Begitu memasuki mobil Alfa, Gladys terkejut saat tiba-tiba Alfa menutup matanya dengan kain hitam. Dia semakin terkejut saat merasakan kedua tangannya seperti sedang diikat.
“Alf! Apa yang kamu lakukan?! Lepaskan aku Alf!” teriak Gladys berusaha berontak. Namun apalah dayanya yang hanya seorang gadis jika dibandingkan dengan sosok Alfa yang memiliki tubuh atletis itu.
“Tenanglah, Sayang. Aku tidak akan menyakitimu. Aku hanya ingin kamu tidak kabur dariku,” bisik Alfa sambil memasangkan sabuk pengaman ke tubuh Gladys.
“Alf ... tolong ... jangan begini. Lepaskan aku,” lirih gadis itu. Suaranya terdengar parau dan ketakutan. Alfa menghela napas panjang. ‘Maaf Sayang, mungkin aku memang brengsek. Tapi hanya kamu wanita yang aku cintai di dunia ini dan aku tak ingin kehilanganmu’ batin pemuda itu.
Alfa melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang karena tak ingin kekasihnya semakin ketakutan. Gladys terus memohon agar Alfa melepaskannya. Namun, Alfa seperti menulikan pendengarannya. Bahkan saat gadis itu mulai terisak. Dia terus saja melajukan mobilnya. Hingga akhirnya dia memasuki sebuah bangunan yang sangat megah dan mewah.
Pemuda itu masih membiarkan mata kekasihnya dan mengikat tangannya. Dia mebimbingnya hingga tiba di sebuah kamar yang sangat luas. Terdapat tempat tidur king size di kamar itu. Dia mendudukkan Gladys di tepi ranjang. Dibukanya kain hitam yang menutup mata gadis itu. Kemudian dia juga membuka tali yang mengikat tangan kekasihnya.
Gladys mengerjap-ngerjapkan matanya. Dia terperangah saat menyaksikan kemewahan kamar itu.
“D-dimana ini, Alf?” tanya Gladys tergeragap.
“Di tempat yang akan membuatmu tak bisa lari dariku!” jawab Alfa dingin sambil menyesap minuman yang ada di tangannya.
“Alfa ... kamu berubah. Aku ... tak mengenalmu lagi,” lirih Gladys sambil terisak. Hatinya sakit dengan perlakuan Alfa hari ini. Alfa meletakan gelasnya di nakas. Lalu mendekati gadis itu sambil menyeringai.
“Kamu yang membuatku berubah, Sayang!” ucap Alfa sambil membelai wajah Gladys.
“Tolong lepaskan aku, Alf ... aku mohon!” Gladys terus memohon kepada Alfa agar dilepaskan. Namun, entah dirasuki apa, pemuda itu justru mendorong tubuh Gladys hingga terbaring di ranjang kemudian dia menindihnya dan menatapnya penuh hasrat. Dengan kasar pemuda itu memagut bibir Gladys. Gadis itu berusaha berontak di bawah kungkungan Alfa.
Sreet! Sreet!
Tanpa memperdulikan tangisan dan jeritan Gladys, Alfa benar-benar seperti kerasukan. Dia melemparkan pakaian Gladys yang berhasil dia koyak ke lantai. Tanpa rasa bersalah sedikit pun dia menghujam kasar milik gadis itu dengan miliknya. Gladys menjerit kesakitan saat dia merasakan ada yang terkoyak di bawah sana. Gladys merasakan ada sesuatu yang mengalir dari inti tubuhnya. Hatinya hancur seketika saat apa yang selama ini dia jaga telah direnggut paksa oleh kekasihnya. Bagaikan anak sungai, airmatanya terus meleleh. ‘Aku benci kamu Alf. Seumur hidupku, aku tak akan memaafkanmu’ batin gadis itu sambil terus menangis dan menahan rasa sakit karena ulah pria yang dicintainya.
Entah berapa lama Alfa menyiksanya, yang pasti, saat ini pria itu tertidur pulas di sampingnya.
Gladys meraih selimut dan menutupi tubuhnya yang polos. Dia menekuk lututnya dan menyembunyikan wajahnya di sana. Terdengar isak tangis dari gadis itu.
Alfa terbangun saat mendengar suara tangis perempuan. Dia tersentak saat mengetahui ternyata Gladys yang menangis. Netranya membulat saat megetahui kondisinya yang polos. Dia menatap kekasihnya dan tercekat. ‘Apa yang aku lakukan’ batinnya. Dia semakin gusar saat mengetahui kondisi ranjang yang berantakan. Pemuda itu mengacak-acak rambutnya.
Pemuda itu turun dari ranjang dan mengambil bathrobe kemudian mendekati Gladys.
“Sayang ... maafkan aku. Aku khilaf. Aku janji akan segera menikahimu tapi tolong maafkan aku,” pinta Alfa. Dia berusaha meraih tangan Gladys namun gadis itu menepisnya dengan kasar.
“Kamu jahat Alf ... kamu jahat. Apa salahku?! Apa?!” teriak Gladys penuh emosi.
“Apa karena meminta putus, sampai kamu tega melakukan ini padaku?! Aku benci kamu, Alf ... aku benci!” teriak Gladys. Kemudian gadis itu kembali terisak. Alfa meraih tubuh gadis itu dan mendekapnya erat.
“Maafkan aku Sayang. Maaf ... hukum aku apapun yang kau mau, asal jangan pernah tinggalkan aku. Kita akan menikah ya,” bisik Alfa. Gladys masih tergugu di pelukan Alfa. Dia tak perduli dengan ucapan pemuda itu.
“Antarkan aku pulang. Aku mau pulang!” ucap Gladys dingin. Alfa termangu mendengar ucapan kekasihnya.
“Tidak Sayang, sekarang sudah malam. Besok saja ya,” bujuk Alfa.
“Aku mau pulang sekarang,” lirih gadis itu sambil memalingkan muka.
“Baiklah. Tapi ... kamu mandi dulu ya biar segar. Sebentar,” ujar Alfa lalu beranjak menuju ke sebuah ruangan disudut kamar itu. Sesaat kemudian di keluar sambil membawa gaun yang sangat indah.
“Ini! Pakailah baju ini!” ucap Alfa sambil menyerahkan gaun itu kepada Gladys. Sungguh sebenarnya Gladys tak ingin menerima apapun lagi yang diberikan oleh Alfa. Namun, ketika melihat pakaiannya yang sudah tak berbentuk, mau tak mau dia menerima gaun itu.
Dengan menahan nyeri dan perih pada inti tubuhnya, Gladys tertatih menuju ke kamar mandi.
“Aku bisa sendiri!” tolak gadis itu saat Alfa mencoba membantunya. Kali ini dia akan kembali mengalah. Hatinya diliputi perasaan bersalah pada gadis itu. Meski banyak berhubungan dengan para gadis selain kekasihnya, tapi belum sekalipun dia melakukan hal itu dengan para gadis itu.
‘Apa yang kau lakukan Alfa. Hanya karena takut kehilangannya kamu melakukan ini padanya’ gumam pemuda itu dengan gusar. ‘Tapi dia wanitaku tidak salah kan kalo aku menjadikan dia milikku seutuhnya. Mau setelah menikah atau belum sama saja kan’ terjadi perang batin dari pemuda itu.
Terdengar suara pintu kamar mandi terbuka. Melihat Gladys keluar dengan rambut basah, entah mengapa membuat hasrat kelelakian Alfa kembali bangkit. Dia menatap penuh hasrat pada gadis itu. Gladys yang menyadari hal itu merasakan tubuhnya gemetar dia juga merasakan keringat dingin mengaliri tubuhnya. ‘Tidak lagi Ya Tuhan. Tolong bebaskan aku darinya. Aku tak mau merasakan sakit itu lagi’ baatin Gladys.
“Alf ... kamu mau apa?! Tolong ... antarkan aku pulang. Aku mohon Alf,” ucap gadis itu memohon. Dia beringsut mundur berusaha menjauhi Alfa. Namun, Alfa terus melangkah maju. Tanpa disadari Gladys, dia justru semakin mendekati ranjang. Alfa semakin mendekati gadis itu.
“Sayang!” ucap Alfa sambil membelai wajah Gladys.
“Aku mohon ... jangan lagi, Alf. Alf, aku mohon ... jangan,” isak tangis mulai terdengar dari gadis itu. Sekali lagi pendengaran Alfa seperti tersumpal hingga dia tak mampu mendengar tangis gadis yang selama tiga tahun ini menjadi kekasihnya. Ya, sekali lagi Alfa melampiaskan hasratnya pada kekasihnya tanpa perduli gadis itu menjerit kesakitan berulangkali. Kali ini, Alfa benar-benar kalap dan dikuasai nafsu. Dia terus menyiksa kekasihnya di bawah kungkungannya sampai dia benar-benar merasa puas. Dia bahkan tak menyadari jika kekasihnya sudah tak sadarkan diri.
Bersambung
Gladys merasakan sakit pada seluruh tubuhnya. Pelan-pelan dia beringsut turun dari ranjang. Dengan tertatih dia beranjak menuju kamar mandi. Sesampainya di kamar mandi, dinyalakannya shower dan dibiarkannya air yang mengucur membasahi seluruh tubuhnya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tubuhnya terjajar ke belakang dan perlahan merosot ke bawah hingga jatuh terdudu di lantai. ‘Ya Tuhan, bagaimana harus kuhadapi dunia ini sekarang. Aku sudah hancur, aku juga kotor’ rintih gadis itu. Dia telungkupkan wajahnya dikedua lututnya yang tertekuk. Air mata terus saja membanjiri wajahnya, bercampur dengan guyuran air dari shower. Hatinya benar-benar remuk redam. Dia tak pernah menyangka, pria yang dicintainya begitu tega melakukan hal menyakitkan itu padanya. ‘Aku benci kamu Alfandra Shaquille Bimantara’ geram Gladys dengan suara tertahan. Tok! Tok! Tok!
“Ada apa ini!” bentak Alfa dengan suara menggelegar. Para pelayan segera berbaris rapi saat melihat majikannya sudah berdiri di ambang pintu dengan wajah merah padam dan netra yang berkilat-kilat. Mereka semua hanya menundukkan kepala. Tak terkecuali Gladys yang tak kalah terkejut. Netra Alfa menatap tajam ke arah Gladys yang sedang dipegangi oleh Devan. “Devan!” seru Alfa. Devan segera melepaskan pegangannya pada Gladys. Begitu Devan melepaskannya, Gladys langsung mengambil kesempatan itu untuk kabur. Namun sayang, Alfa dengan sigap menangkap gadis itu dan membawanya ke dalam pelukannya. “Kau mau kemana, Sayang?! Sebentar lagi Tante Sherly datang lho!” ucap Alfa dengan nada dingin. “Alf ... tolong lepasin aku. Aku harus ke rumah sakit,” mohon Gladys dengan suara memelas. “Tidak sekarang, Sayang. Kita harus fitting baju pengantin
Tak seperti sebelum-sebelumnya, hari ini Gladys tampak begitu segar. Dia baru saja selesai mandi. Dia memilih mengenakan gaun dengan warna kesukaan Alfa. Gadis itu telah memutuskan untuk mengikuti nasehat Bi Sani. Dia akan berusaha untuk kembali melunakkan hati kekasihnya. Tentu agar dia bisa bebas dari sangkar emas kekasihnya. Selain itu, dia ingin agar Alfa kembali mengijinkannya untuk mengabdikan ilmunya untuk menolong banyak orang. Sudah dua hari Alfa tidak datang ke mansion. Tepatnya sejak hari dimana dia mencoba untuk kabur. Bi Sani juga tidak berani membiarkannya keluar kamar karena selama dua hari itu dia tidak bisa dihubungi. Gadis itu sedang berada di balkon kamar yang ditempatinya sambil menikmati udara pagi ketika tiba-tiba dia merasakan tangan kekar melingkari pinggang hingga perutnya. “Pagi sayang,” bisik suara yang dikenalnya. Meski sepa
Hari yang ditunggu pun akhirnya tiba. Alfa sengaja mendatangkan seorang MUA terkenal untuk merias Gladys. Dan keputusan Alfa memang benar. Gladys saat ini terlihat begitu cantik meski dengan riasan yang natural. Apalagi dengan gaun pengantin pilihannya yang kini sudah melekat di tubuhnya. Alfa merasa takjub saat melihat Gladys yang sedang memasuki ruangan untuk akad nikah dengan dibimbing oleh Bi Sani. Tak hanya Alfa, para tamu yang diundang pun tak kalah takjub. Wanita paruh baya itu mendudukan Gladys di samping Alfa yang sudah lebih dulu duduk di hadapan penghulu. “Cantik,” puji Alfa dengan berbisik ke telinga Gladys. Gladys merasakan tubuhnya meremang mendengar bisikan itu. “Sudah bisa dimulai?” tanya penghulu. “Sudah Pak!” jawab Alfa tegas. Sedangkan Gladys hanya menundukkan kepalanya.
Gladys dengan dibantu oleh Bi Sani tengah mempersiapkan segala keperluannya untuk berbulan madu atas perintah Alfa. Sebenarnya Gladys merasa sangat malas untuk pergi. Tapi apalah dayanya jika Alfa telah memiliki keinginan. “Sudah siap, Sayang?” tanya Alfa saat dia masuk ke dalam kamarnya. “Sudah,” jawab Gladys singkat. “Oke! Kita berangkat sekarang!” ajak Alfa setelah memerintahkan pelayan membawa barang bawaannya. “Tuan, Nyonya, selamat jalan!” ucap Bi Sani. “Makasih Bi. Kami hanya beberapa hari saja kok perginya. Minggu depan isteriku ini akan menjalani wisuda dan mendapatkan gelar dokter secara resmi,” ujar Alfa sambil membelai rambut Gladys. Gadis itu hanya mengulas senyuman tipis di bibirnya. “Kami p
Beberapa hari kemudian, Gladys telah kembali sehat. Saat ini dia sedang menatap bayangannya di cermin dengan bangga. Ya, hari ini adalah hari wisudanya. Hari di mana dia akan mendapat gelar dokter secara resmi. Sebuah cita-cita yang telah lama diimpikannya. Namun, beberapa detik kemudian senyum itu hilang dari bibirnya saat dia menyadari sesuatu. Dia terduduk di tepi ranjang. ‘Tak ada gunanya aku wisuda. Tak ada artinya aku mendapat gelar dokter. Semua sia-sia dan sama saja. Aku akan tetap tak akan bisa lepas dari rantai yang dipasang pria itu’ gumam gadis itu. “Sayang, sudah siap?” Alfa tertegun saat melihat istrinya sedang menangis. “Hei! Kenapa?” tanya Alfa sambil menghapus air mata sang isteri. “Aku tidak akan wisuda, Alf. Semuanya percuma saja,” lirih Gladys. “Kenapa bilang
Amalia menatap langit-langit kamar yang di tempatinya. Kamar itu kini sudah kembali rapi karena Alfa sudah menyuruh orang untuk merapikannya. Pikirannya menerawang ke masa beberapa tahun yang lalu. Masa di mana dia bahagia dengan Alfa. Sebelum semuanya hancur karena bujuk rayu seseorang yang kini sangat di bencinya. Seseorang yang telah tega menghancurkan hidupnya. Setelah puas menikmati tubuhnya, dia tega menjualnya ke tempat hiburan malam di luar negeri. Bahkan saat ini dia tengah mengandung entah janin laki-laki yang mana. Beruntung dia memiliki sahabat yang bersedia membantunya melarikan diri. Dan di sinilah dia sekarang. Tak beda jauh dengan Amalia, Alfa pun mengalamai hal yang sama. Pria itu menghentikan laju mobilnya. Dia merasakan jantungnya seperti diremas saat pikirannya melayang pada masa. Masa di mana dia merasakan sakit karena penghianatan Amalia. BEBERAPA TAHUN YANG LALU&nb
“Nyonya hamil, Tuan,” berita yang di sampaikan oleh dokter itu masih terngiang di telinga Alfa. Senyum bahagia terlukir di bibirnya. SATU JAM YANG LALU “Dokter, apa maksudnya isteri saya tidak sakit? Menurut Bi Sani, isteri saya tadi pingsan. Bagaimana mungkin dia tidak sakit?” cecar Alfa. “Itu hal yang wajar karena saat ini, Nyonya sedang hamil muda,” jawab dokter itu santai. “A-apa dok?! Ha-hamil ... maksud dokter istri saya sekarang sedang hamil?” tanya Alfa tak percaya. “Benar Tuan. Sebaiknya, Tuan segera membawa Nyonya ke dokter kandungan agar lebih jelas lagi,” saran dokter itu lagi. Tak lama kemudian terdengar tawa bahagia dari Alfa. Tak hanya Alfa, Bi Sani pun turut bahagia mendengar kabar baik itu.&nbs
Braakk! Terdengar suara pntu yang didobrak dari luar dan tiba-tiba masuklah seorang pria berbadan tegap dan berpakaian serba hitam. Bruukk! Terdengar suara tubuh Randy yang membentur dinding setelah ditarik dengan kasar oleh pria berbadan tegap itu. “Nona, keluarlah dari sini. Di depan ada mobil putih yang sedang menunggu. Anda naiklah ke mobil itu!” ujar pria itu sambil meringkus Randy. Tak menunggu lama Amalia pun berlari keluar menuruti ucapan pria itu. Dia tak perduli meski tak mengenal pria itu. Saat ini dia hanya ingin sembunyi dari Randy. Benar apa yang dikatakan oleh pria itu jika saat ini di halaman bungalow ada sebuah mobil putih yang terparkir. Dia bergegas masuk ke mobil itu. Di sana sudah ada pria lain yang menunggu. Tak lama kemudian, pria yang tadi menolong Amalia terl
“Aku mau pulang. Aku nggak mau di sini,” ujar Gladys setelah Alfa berdiri tepat di samping tempat tidurnya. “Kenapa, Sayang? Kau masih memerlukan perawatan jadi untuk sementara kau di sini dulu ya,” bujuk Alfa. “Aku nggak mau, Alf. Aku mau pulang. Di sini ... aku merasa tidak nyaman,” rengek Gladys. Alfa menghembuskan napas kasar. “Baiklah. Kau tunggu di sini. Biar aku temui dokter dulu.” Alfa memilih mengalah karena tak ingin Gladys merasa tertekan. Kemudian pria itu meninggalkan kamar rawat isterinya untuk menemui dokter. Tiga puluh menit kemudian, Alfa kembali masuk ke kamar dengan mengulas senyuman. Dia mengecup lembut kening Gladys. “Dokter mengijinkan kamu pulang, Sayang,” bisik Alfa. “Benarkah?!&rd
Gladys memilih bungkam dan tidak mengatakan apapun ketika mereka sedang sarapan bersama. Dia tahu semalam suaminya pulang saat malam telah begitu larut. “Sayang ... kenapa kau diam saja? Apa kau marah?” tanya Alfa hati-hati. Gladys menghentikan suapan untuknya dan memilih meletakkan kembali sendok yang dipegangnya ke atas piring. Kemudian menatap ke arah suaminya dengan tatapan yang sulit diartikan. “Apakah aku punya hak untuk marah?” sarkas wanita itu. Kemudian dia melanjutkan sarapannya. Alfa hanya terdiam, berusaha untuk mencerna ucapan Gladys. “Maaf Nyonya, silakan ini susunya,” ucap Bi Sani yang sudah meletakkan segelas susu hamil di depan Gladys. “Terima kasih, Bi. Oh ya, Bi ... bisa aku minta tolong, ambilkan vitaminku di kamar?” pinta Gladys.&nb
“Sayang, aku ke ruang kerja sebentar. Ada yang harus aku selesaikan,” ujar Alfa lembut sambil mengusap puncak kepala Gladys yang terbaring lemah. Gladys hanya mengangguk lemah karena kepalanya memang terasa pusing. Setelah menerima panggilan dari Amalia, Alfa memutuskan untuk pergi ke bungalownya. Disepanjang perjalanan menuju bungalownya, Alfa terus menggerutu untuk meluapkan rasa kesalnya pada mantan kekasihnya itu. Dia juga kesal karena antara hati dan apa yang terucap dari bibirnya tak pernah bisa sejalan. Dia selalu saja mengatakan jika dia tak ingin lagi berhubungan dengan gadis itu. Namun, hatinya selalu membawanya ke hadapan wanita itu. Bahkan saat di ingatannya hanya ada Gladys isteri sahnya sekalipun. ‘Ada apa sebenarnya denganku’ batin pria itu. “Tuan,” sapa Devan saat melihat tuannya yang baru saja menginjakkan kaki di teras bungalow.
“Nyonya hamil, Tuan,” berita yang di sampaikan oleh dokter itu masih terngiang di telinga Alfa. Senyum bahagia terlukir di bibirnya. SATU JAM YANG LALU “Dokter, apa maksudnya isteri saya tidak sakit? Menurut Bi Sani, isteri saya tadi pingsan. Bagaimana mungkin dia tidak sakit?” cecar Alfa. “Itu hal yang wajar karena saat ini, Nyonya sedang hamil muda,” jawab dokter itu santai. “A-apa dok?! Ha-hamil ... maksud dokter istri saya sekarang sedang hamil?” tanya Alfa tak percaya. “Benar Tuan. Sebaiknya, Tuan segera membawa Nyonya ke dokter kandungan agar lebih jelas lagi,” saran dokter itu lagi. Tak lama kemudian terdengar tawa bahagia dari Alfa. Tak hanya Alfa, Bi Sani pun turut bahagia mendengar kabar baik itu.&nbs
Amalia menatap langit-langit kamar yang di tempatinya. Kamar itu kini sudah kembali rapi karena Alfa sudah menyuruh orang untuk merapikannya. Pikirannya menerawang ke masa beberapa tahun yang lalu. Masa di mana dia bahagia dengan Alfa. Sebelum semuanya hancur karena bujuk rayu seseorang yang kini sangat di bencinya. Seseorang yang telah tega menghancurkan hidupnya. Setelah puas menikmati tubuhnya, dia tega menjualnya ke tempat hiburan malam di luar negeri. Bahkan saat ini dia tengah mengandung entah janin laki-laki yang mana. Beruntung dia memiliki sahabat yang bersedia membantunya melarikan diri. Dan di sinilah dia sekarang. Tak beda jauh dengan Amalia, Alfa pun mengalamai hal yang sama. Pria itu menghentikan laju mobilnya. Dia merasakan jantungnya seperti diremas saat pikirannya melayang pada masa. Masa di mana dia merasakan sakit karena penghianatan Amalia. BEBERAPA TAHUN YANG LALU&nb
Beberapa hari kemudian, Gladys telah kembali sehat. Saat ini dia sedang menatap bayangannya di cermin dengan bangga. Ya, hari ini adalah hari wisudanya. Hari di mana dia akan mendapat gelar dokter secara resmi. Sebuah cita-cita yang telah lama diimpikannya. Namun, beberapa detik kemudian senyum itu hilang dari bibirnya saat dia menyadari sesuatu. Dia terduduk di tepi ranjang. ‘Tak ada gunanya aku wisuda. Tak ada artinya aku mendapat gelar dokter. Semua sia-sia dan sama saja. Aku akan tetap tak akan bisa lepas dari rantai yang dipasang pria itu’ gumam gadis itu. “Sayang, sudah siap?” Alfa tertegun saat melihat istrinya sedang menangis. “Hei! Kenapa?” tanya Alfa sambil menghapus air mata sang isteri. “Aku tidak akan wisuda, Alf. Semuanya percuma saja,” lirih Gladys. “Kenapa bilang
Gladys dengan dibantu oleh Bi Sani tengah mempersiapkan segala keperluannya untuk berbulan madu atas perintah Alfa. Sebenarnya Gladys merasa sangat malas untuk pergi. Tapi apalah dayanya jika Alfa telah memiliki keinginan. “Sudah siap, Sayang?” tanya Alfa saat dia masuk ke dalam kamarnya. “Sudah,” jawab Gladys singkat. “Oke! Kita berangkat sekarang!” ajak Alfa setelah memerintahkan pelayan membawa barang bawaannya. “Tuan, Nyonya, selamat jalan!” ucap Bi Sani. “Makasih Bi. Kami hanya beberapa hari saja kok perginya. Minggu depan isteriku ini akan menjalani wisuda dan mendapatkan gelar dokter secara resmi,” ujar Alfa sambil membelai rambut Gladys. Gadis itu hanya mengulas senyuman tipis di bibirnya. “Kami p
Hari yang ditunggu pun akhirnya tiba. Alfa sengaja mendatangkan seorang MUA terkenal untuk merias Gladys. Dan keputusan Alfa memang benar. Gladys saat ini terlihat begitu cantik meski dengan riasan yang natural. Apalagi dengan gaun pengantin pilihannya yang kini sudah melekat di tubuhnya. Alfa merasa takjub saat melihat Gladys yang sedang memasuki ruangan untuk akad nikah dengan dibimbing oleh Bi Sani. Tak hanya Alfa, para tamu yang diundang pun tak kalah takjub. Wanita paruh baya itu mendudukan Gladys di samping Alfa yang sudah lebih dulu duduk di hadapan penghulu. “Cantik,” puji Alfa dengan berbisik ke telinga Gladys. Gladys merasakan tubuhnya meremang mendengar bisikan itu. “Sudah bisa dimulai?” tanya penghulu. “Sudah Pak!” jawab Alfa tegas. Sedangkan Gladys hanya menundukkan kepalanya.