Hari ini tanggal merah bertepatan dengan hari raya nyepi. Siang nanti aku dan Kak Erlan janjian ketemuan di mall.
"Pagi Bun," sapaku menghampiri Bunda yang sedang sibuk di dapur.
"Pagi, Sayang. Tumben anak bunda hari libur sudah bangun," sahut Bunda melihat sekilas padaku.
"Biasanya juga bangun pagi, Bun," kataku sembari menuangkan air yang ada di teko ke gelas.
"Bangun pagi, tapi tidur lagi!" sela Bang Reno yang baru saja muncul di dapur.
"Dih, apaan kali Abang. Nyamber aja kek pletasan," ucapku sambil menatap sebal padanya.
Bang Reno malah terkekeh sambil mengacak rambutku.
"Jadi pergi jam berapa, Dek?" tanya Bunda setelah meletakkan dua piring roti bakar di meja.
"Jam satu, Bun," jawabku.
"Mau kemana emang anak manja ini, Bun?" tanya Bang Reno sambil mencomot roti bakar.
"Dih, kepo sekali abangku ini!" Gantian aku yang menggodanya.
"Awas aja, besok enggak abang anterin ke sekolah, baru tahu rasa kamu!" ancam Bang Reno sambil menikmati roti bakarnya.
"Mau ke mall katanya sama Ria," sahut Bunda sembari meletakkan dua gelas susu.
Bunda memang seperti ini, ia selalu mempersiapkan sarapan kami. Meski pun kami sudah sebesar ini. Beliau belum mengijinkan aku melakukannya sendiri.
"Sejak kapan kamu jadi hobbi main ke mall?" tanya Bang Reno dengan tatapan menyelidik.
"Apaan sih, Bang. Aku cuma nemenin Ria kok. Sekalian cari buku bimbingan UN," jawabku santai.
"Awas kalau bohong. Besok abang ikuti ke mallnya." Ucapan Bang Reno berhasil membuatku tersedak.
"Nah tuh, kan. Ketahuan kalau bohong," tuduh Bang Reno sambil menepuk-nepuk pelan punggungku.
"Abang rese banget, sih!"
Bang Reno malah semakin terbahak, sepertinya ia puas menggodaku. Sementara Bunda tersenyum sambil geleng-geleng melihat kelakuan kami. Yang hampir setiap pagi selalu saja berdebat.
"Hati-hati, ya, Dek. Jangan sembarangan dengan orang yang baru kamu kenal," pesan Bunda setelah kami menyelesaikan sarapan.
"Tenang aja, Bun. Kan ada Reno yang jagain si manja ini," sela Bang Reno.
"Abang apaan, sih. Emang aku anak kecil apa!" Aku protes sebal pada Bang Reno.
"Tuh, kan, Bun. Berarti Adek mau macam-macam di mall. Buktinya enggak mau ditemenin Reno." Bang Reno masih saja memojokkanku.
"Abang ...!"
"Sudah Reno, jangan goda adikmu terus!" Potong Bunda mencoba menengahi kami.
"Dasar manja!" ucap Bang Reno sambil mengacak rambutku lalu berjalan ke depan.
"Sana mandi. Katanya mau pergi," kata Bunda setelah selesai aku mencuci piring bekas sarapan.
"Masih lama, Bun perginya," sahutku.
"Ya sudah. Bunda tinggal ke pasar dulu. Kamu mau titip apa?" tanya Bunda lagi.
"Enggak ada, Bun," sahutku.
"Ya, sudah. Bunda pergi dulu," pamit Bunda beranjak meninggalkan dapur.
Setelah selesai merapikan meja makan. Aku langsung ke kamar untuk mengirim pesan pada Ria.
[Woy bangun!]
[Sudah dari subuh kali bangunnya. Emangnya kamu, pasti baru melek!]
[Enak aja sudah dari tadi kali aku bangunnya.]
[Iya dari tadi, tapi belum mandi.]
[Haha, kok kamu tahu aku belum mandi.]
[Baunya kecium sampai sini.]
[Dih, sotoy! Haha.]
[Gimana, sudah dapat ijin dari Bunda?]
[Sudah dong. Angga gimana jadi ketemuan juga?]
[Jadi dong. Kan aku sama Angga juga sudah lama enggak ketemu.]
[Oke, deh. Sampai nanti, ya.]
[Sipp.]
Angga cowoknya Ria adalah kakak kelas kami dulu. Sekarang ia bersekolah di tempat yang berbeda dengan kami. Itu sebabnya mereka jarang bertemu. Ditambah lagi kesibukkannya sebagai model pendatang baru.
Jam di kamar sudah menunjukkan pukul sebelas, aku pun segera bersiap-siap. Karena kalah telat Ria pasti ngomel.
***
Pukul satu kurang lima belas menit, aku dan Ria sudah sampai di lobby mall. Ternyata Kak Erlan sudah ada di sana. Ia langsung tersenyum begitu melihat kami datang.
"Kakak sudah dari tadi sampainya?" tanyaku saat sudah berhadapan dengannya."
"Sekitar sepuluh menit yang lalu," jawabnya sambil melirik jam yang ada di pergelangan tangannya. "Mau kemana kita sekarang?" Kak Erlan balik bertanya.
"Tunggu sebentar Kak. Kita masih nungguin seseorang," jawab Ria.
"Oke," sahut Kak Erlan.
Tidak lama terlihat Angga memasuki mall. Begitu melihat kami, ia bergegas berjalan ke arah kami.
"Maaf, ya, aku telat," ucap Angga.
"Sudah biasa juga kamu telat, Ga," sahutku asal.
"Haha. Kan tahu sendiri jalanan ibu kota seperti apa, Sha." Angga mencoba membela diri, membuatku mendengus sebal.
"Ga, kenalin ini Kak Erlan," ucap Ria memperkenalkan Angga pada Kak Erlan.
"Hai, Kak. Angga." Angga mengulurkan tangan pada Kak Erlan.
"Erlan," sahut Erlan menyambut uluran tangan Angga.
"Kita pisah di sini, ya, Sha. Ada sesuatu yang mau aku cari sama Angga. Nanti jam empat kita ketemu di sini lagi."
"Tapi, Ri —"
"Kak, titip, ya. Jangan dinakalin temenku," ucap Ria kali ini pada Kak Erlan.
"Siap, dijamin aman," sahut Kak Erlan sambil melirikku.
Aku memutar bola mata ingin memprotes usulan Ria, tapi ia sudah menarik tangan Angga meninggalkan kami. Setelah beberapa langkah ia menoleh mengedipkan sebelah matanya. Ternyata ia sengaja mengejekku. Lihat saja nanti pembalasanku.
"Kita mau kemana sekarang, Dee?" tanya Kak Erlan tiba-tiba.
"Aku enggak tahu, Kak," jawabku sambil menunduk.
Jujur ini adalah pertama kali aku jalan berdua dengan lawan jenis.
"Mau nonton?" tanya Kak Erlan.
Aku menggeleng pelan.
"Makan?" tanyanya lagi.
"Aku belum laper," jawabku sambil memainkan jariku yang saling bertautan.
"Apa kita mau di sini aja sampai Ria datang?" Kak Erlan menyentuh bahuku dan refleks membuatku menoleh padanya.
Aku berpikir sejenak, kira-kira kemana tempat yang bisa kami kunjungi. Setelah menemukan sebuah tempat yang cocok aku mengajak Kak Erlan untuk mengikutiku.
"Kita main games aja di sini," ucapku begitu berhenti di arena bermain.
Kak Erlan terlihat sedikit terkejut. Hanya sesaat kemudian ia kembali bersikap biasa malah cenderung menahan senyum.
"Boleh juga," sahutnya lalu melangkah ke tempat kasir untuk membeli kartu bermain.
Kak Erlan sama sekali tidak terlihat bete karena menemani aku bermain di sini. Ia malah terlihat ikut menikmati semua permainan yang kami lakukan bersama.
"Tunggu sebentar," pamitnya kemudian meninggalkan aku.
Aku meneruskan bermain games basket sendirian. Sepuluh menit kemudian Kak Erlan kembali membawa sebotol air mineral dan popcorn.
"Minum!" Kak Erlan memberikan botol air mineral yang sudah terlebih dahulu ia buka segelnya.
"Terima kasih," sahutku kemudian mencari tempat duduk untuk minum.
"Kakak enggak minum?" tanyaku setelah memberikan botol air mineral padanya.
"Sudah tadi," jawabnya, kemudian memberikan popcorn yang sedari tadi di pegangnya.
Setelah puas bermain Kak Erlan mengajakku makan. Setelah makan kami segera kembali ke lobby untuk menemui Ria dan Angga. Ternyata mereka sudah tiba lebih dulu.
"Dari mana aja, Sha?" tanya Ria sambil tersenyum, entah apa arti senyumnya itu.
"Main di Funworld," jawabku.
"What!" teriak Angga, sementara Ria dan Kak Erlan malah tersenyum melihat ekpresi Angga.
"Pulang yuk, udah sore," anakku setelah melihat jam di pergelangan tangan.
"Kak Erlan anterin Shasa pulang, ya," ucap Ria pada Erlan.
"Kita pulang naik bus aja, Ri," selaku.
"Aku masih ada urusan sama Ria. Kamu biar dianter Kak Erlan aja," terang Angga.
"Iya, Sha. Kak Erlan juga enggak keberatan nganterin kamu pulang. Iya, kan, Kak?"
Kak Erlan hanya mengangguk sambil tersenyum.
"Ya sudah kita duluan, ya," pamit meraka bersamaan dan berlalu meninggalkan kami.
Aku hanya bengong melihat kepergian Ria dan Angga. Kenapa mereka malah ninggalin aku sendiri. Bakalan ribet kalau orang rumah tahu aku pulang dianter orang asing.
"Ayok!" Kak Erlan jalan lebih dulu beberapa langakah di depanku.
"Nanti turunin aku di halte dekat rumah aja, Kak. Enggak usah antar sampai rumah," ucapku begitu kami sampai di parkiran.
"Memangnya kenapa?" tanya Kak Erlan heran.
"Enggak apa-apa," jawabku tanpa berani menatapnya.
"Tapi enggak sopan loh, Dee, ngantrin anak orang cuma sampai halte."
"Ya, sudah. Kalau Kakak enggak mau, aku bisa pulang sendiri." Baru saja akan berbalik, Kak Erlan terlibih dulu menahanku dengan memegang pergelangan tangan.
"Iya, kakak anterin sampai halte," ucap Kak Erlan kemudian memberikan helm padaku.
Sepanjang perjalanan kami saling diam, sesekali ia mencuri pandang melalui spion.
Di lampu merah tanpa sengaja aku menoleh ke sebelah kanan. Terlihat mobil Bang Reno. Gawat kalau sampai Bang Reno melihatku dengan Kak Erlan.
Aku langsung menunduk menyembunyikan wajah di balik punggung tegap Kak Erlan.
"Kenapa?" tanyanya sambil menoleh padaku.
"Enggak apa-apa," jawabku pelan.
Beruntung mobil Bang Reno melaju lebih dulu. Sehingga aku bisa bernapas dengan lega. Tanpa harus dicecar banyak pertanyaan nantinya.
Sampai di halte aku segera turun dari motor Kak Erlan.
"Makasih, Kak," ucapku seraya menyerahkan helm miliknya.
"Bisa ngobrol dulu sebentar?"
"Kan, tadi sudah ngobrol Kak."
"Tapi belum puas ngobrolnya."
"Sudah sore, Kak. Nanti orang rumah khawatir."
"Kamu belum jawab pernyataanku waktu itu!"
Aku mencoba mengingat pernyataan mana yang Kak Erlan maksud. Sialnya aku tidak juga mengingatnya.
"Pernyataan yang mana?" Akhirnya aku bertanya balik.
Kak Erlan menatap lekat padaku. Membuatku tak bisa memalingkan pandangan darinya.
"Apa kamu mau jadi pacarku?" Ucapan Kak Erlan berhasil membuat jantung berlomba seperti ingin keluar.
Sementara wajahku terasa menghangat, pasti sekarang sudah berwarna merah karena menahan malu.
Kak Erlan kembali menanyakan apakah aku mau jadi pacarnya? Aku bingung dan tak tahu harus jawab apa."Kok diam, Dee?" tanyanya sambil mengelus punggung tanganku.Refleks aku melihat padanya. Kak Erlan mengunci pandanganku. Seperti mencari jawaban dari manik hitamku."Shasa!" Aku langsung menarik tanganku yang dari tadi dielus-elus Kak Erlan.Saat aku menoleh ternyata Fina dan Wulan, teman sekelas dan satu komplek dengan."Hao Fin, Lan," sahutku sambil tersenyum.Mereka berdua pasti akan mengintrogasiku habis-habisan karena melihat aku berdua dengan cowok di halte seperti ini."Kamu ngapain di sini, Sha?" tanya Fina kemudian."Tumben banget nongkrong di halte," Wulan ikutan bertanya."Aku —" Belum sempet menjawab pertanyaannya, Wulan dan Fina langsung beralih pada Kak Erlan yang duduk di sebelahku."Ini siapa Sha?" tanya Wulan dengan memasang senyum manis."Iya, Shasa enggak asik nih, punya temen ganteng engg
Pov Erlangga"Lan!" panggil Budi sesaat setelah aku keluar dari kelas."Ada apa, Bro!" sahutku menghampirinya."Dicariin sama Mita. Sepertinya masih penasaran sama kamu," tutur Budi."Biarin aja, enggak usah diurusin," jawabku. "Ngopi, yuk!" Aku dan Budi berjalan ke arah kantin."Setiap ketemu pasti yang ditanyain kamu. Enggak pernah gitu nanyain kabarku," canda Budi membuatku menyungging senyum."Besok aku kasih tahu Mita. Suruh nanya kabar kamu," balasku membuat Budi memukul pelan tanganku."Ada-ada aja kamu ini, Lan. Makanya jangan tebar pesona terus. Kasihan 'kan, anak orang pada potek hatinya!""Aku enggak pernah tebar pesona, Mas Bro. Mereka aja yang baperan. Dikasih perhatian dikit bilang sayang, bilang cinta."Budi tertawa mendengar ocehanku. Suasana di kantin tidak terlalu ramai. Setelah memesan kopi kami mencari tempat duduk."Masa enggak tertarik sama Mita, Lan. Mita itukan cantik, seksi, ta
Pov DelisaHari ini kami dipulangkan lebih awal, karena guru-guru ada rapat siang ini. Aku dan teman-teman tidak langsung pulang ke rumah. Kami pergi ke toko buku yang ada di mall, mencari buku untuk referensi tugas yang diberikan oleh guru.Setelah mendapatkan buku yang dimaksud. Sebelum pulang kami makan di foodcourt.Selesai makan aku dan teman - teman memutuskan untuk pulang ke rumah, karena tidak nyaman berada di mall dengan seragam sekolah.Setelah tiga puluh menit bus yang kami tumpangi sampai di halte dekat rumah. Baru saja menginjakkan kaki di halte tiba-tiba langkahku terhenti melihat siapa yang sedang menatap tajam ke arahku."Kak Erlan! seru Fina dan Wulan bersamaan kemudian menghampirinya."Hai," sahut Kak Erlan."Kakak ngapain di sini?" tanya Wulan."Kakak ada perlu sama Delisa," jawabnya masih dengan menatapku.Kak Erlan melangkah ke arahku. "Bisa kita bicara?" Kak Erlan berkata den
Setelah makan malam siap, aku memanggil ayah dan Bang Reno yang sedang mengobrol di ruang tengah."Dek, kata bunda tadi ada teman Adek main ke sini?" tanya Ayah di tengah makan malam."Iya, Yah namanya Kak Erlan," jawabku tanpa berani menatap Ayah."Wih, Adek abang sudah ada yang ngapelin rupanya," ucap Bang Reno sambil tersenyum jahil padaku."Apaan, sih, Bang. Emang enggak boleh temen aku main!" sahutku sebal."Ayah dan Bunda enggak larang Adek buat temenan dengan siapa pun. Yang penting Adek tahu batasannya dan bisa jaga diri," sambung Ayah sambil menatapku penuh kasih."Iya, Yah, aku enggak akan menghancurkan kepercayaan yang Ayah dan Bunda berikan," jawabku yakin."Ini adeknya Reno, bukan, ya?" tanya Bang Reno sambil mengacak-acak rambutku."Tapi Bunda suka, Yah," timpal Bunda yang membuat kami menatap heran padanya. "Maksud bunda, Nak Erlan itu anaknya sopan. Bunda enggam keberatan kalau dia main ke sini lagi,
Pov ErlanggaHampir saja aku melakukan kesalahan. Melihat wajah Delisa yang cantik, hidungnya yang mancung, dan bibirnya yang merah merona. Namun, aku sadar gadisku masih di bawah umur dan tidak sepantasnya aku melakukannya.Saat aku mulai mendekat padanya, ia langsung memejamkan mata. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Saat aku tersadar kalau Delisa berbeda dengan mantan pacarku yang lain. Kuurungkan niat untuk menciumnya.Terkadang aku bingung, perasaanku padanya berbeda dengan mantan-mantanku yang lain. Apa rasa sayang ini lebih mirip sayang ke adik sendiri?Waktu aku tahu Delisa berbohong, karena ternyata ia masih anak SMA tidak membuatku marah. Justru aku merasa lucu karena tidak menyadari hal itu."Erlan!" Terdengar suara manja itu memanggilku."Ada apa?" tanyaku begitu ia sudah berdiri di sampingku."Ini buat kamu," jawabnya seraya menyerahkan sebuah undangan. "Jangan sampai enggak datang, ya," ucapnya lagi.
Pov DelisaHari ini Kak Erlan mengajakku menemani ia bertanding. Untuk pertama kalinya aku melihatnya bermain basket.Sampai di kampus Kak Erlan memperkenalkan aku dengan teman-temannya yang tanpa sengaja bertemu di depan ruang ganti pakaian.Mereka seperti tidak percaya kalau aku dan Kak Erlan berhubungan. Aku tahu mereka memandang aneh padaku. Entah apa yang mereka pikirkan tentang kami.Selama pertandingan mataku tak lepas dari melihatnya yang dengan lincahnya berlari sambil mendribble bola.Di sebrang lapangan kulihat ada seorang wanita yang selalu tersenyum pada Kak Erlan dan sesekali memberi semangat sambil meneriaki namanya.Ternyata Kak Erlan memang populer di kampusnya. Terbukti namanya paling banyak diteriaki oleh para penonton.Setiap habis memasukkan bola Kak Erlan selalu melihat padaku sambil tersenyum manis. Senyum yang selalu aku rindukan.Tim basket Kak Erlan memenangkan pertandingan kali ini, dengan skor
Hari pengumuman kelulusan akhirnya tiba juga. Semua murid SMA Nusa Bangsa dikumpulkan di lapangan pagi ini.Semua rasa jadi satu. Bahagia karena kami naik ke jenjang pendidikan yang tinggi. Sedih karena harus berpisah dengan teman-teman setelah kami menuntut ilmu selama tiga bersama.Aku, Ria, Wulan, dan Fina saling bergandengan tangan. Memberi kekuatan satu sama lain karena kami takut ada yang tidak lulus.Saat Kepala sekolah naik ke mimbar seketika suasana manjadi hening. Beliau memberikan sedikit wejangan untuk kami. Agar kami bisa menjaga dan mengharumkan nama sekolah di mana pun nantinya kami berada.Alhamdulillah semua murid SMA Nusa Bangsa dinyatakan lulus. Kami semua bersorak gembira mendengar pengumuman iniAku dan sahabatku saling berpelukan. Kami menangis bahagia sekaligus beredih. Karena itu artinya kami tidak bisa bersama-sama lagi.Wulan akan melanjutkan kuliah di Kota Padang Sumatera Barat karena papanya dipindah t
Pov ErlanggaSebelum kepergian Mama kami adalah keluarga yang harmonis. Hidupku begitu sempurna memiliki kedua orang tua yang amat sangat menyayangiku.Namun, semua berubah saat kami harus kehilangan jantung dalam keluarga. Mama meninggal setelah berjuang melawan penyakit kanker.Aku seperti anak ayam kehilangan induknya. Setiap hari hanya ditemani asisten rumah tangga. Papa menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Mungkin itu salah satu cara yang beliau lakukan untuk menutupi rasa kehilangan atas Mama.Tiga tahun setelah Mama meninggal. Papa menikah lagi dengan Tante Lisa, salah satu staf di perusahaannya. Bukannya membaik hubungan kami justru semakin buruk.Sejujurnya aku belum ikhlas ada yang menggantikan posisi Mama di rumah ini. Rasanya terlalu menyakitkan bila mengingat semua kenangan yang pernah kami lalui bersama.Sikap Papa padaku semakin buruk. Hampir setiap hari kami bertengkar. Karena aku tidak betah di rumah. Aku lebih memilih meng
TokTok ."Dek!" panggil Bunda dari luar sambil mengetok pintu kamarku."Iya Bun, sebentar," sahutku yang sedang merapikan buku pelajaran."Ada temanmu di depan," ucap Bunda saat aku muncul di balik pintu"Siapa Bun?" tanyaku penasaran."Rio kalau enggak salah namanya," jawab Bunda."Makasih, Bun. Nanti adik temuin," ujarku.Bunda mengangguk kemudian melangkah ke dapur. Sementara aku beranjak ke depan untuk menemui Kak Rio."Kak," sapaku begitu sampai di teras."Hai, Dek?" balasnya membuatku keheranan."Kok panggil adek?" tanyaku."Abis tadi Bunda panggil kamu Adek. Boleh kan, kalau aku juga panggilkamu Adek," jawabnya.Aku sempat berpikir sebentar kemudian mengangguk ragu. "Kakak ada apa ke sini?""Mau main aja emang enggak boleh, ya?""Boleh aja, kok. Tapi kenapa enggak telepon dulu?""Kalau telepon dulu pasti kamu akan cari alasan untuk mel
Jam pelajaran sudah selesai, Aku segera merapihkan buku dan peralatan tulisku."Sha, bareng enggak?" tanya Haris yang sudah berdiri di samping mejaku."Iya Ris, tapi aku mau ke toilet dulu, ya," jawabku."Aku tunggu di parkiran, ya, Sha," ucap Harus lagi."Oke," sahutku kemudian.Setiap hari aku selalu bareng sama Haris. Meski cuma sampai halte dekat kampus. Kemudian aku naik bus menuju rumah.Haris sering menawarkan untuk mengantarku sampai ke rumah, tetapi aku selalu menolaknya, karena tak mau merepotkan, sebab rumahku berlawanan arah dengan rumahnya.Keluar dari toilet ada Jelita dan teman-temanya. Kampus sudah mulai sepi karena hari sudah hampir sore."Permisi, Kak," ucapku saat hendak melewati mereka.BrukTiba-tiba salah satu dari mereka mendorongku hingga terjatuh."Udah aku peringatin, kamu jangan pernah deketin Rio. Kamu budek atau bodoh, sih!" maki Jelita sambil menarik rambut dan menatap ta
Sudah tiga bulan Kak Erlan pergi tanpa memberi kabar. Aku sangat merindukannya, senyumnya, tawanya, dan kekonyolannya. Semua yang ada padanya aku rindu. Entah bagaimana kabarnya Kak Erlan. Aku hanya bisa berdoa semoga di sana ia baik-baik saja dan segera kembali untukku dan cinta kami. Hari ini aku dan Ria pergi ke sebuah Mall. Sudah lama sekali kita tidak jalan bareng, karena kesibukan kuliah kami masing-masing. Rencananya Ria mau cari kado untuk Angga yang akan berulang tahun. "Sha, sudah ada kabar dari Kak Erlan?" tanya Ria pada saat kami sedang menikmati makan siang. Aku hanya menggelengkan kepala dan tersenyum kecil. "Sabar, Sha. Aku yakin Kak Erlan baik-baik aja di sana. Dan aku juga yakin Kak Erlan enggak akan macam-macam," ucapnya sambil mengusap punggung tanganku. "Iya, Ri. Aku pun berharap begitu, meskipun Kak Erlan enggak pernah kasih kabar," sahutku. "Delisa!" sapa seseorang di depan meja kami membuat
Malam ini Kak Erlan menjemputku, setelah mendapat ijin dari Ayah dan Bunda, ia mengajakku ke taman kota.Aku melihat Kak Erlan tidak seperti biasanya. Tampaknya ada sesuatu yang ia sembunyikan. Dari tadi kami hanya duduk di bangku taman, tangannya menggenggam erat tanganku."Ada apa?" tanyaku sambil menatapnya."Ada kamu di hatiku," jawabnya sambil tersenyum jahil membuatku mendengus sebal."Gombal!""Tapi suka kan digombalin," ucapnya sambil meletakkan tanganku ke dadanya. Kami saling diam entah apa yang ada sedang ia pikirkan. karena tidak seperti biasanya ia begini.CupAku mencium pipinya. Kak Erlan sempat terkejut tapi kemudian tersenyum. "Jangan mancing," ucapnya menggodaku.Aku memukul pelan tangannya, ia malah menangkapnya dan menatapku intens."Dee, kakak ada kerjaan di Surabaya," ungkapnya tanpa sedikit pun berpaling dari menatapku.Entah aku harus senang atau sedih mendengar kabar ini. Aku senang karena
Pov ErlanggaSebelum kepergian Mama kami adalah keluarga yang harmonis. Hidupku begitu sempurna memiliki kedua orang tua yang amat sangat menyayangiku.Namun, semua berubah saat kami harus kehilangan jantung dalam keluarga. Mama meninggal setelah berjuang melawan penyakit kanker.Aku seperti anak ayam kehilangan induknya. Setiap hari hanya ditemani asisten rumah tangga. Papa menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Mungkin itu salah satu cara yang beliau lakukan untuk menutupi rasa kehilangan atas Mama.Tiga tahun setelah Mama meninggal. Papa menikah lagi dengan Tante Lisa, salah satu staf di perusahaannya. Bukannya membaik hubungan kami justru semakin buruk.Sejujurnya aku belum ikhlas ada yang menggantikan posisi Mama di rumah ini. Rasanya terlalu menyakitkan bila mengingat semua kenangan yang pernah kami lalui bersama.Sikap Papa padaku semakin buruk. Hampir setiap hari kami bertengkar. Karena aku tidak betah di rumah. Aku lebih memilih meng
Hari pengumuman kelulusan akhirnya tiba juga. Semua murid SMA Nusa Bangsa dikumpulkan di lapangan pagi ini.Semua rasa jadi satu. Bahagia karena kami naik ke jenjang pendidikan yang tinggi. Sedih karena harus berpisah dengan teman-teman setelah kami menuntut ilmu selama tiga bersama.Aku, Ria, Wulan, dan Fina saling bergandengan tangan. Memberi kekuatan satu sama lain karena kami takut ada yang tidak lulus.Saat Kepala sekolah naik ke mimbar seketika suasana manjadi hening. Beliau memberikan sedikit wejangan untuk kami. Agar kami bisa menjaga dan mengharumkan nama sekolah di mana pun nantinya kami berada.Alhamdulillah semua murid SMA Nusa Bangsa dinyatakan lulus. Kami semua bersorak gembira mendengar pengumuman iniAku dan sahabatku saling berpelukan. Kami menangis bahagia sekaligus beredih. Karena itu artinya kami tidak bisa bersama-sama lagi.Wulan akan melanjutkan kuliah di Kota Padang Sumatera Barat karena papanya dipindah t
Pov DelisaHari ini Kak Erlan mengajakku menemani ia bertanding. Untuk pertama kalinya aku melihatnya bermain basket.Sampai di kampus Kak Erlan memperkenalkan aku dengan teman-temannya yang tanpa sengaja bertemu di depan ruang ganti pakaian.Mereka seperti tidak percaya kalau aku dan Kak Erlan berhubungan. Aku tahu mereka memandang aneh padaku. Entah apa yang mereka pikirkan tentang kami.Selama pertandingan mataku tak lepas dari melihatnya yang dengan lincahnya berlari sambil mendribble bola.Di sebrang lapangan kulihat ada seorang wanita yang selalu tersenyum pada Kak Erlan dan sesekali memberi semangat sambil meneriaki namanya.Ternyata Kak Erlan memang populer di kampusnya. Terbukti namanya paling banyak diteriaki oleh para penonton.Setiap habis memasukkan bola Kak Erlan selalu melihat padaku sambil tersenyum manis. Senyum yang selalu aku rindukan.Tim basket Kak Erlan memenangkan pertandingan kali ini, dengan skor
Pov ErlanggaHampir saja aku melakukan kesalahan. Melihat wajah Delisa yang cantik, hidungnya yang mancung, dan bibirnya yang merah merona. Namun, aku sadar gadisku masih di bawah umur dan tidak sepantasnya aku melakukannya.Saat aku mulai mendekat padanya, ia langsung memejamkan mata. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Saat aku tersadar kalau Delisa berbeda dengan mantan pacarku yang lain. Kuurungkan niat untuk menciumnya.Terkadang aku bingung, perasaanku padanya berbeda dengan mantan-mantanku yang lain. Apa rasa sayang ini lebih mirip sayang ke adik sendiri?Waktu aku tahu Delisa berbohong, karena ternyata ia masih anak SMA tidak membuatku marah. Justru aku merasa lucu karena tidak menyadari hal itu."Erlan!" Terdengar suara manja itu memanggilku."Ada apa?" tanyaku begitu ia sudah berdiri di sampingku."Ini buat kamu," jawabnya seraya menyerahkan sebuah undangan. "Jangan sampai enggak datang, ya," ucapnya lagi.
Setelah makan malam siap, aku memanggil ayah dan Bang Reno yang sedang mengobrol di ruang tengah."Dek, kata bunda tadi ada teman Adek main ke sini?" tanya Ayah di tengah makan malam."Iya, Yah namanya Kak Erlan," jawabku tanpa berani menatap Ayah."Wih, Adek abang sudah ada yang ngapelin rupanya," ucap Bang Reno sambil tersenyum jahil padaku."Apaan, sih, Bang. Emang enggak boleh temen aku main!" sahutku sebal."Ayah dan Bunda enggak larang Adek buat temenan dengan siapa pun. Yang penting Adek tahu batasannya dan bisa jaga diri," sambung Ayah sambil menatapku penuh kasih."Iya, Yah, aku enggak akan menghancurkan kepercayaan yang Ayah dan Bunda berikan," jawabku yakin."Ini adeknya Reno, bukan, ya?" tanya Bang Reno sambil mengacak-acak rambutku."Tapi Bunda suka, Yah," timpal Bunda yang membuat kami menatap heran padanya. "Maksud bunda, Nak Erlan itu anaknya sopan. Bunda enggam keberatan kalau dia main ke sini lagi,