"Kok diam, Dee?" tanyanya sambil mengelus punggung tanganku.
Refleks aku melihat padanya. Kak Erlan mengunci pandanganku. Seperti mencari jawaban dari manik hitamku.
"Shasa!" Aku langsung menarik tanganku yang dari tadi dielus-elus Kak Erlan.
Saat aku menoleh ternyata Fina dan Wulan, teman sekelas dan satu komplek dengan.
"Hao Fin, Lan," sahutku sambil tersenyum.
Mereka berdua pasti akan mengintrogasiku habis-habisan karena melihat aku berdua dengan cowok di halte seperti ini.
"Kamu ngapain di sini, Sha?" tanya Fina kemudian.
"Tumben banget nongkrong di halte," Wulan ikutan bertanya.
"Aku —" Belum sempet menjawab pertanyaannya, Wulan dan Fina langsung beralih pada Kak Erlan yang duduk di sebelahku.
"Ini siapa Sha?" tanya Wulan dengan memasang senyum manis.
"Iya, Shasa enggak asik nih, punya temen ganteng enggak dikenalin sama kita!" Fina ikutan cengar-cengir pada Kak Erlan.
Kak Erlan terlihat cukup tenang dan tersenyum pada mereka. Padahal aku sedang kebingungan kasih jawaban jika mereka bertanya siapa Kak Erlan ini.
"Ini Kak Erlan," ucapku memperkenalkan Erlan pada mereka.
Fina dan Wulan bergantian bersalaman dengan Kak Erlan.
"Kakak ini mahluk dari planet mana?" Fina mulai absurd.
Kak Erlan terlihat bingung dengan pertanyaan Fina.
"Mana ada manusia planet ganteng kebangetan kek gini, Marimar!" sela Wulan. "Manusia planet itu alien yang mukanya enggak berbentuk," lanjut Wulan lagi.
"Soalnya di bumi aku baru nemuin yang model begini," kata Fina lagi.
"Kalian berdua apaan, sih," potongku menghentikan perdebatan mereka.
"Fina tuh, kebiasaan enggak bisa lihat yang bening dikit," sindir Wulan.
"Kamu juga sama, wew!" balas Fina.
"Kamu dari mana Sha, berduaan sama Kak Erlan?" tanya Wulan, sepertinya mereka beneran penasaran.
"Tadi kakak abis antar Delisa cari buku." Kak Erlan menjawab pertanyaan Wulan.
"Ohh!" seru mereka bersamaan.
"Besok gantian anterin aku, ya, Kak," ucap Wulan dan langsung mendapat toyoran dari Fina.
"Kalian berdua dari mana?" Gantian Kak Erlan yang bertanya pada mereka.
"Latihan paskbira di sekolah," jawab Fina.
"Latihan yang giat. Biar jadi paskibraka tingkat Nasional," ucap Kak Erlan.
"Ahsiapp!" sahut Fina dan Wulan bersamaan.
"Ayok pulang Fin, aku capek banget, nih!" ajak Wulan.
"Skuylah," sahut Fina. "Kak, kita pulang dulu, ya," pamit Fina pada Kak Erlan.
"Hati-hati, ya," sahut Erlan sambil tersenyum.
"Sha, kita duluan, ya." Gantian mereka pamit padaku.
"Iya, sampai nanti," sahutku.
"Temen-temen Kamu lucu, ya," ungkap Kak Erlan saat Fina dan Wulan sudah meninggalkan kami.
"Emang mereka badut apa dibilang lucu!" Kak Erlan malah terkekeh mendengar protesku.
"Kak, aku pulang, ya," kataku sambil berdiri. Kak Erlan malah menarik tanganku sehingga membuatku terduduk di pangkuannya.
Muka kami saling berhadapan dengan jarak yang begitu dekat. Ia mengunci netra, detak jantungku seperti alunan musik disco, berada di posisi seperti ini.
Aku mendorong dada Kak Erlan, lalu kembali berdiri. Sementara senyum tak lepas dari wajahnya.
"Maaf ya," ucapnya tulus.
"Aku pulang dulu, takut keburu hujan," pamitku lagi.
"Yakin enggak mau kakak antar sampai rumah?"
"Enggak usah Kak, sudah deket kok."
"Hati-hati, ya."
"Kakak juga hati-hati pulangnya. Kabarin kalau sudah sampai rumah."
"Dee, kamu masih punya hutang sama kakak." Mendengar ucapan Kak Erlan aku yang akan melangkah kembali menoleh padanya.
"Hutang apa Kak?" tanyaku bingung.
"Mau jadi pacarku apa enggak?"
Tanpa memedulikan ucapan Kak Erlan aku langsung berlari kecil meninggalkannya. Setelah menyebrang aku menoleh padanya. Ia masih berdiri di halte dan tersenyum manis untukku.
***
Baru saja akan memejamkan mata, pintu kamarku diketuk.
"Dek ...." Suara Bang Reno memanggil.
"Sebentar, Bang," sahutku kemudian beranjak untuk membukakan pintu.
"Lagi ngapain?," tanya Bang Reno begitu muncul di balik pintu.
"Mau tidur," jawabku kembali berjalan ke tempat tidur.
"Tumben amat masih sore sudah mau tidur!" Bang Reno ikutan naik ke tempat tidurku.
"Cape, Bang," kataku. "Abang ngapain ke sini? Tumben amat, pasti ada maunya!" Tebakku membuat Bang Reno mengacak rambutku pelan.
"Emang enggak boleh abang masuk ke kamar adeknya?"
"Enggak ada larangannya juga, sih. Tapi —" Tiba-tiba Bang Reno menutup wajahku dengan bantal.
"Abang!!"
Bang Reno malah terkekeh geli. Dari dulu ia memang paling senang menggangguku. Kata Bunda sewaktu aku lahir ia sering merasa cemburu. Mungkin karena jarak kelahiran kami yang lumayan jauh.
Walau cemburu ia tetap perhatian denganku. Bila Bunda sedang sibuk dan aku menangis Bang Reno langsung menghampiri dan berusaha mendiamkan tangisku.
Sampai sekarang pun Bang Reno masih seperti itu. Sering sekali mengajakku bertengkar tapi di balik itu semua ia sangat sayang dan perhatian denganku.
"Abang tadi dari mana?" tanyaku.
"Biasa jemput Siska," jawabnya percaya diri.
"Siska siapa lagi?"
"Gebetan baru, dong!" jawabnya. "Nih orangnya." Bang Reno menunjukkan foto seorang gadis yang ada di ponselnya.
"Masih cantikkan aku," kataku yang membuat Bang Reno mendengus sebal.
"Cantikkan kamu, tapi banyakkan dia," ejek Bang Reno padaku.
"Dasar Abang durhaka!" umpatku sambil mencubit pinggangnya.
"Sakit Dek!" Bang Reno merintih sambil mencoba melepaskan tanganku yang mencubitnya.
"Bang, kalau aku punya temen dekat boleh enggak?" tanyaku hati-hati.
"Temen dekat gimana dulu, nih. Cewek atau cowok?" Bang Reno malah balik bertanya.
"Itu kek Abang sama Siska," jawabku pelan.
"Kamu baru ditembak cowok, ya?" tanya Bang Reno penuh selidik.
"Ishh, apaan, sih Abang!" Refleks aku menutup wajah Bang Reno dengan bantal.
"Nah, kan. Suruh ke rumah itu cowok kalau suka sama kamu," kata Bang Reno. "Kalau sampai abang nemuin kamu janjian di pinggir jalan sama cowok. Bakal abang hajar itu cowok!"
Meski mengucapkannya sambil tersenyum aku tahu Bang Reno tidak sedang main-main. Aku paham karena ia tidak mau adiknya kenapa-napa. Ia hanya ingin melindungiku.
"Sudah sana Bang, aku mau istirahat," ucapku sambil mendorong tubuh Bang Reno.
"Dih, enggak sopan banget punya Adik. Masa bang sendiri diusir-usir," ujar Bang Reno.
Aku terus mendorong tubuhnya sampai keluar kamar, dan langsung menutup pintu. Meski pun masih terdengar suara protes bang Reno dari luar.
"Awas, Dek. Besok sekolah enggak abang anterin!" teriak Bang Reno.
"Biarin nanti aku minta anter ayah aja," sahutku dari dalam sambil terkekeh geli membayangkan wajah Bang Reno.
Sepertinya Bang Reno sudah beranjak ke kamar. Tidak ada lagi suara gaduh di luar kamar. Ponsel yang aku letakkan di nakas berdering. Panggilan masuk dari Kak Erlan.
"Dee, maaf baru kasih kabar. Tadi ponselku kehabisan daya," ucap Kak Erlan begitu panggilan tersambung.
"Iya, Kak. Enggak apa-apa," sahutku.
"Kamu lagi apa?"
"Baru mau tidur. Barusan abis ngobrol sama abang."
"Pasti abis ngobrolin aku, ya?"
"Dih, percaya diri sekali anda!"
Terdengar kekehan kecil dari sebarang.
"Kapan kakak dikenalin sama keluarga kamu?"
"Belum saatnya."
"Memang kapan saatnya?"
"Kalau Kakak sudah siap meminangku!"
Refleks aku langsung menutup mulut dengan punggung tangan, begitu menyadari apa yang baru saja aku ucapkan.
"Jadi maunya langsung dilamar, ya. Oke kapan pun kakak siap buat ngelamar kamu."
"Dih, Kakak, apaan, sih. Aku cuma bercanda kok. Enggak serius."
"Emang enggak mau diseriusin?"
Gawat ini, aku terjebak ucapanku sendiri. Padahal aku cuma bercanda. Kenapa Kak Erlan jadi tanggapinnya serius.
"Kak, Sudah dulu, ya. Aku ngantuk mau tidur." Akhirnya aku mengalihkan pembicaraan. Walau sejujurnya aku masih ingin berlama-lama ngobrol dengannya.
"Doain kakak lulus kuliah langsung dapat kerja, jadi bisa langsung halalin kamu." Apa yang dikatakan Kak Erlan barusan mampu membuat desiran halus di hatiku.
Cinta, apa mungkin kau datang tanpa permisi. Kau hadir hanya dari sebuah kebersamaan dalam dunia maya. Yang di dalamnya tercipta sebuah asa berharap untuk nyata.
Cinta online mungkin menjadi cinta abadi dan selamanya, biarlah waktu yang menjawabnya.
Pov Erlangga"Lan!" panggil Budi sesaat setelah aku keluar dari kelas."Ada apa, Bro!" sahutku menghampirinya."Dicariin sama Mita. Sepertinya masih penasaran sama kamu," tutur Budi."Biarin aja, enggak usah diurusin," jawabku. "Ngopi, yuk!" Aku dan Budi berjalan ke arah kantin."Setiap ketemu pasti yang ditanyain kamu. Enggak pernah gitu nanyain kabarku," canda Budi membuatku menyungging senyum."Besok aku kasih tahu Mita. Suruh nanya kabar kamu," balasku membuat Budi memukul pelan tanganku."Ada-ada aja kamu ini, Lan. Makanya jangan tebar pesona terus. Kasihan 'kan, anak orang pada potek hatinya!""Aku enggak pernah tebar pesona, Mas Bro. Mereka aja yang baperan. Dikasih perhatian dikit bilang sayang, bilang cinta."Budi tertawa mendengar ocehanku. Suasana di kantin tidak terlalu ramai. Setelah memesan kopi kami mencari tempat duduk."Masa enggak tertarik sama Mita, Lan. Mita itukan cantik, seksi, ta
Pov DelisaHari ini kami dipulangkan lebih awal, karena guru-guru ada rapat siang ini. Aku dan teman-teman tidak langsung pulang ke rumah. Kami pergi ke toko buku yang ada di mall, mencari buku untuk referensi tugas yang diberikan oleh guru.Setelah mendapatkan buku yang dimaksud. Sebelum pulang kami makan di foodcourt.Selesai makan aku dan teman - teman memutuskan untuk pulang ke rumah, karena tidak nyaman berada di mall dengan seragam sekolah.Setelah tiga puluh menit bus yang kami tumpangi sampai di halte dekat rumah. Baru saja menginjakkan kaki di halte tiba-tiba langkahku terhenti melihat siapa yang sedang menatap tajam ke arahku."Kak Erlan! seru Fina dan Wulan bersamaan kemudian menghampirinya."Hai," sahut Kak Erlan."Kakak ngapain di sini?" tanya Wulan."Kakak ada perlu sama Delisa," jawabnya masih dengan menatapku.Kak Erlan melangkah ke arahku. "Bisa kita bicara?" Kak Erlan berkata den
Setelah makan malam siap, aku memanggil ayah dan Bang Reno yang sedang mengobrol di ruang tengah."Dek, kata bunda tadi ada teman Adek main ke sini?" tanya Ayah di tengah makan malam."Iya, Yah namanya Kak Erlan," jawabku tanpa berani menatap Ayah."Wih, Adek abang sudah ada yang ngapelin rupanya," ucap Bang Reno sambil tersenyum jahil padaku."Apaan, sih, Bang. Emang enggak boleh temen aku main!" sahutku sebal."Ayah dan Bunda enggak larang Adek buat temenan dengan siapa pun. Yang penting Adek tahu batasannya dan bisa jaga diri," sambung Ayah sambil menatapku penuh kasih."Iya, Yah, aku enggak akan menghancurkan kepercayaan yang Ayah dan Bunda berikan," jawabku yakin."Ini adeknya Reno, bukan, ya?" tanya Bang Reno sambil mengacak-acak rambutku."Tapi Bunda suka, Yah," timpal Bunda yang membuat kami menatap heran padanya. "Maksud bunda, Nak Erlan itu anaknya sopan. Bunda enggam keberatan kalau dia main ke sini lagi,
Pov ErlanggaHampir saja aku melakukan kesalahan. Melihat wajah Delisa yang cantik, hidungnya yang mancung, dan bibirnya yang merah merona. Namun, aku sadar gadisku masih di bawah umur dan tidak sepantasnya aku melakukannya.Saat aku mulai mendekat padanya, ia langsung memejamkan mata. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Saat aku tersadar kalau Delisa berbeda dengan mantan pacarku yang lain. Kuurungkan niat untuk menciumnya.Terkadang aku bingung, perasaanku padanya berbeda dengan mantan-mantanku yang lain. Apa rasa sayang ini lebih mirip sayang ke adik sendiri?Waktu aku tahu Delisa berbohong, karena ternyata ia masih anak SMA tidak membuatku marah. Justru aku merasa lucu karena tidak menyadari hal itu."Erlan!" Terdengar suara manja itu memanggilku."Ada apa?" tanyaku begitu ia sudah berdiri di sampingku."Ini buat kamu," jawabnya seraya menyerahkan sebuah undangan. "Jangan sampai enggak datang, ya," ucapnya lagi.
Pov DelisaHari ini Kak Erlan mengajakku menemani ia bertanding. Untuk pertama kalinya aku melihatnya bermain basket.Sampai di kampus Kak Erlan memperkenalkan aku dengan teman-temannya yang tanpa sengaja bertemu di depan ruang ganti pakaian.Mereka seperti tidak percaya kalau aku dan Kak Erlan berhubungan. Aku tahu mereka memandang aneh padaku. Entah apa yang mereka pikirkan tentang kami.Selama pertandingan mataku tak lepas dari melihatnya yang dengan lincahnya berlari sambil mendribble bola.Di sebrang lapangan kulihat ada seorang wanita yang selalu tersenyum pada Kak Erlan dan sesekali memberi semangat sambil meneriaki namanya.Ternyata Kak Erlan memang populer di kampusnya. Terbukti namanya paling banyak diteriaki oleh para penonton.Setiap habis memasukkan bola Kak Erlan selalu melihat padaku sambil tersenyum manis. Senyum yang selalu aku rindukan.Tim basket Kak Erlan memenangkan pertandingan kali ini, dengan skor
Hari pengumuman kelulusan akhirnya tiba juga. Semua murid SMA Nusa Bangsa dikumpulkan di lapangan pagi ini.Semua rasa jadi satu. Bahagia karena kami naik ke jenjang pendidikan yang tinggi. Sedih karena harus berpisah dengan teman-teman setelah kami menuntut ilmu selama tiga bersama.Aku, Ria, Wulan, dan Fina saling bergandengan tangan. Memberi kekuatan satu sama lain karena kami takut ada yang tidak lulus.Saat Kepala sekolah naik ke mimbar seketika suasana manjadi hening. Beliau memberikan sedikit wejangan untuk kami. Agar kami bisa menjaga dan mengharumkan nama sekolah di mana pun nantinya kami berada.Alhamdulillah semua murid SMA Nusa Bangsa dinyatakan lulus. Kami semua bersorak gembira mendengar pengumuman iniAku dan sahabatku saling berpelukan. Kami menangis bahagia sekaligus beredih. Karena itu artinya kami tidak bisa bersama-sama lagi.Wulan akan melanjutkan kuliah di Kota Padang Sumatera Barat karena papanya dipindah t
Pov ErlanggaSebelum kepergian Mama kami adalah keluarga yang harmonis. Hidupku begitu sempurna memiliki kedua orang tua yang amat sangat menyayangiku.Namun, semua berubah saat kami harus kehilangan jantung dalam keluarga. Mama meninggal setelah berjuang melawan penyakit kanker.Aku seperti anak ayam kehilangan induknya. Setiap hari hanya ditemani asisten rumah tangga. Papa menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Mungkin itu salah satu cara yang beliau lakukan untuk menutupi rasa kehilangan atas Mama.Tiga tahun setelah Mama meninggal. Papa menikah lagi dengan Tante Lisa, salah satu staf di perusahaannya. Bukannya membaik hubungan kami justru semakin buruk.Sejujurnya aku belum ikhlas ada yang menggantikan posisi Mama di rumah ini. Rasanya terlalu menyakitkan bila mengingat semua kenangan yang pernah kami lalui bersama.Sikap Papa padaku semakin buruk. Hampir setiap hari kami bertengkar. Karena aku tidak betah di rumah. Aku lebih memilih meng
Malam ini Kak Erlan menjemputku, setelah mendapat ijin dari Ayah dan Bunda, ia mengajakku ke taman kota.Aku melihat Kak Erlan tidak seperti biasanya. Tampaknya ada sesuatu yang ia sembunyikan. Dari tadi kami hanya duduk di bangku taman, tangannya menggenggam erat tanganku."Ada apa?" tanyaku sambil menatapnya."Ada kamu di hatiku," jawabnya sambil tersenyum jahil membuatku mendengus sebal."Gombal!""Tapi suka kan digombalin," ucapnya sambil meletakkan tanganku ke dadanya. Kami saling diam entah apa yang ada sedang ia pikirkan. karena tidak seperti biasanya ia begini.CupAku mencium pipinya. Kak Erlan sempat terkejut tapi kemudian tersenyum. "Jangan mancing," ucapnya menggodaku.Aku memukul pelan tangannya, ia malah menangkapnya dan menatapku intens."Dee, kakak ada kerjaan di Surabaya," ungkapnya tanpa sedikit pun berpaling dari menatapku.Entah aku harus senang atau sedih mendengar kabar ini. Aku senang karena
TokTok ."Dek!" panggil Bunda dari luar sambil mengetok pintu kamarku."Iya Bun, sebentar," sahutku yang sedang merapikan buku pelajaran."Ada temanmu di depan," ucap Bunda saat aku muncul di balik pintu"Siapa Bun?" tanyaku penasaran."Rio kalau enggak salah namanya," jawab Bunda."Makasih, Bun. Nanti adik temuin," ujarku.Bunda mengangguk kemudian melangkah ke dapur. Sementara aku beranjak ke depan untuk menemui Kak Rio."Kak," sapaku begitu sampai di teras."Hai, Dek?" balasnya membuatku keheranan."Kok panggil adek?" tanyaku."Abis tadi Bunda panggil kamu Adek. Boleh kan, kalau aku juga panggilkamu Adek," jawabnya.Aku sempat berpikir sebentar kemudian mengangguk ragu. "Kakak ada apa ke sini?""Mau main aja emang enggak boleh, ya?""Boleh aja, kok. Tapi kenapa enggak telepon dulu?""Kalau telepon dulu pasti kamu akan cari alasan untuk mel
Jam pelajaran sudah selesai, Aku segera merapihkan buku dan peralatan tulisku."Sha, bareng enggak?" tanya Haris yang sudah berdiri di samping mejaku."Iya Ris, tapi aku mau ke toilet dulu, ya," jawabku."Aku tunggu di parkiran, ya, Sha," ucap Harus lagi."Oke," sahutku kemudian.Setiap hari aku selalu bareng sama Haris. Meski cuma sampai halte dekat kampus. Kemudian aku naik bus menuju rumah.Haris sering menawarkan untuk mengantarku sampai ke rumah, tetapi aku selalu menolaknya, karena tak mau merepotkan, sebab rumahku berlawanan arah dengan rumahnya.Keluar dari toilet ada Jelita dan teman-temanya. Kampus sudah mulai sepi karena hari sudah hampir sore."Permisi, Kak," ucapku saat hendak melewati mereka.BrukTiba-tiba salah satu dari mereka mendorongku hingga terjatuh."Udah aku peringatin, kamu jangan pernah deketin Rio. Kamu budek atau bodoh, sih!" maki Jelita sambil menarik rambut dan menatap ta
Sudah tiga bulan Kak Erlan pergi tanpa memberi kabar. Aku sangat merindukannya, senyumnya, tawanya, dan kekonyolannya. Semua yang ada padanya aku rindu. Entah bagaimana kabarnya Kak Erlan. Aku hanya bisa berdoa semoga di sana ia baik-baik saja dan segera kembali untukku dan cinta kami. Hari ini aku dan Ria pergi ke sebuah Mall. Sudah lama sekali kita tidak jalan bareng, karena kesibukan kuliah kami masing-masing. Rencananya Ria mau cari kado untuk Angga yang akan berulang tahun. "Sha, sudah ada kabar dari Kak Erlan?" tanya Ria pada saat kami sedang menikmati makan siang. Aku hanya menggelengkan kepala dan tersenyum kecil. "Sabar, Sha. Aku yakin Kak Erlan baik-baik aja di sana. Dan aku juga yakin Kak Erlan enggak akan macam-macam," ucapnya sambil mengusap punggung tanganku. "Iya, Ri. Aku pun berharap begitu, meskipun Kak Erlan enggak pernah kasih kabar," sahutku. "Delisa!" sapa seseorang di depan meja kami membuat
Malam ini Kak Erlan menjemputku, setelah mendapat ijin dari Ayah dan Bunda, ia mengajakku ke taman kota.Aku melihat Kak Erlan tidak seperti biasanya. Tampaknya ada sesuatu yang ia sembunyikan. Dari tadi kami hanya duduk di bangku taman, tangannya menggenggam erat tanganku."Ada apa?" tanyaku sambil menatapnya."Ada kamu di hatiku," jawabnya sambil tersenyum jahil membuatku mendengus sebal."Gombal!""Tapi suka kan digombalin," ucapnya sambil meletakkan tanganku ke dadanya. Kami saling diam entah apa yang ada sedang ia pikirkan. karena tidak seperti biasanya ia begini.CupAku mencium pipinya. Kak Erlan sempat terkejut tapi kemudian tersenyum. "Jangan mancing," ucapnya menggodaku.Aku memukul pelan tangannya, ia malah menangkapnya dan menatapku intens."Dee, kakak ada kerjaan di Surabaya," ungkapnya tanpa sedikit pun berpaling dari menatapku.Entah aku harus senang atau sedih mendengar kabar ini. Aku senang karena
Pov ErlanggaSebelum kepergian Mama kami adalah keluarga yang harmonis. Hidupku begitu sempurna memiliki kedua orang tua yang amat sangat menyayangiku.Namun, semua berubah saat kami harus kehilangan jantung dalam keluarga. Mama meninggal setelah berjuang melawan penyakit kanker.Aku seperti anak ayam kehilangan induknya. Setiap hari hanya ditemani asisten rumah tangga. Papa menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Mungkin itu salah satu cara yang beliau lakukan untuk menutupi rasa kehilangan atas Mama.Tiga tahun setelah Mama meninggal. Papa menikah lagi dengan Tante Lisa, salah satu staf di perusahaannya. Bukannya membaik hubungan kami justru semakin buruk.Sejujurnya aku belum ikhlas ada yang menggantikan posisi Mama di rumah ini. Rasanya terlalu menyakitkan bila mengingat semua kenangan yang pernah kami lalui bersama.Sikap Papa padaku semakin buruk. Hampir setiap hari kami bertengkar. Karena aku tidak betah di rumah. Aku lebih memilih meng
Hari pengumuman kelulusan akhirnya tiba juga. Semua murid SMA Nusa Bangsa dikumpulkan di lapangan pagi ini.Semua rasa jadi satu. Bahagia karena kami naik ke jenjang pendidikan yang tinggi. Sedih karena harus berpisah dengan teman-teman setelah kami menuntut ilmu selama tiga bersama.Aku, Ria, Wulan, dan Fina saling bergandengan tangan. Memberi kekuatan satu sama lain karena kami takut ada yang tidak lulus.Saat Kepala sekolah naik ke mimbar seketika suasana manjadi hening. Beliau memberikan sedikit wejangan untuk kami. Agar kami bisa menjaga dan mengharumkan nama sekolah di mana pun nantinya kami berada.Alhamdulillah semua murid SMA Nusa Bangsa dinyatakan lulus. Kami semua bersorak gembira mendengar pengumuman iniAku dan sahabatku saling berpelukan. Kami menangis bahagia sekaligus beredih. Karena itu artinya kami tidak bisa bersama-sama lagi.Wulan akan melanjutkan kuliah di Kota Padang Sumatera Barat karena papanya dipindah t
Pov DelisaHari ini Kak Erlan mengajakku menemani ia bertanding. Untuk pertama kalinya aku melihatnya bermain basket.Sampai di kampus Kak Erlan memperkenalkan aku dengan teman-temannya yang tanpa sengaja bertemu di depan ruang ganti pakaian.Mereka seperti tidak percaya kalau aku dan Kak Erlan berhubungan. Aku tahu mereka memandang aneh padaku. Entah apa yang mereka pikirkan tentang kami.Selama pertandingan mataku tak lepas dari melihatnya yang dengan lincahnya berlari sambil mendribble bola.Di sebrang lapangan kulihat ada seorang wanita yang selalu tersenyum pada Kak Erlan dan sesekali memberi semangat sambil meneriaki namanya.Ternyata Kak Erlan memang populer di kampusnya. Terbukti namanya paling banyak diteriaki oleh para penonton.Setiap habis memasukkan bola Kak Erlan selalu melihat padaku sambil tersenyum manis. Senyum yang selalu aku rindukan.Tim basket Kak Erlan memenangkan pertandingan kali ini, dengan skor
Pov ErlanggaHampir saja aku melakukan kesalahan. Melihat wajah Delisa yang cantik, hidungnya yang mancung, dan bibirnya yang merah merona. Namun, aku sadar gadisku masih di bawah umur dan tidak sepantasnya aku melakukannya.Saat aku mulai mendekat padanya, ia langsung memejamkan mata. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Saat aku tersadar kalau Delisa berbeda dengan mantan pacarku yang lain. Kuurungkan niat untuk menciumnya.Terkadang aku bingung, perasaanku padanya berbeda dengan mantan-mantanku yang lain. Apa rasa sayang ini lebih mirip sayang ke adik sendiri?Waktu aku tahu Delisa berbohong, karena ternyata ia masih anak SMA tidak membuatku marah. Justru aku merasa lucu karena tidak menyadari hal itu."Erlan!" Terdengar suara manja itu memanggilku."Ada apa?" tanyaku begitu ia sudah berdiri di sampingku."Ini buat kamu," jawabnya seraya menyerahkan sebuah undangan. "Jangan sampai enggak datang, ya," ucapnya lagi.
Setelah makan malam siap, aku memanggil ayah dan Bang Reno yang sedang mengobrol di ruang tengah."Dek, kata bunda tadi ada teman Adek main ke sini?" tanya Ayah di tengah makan malam."Iya, Yah namanya Kak Erlan," jawabku tanpa berani menatap Ayah."Wih, Adek abang sudah ada yang ngapelin rupanya," ucap Bang Reno sambil tersenyum jahil padaku."Apaan, sih, Bang. Emang enggak boleh temen aku main!" sahutku sebal."Ayah dan Bunda enggak larang Adek buat temenan dengan siapa pun. Yang penting Adek tahu batasannya dan bisa jaga diri," sambung Ayah sambil menatapku penuh kasih."Iya, Yah, aku enggak akan menghancurkan kepercayaan yang Ayah dan Bunda berikan," jawabku yakin."Ini adeknya Reno, bukan, ya?" tanya Bang Reno sambil mengacak-acak rambutku."Tapi Bunda suka, Yah," timpal Bunda yang membuat kami menatap heran padanya. "Maksud bunda, Nak Erlan itu anaknya sopan. Bunda enggam keberatan kalau dia main ke sini lagi,