Braak!
Alfa yang sedang memandangi layar laptopnya terkejut saat mendengar pintu ruang kerjanya dibuka dengan keras. “Hai Sweety! Ada apa ini?” tanya pemuda berusia dua puluh tujuh tahun itu saat melihat kehadiran kekasihnya yang tampak sedang menahan amarah. Alih-alih menjawab pertanyaan Alfa, gadis itu memilih melemparkan amplop coklat yang sejak dia masuk digenggamnya dengan erat ke atas meja kerja pemuda itu. Wajah gadis itu terlihat merah padam dengan rahang mengetat. Ditatapnya tajam wajah pemuda yang adalah kekasihnya. “Apa ini, Sayang?” tanya pemuda itu dengan ekspresi bingung. “Kamu kenapa, Sayang? Kenapa datang-datang emosi begini. Kamu lagi PMS?!” tanya Alfa lagi karena sejak tadi gadis itu hanya diam seribu bahasa membuatnya semakin bingung. “Sayang ...-“ “ ... Stop memanggilku Sayang! Kalo kamu tak bisa menjaganya!” seru gadis itu. Alfa tersentak mendengar perkataan kekasihnya. “Hai! Gladys, Sayangku, ada apa ini sebenarnya?” Alfa masih menatap wajah kekasihnya yang diliputi amarah. Dia merasa tak melakukan apapun yang membuat kekasihnya itu marah. “Kalo kamu mau tahu apa yang membuatku marah, bukalah amplop itu!” kembali gadis itu membentak Alfa. “Oke! Oke! Aku akan membukanya. Tapi kamu duduk dulu ya, biar aku ambilkan minum agar kamu lebih tenang,” ucap Alfa sambil membimbing gadis itu untuk duduk di sofa yang ada di ruang kerjanya. Kemudian CEO muda itupun mengambil dua kkaleng minuman ringan dan memberikan salah satunya kepada Gladys. Tentu setelah dia membukanya. Gladys menerima kaleng minuman itu namun dia tak meminumnya. Alfa menghembuskan napas kasar. Kemudian dia membuka amplop yang tadi dilemparkan kekasihnya itu. Pelan-pelan dikeluarkannya isi dari amplop itu. Matanya membulat begitu melihat isi dari amplop itu. “I-ini ... darimana kamu dapat foto-foto ini, Sayang?!” tanya Alfa sedikit gugup. Dia tak menyangka akan kecolongan lagi. ‘Siapa yang melakukan ini. Pasti ulah paparazi itu’ geram Alfa sambil mengusap belakang kepalanya. “Terkejut?! Bukankah itu acara meeting kamu hari sabtu lalu?!” sarkas Gladys. “Sa-sayang ... aku bisa jelasin ini!” seru Alfa. “Mau jelasin apalagi?! Apa kamu ingat hari itu hari apa?!” seru Gladys penuh amarah. “Hari sabtu kan?” Gladys menatap tajam Alfa giginya bergemeletuk. “Kamu ... Kamu benar-benar lupa atau pura-pura lupa seperti biasanya, hah!” bentak Gladys. Alfa menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. “Kamu ... kalo urusan pekerjaanmu sama perempuan-perempuan itu tidak pernah lupa. Tapi untuk hari istimewa kita, dengan mudahnya kamu melupakannya,” lirih Gladys. “Hari istimewa?” tampak pemuda itu mencoba mengingat peristiwa penting apa yang dia lupakan hingga kekasihnya begitu meradang. “Masih belum ingat, hah?!” Gladys menatap sinis Alfa. Pria yang sesungguhnya sangat dia cintai namun tak henti-hentinya membuat hatinya merana karena kelakuannya. “Apa sih, Sayang?! Aku beneran lupa deh!” ujar pemuda itu lembut. Sangat berbeda dengan kesehariannya yang terkesan dingin dengan para karyawannya dan koleganya. Di hadapan kekasihnya, dia tak lebih dari pria romantis yang sangat memuja kekasihnya. “Sudahlah aku pulang saja! Dan ya ... sebaiknya kita putus!” Alfa tersentak mendengar ucapan Gladys kekasihnya. “Kok putus?” lirih Alfa. “Buat apa kita lanjutkan hubungan kita. Toh! Aku nggak pernah ada artinya jika dibandingkan dengan perempuan-perempuan itu!” ketus Gladys. Gadis itu kemudian bangun dari duduknya dan menyambar sling bagnya yang tergeletak di meja. Baru saja dia hendak beranjak, Alfa sudah menarik tangannya hingga dia jatuh terduduk di pangkuan Alfa. Pemuda itu mendekap erat tubuh kekasihnya. Gladys merasakan jantungnya berdegup kencang. Namun dia berusaha untuk menyembunyikan agar tak di sadari oleh kekasihnya itu. Ya, meski sedang marah namun perlakuan manis pemuda itu selalu saja membuat hatinya kebat kebit tak karuan. “Maafin aku, Sayang. Aku benar-benar lupa. Tolong kamu bilang apa yang aku lupakan. Kita jangan putus ya?” bisik pemuda itu, membuat Gladys meremang. “Hari jadian kita yang ketiga tahun,” lirih Gladys. Alfa terkesiap. Dia menepuk dahinya sendiri. ‘Sial ... kenapa bisa lupa sih’ batinnya. “Astaga ... Sayang! Maaf ya aku lupa! Happy Anniversary my sweetheart,” ucap Alfa penuh penyesalan. Dikecupnya kedua pipi kekasihnya. “Kamu mau minta hadiah apa, hem?!” “Bukan hadiah yang aku minta. Aku hanya ingin merayakannya bersamamu tapi ... mana ingat kamu dengan aku jika disekelilingmu ada gadis-gadis itu,” ujar Gladys dengan suara parau. Tampak sekali gadis itu sedang menahan tangisnya. Hatinya terasa perih. Selalu saja seperti itu, hadiah, barang-barang mewah dan pergi ke luar negeri yang jadi ukuran bagi seorang Alfa Shaquille Bimantara untuk menebus semua kesalahannya. “Sudahlah! Lebih baik jika mulai sekarang kita jalan sendiri-sen...hmpf,” belum sempat Gladys menyelesaikan ucapannya, Alfa telah membungkam bibirnya dengan lumatan kecil. Jika sudah begitu, sekeras apapun Gladys mencoba menolak dia tak akan bisa melakukannya. Tanpa sadar, gadis itu mengalungkan kedua tangannya di leher Alfa. Untuk sesaat mereka larut dalam pagutan dan lumatan bibir mereka. Alfa melepaskan pagutannya setelah merasa kehabisan oksigen. Pemuda itu menempelkan keningnya di kening Gladys. “Jangan putus, Sayang, aku nggak mau kehilanganmu,” bisik Alfa. Gladys merasakan netranya memanas. Tak lama kemudian terdengar isak tangisnya. “Aku lelah begini terus, Alf. Selama tiga tahun hubungan kita, entah sudah berapa kali kamu membuatku bimbang seperti ini. Aku benci kamu,Alf! Aku benci!” seru gadis itu sambil memukul-mukul dada Alfa. “Kau selalu menghujaniku dengan barang-barang mewah. Kau selalu memanjakanku dengan uang yang kau miliki tapi ... bukan itu semua yang aku mau. Aku mau ... kamu punya sedikit waktu untukku. Hanya sedikit Alf ... hanya sedikit yang aku minta dari seluruh waktumu. Terutama, untuk hari-hari spesial bagi kita,” tutur Gladys sambil terisak di dada kekasihnya. Alfa termangu mendengar ucapan kekasihnya. Begitu dalamkah luka yang dia torehkan, hingga kekasihnya menginginkan berpisah darinya. Dia kembali mencerna semua ucapan kekasihnya. Dia tersentak saat menyadari sejak menjalin hubungan dengan gadis itu hingga tiga tahun ini, baru dua kali dia benar-benar menghabiskan waktu dengan kekasihnya itu. Yang pertama diawal mereka menjalin hubungan dan yang kedua saat hari jadi pertama hubungan mereka. Itu artinya dua tahun yang lalu. Selebihnya, seperti yang tadi di bilang Gladys. Dia hanya menghujaninya dengan harta dan kemewahan. Waktunya lebih banyak dia habiskan untuk bersenang-senang dengan para gadis pemandu karaoke dengan alasan meeting dengan klien. Pemuda itu menghembuskan napas kasar. Gladys bangun dari posisi duduknya di pangkuan Alfa. Ditatapnya wajah kekasihnya untuk sesaat. “Aku pulang, Alf. Nanti malam aku ada praktek di rumah sakit untuk ujian akhirku. Pikirkanlah lagi tentang hubungan kita. Jujur, aku tak ingin terus berada dalam hubungan toxic seperti ini. Aku ingin hubungan yang normal seperti yang lain,” tutur Gladys kemudian beranjak meninggalkan ruangan kerja yang cukup mewah itu. Alfa yang baru saja menyadari jika kekasihnya telah pergi setelah mendengar pintu ditutup segera bangkit, menyambar kacamata kesayangannya dan kunci mobilnya. Dia bergegas keluar dari kantornya melalui jalan rahasia yang hanya dirinya yang tahu.Bersambung
Sebelum menjalankan mobilnya dia terlebih dahulu menghubungi seseorang. “Temui aku di tempat biasa!” titahnya dan langsung memutus sambungan telepon tanpa menunggu jawaban orang di seberang telepon. ‘Kalian pikir bisa merusak hubunganku dengan Gladys. Lihat saja apa yang akan aku lakukan!’ gumam Alfa dengan mata berkilat-kilat penuh amarah. Gladys boleh saja marah padanya. Tapi dia tak akan pernah melepaskannya. Untuk itu, dia bertekad akan mencari dulu siapa yang selalu diam-diam mengawasinya. Selama ini dia sudah berusaha untuk bermain cantik di belakang kekasihnya. Alfa melajukan mobil sportnya dengan kecepatan cukup tinggi. Tak lama kemudian dia telah sampai di sebuah Bar langganannya. Dengan langkah tegap dan tanpa melepas kacamatanya, dia memasuki Bar itu. Sesekali dia menebar senyum pada gadis-gadis di sana. Membuat para gadis itu melambung. Begitulah seorang
Begitu memasuki mobil Alfa, Gladys terkejut saat tiba-tiba Alfa menutup matanya dengan kain hitam. Dia semakin terkejut saat merasakan kedua tangannya seperti sedang diikat. “Alf! Apa yang kamu lakukan?! Lepaskan aku Alf!” teriak Gladys berusaha berontak. Namun apalah dayanya yang hanya seorang gadis jika dibandingkan dengan sosok Alfa yang memiliki tubuh atletis itu. “Tenanglah, Sayang. Aku tidak akan menyakitimu. Aku hanya ingin kamu tidak kabur dariku,” bisik Alfa sambil memasangkan sabuk pengaman ke tubuh Gladys. “Alf ... tolong ... jangan begini. Lepaskan aku,” lirih gadis itu. Suaranya terdengar parau dan ketakutan. Alfa menghela napas panjang. ‘Maaf Sayang, mungkin aku memang brengsek. Tapi hanya kamu wanita yang aku cintai di dunia ini dan aku tak ingin kehilanganmu’ batin pemuda itu. 
Gladys merasakan sakit pada seluruh tubuhnya. Pelan-pelan dia beringsut turun dari ranjang. Dengan tertatih dia beranjak menuju kamar mandi. Sesampainya di kamar mandi, dinyalakannya shower dan dibiarkannya air yang mengucur membasahi seluruh tubuhnya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tubuhnya terjajar ke belakang dan perlahan merosot ke bawah hingga jatuh terdudu di lantai. ‘Ya Tuhan, bagaimana harus kuhadapi dunia ini sekarang. Aku sudah hancur, aku juga kotor’ rintih gadis itu. Dia telungkupkan wajahnya dikedua lututnya yang tertekuk. Air mata terus saja membanjiri wajahnya, bercampur dengan guyuran air dari shower. Hatinya benar-benar remuk redam. Dia tak pernah menyangka, pria yang dicintainya begitu tega melakukan hal menyakitkan itu padanya. ‘Aku benci kamu Alfandra Shaquille Bimantara’ geram Gladys dengan suara tertahan. Tok! Tok! Tok!
“Ada apa ini!” bentak Alfa dengan suara menggelegar. Para pelayan segera berbaris rapi saat melihat majikannya sudah berdiri di ambang pintu dengan wajah merah padam dan netra yang berkilat-kilat. Mereka semua hanya menundukkan kepala. Tak terkecuali Gladys yang tak kalah terkejut. Netra Alfa menatap tajam ke arah Gladys yang sedang dipegangi oleh Devan. “Devan!” seru Alfa. Devan segera melepaskan pegangannya pada Gladys. Begitu Devan melepaskannya, Gladys langsung mengambil kesempatan itu untuk kabur. Namun sayang, Alfa dengan sigap menangkap gadis itu dan membawanya ke dalam pelukannya. “Kau mau kemana, Sayang?! Sebentar lagi Tante Sherly datang lho!” ucap Alfa dengan nada dingin. “Alf ... tolong lepasin aku. Aku harus ke rumah sakit,” mohon Gladys dengan suara memelas. “Tidak sekarang, Sayang. Kita harus fitting baju pengantin
Tak seperti sebelum-sebelumnya, hari ini Gladys tampak begitu segar. Dia baru saja selesai mandi. Dia memilih mengenakan gaun dengan warna kesukaan Alfa. Gadis itu telah memutuskan untuk mengikuti nasehat Bi Sani. Dia akan berusaha untuk kembali melunakkan hati kekasihnya. Tentu agar dia bisa bebas dari sangkar emas kekasihnya. Selain itu, dia ingin agar Alfa kembali mengijinkannya untuk mengabdikan ilmunya untuk menolong banyak orang. Sudah dua hari Alfa tidak datang ke mansion. Tepatnya sejak hari dimana dia mencoba untuk kabur. Bi Sani juga tidak berani membiarkannya keluar kamar karena selama dua hari itu dia tidak bisa dihubungi. Gadis itu sedang berada di balkon kamar yang ditempatinya sambil menikmati udara pagi ketika tiba-tiba dia merasakan tangan kekar melingkari pinggang hingga perutnya. “Pagi sayang,” bisik suara yang dikenalnya. Meski sepa
Hari yang ditunggu pun akhirnya tiba. Alfa sengaja mendatangkan seorang MUA terkenal untuk merias Gladys. Dan keputusan Alfa memang benar. Gladys saat ini terlihat begitu cantik meski dengan riasan yang natural. Apalagi dengan gaun pengantin pilihannya yang kini sudah melekat di tubuhnya. Alfa merasa takjub saat melihat Gladys yang sedang memasuki ruangan untuk akad nikah dengan dibimbing oleh Bi Sani. Tak hanya Alfa, para tamu yang diundang pun tak kalah takjub. Wanita paruh baya itu mendudukan Gladys di samping Alfa yang sudah lebih dulu duduk di hadapan penghulu. “Cantik,” puji Alfa dengan berbisik ke telinga Gladys. Gladys merasakan tubuhnya meremang mendengar bisikan itu. “Sudah bisa dimulai?” tanya penghulu. “Sudah Pak!” jawab Alfa tegas. Sedangkan Gladys hanya menundukkan kepalanya.
Gladys dengan dibantu oleh Bi Sani tengah mempersiapkan segala keperluannya untuk berbulan madu atas perintah Alfa. Sebenarnya Gladys merasa sangat malas untuk pergi. Tapi apalah dayanya jika Alfa telah memiliki keinginan. “Sudah siap, Sayang?” tanya Alfa saat dia masuk ke dalam kamarnya. “Sudah,” jawab Gladys singkat. “Oke! Kita berangkat sekarang!” ajak Alfa setelah memerintahkan pelayan membawa barang bawaannya. “Tuan, Nyonya, selamat jalan!” ucap Bi Sani. “Makasih Bi. Kami hanya beberapa hari saja kok perginya. Minggu depan isteriku ini akan menjalani wisuda dan mendapatkan gelar dokter secara resmi,” ujar Alfa sambil membelai rambut Gladys. Gadis itu hanya mengulas senyuman tipis di bibirnya. “Kami p
Beberapa hari kemudian, Gladys telah kembali sehat. Saat ini dia sedang menatap bayangannya di cermin dengan bangga. Ya, hari ini adalah hari wisudanya. Hari di mana dia akan mendapat gelar dokter secara resmi. Sebuah cita-cita yang telah lama diimpikannya. Namun, beberapa detik kemudian senyum itu hilang dari bibirnya saat dia menyadari sesuatu. Dia terduduk di tepi ranjang. ‘Tak ada gunanya aku wisuda. Tak ada artinya aku mendapat gelar dokter. Semua sia-sia dan sama saja. Aku akan tetap tak akan bisa lepas dari rantai yang dipasang pria itu’ gumam gadis itu. “Sayang, sudah siap?” Alfa tertegun saat melihat istrinya sedang menangis. “Hei! Kenapa?” tanya Alfa sambil menghapus air mata sang isteri. “Aku tidak akan wisuda, Alf. Semuanya percuma saja,” lirih Gladys. “Kenapa bilang
Braakk! Terdengar suara pntu yang didobrak dari luar dan tiba-tiba masuklah seorang pria berbadan tegap dan berpakaian serba hitam. Bruukk! Terdengar suara tubuh Randy yang membentur dinding setelah ditarik dengan kasar oleh pria berbadan tegap itu. “Nona, keluarlah dari sini. Di depan ada mobil putih yang sedang menunggu. Anda naiklah ke mobil itu!” ujar pria itu sambil meringkus Randy. Tak menunggu lama Amalia pun berlari keluar menuruti ucapan pria itu. Dia tak perduli meski tak mengenal pria itu. Saat ini dia hanya ingin sembunyi dari Randy. Benar apa yang dikatakan oleh pria itu jika saat ini di halaman bungalow ada sebuah mobil putih yang terparkir. Dia bergegas masuk ke mobil itu. Di sana sudah ada pria lain yang menunggu. Tak lama kemudian, pria yang tadi menolong Amalia terl
“Aku mau pulang. Aku nggak mau di sini,” ujar Gladys setelah Alfa berdiri tepat di samping tempat tidurnya. “Kenapa, Sayang? Kau masih memerlukan perawatan jadi untuk sementara kau di sini dulu ya,” bujuk Alfa. “Aku nggak mau, Alf. Aku mau pulang. Di sini ... aku merasa tidak nyaman,” rengek Gladys. Alfa menghembuskan napas kasar. “Baiklah. Kau tunggu di sini. Biar aku temui dokter dulu.” Alfa memilih mengalah karena tak ingin Gladys merasa tertekan. Kemudian pria itu meninggalkan kamar rawat isterinya untuk menemui dokter. Tiga puluh menit kemudian, Alfa kembali masuk ke kamar dengan mengulas senyuman. Dia mengecup lembut kening Gladys. “Dokter mengijinkan kamu pulang, Sayang,” bisik Alfa. “Benarkah?!&rd
Gladys memilih bungkam dan tidak mengatakan apapun ketika mereka sedang sarapan bersama. Dia tahu semalam suaminya pulang saat malam telah begitu larut. “Sayang ... kenapa kau diam saja? Apa kau marah?” tanya Alfa hati-hati. Gladys menghentikan suapan untuknya dan memilih meletakkan kembali sendok yang dipegangnya ke atas piring. Kemudian menatap ke arah suaminya dengan tatapan yang sulit diartikan. “Apakah aku punya hak untuk marah?” sarkas wanita itu. Kemudian dia melanjutkan sarapannya. Alfa hanya terdiam, berusaha untuk mencerna ucapan Gladys. “Maaf Nyonya, silakan ini susunya,” ucap Bi Sani yang sudah meletakkan segelas susu hamil di depan Gladys. “Terima kasih, Bi. Oh ya, Bi ... bisa aku minta tolong, ambilkan vitaminku di kamar?” pinta Gladys.&nb
“Sayang, aku ke ruang kerja sebentar. Ada yang harus aku selesaikan,” ujar Alfa lembut sambil mengusap puncak kepala Gladys yang terbaring lemah. Gladys hanya mengangguk lemah karena kepalanya memang terasa pusing. Setelah menerima panggilan dari Amalia, Alfa memutuskan untuk pergi ke bungalownya. Disepanjang perjalanan menuju bungalownya, Alfa terus menggerutu untuk meluapkan rasa kesalnya pada mantan kekasihnya itu. Dia juga kesal karena antara hati dan apa yang terucap dari bibirnya tak pernah bisa sejalan. Dia selalu saja mengatakan jika dia tak ingin lagi berhubungan dengan gadis itu. Namun, hatinya selalu membawanya ke hadapan wanita itu. Bahkan saat di ingatannya hanya ada Gladys isteri sahnya sekalipun. ‘Ada apa sebenarnya denganku’ batin pria itu. “Tuan,” sapa Devan saat melihat tuannya yang baru saja menginjakkan kaki di teras bungalow.
“Nyonya hamil, Tuan,” berita yang di sampaikan oleh dokter itu masih terngiang di telinga Alfa. Senyum bahagia terlukir di bibirnya. SATU JAM YANG LALU “Dokter, apa maksudnya isteri saya tidak sakit? Menurut Bi Sani, isteri saya tadi pingsan. Bagaimana mungkin dia tidak sakit?” cecar Alfa. “Itu hal yang wajar karena saat ini, Nyonya sedang hamil muda,” jawab dokter itu santai. “A-apa dok?! Ha-hamil ... maksud dokter istri saya sekarang sedang hamil?” tanya Alfa tak percaya. “Benar Tuan. Sebaiknya, Tuan segera membawa Nyonya ke dokter kandungan agar lebih jelas lagi,” saran dokter itu lagi. Tak lama kemudian terdengar tawa bahagia dari Alfa. Tak hanya Alfa, Bi Sani pun turut bahagia mendengar kabar baik itu.&nbs
Amalia menatap langit-langit kamar yang di tempatinya. Kamar itu kini sudah kembali rapi karena Alfa sudah menyuruh orang untuk merapikannya. Pikirannya menerawang ke masa beberapa tahun yang lalu. Masa di mana dia bahagia dengan Alfa. Sebelum semuanya hancur karena bujuk rayu seseorang yang kini sangat di bencinya. Seseorang yang telah tega menghancurkan hidupnya. Setelah puas menikmati tubuhnya, dia tega menjualnya ke tempat hiburan malam di luar negeri. Bahkan saat ini dia tengah mengandung entah janin laki-laki yang mana. Beruntung dia memiliki sahabat yang bersedia membantunya melarikan diri. Dan di sinilah dia sekarang. Tak beda jauh dengan Amalia, Alfa pun mengalamai hal yang sama. Pria itu menghentikan laju mobilnya. Dia merasakan jantungnya seperti diremas saat pikirannya melayang pada masa. Masa di mana dia merasakan sakit karena penghianatan Amalia. BEBERAPA TAHUN YANG LALU&nb
Beberapa hari kemudian, Gladys telah kembali sehat. Saat ini dia sedang menatap bayangannya di cermin dengan bangga. Ya, hari ini adalah hari wisudanya. Hari di mana dia akan mendapat gelar dokter secara resmi. Sebuah cita-cita yang telah lama diimpikannya. Namun, beberapa detik kemudian senyum itu hilang dari bibirnya saat dia menyadari sesuatu. Dia terduduk di tepi ranjang. ‘Tak ada gunanya aku wisuda. Tak ada artinya aku mendapat gelar dokter. Semua sia-sia dan sama saja. Aku akan tetap tak akan bisa lepas dari rantai yang dipasang pria itu’ gumam gadis itu. “Sayang, sudah siap?” Alfa tertegun saat melihat istrinya sedang menangis. “Hei! Kenapa?” tanya Alfa sambil menghapus air mata sang isteri. “Aku tidak akan wisuda, Alf. Semuanya percuma saja,” lirih Gladys. “Kenapa bilang
Gladys dengan dibantu oleh Bi Sani tengah mempersiapkan segala keperluannya untuk berbulan madu atas perintah Alfa. Sebenarnya Gladys merasa sangat malas untuk pergi. Tapi apalah dayanya jika Alfa telah memiliki keinginan. “Sudah siap, Sayang?” tanya Alfa saat dia masuk ke dalam kamarnya. “Sudah,” jawab Gladys singkat. “Oke! Kita berangkat sekarang!” ajak Alfa setelah memerintahkan pelayan membawa barang bawaannya. “Tuan, Nyonya, selamat jalan!” ucap Bi Sani. “Makasih Bi. Kami hanya beberapa hari saja kok perginya. Minggu depan isteriku ini akan menjalani wisuda dan mendapatkan gelar dokter secara resmi,” ujar Alfa sambil membelai rambut Gladys. Gadis itu hanya mengulas senyuman tipis di bibirnya. “Kami p
Hari yang ditunggu pun akhirnya tiba. Alfa sengaja mendatangkan seorang MUA terkenal untuk merias Gladys. Dan keputusan Alfa memang benar. Gladys saat ini terlihat begitu cantik meski dengan riasan yang natural. Apalagi dengan gaun pengantin pilihannya yang kini sudah melekat di tubuhnya. Alfa merasa takjub saat melihat Gladys yang sedang memasuki ruangan untuk akad nikah dengan dibimbing oleh Bi Sani. Tak hanya Alfa, para tamu yang diundang pun tak kalah takjub. Wanita paruh baya itu mendudukan Gladys di samping Alfa yang sudah lebih dulu duduk di hadapan penghulu. “Cantik,” puji Alfa dengan berbisik ke telinga Gladys. Gladys merasakan tubuhnya meremang mendengar bisikan itu. “Sudah bisa dimulai?” tanya penghulu. “Sudah Pak!” jawab Alfa tegas. Sedangkan Gladys hanya menundukkan kepalanya.