Mata bulat Binar mendongak, memandang salah satu pohon yang berbuah lebat yang membuat dia menelan ludah berkali-kali. Binar mencoba melompat, menggapai ranting buah asam di atas sana. Entah mengapa, dia sangat teringin sekali buah asam yang di mana ketika memakannya akan membuat gigi terasa geli.
"Tinggi sekali!" Binar mendengkus kasar, tubuh mungilnya kepayahan menggapai ranting pohon asam yang lumayan tinggi itu."Tunggu, tunggu, tunggu!" Binar menghadang beberapa bocah kecil laki-laki yang baru saja pulang bermain bola di lapangan."Ada apa, Kak?" tanya salah satunya."Emm, minta tolong ambilin Kakak buah asamnya, donk." Pupil mata Binar membesar, menatap anak-anak kecil itu dan buah asam di atas sana. Memandanginya saling bergantian."Siap, Kak Binar Cantik!"Mereka antusias menjawab sambil menjajarkan jemari tangannya di kening. Detik berikutnya, mereka sontak saling naik di pohon asam tersebut. Bahkan terlihat saling berlomba, siapa yang lebih cepat mengambilkan buah asamnya untuk kakak cantik di bawah sana. Binar memang sangat dekat dengan anak-anak kecil di sekitarnya, menganggap mereka sebagai teman, begitu pula sebaiknya. Sikap Binar yang ceria, lembut, dan keibuan membuat para anak-anak kecil itu suka dekat-dekat dan berteman dengan Binar."Tangkap, Kak!" seru bocah di atas sana.Binar langsung menengadahkan tangannya ke atas, menyambut buah asam yang didaratkan ke arahnya. Selarik senyum bahagia mengambang di parasnya yang ayu, bisa menikmati buah-buah yang seolah membuat dahaganya menghilang.Dari kejauhan, tanpa Binar sadari, ibunya sedang memerhatikan dia dengan serius. Jujur saja, ibunya yang bernama Warsih itu mulai mencurigai perubahan yang terjadi pada putri sulungnya itu. Terlebih lagi ketika mendengar spekulasi adiknya Binar, yang menduga kalau kakaknya itu sedang hamil sebab akhir-akhir ini suka sekali makan-makanan yang asam. Tentu Warsih menyangkal keras apa yang dilayangkan oleh putri bungsunya itu, sebab dia tahu si adik sangat suka sekali berpikiran negatif juga suka bermasalah dengan kakaknya itu. Terlebih lagi, dia sama sekali tak melihat atau mendengar Binar yang mual-mual.Hanya saja, Warsih yang sejatinya seorang ibu, mulai dihinggapi sedikit rasa curiga mengingat Binar yang tak penah bolong salatnya bulan-bulan belakangan ini. Tubuh putri sulungnya itu pun terlihat tampak agak kurus sekarang, dengan wajah yang tak berseri lagi, pucat seperti mayat."Beli berasnya, Bu!" Suara pembeli membuyarkan lamunan Warsih."I-iya, mau berapa kilo?" Wanita tua berdaster cokelat itu segera menepis pikiran buruk tentang putri sulungnya itu. Menyankinkan diri jika apa yang timbul di pikirannya itu, hanyalah spekulasi bodoh akibat terhasut sama ucapan putri bungsunya.Malam telah tiba, Binar yang sedang terpekur di dalam kamar sambil memakan satu per satu buah asam tadi siang, bergegas keluar kamar kala mendengar suara azan isya. Ketika memasuki kamar mandi, langkah Binar terhenti mendengar panggilan ibunya dari belakang."Iya, ada yang bisa Binar bantu, Bu?" Wanita berambut panjang itu menyanggul rambut panjangnya di atas kepala.Warsih bingung, hendak meluncurkan pertanyaan yang mengganjal pikirannya atau tidak."Ya sudah, kalau tidak ada, Bu. Binar mau ambil wudhu dulu." Binar berbalik, memunggungi ibunya."Kamu sudah datang bulan, bulan ini?"Pertanyaan Warsih membuat langkah Binar terhenti. Mata wanita itu melebar mendengar pertanyaan sang ibu. Untung Binar sudah terlebih dahulu membelakangi ibunya, jadi raut keterkejutan yang sangat kentara itu, dapat disembunyikannya dari Warsih. Binar tahu, sang ibu pasti akan curiga juga akhirnya."S-sudah kok, Bu. Tapi cuman sebentar saja, dua hari doang. Tepat saat ibu bantu-bantu bikin kue di acara hajatan kemarin." Binar mencari alasan yang paling masuk akal. Sebab sang ibu memang sangat jarang sekali pulang ke rumah dua hari itu, sibuk membantu orang yang punya hajatan.Kelegaan langsung menjalar di hati Warsih mendengar jawaban sang putri. Syukurlah, apa yang dia pikirkan sangatlah tidak betul. Dia yakin, ajaran baiknya tentang menjaga kehormatan sebagai wanita, pasti didengarkan oleh putri-putrinya.Binar masuk ke kamar mandi, menyalakan air keran. Lantas merosotlah tubuh mungil itu di dinding. Menangis tanpa suara, menyesali perbuatannya yang sudah membohongi sang ibu."Binar memang anak yang sangat berdosa. Binar bukan saja telah menjadi putri yang kotor, tetapi juga Binar telah menjadi putri yang suka berbohong. Maafin Binar, Bu. Maafin Binar." Wajah yang dibanjiri air mata itu ditenggelamkan di antara kedua pahanya. Menangis tersedu-sedu.Memang hanya itu yang mampu gadis lemah itu lakukan. Mau meminta pertanggung jawaban sang pria? Dia saja bahkan tak tahu siapa nama pria itu. Belum tentu juga pria yang bertampang kaukasoid lengkap dengan setelan jas itu, akan menerima Binar sebagai istri, yang dasarnya hanya seorang wanita miskin, tinggal di gang sempit di rumah orang tuanya yang sangat sederhana.***Keesokan pagi harinya, rumah sederhana itu kehadiran tamu seorang pemuda berkulit hitam dengan kemeja lengan pendek. Pemuda itu datang bersama ayahnya, mereka duduk di ruang tamu yang berurukan 2×5 meter. Pandangan sang pemuda berlari ke arah dapur, mencari sosok wanita berambut panjang yang berniat ingin dia lamar hari ini.Binar hadir setelah dipanggil Warsih beberapa kali. Ketika pandangan wanita itu terpaut pada si pemuda, Binar langsung membuang pandangan. Binar paham betul apa niat pemuda itu ke rumahnya. Pemuda yang terkenal paling kaya di gang ini, pernah menyatakan suka pada Binar beberapa bulan yang lalu dan akan segera melamarnya."Yang lainnya pada ke mana, Bu?" tanya pemuda itu basa-basi sambil melirik Binar sekilas."Si Bapak lagi kerja, adiknya Binar masih tidur, kecapen mengerjakan tugas kampusnya semalam. Silahkan!" Warsih mempersilahkan tamunya untuk minum.Setelah hening beberapa saat, ayah sang pemuda menghantarkan apa niat baik mereka sebab berkunjung di pagi hari ini. Ayah si pemuda itu mengatakan ingin melamar Binar untuk putra bungsunya."Tidak, aku tidak bisa!" Binar menjawab cepat. Bukannya tidak mau menerima lamaran pemuda itu, tetapi Binar sadar siapalah dirinya saat ini. Dia hanya seorang wanita ternoda, yang telah memberikan mahkotanya pada seorang pria asing. Dan hal itu tentunya tidak bisa disembunyikan pada calon suaminya. Pasti sang pria yang akan menikahinya akan mengetahui hal itu juga nantinya. Binar takut hal itu sampai ketahuan dan malah menjadi penghinaan besar bagi dirinya."Maaf, tapi aku benar-benar nggak bisa. Sekali lagi, maaf." Usai mengatakan hal itu, Binar segera berlalu ke belakang sambil membekap mulutnya sendiri. Meninggalkan para tamu yang melongo dengan wajah memerah. Begitu pula dengan sang ibu.Warsih datang ke kamar Binar dengan muka agak kesal. Namun, sebagai ibu yang baik dia tak menentang keputusan sang putri. Lagi pula, pemuda dan ayah pemuda tadi selain kaya juga terkenal sombong. Jadi, Warsih tidak telalu rugi kehilangan lamaran baik seperti tadi."Binar, tolong bantuin Ibu masak di dapur, yuk!" Warsih mengajak putrinya yang sedang berbaring di ranjang sambil membelakangi pintu itu.Binar yang mendengar suara sang ibu, langsung mengusap lelehan air mata. "Baik, Bu," jawabnya berlalu bangun.Kedua anak dan ibu itu saling mengambil tugas masing-masing. Binar memotong-motong sayur, sedangkan si ibu menggoreng ikan. Tiba-tiba terdengar suara pembeli di kios mereka. Warsih memerintah Binar, tetapi Binar malah memerintah ibunya lagi."Ibu saja yang layani mereka, biar Binar yang jaga ikan gorengannya." Ucapan wanita itu diikuti oleh sang ibu.Sepeninggalnya Warsih dari dapur, Binar kembali melanjutkan memotong sayurnya. Namun, mata wanita itu perlahan-lahan memburam diikuti dengan kepala yang memberat, bagian bawah perutnya pun terasa keram. Binar menutup mata sambil menggeleng keras, berharap bisa mengembalikan kejernihan pandangan. Berhasil. Pandangan Binar kembali jernih. Namun, sepersekian detiknya, pandangan itu menggelap!Plak! "Dasar anak tidak tau malu! Kenapa kamu sampai melakukan hal sehina ini?!" Sebuah tamparan keras mendarat di pipi mulus Binar. Membuat wanita berparas ayu itu tersungkur ke lantai. Bibir ranumnya mengeluarkan darah di bagian sudut. Binar hanya menunduk malu, menerima amarah dari orang tua yang dicintainya. Sadar akan kesalahan yang telah diperbuatnya beberapa bulan yang lalu. Pagi tadi, Binar yang sedang membantu sang ibu membuat sarapan, tiba-tiba kepalanya berputar dan terasa berat. Dia langsung kehilangan keseimbangan, pingsan. Warsih yang kembali dari kios, merasa panik melihat Binar yang telah tergeletak di lantai dapur. Dia segera meminta tolong pada tetangga, membawa putri sulungnya itu ke puskesmas, takut sampai putrinya terkena penyakit berbahaya. Pasalnya, sang putri sedari kecil tidak pernah pingsan walau bekerja seharian di bawah terik pekik matahari. "Selamat yah, sebentar lagi Ibu akan menjadi seorang nenek. Usia kandungan putri Ibu sudah dua bulan lebih." Ucap
Sudah berhari-hari Binar terlunta-lunta di jalanan. Kadang makan, kadang tidak. Tidur sembarangan, tak ada tempat untuk singgah. Malam ini, mengingatkan Binar pada malam dia bertemu dengan pria berparas kaukasoid yang awalnya dia pikir seorang pahlawan itu. Namun, dengan teganya sang pria beralis tebal tersebut merenggut mahkota yang Binar jaga selama ini. Angin kencang berlalu lalang, menerbangkan daun-daun kering yang ada di jalanan, menemani langkah Binar yang tak tentu arah. Mata bulat itu telah lelah menitikkan air mata. Bibirnya berkedut, meratapi nasib yang sedang menimpanya. Pandangan Binar mengedar ke sekeliling, memandang ruko-ruko yang berjajar di pinggir jalan juga beberapa kedai. Dia mengusap perutnya yang masih rata. Di balik baju berwarna hijau kumuh itu, terdengar suara bergemuruh lirih. Binar kelaparan. Langkahnya dibawa menuju ke kedai nasi goreng. Air ludah ditelan Binar berkali-kali ketika melihat si koki mengaduk-aduk nasi yang berwarna kuning kecoklatan dengan
"Ha-haus ....""Mas Aiman nggak perlu menjemputku. Aku akan segera pulang. Ah, sudah dulu yah, Mas." Begitu mendengar suara lirih dari Binar yang meminta air minum, Syeira langsung menghentikan panggilan dengan suaminya. Membuat Aiman di ujung sambungan telepon sana, berdecak. Mau menjemput istrinya, namun tidak tahu istrinya berada di rumah sakit mana. Syeira segera mendekat pada Binar yang memakai baju biru rumah sakit. Wanita yang terbaring di ranjang rumah sakit itu, tampak lemah dengan sorot mata kuyu dan bibir kering. "Kamu mau minum?" tanya Syeira lembut. Binar hanya mengangguk lemah menatap wajah sejuk di hadapannya. Dalam hati dia sangat bersyukur dipertemukan malaikat penolong seperti wanita di hadapannya itu. Syeira menaikan posisi ranjang Binar di bagian kepala, lantas membantu wanita itu untuk minum. Binar pun langsung menerima bantuan tersebut dengan lelehan air mata, merasa terharu. Berkat bantuan Syeira, tenggorokannya yang telah kering bagai di padang pasir, kini
Waktu sudah menunjukkan pukul 22.45, saat mobil yang dikendarai Syeira memasuki pekarangan rumah yang terdapat air mancur dengan patung dua angsa berciuman di tengah-tengahnya. Sebelumnya, kedua wanita itu mampir dulu untuk makan malam, maka dari itu agak larut malam sampai ke rumahnya. Mata Binar sedikit jelalatan melihat-lihat keindahan pekarangan halaman rumah Syeira, ada taman di samping kiri sana, juga gazebo yang terbuat dari semen dan dicat putih tulang. "Ayo keluar!" ajak Syeira setelah membuka pintu. Wanita dengan dress selutut itu, mendahului naik anak tangga setinggi setengah meter agar mencapai teras rumah bergaya Eropa itu. Dengan rasa sungkan, Binar akhirnya keluar dari mobil. Sekali lagi, mata bulat itu mengedarkan pandangan ke sekitar. Tatapan matanya bertemu dengan security yang tadinya membukakan pintu untuk mobil Syeira. Binar tersenyum hormat pada pria yang lebih tua tersebut, tetapi sang pria seumuran ayahnya itu hanya memasang raut
Mendengar ketukan pintu kamar, seketika tawa Syeira dan Aiman terhenti. Aiman memasang raut bingung, siapa yang beraninya mengetuk pintu kamar mereka sepagi ini. Sementara Syeira langsung membungkus tubuhnya dengan handuk kimono, tahu siapa yang memanggilnya tersebut. "Siapa?" Aiman bertanya datar. "ART baru, Mas. Sebentar yah, siapa tau saja dia butuh sesuatu yang penting." Syeira melangkah keluar kamar mandi. Meninggalkan Aiman yang berdecak kesal, tak suka kesenangannya dengan Syeira terganggu, apalagi hanya diganggu seorang ART. Syeira membuka pintu bercat putih dengan ukiran rumit tersebut. Di luar pintu, Binar berdiri sambil menunduk, meremas jari-jari tangannya. Mendengar pintu kamar sang majikan terbuka, dia lantas mendongak. "Maaf, mengganggu pagi-pagi, Kak. Aku hanya ingin mengatakan sarapannya sudah siap. Takut keburu dingin." Binar langsung berucap pada intinya. Syeira melongo untuk beberapa saat. "Sepagi ini?"
Sontak saja baik Binar maupun Aiman sama-sama berubah pucat pasi. Aiman membeku, jantungnya berdentum keras dengan tatapan menghujam pada Binar. Sementara mata bulat Binar langsung berkaca-kaca, bibirnya bergetar. Dia mencengkeram bahu kursi dengan dada yang naik turun dengan berat. Bayangan memori kehangatan di malam penuh badai yang dingin itu terlintas di pelupuk mata keduanya, seolah-olah sedang menonton tayangan bioskop. Binar beringsut mundur dengan tungkai yang terasa lemas. Pandangannya pun tiba-tiba mengabur. "Binar!" Syeira panik melihat Binar pingsan. Langsung saja dia menepuk-nepuk pipi wanita yang telah terbaring di lantai itu. Sementara Aiman masih berusaha mengendalikan dirinya sendiri. Rasa syok melihat wanita yang pernah menghabiskan malam berdua dengannya itu hadir di depan mata. "Mas!" seru Syeira membuat Aiman terlonjak kaget. "Ayo, tolong angkat dia, bawa ke kamar!""A-apa?" Mata Aiman mengerjap beberapa kali
Binar tak ingin bertemu lagi dengan pria itu. Binar tak ingin menganggu kehidupan rumah tangga malaikat penolongnya itu. Binar cukup tahu diri, kejadian di malam penuh badai itu, bukan murni kesalahan Aiman saja. Binar juga ikut andil dalam kekhilafan di malam itu. Binar terlalu terbuai dalam kehangatan yang Aiman ciptakan di malam penuh badai yang dingin itu. Andai Binar menolak dan melakukan perlawanan, pasti hal ini semua tidak akan pernah terjadi. Baru saja Binar menjauh dua langkah dari ranjang, tungkainya kembali lemas. Dia memegang kepalanya yang agak pening. Segera Syeira menahan lengan Binar, takut dia terjatuh lagi. "Kamu mau ke mana?" Syeira berucap cemas. "Kondisi kamu belum memungkinkan untuk pergi jauh lagi dari sini? Emang kamu punya tempat tinggal?"Pertanyaan Syeira hanya ditanggapi bulir-bulir bening yang berjatuhan deras dari mata Binar. Bagaimana harus menjelaskan pada Syeira, bahwa dia tidak mau tinggal di rumah itu sebab s
Seharian Aiman jadi tak fokus kerjanya, rapat melamun, di ruangannya pun melamun. Hanya menatap layar yang selalu menampilkan kejadian di malam penuh badai itu, tayangan yang selalu muncul setiap kali dia melamun. Berusaha dia menimbun memori itu, tetapi setiap kali sindrom aneh yang dia alami, wajah kuyu Binar selalu muncul di hadapannya. "Arh, bisa gila lama-lama kalau begini!" Diraupnya kasar wajah mulus tanpa cambang maupun kumis tipis itu. Terdengar ketukan pintu yang membuat Aiman menyahut dengan malas. Lantas, masuklah seorang wanita dengan mengenakan dress biru tua seatas lutut. "Pak, karena rapat yang sedikit kacau tadi, kita berdua harus membahas harga-harga saham ini dulu." Sang asisten berucap. Perkataan wanita dengan rambut pendek itu, tak ditanggapi Aiman. Dia malah menatap lekat wanita yang memakai pakaian ketat tersebut, yang di mana dress-nya membuat lekuk tubuh wanita itu terlihat jelas dengan bagian leher yang rend
Malam kian larut, ditemani gerimis serta angin yang kencang. Abimanyu memanahkan tatapan pada rintik-rintik hujan yang menetes. Pikirannya tenggelam, entah ke mana. Beberapa kali dia mendengar sang ibu mengetuk pintu kamarnya, meminta dia agar keluar makan malam. Tapi Abimanyu memilih bungkam. Entahlah, rasanya Abimanyu belum bisa menerima keadaan jika Chelsi adalah adiknya. Rasanya, Abimanyu ingin meminta pada ibunya agar membuang saja gadis itu. Jujur, Abimanyu kurang menyukai kehadiran Chelsi. Bahkan sangat! Sebab kasih sayang ayah dan ibunya mulai terbagi pada gadis itu. Terlebih, Abimanyu menyimpan perasaan pada Chelsi. "Bagaimana caranya membuang perasaan bodoh ini?!"Terdengar bunyi mengkriuk lapar dari perut sang pria. Abimanyu memutuskan untuk turun ke lantai bawah. Melewati kamar yang dalamnya bernuansa warna pink itu, Abimanyu terhenti sekejap. Terus jalan lagi. Hasratnya ingin masuk ke dalam sebenarnya. Rum
Sudah berhari-hari kini Chelsi tinggal di kediaman Adipati. Dia mulai mengakrabkan diri dengan semua hal yang ada di rumah besar itu. Baik dengan kedua orang tuanya, para ART, peraturan, ruangan, aktivitas, bahkan perabotan. Hanya satu hal yang belum Chelsi akrabkan. Abimanyu. Semenjak Chelsi menginjakan kaki di rumah Adipati sebagai putri kandung Affandi dan Binar, keberadaan sang abang tersebut seperti hilang di telan bumi. Abimanyu tak pernah pulang ke rumah, hampir seminggu malah sekarang. Binar khawatir tentang keberadaan sang putra. Ditelepon pun, ponsel pria itu tak aktif. Hal tersebut makin membuat hati Binar tak tenteram. "Iya, Bang Abi ke kantor beberapa hari yang lalu. Hanya sebentar, karena dia harus keluar negeri mengurusi tender di sana." Penjelasan Angkasa lewat telepon sedikit membuat Binar mengembuskan napas lega. Tapi masa sesibuk itu Abimanyu, sampai tak punya waktu sedikit pun buat bicara dengan ibunya. Binar memilih mengirimkan
"Chelsi." Gadis itu sedikit tersentak ketika kedua bahunya dipegang oleh Syeira."Ah, iya. Kenapa?" Chelsi menatap Syeira dengan sorot kebingungan. "Ayo, masuk." Syeira merangkul gadis manis itu. "Saya nggak nyangka, ternyata kamu putrinya Binar dan Affandi. Kamu tidak pernah tau, seterpukul apa dulu Binar saat bayinya dinyatakan meninggal di ruang inkubator."Chelsi tertegun mendengar hal tersebut. Dia menatap Binar yang sejak tadi menatapnya dengan mata basah. Terasa sakit hati gadis itu melihat wajah Binar yang terus-terusan meneteskan air mata itu. Lantas pandangannya mengarah ke Affandi. Petugas medis itu juga tampak basah matanya, dengan wajah memerah, berusaha menahan tangis. Apakah benar, kedua orang tersebut adalah orang tuanya? Chelsi bahkan tak berani bermimpi untuk hal itu. "Sini." Affandi meraih lengan halus Chelsi, mengajaknya agar lebih menempel padanya. Telapak tangannya, Affandi letakkan di dada sendiri seray
Serempak mata orang-orang di dalam ruangan tersebut membulat sempurna. Terlebih Vena, tubuh wanita itu menegang dengan bulir-bulir yang mulai mencuat di pelipis. Tungkainya melemas. Perlahan, dia memutar kepalanya, melihat sang putri yang masih dicekal erat oleh petugas medis kesehatan itu. Sementara Chelsi hanya menatap Affandi dengan tatapan syok. Mana mungkin? Tapi benarkah? Pikiran dan perasaan gadis itu campur aduk. Lalu dia menatap sang ibu--Vena. Mata Chelsi berkaca-kaca, melihat wajah memucat ibunya. Apakah mungkin yang dikatakan sang dokter benarkah nyatanya? Dia ...."Lepaskan putriku, Venuska!" Kembali Affandi bersuara tegas, menatap tajam pada Vena. Jelas hal tersebut membuat nyali wanita itu menciut. Tapi tidak, Chelsi tetap putrinya!"Tidak! Dia anakku! Dia putriku. Hanya putriku!" Vena menarik kembali Chelsi, agak kasar. Namun, Affandi tetap menahan."Sakit," r
Akhirnya, Abimanyu, Chelsi, juga Angaksa pergi ke rumah sakit. Abimanyu dan Chelsi semobil? Tentu saja tidak. Gadis itu semobil dengan calon suaminya. Membiarkan dada Abimanyu terbakar di mobil lainnya sana.Abimanyu memilih melajukan kecepatan mobilnya di atas rata-rata. Pergi entah ke mana. Hendak mendinginkan dulu perasaannya yang memanas.**"Saya di sini saja, Bu. Nggak usah masuk ke dalam." Seorang wanita berusia senja itu, tampak sungkan ketika lengannya ditarik oleh Syeira masuk ke ruang rawat Binar. Lebih tepatnya, dia takut masuk ke dalam. Takut bertemu dengan si petugas medis yang dulunya pernah menjadi mantannya itu.Tadi, di saat mereka kembali bertemu demi membahas tentang pernikahan Angkasa dan Chelsi, tiba-tiba Affandi menelepon, memberitahukan berita gembira. Jika Nona kesayangannya telah sadar dari koma. Jelas hal tersebut juga menjadi s
Biasanya, jika Abimanyu dulu terpaksa harus mengantar Friska, maka gadis itu akan berceloteh panjang lebar hingga membuat kuping Abimanyu terasa panas. Bukan hanya itu, Friska juga suka sekali menempel pada lengan berotot Abimanyu. Hingga membuat sang pria gerah juga geram setengah mati.Namun sekarang, hampir lima belas menit perjalanan pun, gadis berkuncir kuda itu belum juga membuka suara. Dia hanya menoleh ke arah luar jendela. Memerhatikan gedung-gedung yang berpapasan dengan mereka. Diamnya Friska malah membuat perasaan Abimanyu tak enak. Abimanyu memang lebih menyukai suasa yang hening ketimbang ribut, tetapi diamnya Friska malah membuat pria itu resah.'Kau terlihat seperti jalang yang haus belaian.' Lagi, kalimat itu mengusik pikiran Abimanyu. Dia tak ingat betul kalimat apa saja yang meluncur dari mulutnya saat emosi waktu itu. Tapi yang Abimanyu tahu, kemungkinan salah satu ucapannya benar-b
Perlahan-lahan, kelopak mata yang tampak lemah itu berkedip pelan. Ingin membuka mata, tetapi silau mentari begitu menusuk. Kembali dia menutup mata erat. Tangannya terasa menyentuh sebuah permukaan berbulu lebat. Sebuah rambut. Diusapnya rambut tersebut dengan pelan. Aksinya tersebut malah mengganggu tidur si empu rambut. Abimanyu menggeliat, dan gesekan kepalanya pada samping perut sang ibu, membuat si empu perut melenguh. Melotot langsung kedua bola mata itu."Mah?" Abimanyu bangkit berdiri, memanggil ayahnya yang tidur di samping sofa di belakangnya."Tangan Mama gerak lagi." Hati Abimanyu berdesir hangat. Sangat bahagia melihat wajah ibunya yang terus menunjukkan respon aktif."Nona?" Affandi mengusap pipi Binar, tampak berkaca-kaca mata petugas medis itu melihat bibir Binar yang bergerak-gerak."A--bi ..., bagai-mana kead---"
Dua sejoli yang saling membulat matanya itu sama-sama menatap tanpa berkedip. Abimanyu masih tetap menahan pinggang Chelsi, sedangkan gadis itu meringis ketakutan dengan debaran jantung yang menggila mendengar suara panggilan di luar pintu. Itu suara Syeira. Bagaimana jika ibunya Angkasa tersebut melihat dirinya dan Abimanyu dalam satu kamar, dipeluk sang pria pula."Pak, saya mohon, lepaskan saya," cicit gadis itu menatap wajah Abimanyu di samping kiri kepalanya."Kenapa, hmm?" Abimanyu malah mendekatkan wajahnya di bahu Chelsi, membuat debaran jantung gadis itu kian jadi. Serasa hampir meledak saja jantungnya."Chelsi, kamu masih di dalam 'kan?" Syeira kembali mengetuk pintu."Pak, saya mohon." Chelsi meringis, menjauhkan wajahnya dari rahang Abimanyu yang kasar karena bulu-bulu tipis yang memenuhi pipinya."Aku mau mele
Melihat Abimanyu yang bergerak mendekat setelah menutup pintu, Chelsi menatap waspada. Terlebih dirinya yang hanya mengenakan handuk, tumpahan air minum tadi lumayan membuat gaunnya basah parah. Syeira menyarankan agar Chelsi mengganti pakaian basah tersebut dengan gaunnya."Pak, keluar dari sini!" Chelsi gegas menarik selimut menutupi tubuhnya.Abimanyu terus mengayunkan langkah dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Chelsi mundur perlahan dengan tatapan yang tak terlepas dari mata elang itu. Abimanyu terus mendekat, mengikis jarak, terus, dan terus. Sampai membuat gadis yang membalut tubuhnya dengan selimut itu terpojok di dinding.Chelsi kelabakan. Mengerjap beberapa saat, dan menoleh ke belakang. Lalu kembali mendongak, menatap mata elang itu yang berada tepat di depan keningnya. Dia hendak kabur, tetapi Abimanyu sigap menekan dinding sebelah kiri gadis itu. Chelsi henda