Plak!
"Dasar anak tidak tau malu! Kenapa kamu sampai melakukan hal sehina ini?!"Sebuah tamparan keras mendarat di pipi mulus Binar. Membuat wanita berparas ayu itu tersungkur ke lantai. Bibir ranumnya mengeluarkan darah di bagian sudut. Binar hanya menunduk malu, menerima amarah dari orang tua yang dicintainya. Sadar akan kesalahan yang telah diperbuatnya beberapa bulan yang lalu.Pagi tadi, Binar yang sedang membantu sang ibu membuat sarapan, tiba-tiba kepalanya berputar dan terasa berat. Dia langsung kehilangan keseimbangan, pingsan. Warsih yang kembali dari kios, merasa panik melihat Binar yang telah tergeletak di lantai dapur. Dia segera meminta tolong pada tetangga, membawa putri sulungnya itu ke puskesmas, takut sampai putrinya terkena penyakit berbahaya. Pasalnya, sang putri sedari kecil tidak pernah pingsan walau bekerja seharian di bawah terik pekik matahari."Selamat yah, sebentar lagi Ibu akan menjadi seorang nenek. Usia kandungan putri Ibu sudah dua bulan lebih." Ucapan perawat wanita itu bagai belati yang menghunus jantung Warsih. Napasnya sesak, membayangkan sang putri telah berbuat zina.Binar yang telah sadar dari pingsan, hanya menunduk sambil meremas jemari tangannya. Dia bahkan tak berani sekadar menatap sang ibu. Warsih langsung meninggalkan puskesmas dengan wajah kelam, air mata wanita tua itu merembes tak berhenti."Ibu, tunggu!" Binar mengejar ibunya.Sesampainya di rumah, Warsih langsung memuntahkan semua emosi yang dipendamnya selama di puskesmas tadi. Dia tidak ingin membuat keributan di sana."Bilang, siapa ayah dari bayi yang kamu kandung itu? Siapa? Jawab, Binar?!" Warsih lagi-lagi menampar putri sulungnya. Binar yang sangat dia percayai, Binar yang selalu dia banggakan. Tetapi putrinya itu kini malah melempar kotoran di wajahnya. Dia tidak pernah menyangka, jika kecurigaannya beberapa hari ini ternyata benar.Adiknya Binar yang bernama Ningsih sontak keluar kamar kala mendengar kegaduhan di ruang tamu. Bukan Ningsih saja, para tetangga di gang itu juga langsung menguping kegaduhan yang sedang terjadi di rumah sederhana Santo---ayah Binar."Bi-Binar nggak tau, Bu." Tergugu, Binar berucap. Dia makin menunduk dalam. Merasa sangat malu.Warsih mencengkeram kedua bahu putrinya, memaksa Binar agar menatap matanya. “Apa kamu diperkosa?" Mata tua itu telah memerah.Binar kembali menunduk dalam, tak punya keberanian untuk menatap mata ibunya, mata penuh kesakitan, dan hal itu terjadi karena dirinya."Ma-maafin, Binar, Bu. Binar minta maaf. Binar minta maaf sudah buat Ibu malu." Wanita berparas ayu itu langsung bersujud di kaki sang ibu. Memeluk kedua kaki di hadapannya."Lihat 'kan, Bu, selama ini Ibu selalu bangga-banggain Kak Binar begini, Kak Binar begitu. Menuntut aku harus bersikap seperti dia, bercermin dari sifatnya dia, harus sopanlah, harus inilah, harus itulah, pokoknya selalu Kak Binar yang benar dan aku selalu salah di mata Ibu. Sekarang, Ibu lihat sendiri 'kan, putri yang selalu Ibu bangga-banggakan itu? Dia telah melempar kotoran ke muka Ibu!"Ningsih yang sedari tadi berdiri di ambang antara pembatas ruang tamu dan tengah, sesekali menampilkan senyum sinis.Selama ini, dia begitu muak dengan omongan sang ibu yang selalu menyanjung-nyanjung kakaknya itu. Ningsih yang suka membangkang, sering diajarkan oleh Warsih untuk mengikuti sikap sang kakak agar patuh sedikit. Ningsih yang suka berpakaian terbuka dan mini, sering diingatkan Warsih untuk memakai pakaian yang lebih sopan seperti Binar. Dan masih banyak lagi sikap-sikap Binar yang patut dijadikan contoh oleh adiknya itu. Namun, Ningsih yang memang memiliki sifat pembangkang, menganggap hal tersebut sebagai kekangan dan mulai membenci kakaknya itu."Yang wajahnya polos, belum tentu kelakuannya juga begitu. Siapa sangka kalau Kak Binar itu ternyata binal.""Diam kamu, Ningsih!" bentak Warsih."Lho, apa yang salah dengan perkataanku, Bu? Emang benar 'kan, kalau Kak Binar itu binal, kalau nggak, bagaimana mungkin dia hamil di luar nikah?""Apa?"Semua pasang mata wanita itu sontak mengalihkan pandangan ke arah pintu utama. Di sana berdiri seorang pria ringkih yang terkadang sering sakit-sakitan. Santo. Pria tua itu baru saja pulang dari kerja serabutan."Apa katamu tadi, Ningsih?" Ayah dari kedua putri di rumah itu meminta penjelasan.Sedari halaman rumah tadi, Santo sudah merasa aneh dengan beberapa tetangga yang seolah sedang berusaha mendengarkan sesuatu dari dalam rumahnya."Emm, Kak Binar hamil, Pak." To the point, Ningsih membeberkan hal itu."A-apa …?" Syok mendalam dirasakan oleh pria berumur senja itu. Dia menatap Binar yang sedang menunduk dalam sambil berderai air mata itu.Langkah kakinya mendekat ke arah sang putri yang sangat dipercaya dan disayangnya tersebut. Digenggamannya kedua lengan sang putri dengan tangan bergetar."Jawab Bapak, yang dikatakan adekmu tidak benar 'kan?" Mata tua itu penuh harapan apa yang didengarnya hanyalah omong kosong, sekadar candaan keterlaluan di hari ini. "Jawab, Binar! Bapak pasti percaya sama kamu."Binar makin menduduk dalam, dia terisak-isak sampai bahunya terguncang. "Ma-ma-fin, Binar ..., Pak." Hanya itu yang mampu diucapkan Binar.Tungkai Santo melemas, dia merasakan sesak pada pernapasan, sedang jantungnya serasa dipukul keras."Arg!" Santo mencengkeram dadanya, sakit dan sesak di waktu yang bersamaan."Bapak!" Binar panik menahan tubuh ayahnya. "Bapak kenapa?""Pak, Bapak!""Ini semua gara-gara kamu, Kak Binar!"Semua orang di dalam ruangan itu menjadi cemas. Beberapa tetangga yang mendengar kepanikan keluarga Santo, berdatangan. Ingin melihat apa yang terjadi."Innalillahi wainnailaihi raji'un." Kalimat yang diucapkan oleh salah satu tetangga depan rumah, membuat Binar menjadi anak paling berdosa di dunia."Bapaaaak!" tangis Binar menghambur di tubuh tanpa jiwa itu. Sementara Warsih dan Ningsih masih syok dengan apa yang terjadi. Semua begitu tiba-tiba."Pergi! Gara-gara kamu, Bapak meninggal!" Ningsih langsung menarik lengan kakaknya dengan kasar."Tidak! Aku mau menemani Bapak ....""Halah, Bapak meninggal gara-gara kamu! Kalau saja kamu nggak hamil di luar nikah, pasti Bapak nggak akan stop jantung dan meninggal seperti ini!" Ningsih mendorong tubuh lemah Binar keluar rumah. Warsih hanya diam melihat itu, dia masih syok dengan kepergian tiba-tiba suaminya."Apa? Binar hamil di luar nikah?""Wah, nggak nyangka, padahal kelihatannya anaknya polos banget yah.""Jaman sekarang jangan cuman nilai kulitnya doank, Bu."Para ibu-ibu di gang itu langsung berbisik-bisik. Pedis, begitu menusuk telinga Binar hingga ke ulu hati."Tolong, izinkan aku menemani Bapak sampai ke peristirahatannya yang terakhir." Binar hendak masuk lagi. Namun, segera ditahan oleh Ningsih."Nggak! Jangan sentuh jasad Bapak dengan tangan kotormu itu!" sentak Ningsih kasar. "Mending sekarang kamu pergi jauh dari daerah ini. Jangan sampai kelakukanmu itu menjadi contoh yang tidak baik untuk anak-anak di sini!""Benar, apalagi Binar termasuk sangat dekat sekali dengan anak-anak di sini. Aku takut kelakuan Binar ini sampai dicontoh anak-anakku." Orang tua di sana sependapat."Ya, benar. Pergi kamu dari sini!""Pergi!""Jangan tunjukkan lagi wajahmu, dasar wanita hina!""Pergi cepat!"Binar menutup telinganya rapat-ratap. Dia menggeleng keras, sebab tak tahu harus ke mana.“Pergi, atau kami rajam kamu!”Sudah berhari-hari Binar terlunta-lunta di jalanan. Kadang makan, kadang tidak. Tidur sembarangan, tak ada tempat untuk singgah. Malam ini, mengingatkan Binar pada malam dia bertemu dengan pria berparas kaukasoid yang awalnya dia pikir seorang pahlawan itu. Namun, dengan teganya sang pria beralis tebal tersebut merenggut mahkota yang Binar jaga selama ini. Angin kencang berlalu lalang, menerbangkan daun-daun kering yang ada di jalanan, menemani langkah Binar yang tak tentu arah. Mata bulat itu telah lelah menitikkan air mata. Bibirnya berkedut, meratapi nasib yang sedang menimpanya. Pandangan Binar mengedar ke sekeliling, memandang ruko-ruko yang berjajar di pinggir jalan juga beberapa kedai. Dia mengusap perutnya yang masih rata. Di balik baju berwarna hijau kumuh itu, terdengar suara bergemuruh lirih. Binar kelaparan. Langkahnya dibawa menuju ke kedai nasi goreng. Air ludah ditelan Binar berkali-kali ketika melihat si koki mengaduk-aduk nasi yang berwarna kuning kecoklatan dengan
"Ha-haus ....""Mas Aiman nggak perlu menjemputku. Aku akan segera pulang. Ah, sudah dulu yah, Mas." Begitu mendengar suara lirih dari Binar yang meminta air minum, Syeira langsung menghentikan panggilan dengan suaminya. Membuat Aiman di ujung sambungan telepon sana, berdecak. Mau menjemput istrinya, namun tidak tahu istrinya berada di rumah sakit mana. Syeira segera mendekat pada Binar yang memakai baju biru rumah sakit. Wanita yang terbaring di ranjang rumah sakit itu, tampak lemah dengan sorot mata kuyu dan bibir kering. "Kamu mau minum?" tanya Syeira lembut. Binar hanya mengangguk lemah menatap wajah sejuk di hadapannya. Dalam hati dia sangat bersyukur dipertemukan malaikat penolong seperti wanita di hadapannya itu. Syeira menaikan posisi ranjang Binar di bagian kepala, lantas membantu wanita itu untuk minum. Binar pun langsung menerima bantuan tersebut dengan lelehan air mata, merasa terharu. Berkat bantuan Syeira, tenggorokannya yang telah kering bagai di padang pasir, kini
Waktu sudah menunjukkan pukul 22.45, saat mobil yang dikendarai Syeira memasuki pekarangan rumah yang terdapat air mancur dengan patung dua angsa berciuman di tengah-tengahnya. Sebelumnya, kedua wanita itu mampir dulu untuk makan malam, maka dari itu agak larut malam sampai ke rumahnya. Mata Binar sedikit jelalatan melihat-lihat keindahan pekarangan halaman rumah Syeira, ada taman di samping kiri sana, juga gazebo yang terbuat dari semen dan dicat putih tulang. "Ayo keluar!" ajak Syeira setelah membuka pintu. Wanita dengan dress selutut itu, mendahului naik anak tangga setinggi setengah meter agar mencapai teras rumah bergaya Eropa itu. Dengan rasa sungkan, Binar akhirnya keluar dari mobil. Sekali lagi, mata bulat itu mengedarkan pandangan ke sekitar. Tatapan matanya bertemu dengan security yang tadinya membukakan pintu untuk mobil Syeira. Binar tersenyum hormat pada pria yang lebih tua tersebut, tetapi sang pria seumuran ayahnya itu hanya memasang raut
Mendengar ketukan pintu kamar, seketika tawa Syeira dan Aiman terhenti. Aiman memasang raut bingung, siapa yang beraninya mengetuk pintu kamar mereka sepagi ini. Sementara Syeira langsung membungkus tubuhnya dengan handuk kimono, tahu siapa yang memanggilnya tersebut. "Siapa?" Aiman bertanya datar. "ART baru, Mas. Sebentar yah, siapa tau saja dia butuh sesuatu yang penting." Syeira melangkah keluar kamar mandi. Meninggalkan Aiman yang berdecak kesal, tak suka kesenangannya dengan Syeira terganggu, apalagi hanya diganggu seorang ART. Syeira membuka pintu bercat putih dengan ukiran rumit tersebut. Di luar pintu, Binar berdiri sambil menunduk, meremas jari-jari tangannya. Mendengar pintu kamar sang majikan terbuka, dia lantas mendongak. "Maaf, mengganggu pagi-pagi, Kak. Aku hanya ingin mengatakan sarapannya sudah siap. Takut keburu dingin." Binar langsung berucap pada intinya. Syeira melongo untuk beberapa saat. "Sepagi ini?"
Sontak saja baik Binar maupun Aiman sama-sama berubah pucat pasi. Aiman membeku, jantungnya berdentum keras dengan tatapan menghujam pada Binar. Sementara mata bulat Binar langsung berkaca-kaca, bibirnya bergetar. Dia mencengkeram bahu kursi dengan dada yang naik turun dengan berat. Bayangan memori kehangatan di malam penuh badai yang dingin itu terlintas di pelupuk mata keduanya, seolah-olah sedang menonton tayangan bioskop. Binar beringsut mundur dengan tungkai yang terasa lemas. Pandangannya pun tiba-tiba mengabur. "Binar!" Syeira panik melihat Binar pingsan. Langsung saja dia menepuk-nepuk pipi wanita yang telah terbaring di lantai itu. Sementara Aiman masih berusaha mengendalikan dirinya sendiri. Rasa syok melihat wanita yang pernah menghabiskan malam berdua dengannya itu hadir di depan mata. "Mas!" seru Syeira membuat Aiman terlonjak kaget. "Ayo, tolong angkat dia, bawa ke kamar!""A-apa?" Mata Aiman mengerjap beberapa kali
Binar tak ingin bertemu lagi dengan pria itu. Binar tak ingin menganggu kehidupan rumah tangga malaikat penolongnya itu. Binar cukup tahu diri, kejadian di malam penuh badai itu, bukan murni kesalahan Aiman saja. Binar juga ikut andil dalam kekhilafan di malam itu. Binar terlalu terbuai dalam kehangatan yang Aiman ciptakan di malam penuh badai yang dingin itu. Andai Binar menolak dan melakukan perlawanan, pasti hal ini semua tidak akan pernah terjadi. Baru saja Binar menjauh dua langkah dari ranjang, tungkainya kembali lemas. Dia memegang kepalanya yang agak pening. Segera Syeira menahan lengan Binar, takut dia terjatuh lagi. "Kamu mau ke mana?" Syeira berucap cemas. "Kondisi kamu belum memungkinkan untuk pergi jauh lagi dari sini? Emang kamu punya tempat tinggal?"Pertanyaan Syeira hanya ditanggapi bulir-bulir bening yang berjatuhan deras dari mata Binar. Bagaimana harus menjelaskan pada Syeira, bahwa dia tidak mau tinggal di rumah itu sebab s
Seharian Aiman jadi tak fokus kerjanya, rapat melamun, di ruangannya pun melamun. Hanya menatap layar yang selalu menampilkan kejadian di malam penuh badai itu, tayangan yang selalu muncul setiap kali dia melamun. Berusaha dia menimbun memori itu, tetapi setiap kali sindrom aneh yang dia alami, wajah kuyu Binar selalu muncul di hadapannya. "Arh, bisa gila lama-lama kalau begini!" Diraupnya kasar wajah mulus tanpa cambang maupun kumis tipis itu. Terdengar ketukan pintu yang membuat Aiman menyahut dengan malas. Lantas, masuklah seorang wanita dengan mengenakan dress biru tua seatas lutut. "Pak, karena rapat yang sedikit kacau tadi, kita berdua harus membahas harga-harga saham ini dulu." Sang asisten berucap. Perkataan wanita dengan rambut pendek itu, tak ditanggapi Aiman. Dia malah menatap lekat wanita yang memakai pakaian ketat tersebut, yang di mana dress-nya membuat lekuk tubuh wanita itu terlihat jelas dengan bagian leher yang rend
Mata yang selalu teduh itu mendongak, menatap tajam pada sang suami. Tak sadar, dia mencengkram lengan suaminya itu. Memang benar, wanita makhluk pencemburu orangnya. Sekarang ini, rasa panas menjalar di dada Syeira saat Aiman tak kunjung memberikan jawaban yang dia nantikan. Aiman hanya menatap manik hitam milik Syeira, mencoba menyelam di kedalaman manik pekat itu, mencoba mnyembunyikan semua kesalahannya. "Apa kamu berpikir aku tega mengkhianatimu?" Aiman bertanya balik dengan raut datar. Syeira menatap kedua bola mata Aiman secara bergantian beberapa saat, lalu kembali menelusupkan wajahnya di dada sang suami. "Aku percaya padamu, Mas. Sangat percaya."Jantung Aiman serasa dipukul, dadanya memanas. Sebajingan itu dia sekarang. Bukan hanya mengkhianati, tetapi juga pecundang, dan pembohong yang tak berani mengakui perbuatannya. **Selesai subuh, Binar sudah mulai bekerja. Memasak makanan juga beberapa lauk. Walapun Syeira mengatakan tak perlu membuat makanan berat seperti kemar
Malam kian larut, ditemani gerimis serta angin yang kencang. Abimanyu memanahkan tatapan pada rintik-rintik hujan yang menetes. Pikirannya tenggelam, entah ke mana. Beberapa kali dia mendengar sang ibu mengetuk pintu kamarnya, meminta dia agar keluar makan malam. Tapi Abimanyu memilih bungkam. Entahlah, rasanya Abimanyu belum bisa menerima keadaan jika Chelsi adalah adiknya. Rasanya, Abimanyu ingin meminta pada ibunya agar membuang saja gadis itu. Jujur, Abimanyu kurang menyukai kehadiran Chelsi. Bahkan sangat! Sebab kasih sayang ayah dan ibunya mulai terbagi pada gadis itu. Terlebih, Abimanyu menyimpan perasaan pada Chelsi. "Bagaimana caranya membuang perasaan bodoh ini?!"Terdengar bunyi mengkriuk lapar dari perut sang pria. Abimanyu memutuskan untuk turun ke lantai bawah. Melewati kamar yang dalamnya bernuansa warna pink itu, Abimanyu terhenti sekejap. Terus jalan lagi. Hasratnya ingin masuk ke dalam sebenarnya. Rum
Sudah berhari-hari kini Chelsi tinggal di kediaman Adipati. Dia mulai mengakrabkan diri dengan semua hal yang ada di rumah besar itu. Baik dengan kedua orang tuanya, para ART, peraturan, ruangan, aktivitas, bahkan perabotan. Hanya satu hal yang belum Chelsi akrabkan. Abimanyu. Semenjak Chelsi menginjakan kaki di rumah Adipati sebagai putri kandung Affandi dan Binar, keberadaan sang abang tersebut seperti hilang di telan bumi. Abimanyu tak pernah pulang ke rumah, hampir seminggu malah sekarang. Binar khawatir tentang keberadaan sang putra. Ditelepon pun, ponsel pria itu tak aktif. Hal tersebut makin membuat hati Binar tak tenteram. "Iya, Bang Abi ke kantor beberapa hari yang lalu. Hanya sebentar, karena dia harus keluar negeri mengurusi tender di sana." Penjelasan Angkasa lewat telepon sedikit membuat Binar mengembuskan napas lega. Tapi masa sesibuk itu Abimanyu, sampai tak punya waktu sedikit pun buat bicara dengan ibunya. Binar memilih mengirimkan
"Chelsi." Gadis itu sedikit tersentak ketika kedua bahunya dipegang oleh Syeira."Ah, iya. Kenapa?" Chelsi menatap Syeira dengan sorot kebingungan. "Ayo, masuk." Syeira merangkul gadis manis itu. "Saya nggak nyangka, ternyata kamu putrinya Binar dan Affandi. Kamu tidak pernah tau, seterpukul apa dulu Binar saat bayinya dinyatakan meninggal di ruang inkubator."Chelsi tertegun mendengar hal tersebut. Dia menatap Binar yang sejak tadi menatapnya dengan mata basah. Terasa sakit hati gadis itu melihat wajah Binar yang terus-terusan meneteskan air mata itu. Lantas pandangannya mengarah ke Affandi. Petugas medis itu juga tampak basah matanya, dengan wajah memerah, berusaha menahan tangis. Apakah benar, kedua orang tersebut adalah orang tuanya? Chelsi bahkan tak berani bermimpi untuk hal itu. "Sini." Affandi meraih lengan halus Chelsi, mengajaknya agar lebih menempel padanya. Telapak tangannya, Affandi letakkan di dada sendiri seray
Serempak mata orang-orang di dalam ruangan tersebut membulat sempurna. Terlebih Vena, tubuh wanita itu menegang dengan bulir-bulir yang mulai mencuat di pelipis. Tungkainya melemas. Perlahan, dia memutar kepalanya, melihat sang putri yang masih dicekal erat oleh petugas medis kesehatan itu. Sementara Chelsi hanya menatap Affandi dengan tatapan syok. Mana mungkin? Tapi benarkah? Pikiran dan perasaan gadis itu campur aduk. Lalu dia menatap sang ibu--Vena. Mata Chelsi berkaca-kaca, melihat wajah memucat ibunya. Apakah mungkin yang dikatakan sang dokter benarkah nyatanya? Dia ...."Lepaskan putriku, Venuska!" Kembali Affandi bersuara tegas, menatap tajam pada Vena. Jelas hal tersebut membuat nyali wanita itu menciut. Tapi tidak, Chelsi tetap putrinya!"Tidak! Dia anakku! Dia putriku. Hanya putriku!" Vena menarik kembali Chelsi, agak kasar. Namun, Affandi tetap menahan."Sakit," r
Akhirnya, Abimanyu, Chelsi, juga Angaksa pergi ke rumah sakit. Abimanyu dan Chelsi semobil? Tentu saja tidak. Gadis itu semobil dengan calon suaminya. Membiarkan dada Abimanyu terbakar di mobil lainnya sana.Abimanyu memilih melajukan kecepatan mobilnya di atas rata-rata. Pergi entah ke mana. Hendak mendinginkan dulu perasaannya yang memanas.**"Saya di sini saja, Bu. Nggak usah masuk ke dalam." Seorang wanita berusia senja itu, tampak sungkan ketika lengannya ditarik oleh Syeira masuk ke ruang rawat Binar. Lebih tepatnya, dia takut masuk ke dalam. Takut bertemu dengan si petugas medis yang dulunya pernah menjadi mantannya itu.Tadi, di saat mereka kembali bertemu demi membahas tentang pernikahan Angkasa dan Chelsi, tiba-tiba Affandi menelepon, memberitahukan berita gembira. Jika Nona kesayangannya telah sadar dari koma. Jelas hal tersebut juga menjadi s
Biasanya, jika Abimanyu dulu terpaksa harus mengantar Friska, maka gadis itu akan berceloteh panjang lebar hingga membuat kuping Abimanyu terasa panas. Bukan hanya itu, Friska juga suka sekali menempel pada lengan berotot Abimanyu. Hingga membuat sang pria gerah juga geram setengah mati.Namun sekarang, hampir lima belas menit perjalanan pun, gadis berkuncir kuda itu belum juga membuka suara. Dia hanya menoleh ke arah luar jendela. Memerhatikan gedung-gedung yang berpapasan dengan mereka. Diamnya Friska malah membuat perasaan Abimanyu tak enak. Abimanyu memang lebih menyukai suasa yang hening ketimbang ribut, tetapi diamnya Friska malah membuat pria itu resah.'Kau terlihat seperti jalang yang haus belaian.' Lagi, kalimat itu mengusik pikiran Abimanyu. Dia tak ingat betul kalimat apa saja yang meluncur dari mulutnya saat emosi waktu itu. Tapi yang Abimanyu tahu, kemungkinan salah satu ucapannya benar-b
Perlahan-lahan, kelopak mata yang tampak lemah itu berkedip pelan. Ingin membuka mata, tetapi silau mentari begitu menusuk. Kembali dia menutup mata erat. Tangannya terasa menyentuh sebuah permukaan berbulu lebat. Sebuah rambut. Diusapnya rambut tersebut dengan pelan. Aksinya tersebut malah mengganggu tidur si empu rambut. Abimanyu menggeliat, dan gesekan kepalanya pada samping perut sang ibu, membuat si empu perut melenguh. Melotot langsung kedua bola mata itu."Mah?" Abimanyu bangkit berdiri, memanggil ayahnya yang tidur di samping sofa di belakangnya."Tangan Mama gerak lagi." Hati Abimanyu berdesir hangat. Sangat bahagia melihat wajah ibunya yang terus menunjukkan respon aktif."Nona?" Affandi mengusap pipi Binar, tampak berkaca-kaca mata petugas medis itu melihat bibir Binar yang bergerak-gerak."A--bi ..., bagai-mana kead---"
Dua sejoli yang saling membulat matanya itu sama-sama menatap tanpa berkedip. Abimanyu masih tetap menahan pinggang Chelsi, sedangkan gadis itu meringis ketakutan dengan debaran jantung yang menggila mendengar suara panggilan di luar pintu. Itu suara Syeira. Bagaimana jika ibunya Angkasa tersebut melihat dirinya dan Abimanyu dalam satu kamar, dipeluk sang pria pula."Pak, saya mohon, lepaskan saya," cicit gadis itu menatap wajah Abimanyu di samping kiri kepalanya."Kenapa, hmm?" Abimanyu malah mendekatkan wajahnya di bahu Chelsi, membuat debaran jantung gadis itu kian jadi. Serasa hampir meledak saja jantungnya."Chelsi, kamu masih di dalam 'kan?" Syeira kembali mengetuk pintu."Pak, saya mohon." Chelsi meringis, menjauhkan wajahnya dari rahang Abimanyu yang kasar karena bulu-bulu tipis yang memenuhi pipinya."Aku mau mele
Melihat Abimanyu yang bergerak mendekat setelah menutup pintu, Chelsi menatap waspada. Terlebih dirinya yang hanya mengenakan handuk, tumpahan air minum tadi lumayan membuat gaunnya basah parah. Syeira menyarankan agar Chelsi mengganti pakaian basah tersebut dengan gaunnya."Pak, keluar dari sini!" Chelsi gegas menarik selimut menutupi tubuhnya.Abimanyu terus mengayunkan langkah dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Chelsi mundur perlahan dengan tatapan yang tak terlepas dari mata elang itu. Abimanyu terus mendekat, mengikis jarak, terus, dan terus. Sampai membuat gadis yang membalut tubuhnya dengan selimut itu terpojok di dinding.Chelsi kelabakan. Mengerjap beberapa saat, dan menoleh ke belakang. Lalu kembali mendongak, menatap mata elang itu yang berada tepat di depan keningnya. Dia hendak kabur, tetapi Abimanyu sigap menekan dinding sebelah kiri gadis itu. Chelsi henda