"Dek, kata bunda tadi ada teman Adek main ke sini?" tanya Ayah di tengah makan malam.
"Iya, Yah namanya Kak Erlan," jawabku tanpa berani menatap Ayah.
"Wih, Adek abang sudah ada yang ngapelin rupanya," ucap Bang Reno sambil tersenyum jahil padaku.
"Apaan, sih, Bang. Emang enggak boleh temen aku main!" sahutku sebal.
"Ayah dan Bunda enggak larang Adek buat temenan dengan siapa pun. Yang penting Adek tahu batasannya dan bisa jaga diri," sambung Ayah sambil menatapku penuh kasih.
"Iya, Yah, aku enggak akan menghancurkan kepercayaan yang Ayah dan Bunda berikan," jawabku yakin.
"Ini adeknya Reno, bukan, ya?" tanya Bang Reno sambil mengacak-acak rambutku.
"Tapi Bunda suka, Yah," timpal Bunda yang membuat kami menatap heran padanya. "Maksud bunda, Nak Erlan itu anaknya sopan. Bunda enggam keberatan kalau dia main ke sini lagi," ucap Bunda lagi sambil menyungging senyum.
"Reno jadi penasaran Bun, kaya gimana orangnya. Bunda aja bisa suka, apa enggak takut Ayah cemburu!" Gantian Bang Reno menggoda Bunda.
Ayah dan Bunda saling bertatapan, kemudian tertawa bersama. Aku memang masih di bawah umur. Untuk itu aku akan menjaga kepercayaan yang sudah Ayah dan Bunda berikan padaku.
***
Jam pelajaran baru saja usai. Setelah memasukan peralatan tulisku ke dalam ransel, aku mengambil ponsel yang sedari tadi aku silent notifikasinya. ada lima panggilan tak terjawab dan lima pesan dari Kak Erlan.
[Dee, nanti pulang aku jemput ya.]
[Dee, balas dong.]
[Dee, aku kangen.]
[Dee, kamu enggak kangen kakak, ya.]
[Kakak sudah di depan sekolahmu.]
Pesan terakhir dikirim lima belas menit yang lalu.
"Ayo, Sha!" ajak Ria. Tanpa membalas pesan Kak Erlan aku kembali memasukkan ponsel ke saku kemeja. Lalu beranjak keluar dari kelas.
"Kak Erlan bilang ada di depan," ucapku berjalan beriringan dengan Ria.
"Kalian mau jalan?" tanya Ria balik.
"Enggak, sih. Kak Erlan cuma bilang mau jemput aku," jawabku.
"Ya sudah, kamu duluan saja. Aku nunggu Fina dan Wulan dulu di sini," ujar Ria karena kalau kedua temanku itu melihat Kak Erlan bakalan heboh mereka seperti beberapa waktu yang lalu.
"Aku duluan, Ri," pamitku meninggalkan Ria di lorong sekolah.
Kak Erlan sudah menunggu di depan gerbang. Beberapa siswa-siswi yang lewat sempat memperhatikan Kak Erlan.
"Kenapa pesan kakak enggak dibalas?" tanyanya saat aku sudah berdiri di depannya.
"Ponsel aku silent. Lagian mana tahu Kakak mau jemput," jawabku.
"Oh, ya. Aku lupa pacaran sama anak sekolah yang tidak diperbolehkan mengaktifkan ponsel di dalam kelas," ujarnya dengan senyum menyebalkan.
"Siapa suruh mau pacaran sama anak sekolah," sungutku kesal.
"Dih, malah ngambek. Bikin gemes kalau lagi kek gini," ucapnya sambil memencet hidungku.
"Aduh sakit!" rintihku sambil meringis. Kak Erlan malah terkekeh.
"Langsung pulang, ya, Kak," ucapku ketika sudah duduk di boncengan.
"Siapp Tuan Putri!" sahutnya kemudian melajukan motornya.
Siang ini Bunda tidak ada di rumah. Aku baru ingat, tadi pagi Bunda bilang akan pergi ke rumah Tante Siska.
"Kok sepi Dee," tanya Erlan begitu kami menginjakkan kaki di teras.
"Bunda lagi pergi Kak," jawabku sembari melepas sepatu.
"Di sini aja enggak apa-apa, kan. Enggak ada orang soalnya," kataku bersiap masuk ke dalam.
"Iya, enggak apa-apa," sahutnya sambil melepaskan jaket yang ia kenakan.
Kemudian aku beranjak ke dalam untuk berganti pakaian dan membuatkan minum untuk Kak Erlan.
"Minumnya Kak," ucapku seraya menaruh segalas orange jus di meja.
"Makasih. Kamu lapar enggak?" tanya Kak Erlan.
"Tadi jam istirahat sudah makan," jawabku kemudian duduk di bangku.
"Aku tanya sekarang kamu lapar enggak. Bukan tanya kamu sudah makan apa belum?"
Aku memutar bola mata mendengar ucapan Erlan.
"Kalau tadi sudah makan, itu artinya aku masih kenyang, enggak lapar!"
"Aku lapar," akunya dengan wajah memelas.
"Bunda enggak masak. Tapi kalau Kakak mau mie instan aku bisa buatkan."
Kak Erlan malah tersenyum entah apa arti senyumnya itu. Tadi pagi Bunda memang tidak sempat masak. Karena sudah janjian dengan Tante Siska.
Kak Erlan mengeluarkan ponselnya kemudian terlihat mengetik sesuatu.
"Bunda nginep?" tanyanya setelah menaruh ponsel di meja.
"Tadi pagi, sih, bilangnya enggak," jawabku.
"Dijemput siapa nanti?"
"Bang Reno. Ayah masih di Bandung soalnya."
Beberapa saat kami saling diam. Sampai sepeda motor ojek online berhenti di depan gerbang. Aku menoleh pada Kak Erlan, ia hanya tersenyum kemudian berjalan ke gerbang menghampiri driver ojek online.
"Temani kakak makan, ya," ucapnya setelah meletakkan kantong kresek di meja. "Tadi pagi aku sudah makan mie instan di rumah. Kalau sekarang makan mie instan lagi bisa keriting ususku," ujarnya lagi.
Aku kembali ke dalam untuk mengambil piring, sendok dan air minum. Kak Erlan memesan dua porsi nasi Padang untuk kamu berdua.
"Memang orang rumah enggak masak, Kak?" tanyaku seraya menyodorkan piring padanya.
"Makasih," ucapnya menerima piring yang aku sodorkan.
Kami makan tanpa saling bicara. Hanya terdengar suara piring dan sendong yang sesekali beradu.
Selesai makan aku kembali membereskan peralatan bekas makan kami. Sekembali dari dalam aku melihat Kak Erlan sedang menelepon. Wajahnya terlihat masam, entah apa yang ia bicarakan.
"Orang rumah yang telepon."Kak Erlan seperti mengerti kalau aku ingin tahu siapa yang menelepon.
"Oh, Kakak disuruh pulang?"
Mendengar pertanyaanku Kak Erlan tersenyum miring. "Emangnya aku kakak main bawa piring sampai dicariin!"
Aku menatap sebal padanya, dan itu malah membuat tersenyum lebar.
"Kakak pulang, ya," ucapnya sambil memakai jaket. "Makasih," lanjutnya lagi sambil menatap lekat padaku.
"Makasih buat apa?" tanyaku bingung.
"Sudah mau latihan jadi istri yang baik," jawabnya sambil mengusap lembut pipiku.
Ada yang berdesir di dalam dada. Rasanya seperti mau pingsan diperlakukan seperti ini.
"Ditinggal sendiri beranikan!"
"Beranilah masa di rumah sendiri enggak berani. Justru aku takut kalau Kakak kelamaan di sini."
"Kenapa memangnya?"
"Takut khilaf!"
Kak Erlan tertawa lepas. Hingga wajahnya memerah. Baru kali ini aku melihatnya seperti ini.
"Makasih, Dee," ucapnya lagi.
"Kakak apaan, sih, dari tadi makasih terus. Aku 'kan enggak kasih apa-apa."
"Siapa bilang kamu enggak pernah kasih apa-apa. Sejak awal kita kenal, kamu sudah kasih banyak kebahagiaan buat kakak."
Perlahan Kak Erlan mendekat padaku. Tidak ada jarak antara kami, sehingga aku bisa merasakan hembusan napasnya.
Kak Erlan menatap dalam padaku. Ia pun mengunci netra. Manik hitamnya menyimpan banyak luka. Ia mencoba menyembunyikannya dariku, tetapi aku bukannya orang yang bisa dibohongi.
Kak Erlan membelai kepala bagian samping tanpa sedikit pun mengalihkan pandangannya.
"Terima kasih, sudah hadir dalam hidup kakak. Kasih kakak kesempatan untuk membahagiakanmu. Seperti halnya kamu sudah memberikan kebahagian dalam hidup kakak."
Aku mengangguk pelan. Jujur saja saat ini detak jantung seperti orang yang sedang naik rollercoaster. Berdetak sangat cepat.
Kak Erlan mendekatkan wajahnya. Hampir tidak ada jarak antara wajahku dengannya, aku memejamkan mata beberapa detik.
Saat kubuka mata wajah Kak Erlan sudah tidak sedekat tadi. Ia malah sedang tersenyum menatapku. Rasa kesal dan malu jadi satu.
Ingin rasanya aku menghilang saat ini juga, agar tidak terlihat oleh Kak Erlan. Saat ini pasti wajahmu sudah seperti kepiting rebus.
Pov ErlanggaHampir saja aku melakukan kesalahan. Melihat wajah Delisa yang cantik, hidungnya yang mancung, dan bibirnya yang merah merona. Namun, aku sadar gadisku masih di bawah umur dan tidak sepantasnya aku melakukannya.Saat aku mulai mendekat padanya, ia langsung memejamkan mata. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Saat aku tersadar kalau Delisa berbeda dengan mantan pacarku yang lain. Kuurungkan niat untuk menciumnya.Terkadang aku bingung, perasaanku padanya berbeda dengan mantan-mantanku yang lain. Apa rasa sayang ini lebih mirip sayang ke adik sendiri?Waktu aku tahu Delisa berbohong, karena ternyata ia masih anak SMA tidak membuatku marah. Justru aku merasa lucu karena tidak menyadari hal itu."Erlan!" Terdengar suara manja itu memanggilku."Ada apa?" tanyaku begitu ia sudah berdiri di sampingku."Ini buat kamu," jawabnya seraya menyerahkan sebuah undangan. "Jangan sampai enggak datang, ya," ucapnya lagi.
Pov DelisaHari ini Kak Erlan mengajakku menemani ia bertanding. Untuk pertama kalinya aku melihatnya bermain basket.Sampai di kampus Kak Erlan memperkenalkan aku dengan teman-temannya yang tanpa sengaja bertemu di depan ruang ganti pakaian.Mereka seperti tidak percaya kalau aku dan Kak Erlan berhubungan. Aku tahu mereka memandang aneh padaku. Entah apa yang mereka pikirkan tentang kami.Selama pertandingan mataku tak lepas dari melihatnya yang dengan lincahnya berlari sambil mendribble bola.Di sebrang lapangan kulihat ada seorang wanita yang selalu tersenyum pada Kak Erlan dan sesekali memberi semangat sambil meneriaki namanya.Ternyata Kak Erlan memang populer di kampusnya. Terbukti namanya paling banyak diteriaki oleh para penonton.Setiap habis memasukkan bola Kak Erlan selalu melihat padaku sambil tersenyum manis. Senyum yang selalu aku rindukan.Tim basket Kak Erlan memenangkan pertandingan kali ini, dengan skor
Hari pengumuman kelulusan akhirnya tiba juga. Semua murid SMA Nusa Bangsa dikumpulkan di lapangan pagi ini.Semua rasa jadi satu. Bahagia karena kami naik ke jenjang pendidikan yang tinggi. Sedih karena harus berpisah dengan teman-teman setelah kami menuntut ilmu selama tiga bersama.Aku, Ria, Wulan, dan Fina saling bergandengan tangan. Memberi kekuatan satu sama lain karena kami takut ada yang tidak lulus.Saat Kepala sekolah naik ke mimbar seketika suasana manjadi hening. Beliau memberikan sedikit wejangan untuk kami. Agar kami bisa menjaga dan mengharumkan nama sekolah di mana pun nantinya kami berada.Alhamdulillah semua murid SMA Nusa Bangsa dinyatakan lulus. Kami semua bersorak gembira mendengar pengumuman iniAku dan sahabatku saling berpelukan. Kami menangis bahagia sekaligus beredih. Karena itu artinya kami tidak bisa bersama-sama lagi.Wulan akan melanjutkan kuliah di Kota Padang Sumatera Barat karena papanya dipindah t
Pov ErlanggaSebelum kepergian Mama kami adalah keluarga yang harmonis. Hidupku begitu sempurna memiliki kedua orang tua yang amat sangat menyayangiku.Namun, semua berubah saat kami harus kehilangan jantung dalam keluarga. Mama meninggal setelah berjuang melawan penyakit kanker.Aku seperti anak ayam kehilangan induknya. Setiap hari hanya ditemani asisten rumah tangga. Papa menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Mungkin itu salah satu cara yang beliau lakukan untuk menutupi rasa kehilangan atas Mama.Tiga tahun setelah Mama meninggal. Papa menikah lagi dengan Tante Lisa, salah satu staf di perusahaannya. Bukannya membaik hubungan kami justru semakin buruk.Sejujurnya aku belum ikhlas ada yang menggantikan posisi Mama di rumah ini. Rasanya terlalu menyakitkan bila mengingat semua kenangan yang pernah kami lalui bersama.Sikap Papa padaku semakin buruk. Hampir setiap hari kami bertengkar. Karena aku tidak betah di rumah. Aku lebih memilih meng
Malam ini Kak Erlan menjemputku, setelah mendapat ijin dari Ayah dan Bunda, ia mengajakku ke taman kota.Aku melihat Kak Erlan tidak seperti biasanya. Tampaknya ada sesuatu yang ia sembunyikan. Dari tadi kami hanya duduk di bangku taman, tangannya menggenggam erat tanganku."Ada apa?" tanyaku sambil menatapnya."Ada kamu di hatiku," jawabnya sambil tersenyum jahil membuatku mendengus sebal."Gombal!""Tapi suka kan digombalin," ucapnya sambil meletakkan tanganku ke dadanya. Kami saling diam entah apa yang ada sedang ia pikirkan. karena tidak seperti biasanya ia begini.CupAku mencium pipinya. Kak Erlan sempat terkejut tapi kemudian tersenyum. "Jangan mancing," ucapnya menggodaku.Aku memukul pelan tangannya, ia malah menangkapnya dan menatapku intens."Dee, kakak ada kerjaan di Surabaya," ungkapnya tanpa sedikit pun berpaling dari menatapku.Entah aku harus senang atau sedih mendengar kabar ini. Aku senang karena
Sudah tiga bulan Kak Erlan pergi tanpa memberi kabar. Aku sangat merindukannya, senyumnya, tawanya, dan kekonyolannya. Semua yang ada padanya aku rindu. Entah bagaimana kabarnya Kak Erlan. Aku hanya bisa berdoa semoga di sana ia baik-baik saja dan segera kembali untukku dan cinta kami. Hari ini aku dan Ria pergi ke sebuah Mall. Sudah lama sekali kita tidak jalan bareng, karena kesibukan kuliah kami masing-masing. Rencananya Ria mau cari kado untuk Angga yang akan berulang tahun. "Sha, sudah ada kabar dari Kak Erlan?" tanya Ria pada saat kami sedang menikmati makan siang. Aku hanya menggelengkan kepala dan tersenyum kecil. "Sabar, Sha. Aku yakin Kak Erlan baik-baik aja di sana. Dan aku juga yakin Kak Erlan enggak akan macam-macam," ucapnya sambil mengusap punggung tanganku. "Iya, Ri. Aku pun berharap begitu, meskipun Kak Erlan enggak pernah kasih kabar," sahutku. "Delisa!" sapa seseorang di depan meja kami membuat
Jam pelajaran sudah selesai, Aku segera merapihkan buku dan peralatan tulisku."Sha, bareng enggak?" tanya Haris yang sudah berdiri di samping mejaku."Iya Ris, tapi aku mau ke toilet dulu, ya," jawabku."Aku tunggu di parkiran, ya, Sha," ucap Harus lagi."Oke," sahutku kemudian.Setiap hari aku selalu bareng sama Haris. Meski cuma sampai halte dekat kampus. Kemudian aku naik bus menuju rumah.Haris sering menawarkan untuk mengantarku sampai ke rumah, tetapi aku selalu menolaknya, karena tak mau merepotkan, sebab rumahku berlawanan arah dengan rumahnya.Keluar dari toilet ada Jelita dan teman-temanya. Kampus sudah mulai sepi karena hari sudah hampir sore."Permisi, Kak," ucapku saat hendak melewati mereka.BrukTiba-tiba salah satu dari mereka mendorongku hingga terjatuh."Udah aku peringatin, kamu jangan pernah deketin Rio. Kamu budek atau bodoh, sih!" maki Jelita sambil menarik rambut dan menatap ta
TokTok ."Dek!" panggil Bunda dari luar sambil mengetok pintu kamarku."Iya Bun, sebentar," sahutku yang sedang merapikan buku pelajaran."Ada temanmu di depan," ucap Bunda saat aku muncul di balik pintu"Siapa Bun?" tanyaku penasaran."Rio kalau enggak salah namanya," jawab Bunda."Makasih, Bun. Nanti adik temuin," ujarku.Bunda mengangguk kemudian melangkah ke dapur. Sementara aku beranjak ke depan untuk menemui Kak Rio."Kak," sapaku begitu sampai di teras."Hai, Dek?" balasnya membuatku keheranan."Kok panggil adek?" tanyaku."Abis tadi Bunda panggil kamu Adek. Boleh kan, kalau aku juga panggilkamu Adek," jawabnya.Aku sempat berpikir sebentar kemudian mengangguk ragu. "Kakak ada apa ke sini?""Mau main aja emang enggak boleh, ya?""Boleh aja, kok. Tapi kenapa enggak telepon dulu?""Kalau telepon dulu pasti kamu akan cari alasan untuk mel
TokTok ."Dek!" panggil Bunda dari luar sambil mengetok pintu kamarku."Iya Bun, sebentar," sahutku yang sedang merapikan buku pelajaran."Ada temanmu di depan," ucap Bunda saat aku muncul di balik pintu"Siapa Bun?" tanyaku penasaran."Rio kalau enggak salah namanya," jawab Bunda."Makasih, Bun. Nanti adik temuin," ujarku.Bunda mengangguk kemudian melangkah ke dapur. Sementara aku beranjak ke depan untuk menemui Kak Rio."Kak," sapaku begitu sampai di teras."Hai, Dek?" balasnya membuatku keheranan."Kok panggil adek?" tanyaku."Abis tadi Bunda panggil kamu Adek. Boleh kan, kalau aku juga panggilkamu Adek," jawabnya.Aku sempat berpikir sebentar kemudian mengangguk ragu. "Kakak ada apa ke sini?""Mau main aja emang enggak boleh, ya?""Boleh aja, kok. Tapi kenapa enggak telepon dulu?""Kalau telepon dulu pasti kamu akan cari alasan untuk mel
Jam pelajaran sudah selesai, Aku segera merapihkan buku dan peralatan tulisku."Sha, bareng enggak?" tanya Haris yang sudah berdiri di samping mejaku."Iya Ris, tapi aku mau ke toilet dulu, ya," jawabku."Aku tunggu di parkiran, ya, Sha," ucap Harus lagi."Oke," sahutku kemudian.Setiap hari aku selalu bareng sama Haris. Meski cuma sampai halte dekat kampus. Kemudian aku naik bus menuju rumah.Haris sering menawarkan untuk mengantarku sampai ke rumah, tetapi aku selalu menolaknya, karena tak mau merepotkan, sebab rumahku berlawanan arah dengan rumahnya.Keluar dari toilet ada Jelita dan teman-temanya. Kampus sudah mulai sepi karena hari sudah hampir sore."Permisi, Kak," ucapku saat hendak melewati mereka.BrukTiba-tiba salah satu dari mereka mendorongku hingga terjatuh."Udah aku peringatin, kamu jangan pernah deketin Rio. Kamu budek atau bodoh, sih!" maki Jelita sambil menarik rambut dan menatap ta
Sudah tiga bulan Kak Erlan pergi tanpa memberi kabar. Aku sangat merindukannya, senyumnya, tawanya, dan kekonyolannya. Semua yang ada padanya aku rindu. Entah bagaimana kabarnya Kak Erlan. Aku hanya bisa berdoa semoga di sana ia baik-baik saja dan segera kembali untukku dan cinta kami. Hari ini aku dan Ria pergi ke sebuah Mall. Sudah lama sekali kita tidak jalan bareng, karena kesibukan kuliah kami masing-masing. Rencananya Ria mau cari kado untuk Angga yang akan berulang tahun. "Sha, sudah ada kabar dari Kak Erlan?" tanya Ria pada saat kami sedang menikmati makan siang. Aku hanya menggelengkan kepala dan tersenyum kecil. "Sabar, Sha. Aku yakin Kak Erlan baik-baik aja di sana. Dan aku juga yakin Kak Erlan enggak akan macam-macam," ucapnya sambil mengusap punggung tanganku. "Iya, Ri. Aku pun berharap begitu, meskipun Kak Erlan enggak pernah kasih kabar," sahutku. "Delisa!" sapa seseorang di depan meja kami membuat
Malam ini Kak Erlan menjemputku, setelah mendapat ijin dari Ayah dan Bunda, ia mengajakku ke taman kota.Aku melihat Kak Erlan tidak seperti biasanya. Tampaknya ada sesuatu yang ia sembunyikan. Dari tadi kami hanya duduk di bangku taman, tangannya menggenggam erat tanganku."Ada apa?" tanyaku sambil menatapnya."Ada kamu di hatiku," jawabnya sambil tersenyum jahil membuatku mendengus sebal."Gombal!""Tapi suka kan digombalin," ucapnya sambil meletakkan tanganku ke dadanya. Kami saling diam entah apa yang ada sedang ia pikirkan. karena tidak seperti biasanya ia begini.CupAku mencium pipinya. Kak Erlan sempat terkejut tapi kemudian tersenyum. "Jangan mancing," ucapnya menggodaku.Aku memukul pelan tangannya, ia malah menangkapnya dan menatapku intens."Dee, kakak ada kerjaan di Surabaya," ungkapnya tanpa sedikit pun berpaling dari menatapku.Entah aku harus senang atau sedih mendengar kabar ini. Aku senang karena
Pov ErlanggaSebelum kepergian Mama kami adalah keluarga yang harmonis. Hidupku begitu sempurna memiliki kedua orang tua yang amat sangat menyayangiku.Namun, semua berubah saat kami harus kehilangan jantung dalam keluarga. Mama meninggal setelah berjuang melawan penyakit kanker.Aku seperti anak ayam kehilangan induknya. Setiap hari hanya ditemani asisten rumah tangga. Papa menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Mungkin itu salah satu cara yang beliau lakukan untuk menutupi rasa kehilangan atas Mama.Tiga tahun setelah Mama meninggal. Papa menikah lagi dengan Tante Lisa, salah satu staf di perusahaannya. Bukannya membaik hubungan kami justru semakin buruk.Sejujurnya aku belum ikhlas ada yang menggantikan posisi Mama di rumah ini. Rasanya terlalu menyakitkan bila mengingat semua kenangan yang pernah kami lalui bersama.Sikap Papa padaku semakin buruk. Hampir setiap hari kami bertengkar. Karena aku tidak betah di rumah. Aku lebih memilih meng
Hari pengumuman kelulusan akhirnya tiba juga. Semua murid SMA Nusa Bangsa dikumpulkan di lapangan pagi ini.Semua rasa jadi satu. Bahagia karena kami naik ke jenjang pendidikan yang tinggi. Sedih karena harus berpisah dengan teman-teman setelah kami menuntut ilmu selama tiga bersama.Aku, Ria, Wulan, dan Fina saling bergandengan tangan. Memberi kekuatan satu sama lain karena kami takut ada yang tidak lulus.Saat Kepala sekolah naik ke mimbar seketika suasana manjadi hening. Beliau memberikan sedikit wejangan untuk kami. Agar kami bisa menjaga dan mengharumkan nama sekolah di mana pun nantinya kami berada.Alhamdulillah semua murid SMA Nusa Bangsa dinyatakan lulus. Kami semua bersorak gembira mendengar pengumuman iniAku dan sahabatku saling berpelukan. Kami menangis bahagia sekaligus beredih. Karena itu artinya kami tidak bisa bersama-sama lagi.Wulan akan melanjutkan kuliah di Kota Padang Sumatera Barat karena papanya dipindah t
Pov DelisaHari ini Kak Erlan mengajakku menemani ia bertanding. Untuk pertama kalinya aku melihatnya bermain basket.Sampai di kampus Kak Erlan memperkenalkan aku dengan teman-temannya yang tanpa sengaja bertemu di depan ruang ganti pakaian.Mereka seperti tidak percaya kalau aku dan Kak Erlan berhubungan. Aku tahu mereka memandang aneh padaku. Entah apa yang mereka pikirkan tentang kami.Selama pertandingan mataku tak lepas dari melihatnya yang dengan lincahnya berlari sambil mendribble bola.Di sebrang lapangan kulihat ada seorang wanita yang selalu tersenyum pada Kak Erlan dan sesekali memberi semangat sambil meneriaki namanya.Ternyata Kak Erlan memang populer di kampusnya. Terbukti namanya paling banyak diteriaki oleh para penonton.Setiap habis memasukkan bola Kak Erlan selalu melihat padaku sambil tersenyum manis. Senyum yang selalu aku rindukan.Tim basket Kak Erlan memenangkan pertandingan kali ini, dengan skor
Pov ErlanggaHampir saja aku melakukan kesalahan. Melihat wajah Delisa yang cantik, hidungnya yang mancung, dan bibirnya yang merah merona. Namun, aku sadar gadisku masih di bawah umur dan tidak sepantasnya aku melakukannya.Saat aku mulai mendekat padanya, ia langsung memejamkan mata. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Saat aku tersadar kalau Delisa berbeda dengan mantan pacarku yang lain. Kuurungkan niat untuk menciumnya.Terkadang aku bingung, perasaanku padanya berbeda dengan mantan-mantanku yang lain. Apa rasa sayang ini lebih mirip sayang ke adik sendiri?Waktu aku tahu Delisa berbohong, karena ternyata ia masih anak SMA tidak membuatku marah. Justru aku merasa lucu karena tidak menyadari hal itu."Erlan!" Terdengar suara manja itu memanggilku."Ada apa?" tanyaku begitu ia sudah berdiri di sampingku."Ini buat kamu," jawabnya seraya menyerahkan sebuah undangan. "Jangan sampai enggak datang, ya," ucapnya lagi.
Setelah makan malam siap, aku memanggil ayah dan Bang Reno yang sedang mengobrol di ruang tengah."Dek, kata bunda tadi ada teman Adek main ke sini?" tanya Ayah di tengah makan malam."Iya, Yah namanya Kak Erlan," jawabku tanpa berani menatap Ayah."Wih, Adek abang sudah ada yang ngapelin rupanya," ucap Bang Reno sambil tersenyum jahil padaku."Apaan, sih, Bang. Emang enggak boleh temen aku main!" sahutku sebal."Ayah dan Bunda enggak larang Adek buat temenan dengan siapa pun. Yang penting Adek tahu batasannya dan bisa jaga diri," sambung Ayah sambil menatapku penuh kasih."Iya, Yah, aku enggak akan menghancurkan kepercayaan yang Ayah dan Bunda berikan," jawabku yakin."Ini adeknya Reno, bukan, ya?" tanya Bang Reno sambil mengacak-acak rambutku."Tapi Bunda suka, Yah," timpal Bunda yang membuat kami menatap heran padanya. "Maksud bunda, Nak Erlan itu anaknya sopan. Bunda enggam keberatan kalau dia main ke sini lagi,