tapi masa sesibuk itu Abimanyu, sampai tak punya waktu sedikit pun buat bicara dengan ibunya. Binar memilih mengirimkan
"Chelsi." Gadis itu sedikit tersentak ketika kedua bahunya dipegang oleh Syeira."Ah, iya. Kenapa?" Chelsi menatap Syeira dengan sorot kebingungan. "Ayo, masuk." Syeira merangkul gadis manis itu. "Saya nggak nyangka, ternyata kamu putrinya Binar dan Affandi. Kamu tidak pernah tau, seterpukul apa dulu Binar saat bayinya dinyatakan meninggal di ruang inkubator."Chelsi tertegun mendengar hal tersebut. Dia menatap Binar yang sejak tadi menatapnya dengan mata basah. Terasa sakit hati gadis itu melihat wajah Binar yang terus-terusan meneteskan air mata itu. Lantas pandangannya mengarah ke Affandi. Petugas medis itu juga tampak basah matanya, dengan wajah memerah, berusaha menahan tangis. Apakah benar, kedua orang tersebut adalah orang tuanya? Chelsi bahkan tak berani bermimpi untuk hal itu. "Sini." Affandi meraih lengan halus Chelsi, mengajaknya agar lebih menempel padanya. Telapak tangannya, Affandi letakkan di dada sendiri seray
Serempak mata orang-orang di dalam ruangan tersebut membulat sempurna. Terlebih Vena, tubuh wanita itu menegang dengan bulir-bulir yang mulai mencuat di pelipis. Tungkainya melemas. Perlahan, dia memutar kepalanya, melihat sang putri yang masih dicekal erat oleh petugas medis kesehatan itu. Sementara Chelsi hanya menatap Affandi dengan tatapan syok. Mana mungkin? Tapi benarkah? Pikiran dan perasaan gadis itu campur aduk. Lalu dia menatap sang ibu--Vena. Mata Chelsi berkaca-kaca, melihat wajah memucat ibunya. Apakah mungkin yang dikatakan sang dokter benarkah nyatanya? Dia ...."Lepaskan putriku, Venuska!" Kembali Affandi bersuara tegas, menatap tajam pada Vena. Jelas hal tersebut membuat nyali wanita itu menciut. Tapi tidak, Chelsi tetap putrinya!"Tidak! Dia anakku! Dia putriku. Hanya putriku!" Vena menarik kembali Chelsi, agak kasar. Namun, Affandi tetap menahan."Sakit," r
Akhirnya, Abimanyu, Chelsi, juga Angaksa pergi ke rumah sakit. Abimanyu dan Chelsi semobil? Tentu saja tidak. Gadis itu semobil dengan calon suaminya. Membiarkan dada Abimanyu terbakar di mobil lainnya sana.Abimanyu memilih melajukan kecepatan mobilnya di atas rata-rata. Pergi entah ke mana. Hendak mendinginkan dulu perasaannya yang memanas.**"Saya di sini saja, Bu. Nggak usah masuk ke dalam." Seorang wanita berusia senja itu, tampak sungkan ketika lengannya ditarik oleh Syeira masuk ke ruang rawat Binar. Lebih tepatnya, dia takut masuk ke dalam. Takut bertemu dengan si petugas medis yang dulunya pernah menjadi mantannya itu.Tadi, di saat mereka kembali bertemu demi membahas tentang pernikahan Angkasa dan Chelsi, tiba-tiba Affandi menelepon, memberitahukan berita gembira. Jika Nona kesayangannya telah sadar dari koma. Jelas hal tersebut juga menjadi s
Biasanya, jika Abimanyu dulu terpaksa harus mengantar Friska, maka gadis itu akan berceloteh panjang lebar hingga membuat kuping Abimanyu terasa panas. Bukan hanya itu, Friska juga suka sekali menempel pada lengan berotot Abimanyu. Hingga membuat sang pria gerah juga geram setengah mati.Namun sekarang, hampir lima belas menit perjalanan pun, gadis berkuncir kuda itu belum juga membuka suara. Dia hanya menoleh ke arah luar jendela. Memerhatikan gedung-gedung yang berpapasan dengan mereka. Diamnya Friska malah membuat perasaan Abimanyu tak enak. Abimanyu memang lebih menyukai suasa yang hening ketimbang ribut, tetapi diamnya Friska malah membuat pria itu resah.'Kau terlihat seperti jalang yang haus belaian.' Lagi, kalimat itu mengusik pikiran Abimanyu. Dia tak ingat betul kalimat apa saja yang meluncur dari mulutnya saat emosi waktu itu. Tapi yang Abimanyu tahu, kemungkinan salah satu ucapannya benar-b
Perlahan-lahan, kelopak mata yang tampak lemah itu berkedip pelan. Ingin membuka mata, tetapi silau mentari begitu menusuk. Kembali dia menutup mata erat. Tangannya terasa menyentuh sebuah permukaan berbulu lebat. Sebuah rambut. Diusapnya rambut tersebut dengan pelan. Aksinya tersebut malah mengganggu tidur si empu rambut. Abimanyu menggeliat, dan gesekan kepalanya pada samping perut sang ibu, membuat si empu perut melenguh. Melotot langsung kedua bola mata itu."Mah?" Abimanyu bangkit berdiri, memanggil ayahnya yang tidur di samping sofa di belakangnya."Tangan Mama gerak lagi." Hati Abimanyu berdesir hangat. Sangat bahagia melihat wajah ibunya yang terus menunjukkan respon aktif."Nona?" Affandi mengusap pipi Binar, tampak berkaca-kaca mata petugas medis itu melihat bibir Binar yang bergerak-gerak."A--bi ..., bagai-mana kead---"
Dua sejoli yang saling membulat matanya itu sama-sama menatap tanpa berkedip. Abimanyu masih tetap menahan pinggang Chelsi, sedangkan gadis itu meringis ketakutan dengan debaran jantung yang menggila mendengar suara panggilan di luar pintu. Itu suara Syeira. Bagaimana jika ibunya Angkasa tersebut melihat dirinya dan Abimanyu dalam satu kamar, dipeluk sang pria pula."Pak, saya mohon, lepaskan saya," cicit gadis itu menatap wajah Abimanyu di samping kiri kepalanya."Kenapa, hmm?" Abimanyu malah mendekatkan wajahnya di bahu Chelsi, membuat debaran jantung gadis itu kian jadi. Serasa hampir meledak saja jantungnya."Chelsi, kamu masih di dalam 'kan?" Syeira kembali mengetuk pintu."Pak, saya mohon." Chelsi meringis, menjauhkan wajahnya dari rahang Abimanyu yang kasar karena bulu-bulu tipis yang memenuhi pipinya."Aku mau mele
Melihat Abimanyu yang bergerak mendekat setelah menutup pintu, Chelsi menatap waspada. Terlebih dirinya yang hanya mengenakan handuk, tumpahan air minum tadi lumayan membuat gaunnya basah parah. Syeira menyarankan agar Chelsi mengganti pakaian basah tersebut dengan gaunnya."Pak, keluar dari sini!" Chelsi gegas menarik selimut menutupi tubuhnya.Abimanyu terus mengayunkan langkah dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Chelsi mundur perlahan dengan tatapan yang tak terlepas dari mata elang itu. Abimanyu terus mendekat, mengikis jarak, terus, dan terus. Sampai membuat gadis yang membalut tubuhnya dengan selimut itu terpojok di dinding.Chelsi kelabakan. Mengerjap beberapa saat, dan menoleh ke belakang. Lalu kembali mendongak, menatap mata elang itu yang berada tepat di depan keningnya. Dia hendak kabur, tetapi Abimanyu sigap menekan dinding sebelah kiri gadis itu. Chelsi henda