Aku punya seorang sahabat yang bernama Ria Angraini, selain bertetangga, orang tua kami sudah sejak sebelum menikah sudah bersahabat.
Di usiaku yang baru menginjak tujuh belas tahun postur tubuhku termasuk bongsor. Banyak yang mengira aku ini seorang mahasiswi. Padahal aku masih duduk di kelas XII.
Di biodata akun f******k aku menyantumkan umur sembilan belas tahun Itu semua atas saran Ria, karena ia yang mengajakku untuk bermain sosial media.
[Lagi apa?]
Sebuah pesan masuk dari akun 'Erlangga Alfatih'. Seseakun yang belakangan ini intens berkomunikasi denganku. Kak Erlan biasa aku menyebutnya adalah seorang mahasiswa jurusan Olah Raga semester enam.
Meski pun aku belum tahu bagaimana wajahnya karena ia tidak memasang foto di akun facebooknya, ia bisa membuatku merasa nyaman bahkan merindunya jika satu hari saja ia tidak muncul menyapaku.
[Baru mau tidur, Kak.] Aku mengetik balasan darinya.
Tak sampai satu detik terlihat ia sedang mengetik balasan.
[Malam Minggu enggak keluar?]
Membaca pesannya membuat aku menyungging senyum.
[Enggak ada yang ngajakin keluar.] Balasku disertai emot menangis.
[Minggu depan kakak yang ajakin keluar deh.] Balasnya dengan emot meledek.
[Bener ya, aku tungguin.]
[Iya, kasih tahu dulu alamatnya di mana.]
[Di hatimu.] Balasku sambil menahan tawa.
[Memang tahu hatiku ada di mana?]
[Di hati aku, kan!]
[Hahaha.]
Candaan seperti ini yang selalu membuatku merindukannya. Padahal ia hanya maya tetapi terasa nyata.
[Udah dulu ya, Kak. Aku mau tidur.]
[Dee, kamu mau enggak jadi pacar kakak?]
Membaca pesan Kak Erlan membuat wajahku memanas. Padahal ia tidak mengatakannya secara langsung tapi bisa membuat jantungku berdetak lebih cepat.
[Maaf, Kak. Aku enggak bisa jawab sekarang.]
Setelah mengirim balasan aku langsung keluar dari aplikasi berwarna biru itu. Membayangkan Kak Erlan membuatku senyum-senyum sendiri.
***
"Ri, kamu tahu enggak, semalam Kak Erlan nembak aku!" ucapku setengah berbisik, karena bus yang kami tumpangi cukup padat siang ini.
"Hah, enggak salah!" teriak Ria yang membuat beberapa penumpang bus menoleh pada kami.
Refleks aku langsung menutup mulut Ria dengan telapak tanganku.
"Iya, semalam Kak Erlan nyatain perasaannya ke aku," lanjutku.
"Terus kamu jawab apa?" tanyanya penasaran.
"Belum aku jawab, secara wajahnya Kak Erlan kaya apa aku belum tahu," jawabku.
"Hahaha ... lagian sih, kamu temenan di dumay sampe serius begitu, tiap hari chat udah kaya sama pacar beneran," sindirnya dengan senyum meledek.
"Nyebelin banget, sih, kamu. Temen lagi bingung malah diketawain!" sungutku sebal.
Ria malah tertawa melihat ekspresiku.
"Ajak ketemuan aja, siapa tahu aslinya Kak Erlan itu mirip oppa Lee Min Hoo," ucap Ria dengan mimik serius.
"Iya kalau kaya oppa korea nah kalau tampangnya enggak sesuai ekspektasi kita gimana?" sahutku dengan memasang wajah sedih.
"Lebay banget, sih, Sha," protes Ria sambil mentoyor kepalaku. "Kita lihat aja dulu dari jauh, kalau orangnya ganteng kita temuin, tapi kalau jelek kita tinggal kabur. Terus kamu langsung blokir deh akunnya," lanjut Ria sambil menahan tawa.
"Pinter juga kamu, Ri," sahutku sambil mengacak-ngajak rambutnya.
"Siapa dulu dong Ria," ucapnya bangga.
Membuat penumpang bus menatap aneh pada kami.
"Terus kapan kamu ketemuan sama Kak Erlan?" tanyanya setelah kami turun dari bus.
"Kak Erlan maunya secepatnya, tapi aku masih takut. Bagaimana nanti kalau ia tahu ternyata selama ini aku bohong," jawabku sambil menatap jauh ke depan.
"Udah biasa di dunia maya soal bohong-membohongi. Yang penting kamu enggak niat buat jadi tukang tipu," ujar Ria dengan santai.
Awalnya aku memang hanya iseng bermain F******k. Namun, entah kenapa sejak berkenalan dengan Kak Erlan, aku merasa ada yang berbeda. Ia bisa membuatku merasa nyaman berbagi kisah dengannya.
Apa aku memang jatuh cinta dengannya meski ia hanyalah sebuah maya, yang entah bisa jadi kenyataan atau tidak.
***
Semalam Kak Erlan mengirim pesan. Besok ia mengajak aku untuk ketemuan, setelah kami saling mengenal selama lima bulan. Rasanya tak menentu sejak aku mengiyakan keinginannya untuk bertemu.
Ini adalah pertama kalinya aku bertemu dengan seseorang dari dunia Maya. Semoga saja Kak Erlan memang orang baik dan tidak berniat jahat padaku.
"Ri, besok temenin aku ketemu Kak Erlan, yuk!" ujarku setelah kami turun dari bus.
"Oke siap, yang penting jangan lupa traktir aku," sahutnya
"Iya tenang aja nanti, nanti aku beliin es teler," sahutku santai.
"Dih males banget, masa nemenin orang pacaran cuma dibeliin es teler," sahutnya sambil cemberut.
"Lagian siapa yang mau pacaran orang cuma ketemuan," ungkapku lagi.
"Sama ajalah ketemu sama pacar," jawabnya sambil mendorongku kemudian berlari mengejekku.
***
Seperti kesepakatan aku dan Kak Erlan. Siang ini kami janjian untuk ketemuan di sebuah Mall. Aku dan Ria sudah sampai satu jam lebih cepat dari waktu yang sudah kamu tentukan.
Kak Erlan bilang hari ini akan memakai celana jeans, dan kaos hitam yang dilapisi kemeja. Karena aku masih ragu untuk bertemu dengan Kak Erlan. Ria mengajakku untuk melihatnya dari jauh dulu.
Kami naik satu lantai dari lantai dasar. Dari sini aku bisa jelas melihat orang-orang yang ada di depan toko buku. Kak Erlan mengatakan akan menungguku di depan toko buku itu.
Setalah menunggu lima belas menit terlihat sosok yang mirip dengan gambaran Kak Erlan. Seorang cowok memakai celana jeans yang dipadukan dengan kaos hitam dilapisi kemeja.
"Itu kayanya, Sha!" Ria menunjuk ke arah cowok yang baru saja berdiri di depan toko buku, sambil sesekali memperhatikan sekitar.
"Ganteng banget, Sha. Kalau kamu enggak mau nemuin, biar aku aja," ucap Ria sambil tersenyum menggoda.
"Emang kamu yakin kalau itu Kak Erlan?" tanyaku ragu.
"Coba kamu telepon Kak Erlan. Kita bisa lihat dari sini. Kalau itu cowok angkat telepon dari kamu berarti itu beneran Kak Erlan.
Aku menuruti saran Ria, kemudian mencoba meneleponnya. Nada panggilan tersambung, kami terus memperhatikan gerak gerik cowok di depan toko buku itu. Benar saja pada dering ketiga terlihat ia meroggoh saku celananya dan menerima panggilan dari aku.
"Hallo, kamu di mana?" Terdengar suara yang beberapa waktu belakangan ini selalu aku rindukan.
"Aku sudah di depan toko buku. Kamu di mana?" tanyanya lagi.
"Iya, Kak," sahutku aku gugup.
"Kamu jadi datangkan?" Kak Erlan kembali bertanya.
Tiba-tiba Kak Erlan melihat ke atas, tepat ke posisi di mana aku berdiri memperhatikannya. Yang membuat kami bertemu pandang.
Sedetik kemudian ia tersenyum sambil menunjuk aku. Refleks aku mengangguk. Kak Erlan memutuskan sambungan telepon, kemudian berjalan ke arah kami.
"Ri, kita kabur, yuk!" seruku pada Ria.
"Enggak mau ahh, masa cowok sekeren itu mau ditinggalin," tolak Ria dengan tampang usilnya.
"Aku deg-degan ini Ri. Aku belum siap ketemuan," akuku sambil meremas tangan Ria.
"Tenang aja, tarik nafas dalam-dalam, kemudian keluarkan pelan-pelan." Ria memberikan saran sambil mempraktekan.
Belum sempat mempraktekan apa yang Ria ajarkan terdengar suara sapaan di belakang kami.
"Hai!"
"Hai juga!" sahut kami berdua bersaman setelah berbalik, dan sekarang kami saling berhadapan.
"Erlan," ucapnya lagi sambil mengulurkan tangan padaku.
Aku seperti terhipnotis dengan pesonanya. Tubuhnya yang atletis hidung mancung, kulit bersih. Benar-benar sempurna.
Aku mengerjap setelah Ria menyikut tanganku.
"Delisa," sahutku sambil menerima uluran tangannya, rasa hangat menjalar di tanganku setelah ia menjabatnya erat.
"Kenalin, aku Ria sahabat dari lahirnya Delisa," sela Ria yang membuat Erlan melepaskan jabatan tangan kami.
"Hai, Ri." Gantian Kak Erlan menjabat tangan Ria.
Sesaat kami saling diam sibuk dengan pikiran masing-masing. Sementara aku mati-matian menormalkan detak jantungku sendiri.
"Kalian sudah makan siang belum?" tanya Erlan memecahkan keheningan di antara kami.
"Belum Kak. Kebeneran aku laper banget ini," jawab Ria dengan wajah sok polosnya.
Kak Erlan tersenyum mendengar ucapan Ria. "Kita cari makan dulu, yuk!" ajaknya.
Kami mengangguk bersamaan. Kak Erlan jalan lebih dulu, aku dan Ria mengekor di belakangnya.
Kak Erlan berhenti di depan restaurant cepat saji. Setelah mendapat tempat Kak Erlan langsung memesankan makanan untuk kami.
Selama makan, Kak Erlan terlihat akrab dengan Ria. Mereka saling bertukar cerita dan sesekali tertawa bersama.
"Aku mau ke toilet dulu, ya, Sha," pamit Ria tiba-tiba.
Aku meresponsnya dengan anggukan, kemudian Ria meninggalkan kami berdua.
"Hey, kenapa diam aja? tanya Kak Erlan tiba-tiba. "Kamu enggak suka ketemu aku?" lanjutnya lagi sambil menyentuh punggung tanganku.
Refleks kerena terkejut dan langsung menarik tanganku. Aku beranikan diri menatapnya dan mencoba tersenyum untuk menghilangkan kegugupan.
"Aku seneng kok, ketemu Kakak," jawabku mencoba bersikap biasa.
"Abisin makannya, kalau masih kurang pesen lagi aja," ucapnya lagi
"Kakak pikir aku kelaparan, masa mau pesen makan lagi," sahutku kesal sambil mengerucutkan bibir.
Dia malah terkekeh melihat ekspresiku. "Kok kamu gemesin sih kalau lagi marah," godanya sambil mencubit pipiku.
"Apaan sih Kak, baru kenal udah berani cubit-cubit," protesku sambil menepis tangannya.
"Maaf, abis kamu lucu," sahutnya sambil tersenyum menggoda.
Sebenarnya aku tidak benar-benar marah. Aku justru sangat bahagia. Perasaan yang baru pertama kali aku rasakan. Seperti banyak kupu-kupu mengelilingin kepalaku, begitu indah.
"Kalian pulang naik apa?" tanyanya Kak Erlan saat kami sudah keluar dari foodcourt.
"Naik bus," jawabku singkat.
"Maaf ya, enggak bisa anterin kalian pulang," ungkap Kak Erlan.
"Enggak apa-apa, Kak. Kita udah biasa naik bus, kok," sahut Ria.
Sampai di halte Kak Erlan menghentikan taksi yang melintas di depan kami. Setelah berbicara dengan sulit taksi Kak Erlan memanggil kami.
"Kalian pulang naik taksi aja. Maaf aku enggak bisa nganterin," ucap Kak Erlan kemudian membukakan pintu untukku.
"Makasih ya, Kak," ungkapku yang disambut dengan senyuman.
"Nanti malam aku telepon, ya," ucapnya lagi sebelum aku masuk ke dalam taksi.
Aku mengangguk cepat.
"Makasih Kak Erlan," ucap Ria yang masuk lebih dulu ke dalam taksi.
"Sama-sama," sahut Kak Erlan. "Titip Ri," lanjutnya lagi sambil melihat padaku.
"Ahsiap Kak," sahut Ria semangat.
Hari ini aku sangat bahagia. Mungkinkah aku telah jatuh cinta padanya. Lelaki mayaku.
"Dek bangun udah siang," panggil Bang Reno sambil menggedor-gedor pintu kamarku."Iya Bang, aku udah bangun, kok," sahutku sambil mengucek-ngucek mata yang masih terasa berat. Kulirik jam di meja belajar jam 05.50, membuat mataku melotot dan langsung berlari ke kamar mandi."Pagi Yah, Bun," sapaku pada Ayah dan Bunda di meja makan."Pagi Sayang," sahut mereka bersamaan."Buruan sarapan, abang males nungguin kalau lama, nanti bisa telat sampai kampus!" seru Bang Reno dengan wajah masam."Bawel banget, sih, Bang. Baru juga mau makan," sahutku sebal."Makanya jangan begadang giliran dibangunin aja susah," gerutu Bang Reno."Sudahlah Reno kasian adikmu, biar ia sarapan dulu," ucap Bunda membelaku."Bunda sih, kebiasaan manjain jadi begini nih anak kesayangannya," balasnya sebal.Aku yang mendapat pem
Hari ini tanggal merah bertepatan dengan hari raya nyepi. Siang nanti aku dan Kak Erlan janjian ketemuan di mall."Pagi Bun," sapaku menghampiri Bunda yang sedang sibuk di dapur."Pagi, Sayang. Tumben anak bunda hari libur sudah bangun," sahut Bunda melihat sekilas padaku."Biasanya juga bangun pagi, Bun," kataku sembari menuangkan air yang ada di teko ke gelas."Bangun pagi, tapi tidur lagi!" sela Bang Reno yang baru saja muncul di dapur."Dih, apaan kali Abang. Nyamber aja kek pletasan," ucapku sambil menatap sebal padanya.Bang Reno malah terkekeh sambil mengacak rambutku."Jadi pergi jam berapa, Dek?" tanya Bunda setelah meletakkan dua piring roti bakar di meja."Jam satu, Bun," jawabku."Mau kemana emang anak manja ini, Bun?" tanya Bang Reno sambil mencomot roti bakar."Dih, kepo sekali abangku ini!" Gantian aku yang menggodanya."Awas aja, besok enggak abang anterin ke sekolah, baru tahu rasa kamu!" ancam Bang R
Kak Erlan kembali menanyakan apakah aku mau jadi pacarnya? Aku bingung dan tak tahu harus jawab apa."Kok diam, Dee?" tanyanya sambil mengelus punggung tanganku.Refleks aku melihat padanya. Kak Erlan mengunci pandanganku. Seperti mencari jawaban dari manik hitamku."Shasa!" Aku langsung menarik tanganku yang dari tadi dielus-elus Kak Erlan.Saat aku menoleh ternyata Fina dan Wulan, teman sekelas dan satu komplek dengan."Hao Fin, Lan," sahutku sambil tersenyum.Mereka berdua pasti akan mengintrogasiku habis-habisan karena melihat aku berdua dengan cowok di halte seperti ini."Kamu ngapain di sini, Sha?" tanya Fina kemudian."Tumben banget nongkrong di halte," Wulan ikutan bertanya."Aku —" Belum sempet menjawab pertanyaannya, Wulan dan Fina langsung beralih pada Kak Erlan yang duduk di sebelahku."Ini siapa Sha?" tanya Wulan dengan memasang senyum manis."Iya, Shasa enggak asik nih, punya temen ganteng engg
Pov Erlangga"Lan!" panggil Budi sesaat setelah aku keluar dari kelas."Ada apa, Bro!" sahutku menghampirinya."Dicariin sama Mita. Sepertinya masih penasaran sama kamu," tutur Budi."Biarin aja, enggak usah diurusin," jawabku. "Ngopi, yuk!" Aku dan Budi berjalan ke arah kantin."Setiap ketemu pasti yang ditanyain kamu. Enggak pernah gitu nanyain kabarku," canda Budi membuatku menyungging senyum."Besok aku kasih tahu Mita. Suruh nanya kabar kamu," balasku membuat Budi memukul pelan tanganku."Ada-ada aja kamu ini, Lan. Makanya jangan tebar pesona terus. Kasihan 'kan, anak orang pada potek hatinya!""Aku enggak pernah tebar pesona, Mas Bro. Mereka aja yang baperan. Dikasih perhatian dikit bilang sayang, bilang cinta."Budi tertawa mendengar ocehanku. Suasana di kantin tidak terlalu ramai. Setelah memesan kopi kami mencari tempat duduk."Masa enggak tertarik sama Mita, Lan. Mita itukan cantik, seksi, ta
Pov DelisaHari ini kami dipulangkan lebih awal, karena guru-guru ada rapat siang ini. Aku dan teman-teman tidak langsung pulang ke rumah. Kami pergi ke toko buku yang ada di mall, mencari buku untuk referensi tugas yang diberikan oleh guru.Setelah mendapatkan buku yang dimaksud. Sebelum pulang kami makan di foodcourt.Selesai makan aku dan teman - teman memutuskan untuk pulang ke rumah, karena tidak nyaman berada di mall dengan seragam sekolah.Setelah tiga puluh menit bus yang kami tumpangi sampai di halte dekat rumah. Baru saja menginjakkan kaki di halte tiba-tiba langkahku terhenti melihat siapa yang sedang menatap tajam ke arahku."Kak Erlan! seru Fina dan Wulan bersamaan kemudian menghampirinya."Hai," sahut Kak Erlan."Kakak ngapain di sini?" tanya Wulan."Kakak ada perlu sama Delisa," jawabnya masih dengan menatapku.Kak Erlan melangkah ke arahku. "Bisa kita bicara?" Kak Erlan berkata den
Setelah makan malam siap, aku memanggil ayah dan Bang Reno yang sedang mengobrol di ruang tengah."Dek, kata bunda tadi ada teman Adek main ke sini?" tanya Ayah di tengah makan malam."Iya, Yah namanya Kak Erlan," jawabku tanpa berani menatap Ayah."Wih, Adek abang sudah ada yang ngapelin rupanya," ucap Bang Reno sambil tersenyum jahil padaku."Apaan, sih, Bang. Emang enggak boleh temen aku main!" sahutku sebal."Ayah dan Bunda enggak larang Adek buat temenan dengan siapa pun. Yang penting Adek tahu batasannya dan bisa jaga diri," sambung Ayah sambil menatapku penuh kasih."Iya, Yah, aku enggak akan menghancurkan kepercayaan yang Ayah dan Bunda berikan," jawabku yakin."Ini adeknya Reno, bukan, ya?" tanya Bang Reno sambil mengacak-acak rambutku."Tapi Bunda suka, Yah," timpal Bunda yang membuat kami menatap heran padanya. "Maksud bunda, Nak Erlan itu anaknya sopan. Bunda enggam keberatan kalau dia main ke sini lagi,
Pov ErlanggaHampir saja aku melakukan kesalahan. Melihat wajah Delisa yang cantik, hidungnya yang mancung, dan bibirnya yang merah merona. Namun, aku sadar gadisku masih di bawah umur dan tidak sepantasnya aku melakukannya.Saat aku mulai mendekat padanya, ia langsung memejamkan mata. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Saat aku tersadar kalau Delisa berbeda dengan mantan pacarku yang lain. Kuurungkan niat untuk menciumnya.Terkadang aku bingung, perasaanku padanya berbeda dengan mantan-mantanku yang lain. Apa rasa sayang ini lebih mirip sayang ke adik sendiri?Waktu aku tahu Delisa berbohong, karena ternyata ia masih anak SMA tidak membuatku marah. Justru aku merasa lucu karena tidak menyadari hal itu."Erlan!" Terdengar suara manja itu memanggilku."Ada apa?" tanyaku begitu ia sudah berdiri di sampingku."Ini buat kamu," jawabnya seraya menyerahkan sebuah undangan. "Jangan sampai enggak datang, ya," ucapnya lagi.
Pov DelisaHari ini Kak Erlan mengajakku menemani ia bertanding. Untuk pertama kalinya aku melihatnya bermain basket.Sampai di kampus Kak Erlan memperkenalkan aku dengan teman-temannya yang tanpa sengaja bertemu di depan ruang ganti pakaian.Mereka seperti tidak percaya kalau aku dan Kak Erlan berhubungan. Aku tahu mereka memandang aneh padaku. Entah apa yang mereka pikirkan tentang kami.Selama pertandingan mataku tak lepas dari melihatnya yang dengan lincahnya berlari sambil mendribble bola.Di sebrang lapangan kulihat ada seorang wanita yang selalu tersenyum pada Kak Erlan dan sesekali memberi semangat sambil meneriaki namanya.Ternyata Kak Erlan memang populer di kampusnya. Terbukti namanya paling banyak diteriaki oleh para penonton.Setiap habis memasukkan bola Kak Erlan selalu melihat padaku sambil tersenyum manis. Senyum yang selalu aku rindukan.Tim basket Kak Erlan memenangkan pertandingan kali ini, dengan skor
TokTok ."Dek!" panggil Bunda dari luar sambil mengetok pintu kamarku."Iya Bun, sebentar," sahutku yang sedang merapikan buku pelajaran."Ada temanmu di depan," ucap Bunda saat aku muncul di balik pintu"Siapa Bun?" tanyaku penasaran."Rio kalau enggak salah namanya," jawab Bunda."Makasih, Bun. Nanti adik temuin," ujarku.Bunda mengangguk kemudian melangkah ke dapur. Sementara aku beranjak ke depan untuk menemui Kak Rio."Kak," sapaku begitu sampai di teras."Hai, Dek?" balasnya membuatku keheranan."Kok panggil adek?" tanyaku."Abis tadi Bunda panggil kamu Adek. Boleh kan, kalau aku juga panggilkamu Adek," jawabnya.Aku sempat berpikir sebentar kemudian mengangguk ragu. "Kakak ada apa ke sini?""Mau main aja emang enggak boleh, ya?""Boleh aja, kok. Tapi kenapa enggak telepon dulu?""Kalau telepon dulu pasti kamu akan cari alasan untuk mel
Jam pelajaran sudah selesai, Aku segera merapihkan buku dan peralatan tulisku."Sha, bareng enggak?" tanya Haris yang sudah berdiri di samping mejaku."Iya Ris, tapi aku mau ke toilet dulu, ya," jawabku."Aku tunggu di parkiran, ya, Sha," ucap Harus lagi."Oke," sahutku kemudian.Setiap hari aku selalu bareng sama Haris. Meski cuma sampai halte dekat kampus. Kemudian aku naik bus menuju rumah.Haris sering menawarkan untuk mengantarku sampai ke rumah, tetapi aku selalu menolaknya, karena tak mau merepotkan, sebab rumahku berlawanan arah dengan rumahnya.Keluar dari toilet ada Jelita dan teman-temanya. Kampus sudah mulai sepi karena hari sudah hampir sore."Permisi, Kak," ucapku saat hendak melewati mereka.BrukTiba-tiba salah satu dari mereka mendorongku hingga terjatuh."Udah aku peringatin, kamu jangan pernah deketin Rio. Kamu budek atau bodoh, sih!" maki Jelita sambil menarik rambut dan menatap ta
Sudah tiga bulan Kak Erlan pergi tanpa memberi kabar. Aku sangat merindukannya, senyumnya, tawanya, dan kekonyolannya. Semua yang ada padanya aku rindu. Entah bagaimana kabarnya Kak Erlan. Aku hanya bisa berdoa semoga di sana ia baik-baik saja dan segera kembali untukku dan cinta kami. Hari ini aku dan Ria pergi ke sebuah Mall. Sudah lama sekali kita tidak jalan bareng, karena kesibukan kuliah kami masing-masing. Rencananya Ria mau cari kado untuk Angga yang akan berulang tahun. "Sha, sudah ada kabar dari Kak Erlan?" tanya Ria pada saat kami sedang menikmati makan siang. Aku hanya menggelengkan kepala dan tersenyum kecil. "Sabar, Sha. Aku yakin Kak Erlan baik-baik aja di sana. Dan aku juga yakin Kak Erlan enggak akan macam-macam," ucapnya sambil mengusap punggung tanganku. "Iya, Ri. Aku pun berharap begitu, meskipun Kak Erlan enggak pernah kasih kabar," sahutku. "Delisa!" sapa seseorang di depan meja kami membuat
Malam ini Kak Erlan menjemputku, setelah mendapat ijin dari Ayah dan Bunda, ia mengajakku ke taman kota.Aku melihat Kak Erlan tidak seperti biasanya. Tampaknya ada sesuatu yang ia sembunyikan. Dari tadi kami hanya duduk di bangku taman, tangannya menggenggam erat tanganku."Ada apa?" tanyaku sambil menatapnya."Ada kamu di hatiku," jawabnya sambil tersenyum jahil membuatku mendengus sebal."Gombal!""Tapi suka kan digombalin," ucapnya sambil meletakkan tanganku ke dadanya. Kami saling diam entah apa yang ada sedang ia pikirkan. karena tidak seperti biasanya ia begini.CupAku mencium pipinya. Kak Erlan sempat terkejut tapi kemudian tersenyum. "Jangan mancing," ucapnya menggodaku.Aku memukul pelan tangannya, ia malah menangkapnya dan menatapku intens."Dee, kakak ada kerjaan di Surabaya," ungkapnya tanpa sedikit pun berpaling dari menatapku.Entah aku harus senang atau sedih mendengar kabar ini. Aku senang karena
Pov ErlanggaSebelum kepergian Mama kami adalah keluarga yang harmonis. Hidupku begitu sempurna memiliki kedua orang tua yang amat sangat menyayangiku.Namun, semua berubah saat kami harus kehilangan jantung dalam keluarga. Mama meninggal setelah berjuang melawan penyakit kanker.Aku seperti anak ayam kehilangan induknya. Setiap hari hanya ditemani asisten rumah tangga. Papa menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Mungkin itu salah satu cara yang beliau lakukan untuk menutupi rasa kehilangan atas Mama.Tiga tahun setelah Mama meninggal. Papa menikah lagi dengan Tante Lisa, salah satu staf di perusahaannya. Bukannya membaik hubungan kami justru semakin buruk.Sejujurnya aku belum ikhlas ada yang menggantikan posisi Mama di rumah ini. Rasanya terlalu menyakitkan bila mengingat semua kenangan yang pernah kami lalui bersama.Sikap Papa padaku semakin buruk. Hampir setiap hari kami bertengkar. Karena aku tidak betah di rumah. Aku lebih memilih meng
Hari pengumuman kelulusan akhirnya tiba juga. Semua murid SMA Nusa Bangsa dikumpulkan di lapangan pagi ini.Semua rasa jadi satu. Bahagia karena kami naik ke jenjang pendidikan yang tinggi. Sedih karena harus berpisah dengan teman-teman setelah kami menuntut ilmu selama tiga bersama.Aku, Ria, Wulan, dan Fina saling bergandengan tangan. Memberi kekuatan satu sama lain karena kami takut ada yang tidak lulus.Saat Kepala sekolah naik ke mimbar seketika suasana manjadi hening. Beliau memberikan sedikit wejangan untuk kami. Agar kami bisa menjaga dan mengharumkan nama sekolah di mana pun nantinya kami berada.Alhamdulillah semua murid SMA Nusa Bangsa dinyatakan lulus. Kami semua bersorak gembira mendengar pengumuman iniAku dan sahabatku saling berpelukan. Kami menangis bahagia sekaligus beredih. Karena itu artinya kami tidak bisa bersama-sama lagi.Wulan akan melanjutkan kuliah di Kota Padang Sumatera Barat karena papanya dipindah t
Pov DelisaHari ini Kak Erlan mengajakku menemani ia bertanding. Untuk pertama kalinya aku melihatnya bermain basket.Sampai di kampus Kak Erlan memperkenalkan aku dengan teman-temannya yang tanpa sengaja bertemu di depan ruang ganti pakaian.Mereka seperti tidak percaya kalau aku dan Kak Erlan berhubungan. Aku tahu mereka memandang aneh padaku. Entah apa yang mereka pikirkan tentang kami.Selama pertandingan mataku tak lepas dari melihatnya yang dengan lincahnya berlari sambil mendribble bola.Di sebrang lapangan kulihat ada seorang wanita yang selalu tersenyum pada Kak Erlan dan sesekali memberi semangat sambil meneriaki namanya.Ternyata Kak Erlan memang populer di kampusnya. Terbukti namanya paling banyak diteriaki oleh para penonton.Setiap habis memasukkan bola Kak Erlan selalu melihat padaku sambil tersenyum manis. Senyum yang selalu aku rindukan.Tim basket Kak Erlan memenangkan pertandingan kali ini, dengan skor
Pov ErlanggaHampir saja aku melakukan kesalahan. Melihat wajah Delisa yang cantik, hidungnya yang mancung, dan bibirnya yang merah merona. Namun, aku sadar gadisku masih di bawah umur dan tidak sepantasnya aku melakukannya.Saat aku mulai mendekat padanya, ia langsung memejamkan mata. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Saat aku tersadar kalau Delisa berbeda dengan mantan pacarku yang lain. Kuurungkan niat untuk menciumnya.Terkadang aku bingung, perasaanku padanya berbeda dengan mantan-mantanku yang lain. Apa rasa sayang ini lebih mirip sayang ke adik sendiri?Waktu aku tahu Delisa berbohong, karena ternyata ia masih anak SMA tidak membuatku marah. Justru aku merasa lucu karena tidak menyadari hal itu."Erlan!" Terdengar suara manja itu memanggilku."Ada apa?" tanyaku begitu ia sudah berdiri di sampingku."Ini buat kamu," jawabnya seraya menyerahkan sebuah undangan. "Jangan sampai enggak datang, ya," ucapnya lagi.
Setelah makan malam siap, aku memanggil ayah dan Bang Reno yang sedang mengobrol di ruang tengah."Dek, kata bunda tadi ada teman Adek main ke sini?" tanya Ayah di tengah makan malam."Iya, Yah namanya Kak Erlan," jawabku tanpa berani menatap Ayah."Wih, Adek abang sudah ada yang ngapelin rupanya," ucap Bang Reno sambil tersenyum jahil padaku."Apaan, sih, Bang. Emang enggak boleh temen aku main!" sahutku sebal."Ayah dan Bunda enggak larang Adek buat temenan dengan siapa pun. Yang penting Adek tahu batasannya dan bisa jaga diri," sambung Ayah sambil menatapku penuh kasih."Iya, Yah, aku enggak akan menghancurkan kepercayaan yang Ayah dan Bunda berikan," jawabku yakin."Ini adeknya Reno, bukan, ya?" tanya Bang Reno sambil mengacak-acak rambutku."Tapi Bunda suka, Yah," timpal Bunda yang membuat kami menatap heran padanya. "Maksud bunda, Nak Erlan itu anaknya sopan. Bunda enggam keberatan kalau dia main ke sini lagi,