Amalia menatap langit-langit kamar yang di tempatinya. Kamar itu kini sudah kembali rapi karena Alfa sudah menyuruh orang untuk merapikannya. Pikirannya menerawang ke masa beberapa tahun yang lalu. Masa di mana dia bahagia dengan Alfa. Sebelum semuanya hancur karena bujuk rayu seseorang yang kini sangat di bencinya. Seseorang yang telah tega menghancurkan hidupnya. Setelah puas menikmati tubuhnya, dia tega menjualnya ke tempat hiburan malam di luar negeri. Bahkan saat ini dia tengah mengandung entah janin laki-laki yang mana. Beruntung dia memiliki sahabat yang bersedia membantunya melarikan diri. Dan di sinilah dia sekarang.
Tak beda jauh dengan Amalia, Alfa pun mengalamai hal yang sama. Pria itu menghentikan laju mobilnya. Dia merasakan jantungnya seperti diremas saat pikirannya melayang pada masa. Masa di mana dia merasakan sakit karena penghianatan Amalia.
BEBERAPA TAHUN YANG LALU
Alfa tersenyum melihat gadis pujaannya yang melenggang keluar dari kampus. Dia merentangkan kedua tangannya menyambut gadis itu. Gadis itu pun segera berlari melesak dalam dekapan pria terkasihnya. Alfa mengecup puncak kepala gadis itu dengan penuh cinta.
“Sayang, laper,” rengek gadis itu.
“Kita makan. Yuk!” Alfa membukakan pintu untuk gadisnya. Gadis itu pun segera masuk. Setelah memasangkan sabuk pengaman, pemuda itu berjalan memutari mobil.
“Mau makan apa?” tanya Alfa sambil merapikan surai rambut gadis itu.
“Apa aja asal sama kamu, aku pasti suka,” jawab gadis itu. Alfa tersenyum lembut pada gadis itu. Pemuda itu melajukan mobilnya tidak terlalu cepat. Kemudian dia membelokkan mobilnya ke restoran steak yang cukup mewah.
“Ayo turun,” ucap pemuda itu setelah membukakan pintu dan sabuk pengaman gadis itu. Gadis itu pun segera turus dan bergelayut di lengan Alfa.
“Lia, berjanjilah untuk selalu di sisiku,” ujar Alfa.
“Aku janji, Alfa. Aku sangat mencintaimu dan aku tak ingin kehilanganmu,” sahut gadis itu sambil tersenyum sangat manis. Membuat jantung Alfa berdetak semakin kencang.
“Kau mau membuatku terkena diabetes?” tanya Alfa yang membuat gadis itu kebingungan.
“Maksud kamu apa, Al?” tanya gadis itu.
“Senyummu sangat manis. Jadi, jangan terlalu sering tersenyum agar aku tak terkena diabetes,” rayu Alfa. Sementara Lia, wajahnya tak merona karene mendengar rayuan dari kekasihnya.
Alfa memiliki sahabat dekat yang bernama Randy. Alfa paham benar seperti apa karakter sahabatnya itu yang sangat suka mempermainkan gadis-gadis. Oleh sebab itu, Alfa tak pernah membiarkan Amalia dekat dengan Randy. Namun, tanpa sepengetahuan Alfa, Randy sering mencoba merayu Amalia dan bertekad ingin merebut Amalia dari Alfa.
Sepertinya, dewi fortuna berpihak pada Randy. Hingga tanpa sepengetahuan Alfa, mereka berdua sering bertemu. Bahkan hubungan mereka sudah sangat jauh. Apa yang tidak pernah Amalia lakukan bersama Alfa ternyata sering dia lakukan bersama Randy.
Alfa, yang terkadang sibuk dengan urusan perusahaan tak terlalu memperhatikan perubahan yang terjadi pada Amalia. Hingga pada suatu ketika dia yang baru pulang dari Singapura bermaksud memberikan kejutan pada kekasihnya itu. Namun sayang, hal yang terjadi adalah yang sebaliknya.
Sengaja dari bandara Alfa langsung menuju Bungalow Sakura miliknya. Bungalow yang ingin dia tempati bersama keluarga kecilnya kelak. Dengan senyum semringah pemuda itu melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. ‘Aku akan menghubungi Amalia setelah sampai di bungalow’ gumam Alfa sambil mengulas senyum. Dia membayangkan ekspresi terkejut dari kekasihnya.
Sedangkan untuk Amalia dan Randy, ternyata keberuntungan tak selalu menyertai mereka. Dan sepertinya saat itu adalah takdir buruk bagi mereka. Mereka berpikir jika saat itu Alfa masih sibuk dengan urusannya di Singapura. Dengan pikiran seperti itu mereka memutuskan untuk bermesraan di bungalow milik Alfa.
Randy dan Amalia yang sedang terhanyut dalam renjana mereka tak menyadari jika Alfa telah memarkirkan mobilnya di halaman bungalow. Alfa sangat heran saat melihat mobil yang asing terparkir di depan bungalow miliknya. Ya, kebetulan hari itu Randy membawa mobilnya yang baru sehingga Alfa tak mengenalinya.
‘Mobil siapa itu? Kenapa ada di sini’ batin Alfa. Sejurus kemudian pria itu terlihat menepuk dahinya. ‘Tentu saja itu mobil mama kan. Kemarin waktu aku di Singapura, mama sempat cerita kalo dia beli mobil baru. Ah, jadi mama sedang di sini. Baiklah ... aku beri kejutan saja sekalian’ monolog pemuda itu sambil terkekeh.
Namun kekehan pemuda itu terhenti seketika saat dia memasuki bungalow, sayup-sayup dia mendengar sesuatu yang aneh dari dalam kamar yang biasa dia tempati. Pemuda itu semakin menajamkan pendengarannya. Jantungnya berdetak semakin cepat dan tanpa sadar dia mengepalkan kedua tangannya saat suara itu semakin jelas di telinganya. Dia sangat mengenali siapa pemilik suara itu. ‘Lia ... Randy, apa yang sedang kalian lakukan di kamarku’ gumam Alfa.
Braaak!
Alfa membuka pintu kamar yang ternyata tak tekunci itu dengan keras. Netranya membulat melihat pemandangan di hadapannya. Tak hanya Alfa namun Amalia dan Randy juga terkejut saat melihat kehadiran Alfa.
“Apa yang kalian lakukan?!” teriak Alfa penuh emosi.
“Lia! Jadi ini yang kau lakukan di belakangku?!” bentak Alfa dengan tatapan jijik.
“Randy! Kau menginginkan dia bukan. Ambillah dia untukmu ... karena aku melepaskannya. Termasuk juga ... bungalow ini!” seru Alfa sambil menatap sengit ke arah Randy.
“Silahkan lanjutkan kesenangan kalian! Maaf jika aku mengganggu!” setelah mengatakan itu Alfa langsung berlalu dari sana. Namun, baru saja dia akan melangkah, dia memutar tubuhnya lagi.
“Ah iya, Lia ... kekasihku tersayang ... mulai detik ini, kita tidak ada hubungan apa-apa lagi!” kali ini Alfa benar-benar pergi dari bungalow itu. Dia bahkan mengabaikan tangisan Amalia yang memohon maaf padanya.
‘Alfa ... tolong maafkan aku’ raung Amalia di kamar itu. Hatinya dipenuhi rasa bersalah saat mengingat hal itu. Sekarang, harapannya hanya satu Alfa mau menikahinya. Dia bahkan menjadi isteri kedua Alfa. Baginya saat ini, calon anaknya memiliki seorang ayah dan hidupnya terjamin.
Di tempat lain, Alfa sedang memukul kemudinya dengan keras. Rahangnya tampak mengetat penuh dengan emosi saat dia mengingat penghianatan Amalia.
Drrrt! Drrrt! Drrrt!
Alfa meraih ponselnya yang bergetar. Dia tersentak saat melihat itu adalah nomor Bi Sani.
“Iya Bi, sebentar lagi aku sampai,” ujarnya begitu menerima panggilan itu dan segera mengakhirinya. Alfa segera melajukan mobilnya kembali. Kini, dia berusaha untuk memfokuskan pikirannya hanya pada Gladys istrinya, masa depannya.
Tak berapa lama kemudian, Alfa telah membelokkan mobilnya ke halamam mansion miliknya. Dia menyerahkan kunci mobilnya pada salah satu pegawalnya agar memarkirkan mobilnya dengan benar. Dengan setengah berlari Alfa menaiki tangga menuju kamarnya.
Bi Sani segera memberikan segelas air untuk majikannya. Alfa merasa lega karena saat sampai di kamar, Gladys sedang diperiksa oleh dokter keluarganya.
“Bagaimana kondisinya, dok?” tanya Alfa cemas. Alfa dan Bi Sani juga Gladys terheran saat dokter itu justeru mengulas senyum.
“Dok, bagaimana kondisi isteri saya? Dia sakit apa?” cecar Alfa.
“Tuan Muda, tenang dulu. Nyonya ... tidak sakit. Tapi dia ... “ lagi-lagi dokter itu berteka-teki. Kali ini dia sengaja menggantung kalimatnya. Membuat Alfa semakin penasaran.
Bersambung
“Nyonya hamil, Tuan,” berita yang di sampaikan oleh dokter itu masih terngiang di telinga Alfa. Senyum bahagia terlukir di bibirnya. SATU JAM YANG LALU “Dokter, apa maksudnya isteri saya tidak sakit? Menurut Bi Sani, isteri saya tadi pingsan. Bagaimana mungkin dia tidak sakit?” cecar Alfa. “Itu hal yang wajar karena saat ini, Nyonya sedang hamil muda,” jawab dokter itu santai. “A-apa dok?! Ha-hamil ... maksud dokter istri saya sekarang sedang hamil?” tanya Alfa tak percaya. “Benar Tuan. Sebaiknya, Tuan segera membawa Nyonya ke dokter kandungan agar lebih jelas lagi,” saran dokter itu lagi. Tak lama kemudian terdengar tawa bahagia dari Alfa. Tak hanya Alfa, Bi Sani pun turut bahagia mendengar kabar baik itu.&nbs
“Sayang, aku ke ruang kerja sebentar. Ada yang harus aku selesaikan,” ujar Alfa lembut sambil mengusap puncak kepala Gladys yang terbaring lemah. Gladys hanya mengangguk lemah karena kepalanya memang terasa pusing. Setelah menerima panggilan dari Amalia, Alfa memutuskan untuk pergi ke bungalownya. Disepanjang perjalanan menuju bungalownya, Alfa terus menggerutu untuk meluapkan rasa kesalnya pada mantan kekasihnya itu. Dia juga kesal karena antara hati dan apa yang terucap dari bibirnya tak pernah bisa sejalan. Dia selalu saja mengatakan jika dia tak ingin lagi berhubungan dengan gadis itu. Namun, hatinya selalu membawanya ke hadapan wanita itu. Bahkan saat di ingatannya hanya ada Gladys isteri sahnya sekalipun. ‘Ada apa sebenarnya denganku’ batin pria itu. “Tuan,” sapa Devan saat melihat tuannya yang baru saja menginjakkan kaki di teras bungalow.
Gladys memilih bungkam dan tidak mengatakan apapun ketika mereka sedang sarapan bersama. Dia tahu semalam suaminya pulang saat malam telah begitu larut. “Sayang ... kenapa kau diam saja? Apa kau marah?” tanya Alfa hati-hati. Gladys menghentikan suapan untuknya dan memilih meletakkan kembali sendok yang dipegangnya ke atas piring. Kemudian menatap ke arah suaminya dengan tatapan yang sulit diartikan. “Apakah aku punya hak untuk marah?” sarkas wanita itu. Kemudian dia melanjutkan sarapannya. Alfa hanya terdiam, berusaha untuk mencerna ucapan Gladys. “Maaf Nyonya, silakan ini susunya,” ucap Bi Sani yang sudah meletakkan segelas susu hamil di depan Gladys. “Terima kasih, Bi. Oh ya, Bi ... bisa aku minta tolong, ambilkan vitaminku di kamar?” pinta Gladys.&nb
“Aku mau pulang. Aku nggak mau di sini,” ujar Gladys setelah Alfa berdiri tepat di samping tempat tidurnya. “Kenapa, Sayang? Kau masih memerlukan perawatan jadi untuk sementara kau di sini dulu ya,” bujuk Alfa. “Aku nggak mau, Alf. Aku mau pulang. Di sini ... aku merasa tidak nyaman,” rengek Gladys. Alfa menghembuskan napas kasar. “Baiklah. Kau tunggu di sini. Biar aku temui dokter dulu.” Alfa memilih mengalah karena tak ingin Gladys merasa tertekan. Kemudian pria itu meninggalkan kamar rawat isterinya untuk menemui dokter. Tiga puluh menit kemudian, Alfa kembali masuk ke kamar dengan mengulas senyuman. Dia mengecup lembut kening Gladys. “Dokter mengijinkan kamu pulang, Sayang,” bisik Alfa. “Benarkah?!&rd
Braakk! Terdengar suara pntu yang didobrak dari luar dan tiba-tiba masuklah seorang pria berbadan tegap dan berpakaian serba hitam. Bruukk! Terdengar suara tubuh Randy yang membentur dinding setelah ditarik dengan kasar oleh pria berbadan tegap itu. “Nona, keluarlah dari sini. Di depan ada mobil putih yang sedang menunggu. Anda naiklah ke mobil itu!” ujar pria itu sambil meringkus Randy. Tak menunggu lama Amalia pun berlari keluar menuruti ucapan pria itu. Dia tak perduli meski tak mengenal pria itu. Saat ini dia hanya ingin sembunyi dari Randy. Benar apa yang dikatakan oleh pria itu jika saat ini di halaman bungalow ada sebuah mobil putih yang terparkir. Dia bergegas masuk ke mobil itu. Di sana sudah ada pria lain yang menunggu. Tak lama kemudian, pria yang tadi menolong Amalia terl
Braak!Alfa yang sedang memandangi layar laptopnya terkejut saat mendengar pintu ruang kerjanya dibuka dengan keras.“Hai Sweety! Ada apa ini?” tanya pemuda berusia dua puluh tujuh tahun itu saat melihat kehadiran kekasihnya yang tampak sedang menahan amarah.Alih-alih menjawab pertanyaan Alfa, gadis itu memilih melemparkan amplop coklat yang sejak dia masuk digenggamnya dengan erat ke atas meja kerja pemuda itu. Wajah gadis itu terlihat merah padam dengan rahang mengetat. Ditatapnya tajam wajah pemuda yang adalah kekasihnya.“Apa ini, Sayang?” tanya pemuda itu dengan ekspresi bingung.“Kamu kenapa, Sayang? Kenapa datang-datang emosi begini. Kamu lagi PMS?!” tanya Alfa lagi karena sejak tadi gadis itu hanya diam seribu bahasa membuatnya semakin bingung.“Sayang ...-““ ... Stop memanggilku Sayang! Kalo kamu tak bisa menjaganya!” seru gadis itu. Alfa tersentak mendengar perkataan kekasihnya.“Hai! Gladys, S
Sebelum menjalankan mobilnya dia terlebih dahulu menghubungi seseorang. “Temui aku di tempat biasa!” titahnya dan langsung memutus sambungan telepon tanpa menunggu jawaban orang di seberang telepon. ‘Kalian pikir bisa merusak hubunganku dengan Gladys. Lihat saja apa yang akan aku lakukan!’ gumam Alfa dengan mata berkilat-kilat penuh amarah. Gladys boleh saja marah padanya. Tapi dia tak akan pernah melepaskannya. Untuk itu, dia bertekad akan mencari dulu siapa yang selalu diam-diam mengawasinya. Selama ini dia sudah berusaha untuk bermain cantik di belakang kekasihnya. Alfa melajukan mobil sportnya dengan kecepatan cukup tinggi. Tak lama kemudian dia telah sampai di sebuah Bar langganannya. Dengan langkah tegap dan tanpa melepas kacamatanya, dia memasuki Bar itu. Sesekali dia menebar senyum pada gadis-gadis di sana. Membuat para gadis itu melambung. Begitulah seorang
Begitu memasuki mobil Alfa, Gladys terkejut saat tiba-tiba Alfa menutup matanya dengan kain hitam. Dia semakin terkejut saat merasakan kedua tangannya seperti sedang diikat. “Alf! Apa yang kamu lakukan?! Lepaskan aku Alf!” teriak Gladys berusaha berontak. Namun apalah dayanya yang hanya seorang gadis jika dibandingkan dengan sosok Alfa yang memiliki tubuh atletis itu. “Tenanglah, Sayang. Aku tidak akan menyakitimu. Aku hanya ingin kamu tidak kabur dariku,” bisik Alfa sambil memasangkan sabuk pengaman ke tubuh Gladys. “Alf ... tolong ... jangan begini. Lepaskan aku,” lirih gadis itu. Suaranya terdengar parau dan ketakutan. Alfa menghela napas panjang. ‘Maaf Sayang, mungkin aku memang brengsek. Tapi hanya kamu wanita yang aku cintai di dunia ini dan aku tak ingin kehilanganmu’ batin pemuda itu. 
Braakk! Terdengar suara pntu yang didobrak dari luar dan tiba-tiba masuklah seorang pria berbadan tegap dan berpakaian serba hitam. Bruukk! Terdengar suara tubuh Randy yang membentur dinding setelah ditarik dengan kasar oleh pria berbadan tegap itu. “Nona, keluarlah dari sini. Di depan ada mobil putih yang sedang menunggu. Anda naiklah ke mobil itu!” ujar pria itu sambil meringkus Randy. Tak menunggu lama Amalia pun berlari keluar menuruti ucapan pria itu. Dia tak perduli meski tak mengenal pria itu. Saat ini dia hanya ingin sembunyi dari Randy. Benar apa yang dikatakan oleh pria itu jika saat ini di halaman bungalow ada sebuah mobil putih yang terparkir. Dia bergegas masuk ke mobil itu. Di sana sudah ada pria lain yang menunggu. Tak lama kemudian, pria yang tadi menolong Amalia terl
“Aku mau pulang. Aku nggak mau di sini,” ujar Gladys setelah Alfa berdiri tepat di samping tempat tidurnya. “Kenapa, Sayang? Kau masih memerlukan perawatan jadi untuk sementara kau di sini dulu ya,” bujuk Alfa. “Aku nggak mau, Alf. Aku mau pulang. Di sini ... aku merasa tidak nyaman,” rengek Gladys. Alfa menghembuskan napas kasar. “Baiklah. Kau tunggu di sini. Biar aku temui dokter dulu.” Alfa memilih mengalah karena tak ingin Gladys merasa tertekan. Kemudian pria itu meninggalkan kamar rawat isterinya untuk menemui dokter. Tiga puluh menit kemudian, Alfa kembali masuk ke kamar dengan mengulas senyuman. Dia mengecup lembut kening Gladys. “Dokter mengijinkan kamu pulang, Sayang,” bisik Alfa. “Benarkah?!&rd
Gladys memilih bungkam dan tidak mengatakan apapun ketika mereka sedang sarapan bersama. Dia tahu semalam suaminya pulang saat malam telah begitu larut. “Sayang ... kenapa kau diam saja? Apa kau marah?” tanya Alfa hati-hati. Gladys menghentikan suapan untuknya dan memilih meletakkan kembali sendok yang dipegangnya ke atas piring. Kemudian menatap ke arah suaminya dengan tatapan yang sulit diartikan. “Apakah aku punya hak untuk marah?” sarkas wanita itu. Kemudian dia melanjutkan sarapannya. Alfa hanya terdiam, berusaha untuk mencerna ucapan Gladys. “Maaf Nyonya, silakan ini susunya,” ucap Bi Sani yang sudah meletakkan segelas susu hamil di depan Gladys. “Terima kasih, Bi. Oh ya, Bi ... bisa aku minta tolong, ambilkan vitaminku di kamar?” pinta Gladys.&nb
“Sayang, aku ke ruang kerja sebentar. Ada yang harus aku selesaikan,” ujar Alfa lembut sambil mengusap puncak kepala Gladys yang terbaring lemah. Gladys hanya mengangguk lemah karena kepalanya memang terasa pusing. Setelah menerima panggilan dari Amalia, Alfa memutuskan untuk pergi ke bungalownya. Disepanjang perjalanan menuju bungalownya, Alfa terus menggerutu untuk meluapkan rasa kesalnya pada mantan kekasihnya itu. Dia juga kesal karena antara hati dan apa yang terucap dari bibirnya tak pernah bisa sejalan. Dia selalu saja mengatakan jika dia tak ingin lagi berhubungan dengan gadis itu. Namun, hatinya selalu membawanya ke hadapan wanita itu. Bahkan saat di ingatannya hanya ada Gladys isteri sahnya sekalipun. ‘Ada apa sebenarnya denganku’ batin pria itu. “Tuan,” sapa Devan saat melihat tuannya yang baru saja menginjakkan kaki di teras bungalow.
“Nyonya hamil, Tuan,” berita yang di sampaikan oleh dokter itu masih terngiang di telinga Alfa. Senyum bahagia terlukir di bibirnya. SATU JAM YANG LALU “Dokter, apa maksudnya isteri saya tidak sakit? Menurut Bi Sani, isteri saya tadi pingsan. Bagaimana mungkin dia tidak sakit?” cecar Alfa. “Itu hal yang wajar karena saat ini, Nyonya sedang hamil muda,” jawab dokter itu santai. “A-apa dok?! Ha-hamil ... maksud dokter istri saya sekarang sedang hamil?” tanya Alfa tak percaya. “Benar Tuan. Sebaiknya, Tuan segera membawa Nyonya ke dokter kandungan agar lebih jelas lagi,” saran dokter itu lagi. Tak lama kemudian terdengar tawa bahagia dari Alfa. Tak hanya Alfa, Bi Sani pun turut bahagia mendengar kabar baik itu.&nbs
Amalia menatap langit-langit kamar yang di tempatinya. Kamar itu kini sudah kembali rapi karena Alfa sudah menyuruh orang untuk merapikannya. Pikirannya menerawang ke masa beberapa tahun yang lalu. Masa di mana dia bahagia dengan Alfa. Sebelum semuanya hancur karena bujuk rayu seseorang yang kini sangat di bencinya. Seseorang yang telah tega menghancurkan hidupnya. Setelah puas menikmati tubuhnya, dia tega menjualnya ke tempat hiburan malam di luar negeri. Bahkan saat ini dia tengah mengandung entah janin laki-laki yang mana. Beruntung dia memiliki sahabat yang bersedia membantunya melarikan diri. Dan di sinilah dia sekarang. Tak beda jauh dengan Amalia, Alfa pun mengalamai hal yang sama. Pria itu menghentikan laju mobilnya. Dia merasakan jantungnya seperti diremas saat pikirannya melayang pada masa. Masa di mana dia merasakan sakit karena penghianatan Amalia. BEBERAPA TAHUN YANG LALU&nb
Beberapa hari kemudian, Gladys telah kembali sehat. Saat ini dia sedang menatap bayangannya di cermin dengan bangga. Ya, hari ini adalah hari wisudanya. Hari di mana dia akan mendapat gelar dokter secara resmi. Sebuah cita-cita yang telah lama diimpikannya. Namun, beberapa detik kemudian senyum itu hilang dari bibirnya saat dia menyadari sesuatu. Dia terduduk di tepi ranjang. ‘Tak ada gunanya aku wisuda. Tak ada artinya aku mendapat gelar dokter. Semua sia-sia dan sama saja. Aku akan tetap tak akan bisa lepas dari rantai yang dipasang pria itu’ gumam gadis itu. “Sayang, sudah siap?” Alfa tertegun saat melihat istrinya sedang menangis. “Hei! Kenapa?” tanya Alfa sambil menghapus air mata sang isteri. “Aku tidak akan wisuda, Alf. Semuanya percuma saja,” lirih Gladys. “Kenapa bilang
Gladys dengan dibantu oleh Bi Sani tengah mempersiapkan segala keperluannya untuk berbulan madu atas perintah Alfa. Sebenarnya Gladys merasa sangat malas untuk pergi. Tapi apalah dayanya jika Alfa telah memiliki keinginan. “Sudah siap, Sayang?” tanya Alfa saat dia masuk ke dalam kamarnya. “Sudah,” jawab Gladys singkat. “Oke! Kita berangkat sekarang!” ajak Alfa setelah memerintahkan pelayan membawa barang bawaannya. “Tuan, Nyonya, selamat jalan!” ucap Bi Sani. “Makasih Bi. Kami hanya beberapa hari saja kok perginya. Minggu depan isteriku ini akan menjalani wisuda dan mendapatkan gelar dokter secara resmi,” ujar Alfa sambil membelai rambut Gladys. Gadis itu hanya mengulas senyuman tipis di bibirnya. “Kami p
Hari yang ditunggu pun akhirnya tiba. Alfa sengaja mendatangkan seorang MUA terkenal untuk merias Gladys. Dan keputusan Alfa memang benar. Gladys saat ini terlihat begitu cantik meski dengan riasan yang natural. Apalagi dengan gaun pengantin pilihannya yang kini sudah melekat di tubuhnya. Alfa merasa takjub saat melihat Gladys yang sedang memasuki ruangan untuk akad nikah dengan dibimbing oleh Bi Sani. Tak hanya Alfa, para tamu yang diundang pun tak kalah takjub. Wanita paruh baya itu mendudukan Gladys di samping Alfa yang sudah lebih dulu duduk di hadapan penghulu. “Cantik,” puji Alfa dengan berbisik ke telinga Gladys. Gladys merasakan tubuhnya meremang mendengar bisikan itu. “Sudah bisa dimulai?” tanya penghulu. “Sudah Pak!” jawab Alfa tegas. Sedangkan Gladys hanya menundukkan kepalanya.