Pov Erlangga
"Lan!" panggil Budi sesaat setelah aku keluar dari kelas.
"Ada apa, Bro!" sahutku menghampirinya.
"Dicariin sama Mita. Sepertinya masih penasaran sama kamu," tutur Budi.
"Biarin aja, enggak usah diurusin," jawabku. "Ngopi, yuk!" Aku dan Budi berjalan ke arah kantin.
"Setiap ketemu pasti yang ditanyain kamu. Enggak pernah gitu nanyain kabarku," canda Budi membuatku menyungging senyum.
"Besok aku kasih tahu Mita. Suruh nanya kabar kamu," balasku membuat Budi memukul pelan tanganku.
"Ada-ada aja kamu ini, Lan. Makanya jangan tebar pesona terus. Kasihan 'kan, anak orang pada potek hatinya!"
"Aku enggak pernah tebar pesona, Mas Bro. Mereka aja yang baperan. Dikasih perhatian dikit bilang sayang, bilang cinta."
Budi tertawa mendengar ocehanku. Suasana di kantin tidak terlalu ramai. Setelah memesan kopi kami mencari tempat duduk.
"Masa enggak tertarik sama Mita, Lan. Mita itukan cantik, seksi, tajir pula. Banyak anak fakultas lain yang naksir dia. Kamu yang ditaksir malah ampun cueknya."
"Banyak model kek gitu di sini, Bro," sahutku kemudian menyereput kopi yang baru saja di antarkan pelayan ke meja kami.
Budi hanya geleng-geleng menanggapi ucapanku. Kemudian ia pun menyeruput kopi miliknya.
"Erlan," panggil seseorang yang suaranya tidak asing bagiku.
"Panjang umur Mita. Baru diomongin sudah nongol," ucap Budi yang membuat Mita tersipu.
"Ada apa?" tanyaku datar.
"Temani aku makan siang, yuk," ungkap Mita sambil bergelayut manja padaku.
"Aku ada latihan siang ini. Lain kali aja, ya," kataku sambil menatapnya.
"Sebentar aja, Lan," rangeknya lagi.
"Ya sudah sana pesan makanannya. Satu jam lagi aku cabut!" seruku, membuat wajah Mita kembali sumringah.
Mita langsung beranjak untuk memesan makanan. Gadis itu memang luar biasa usahanya. Meski pun sudah beberapa kali aku tolak, ia masih saja berusaha untuk mendekatiku.
"Aku tinggal dulu, Bud," ucapku begitu melihat Mita sudah duduk di tempatnya.
"Santai aja, Lan," sahut Budi.
"Kamu enggak makan?" tanya Mita begitu aku duduk di depannya.
"Sudah tadi," jawabku kemudian mengeluarkan ponsel dari saku celana.
Hari ini aku belum memberi kabar pada Delisa. Tadi pagi aku kesiangan bangun, hampir saja telat masuk kelas.
[Lagi apa Dee?]
Ternyata Delisa sedang online. Pesanku langsung dibacanya.
[Siap-siap mau pulang Kak.]
[Kok tumben jam segini sudah pulang. Memang tidak ada Dosen?]
[Enggak ada, Kak. Makanya ini sudah mau pulang.]
[Mau langsung pulang atau gimana?]
[Mau ke toko buku dulu. Cari buku untuk referensi tugas.]
[Ya, sudah. Hati-hati, ya. Kalau sudah selesai langsung pulang.]
[Ciee perhatiannya.]
Aku tersenyum membaca pesannya Delisa.
[Emang enggak mau diperhatiin?]
[Mau enggak, ya?]
[Dih, ngeledek. Untung jauh kalau dekat sudah kakak peluk, nih.]
[Ishh, enak aja main peluk. Emang aku cewek apaan!]
[Kamu ceweknya aku, kan.]
Delisa membalas dengan emot meledek. Aku jadi membayangkan ekspresi ia saat ini.
[Kalau sudah sampai rumah kabarin kakak, ya.]
[Siap, Boss!]
"Chat sama siapa, sih. Kok senang bener keknya?" tanya Mita dengan wajah cemberut.
"Seseorang yang spesial buatku," jawabku membuat Mita tersedak.
"Pelan-pelan, Mit!" Aku segera mengambilkan air minum untuknya.
"Anak fakultas mana?" tanya Mita setelah kembali normal.
"Bukan anak sini," jawabku sambil memasukkan ponsel ke dalam saku.
"Hai!" sapa seseorang yang sudah berdiri di sampingku.
"Ada apa?" tanyaku ketus.
"Jadi ini cewek baru kamu?" tanyanya sambil tersenyum miring.
"Bukan urusanmu!"
"Kenapa kamu enggak pernah angkat dan membalas pesanku, Kan?" Sisil mulai merajuk.
"Kita sudah enggak ada urusan apa-apa lagi. Jadi enggak usah ganggu aku lagi, paham!" ucapku pelan tapi cukup tegas.
Mita menyungging senyum. Ia pasti merasa senang karena aku mengacuhkan Sisil di depannya. Bisa tambah baper nih, cewek kalau aku terus di sini.
"Aku duluan, ya, Mit. Enggak enak sudah ditungguin yang lain untuk latihan," pamitku, tanpa menunggu jawaban Mita aku segera mengambil ransel dan beranjak meninggalkannya.
"Tapi Lan ...."
Tanpa memedulikan panggilan Mita, aku terus saja melangkah. Sementara Sisil mengekor di belakangku.
"Erlan, aku mau bicara sama kamu!" Sisil berusaha menghentikan aku dengan menarik tanganku, tetapi aku menepisnya.
Aku menghentikan langkah dan menoleh pada Sisil.
"Jangan pernah ganggu aku lagi. Karena aku sudah muak denganmu!" Aku kembali memperingati Sisil agar jangan pernah mengganggu lagi.
"Apa gara-gara si Mita itu, kamu nolak aku?" tanyanya dengan wajah memelas.
"Bukan," jawabku singkat namun penuh penekanan.
"Lalu siapa?" tanyanya sambil menarik tanganku.
"Bukan urusanmu!" ketusku dan kembali berjalan meninggalkan Sisil.
"Lihat saja nanti, Lan. Aku bakalan bikin kamu menyesal karena sudah menolak aku!" teriak Sisil yang tak kuhiraukan sama sekali.
***
Selesai latihan aku bergegas membersihkan diri dan mengganti pakaian.
"Jalan yuk, Lan," ajak Budi ketika kami sama-sama keluar dari ruang ganti.
"Ke mana Bud?" tanyaku sembari memakai sepatu.
"Ngopi," jawab Budi.
"Yuk, mumpung masih sore." Aku mengiyakan ajakan Budi.
Kami pun segara meluncur ke kafe yang ada di mall.
***
Sambil menikmati secangkir kopi yang baru saja di letakkan di atas meje. Mata menangkap sosok yang tidak asing buatku.
Itu benar Delisa dan teman-temannya. Tadi ia pami memang akan ke toko buku. Yang membuatku terkejut adalah Delisa memakai seragam putih abu-abu. Padahal selama ini ia mengaku sebagai mahasiswi.
"Woy, biasa aja kali ngelihatnya!" tegor Budi sambil melambaikan tangannya di depan mukaku.
Aku menyungging senyum, berusaha bersikap biasa saja, agar Budi tidak curiga.
"Sakit hati sama Sisil, bukan berarti sekarang kamu jadi pedofil, kan, Bro?" Budi mencoba menggodaku.
"Sial, memang aku cowok apaan!" umpatku sambil melempar sedotan padanya.
Kenapa Delisa harus berbohong padaku. Ini gila namanya. Selama ini aku menyukai anak di bawah umur. Ternyata aku tak cukup pandai sampai bisa terjabak dalam dunia maya.
Aku terus memperhatikan Delisa dan teman-temannya. Sepertinya mereka sudah selesai makan. Delisa harus menjalankan semuanya, aku memutuskan untuk mengikuti Delisa pulang.
"Bud, sorry, aku pulang duluan. Baru inget kalau Papa memintaku ke rumahnya sore ini," ucapku berbohong pada Budi.
"Oke, Lan. Hati-hati, salam buat orang rumah," sahut Budi.
Aku pun segera menyusul Delisa dan rombongan. Setelah mengambil sepeda motor di parkiran. Delisa dan teman- temannya masih ada di halte depan mall.
Aku memperhatikan mereka dari jarak cukup jauh. Aku tidak ingin Delisa dan teman-temannya mengetahui keberadaanku.
Setelah bus yang mereka tumpangi melaju, aku pun segera menjalankan motor. Aku tiba lebih dulu di halte dekat rumah Delisa.
Halte yang sama seperti kemarin aku mengantarnya. Setelah memarkirkan motor. Aku duduk di halte menunggu Delisa tiba.
Setelah menunggu sepuluh menit, bus yang mereka tumpangi tiba. Satu persatu mereka keluar dari bus. Delisa jadi yang terakhir keluar dari bus.
Begitu menginjakkan kaki di halte tatapan kami bertemu. Delisa nampak terkejut begitu melihatku ada di halte. Langkahnya terhenti, wajahnya seketika memerah.
Pov DelisaHari ini kami dipulangkan lebih awal, karena guru-guru ada rapat siang ini. Aku dan teman-teman tidak langsung pulang ke rumah. Kami pergi ke toko buku yang ada di mall, mencari buku untuk referensi tugas yang diberikan oleh guru.Setelah mendapatkan buku yang dimaksud. Sebelum pulang kami makan di foodcourt.Selesai makan aku dan teman - teman memutuskan untuk pulang ke rumah, karena tidak nyaman berada di mall dengan seragam sekolah.Setelah tiga puluh menit bus yang kami tumpangi sampai di halte dekat rumah. Baru saja menginjakkan kaki di halte tiba-tiba langkahku terhenti melihat siapa yang sedang menatap tajam ke arahku."Kak Erlan! seru Fina dan Wulan bersamaan kemudian menghampirinya."Hai," sahut Kak Erlan."Kakak ngapain di sini?" tanya Wulan."Kakak ada perlu sama Delisa," jawabnya masih dengan menatapku.Kak Erlan melangkah ke arahku. "Bisa kita bicara?" Kak Erlan berkata den
Setelah makan malam siap, aku memanggil ayah dan Bang Reno yang sedang mengobrol di ruang tengah."Dek, kata bunda tadi ada teman Adek main ke sini?" tanya Ayah di tengah makan malam."Iya, Yah namanya Kak Erlan," jawabku tanpa berani menatap Ayah."Wih, Adek abang sudah ada yang ngapelin rupanya," ucap Bang Reno sambil tersenyum jahil padaku."Apaan, sih, Bang. Emang enggak boleh temen aku main!" sahutku sebal."Ayah dan Bunda enggak larang Adek buat temenan dengan siapa pun. Yang penting Adek tahu batasannya dan bisa jaga diri," sambung Ayah sambil menatapku penuh kasih."Iya, Yah, aku enggak akan menghancurkan kepercayaan yang Ayah dan Bunda berikan," jawabku yakin."Ini adeknya Reno, bukan, ya?" tanya Bang Reno sambil mengacak-acak rambutku."Tapi Bunda suka, Yah," timpal Bunda yang membuat kami menatap heran padanya. "Maksud bunda, Nak Erlan itu anaknya sopan. Bunda enggam keberatan kalau dia main ke sini lagi,
Pov ErlanggaHampir saja aku melakukan kesalahan. Melihat wajah Delisa yang cantik, hidungnya yang mancung, dan bibirnya yang merah merona. Namun, aku sadar gadisku masih di bawah umur dan tidak sepantasnya aku melakukannya.Saat aku mulai mendekat padanya, ia langsung memejamkan mata. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Saat aku tersadar kalau Delisa berbeda dengan mantan pacarku yang lain. Kuurungkan niat untuk menciumnya.Terkadang aku bingung, perasaanku padanya berbeda dengan mantan-mantanku yang lain. Apa rasa sayang ini lebih mirip sayang ke adik sendiri?Waktu aku tahu Delisa berbohong, karena ternyata ia masih anak SMA tidak membuatku marah. Justru aku merasa lucu karena tidak menyadari hal itu."Erlan!" Terdengar suara manja itu memanggilku."Ada apa?" tanyaku begitu ia sudah berdiri di sampingku."Ini buat kamu," jawabnya seraya menyerahkan sebuah undangan. "Jangan sampai enggak datang, ya," ucapnya lagi.
Pov DelisaHari ini Kak Erlan mengajakku menemani ia bertanding. Untuk pertama kalinya aku melihatnya bermain basket.Sampai di kampus Kak Erlan memperkenalkan aku dengan teman-temannya yang tanpa sengaja bertemu di depan ruang ganti pakaian.Mereka seperti tidak percaya kalau aku dan Kak Erlan berhubungan. Aku tahu mereka memandang aneh padaku. Entah apa yang mereka pikirkan tentang kami.Selama pertandingan mataku tak lepas dari melihatnya yang dengan lincahnya berlari sambil mendribble bola.Di sebrang lapangan kulihat ada seorang wanita yang selalu tersenyum pada Kak Erlan dan sesekali memberi semangat sambil meneriaki namanya.Ternyata Kak Erlan memang populer di kampusnya. Terbukti namanya paling banyak diteriaki oleh para penonton.Setiap habis memasukkan bola Kak Erlan selalu melihat padaku sambil tersenyum manis. Senyum yang selalu aku rindukan.Tim basket Kak Erlan memenangkan pertandingan kali ini, dengan skor
Hari pengumuman kelulusan akhirnya tiba juga. Semua murid SMA Nusa Bangsa dikumpulkan di lapangan pagi ini.Semua rasa jadi satu. Bahagia karena kami naik ke jenjang pendidikan yang tinggi. Sedih karena harus berpisah dengan teman-teman setelah kami menuntut ilmu selama tiga bersama.Aku, Ria, Wulan, dan Fina saling bergandengan tangan. Memberi kekuatan satu sama lain karena kami takut ada yang tidak lulus.Saat Kepala sekolah naik ke mimbar seketika suasana manjadi hening. Beliau memberikan sedikit wejangan untuk kami. Agar kami bisa menjaga dan mengharumkan nama sekolah di mana pun nantinya kami berada.Alhamdulillah semua murid SMA Nusa Bangsa dinyatakan lulus. Kami semua bersorak gembira mendengar pengumuman iniAku dan sahabatku saling berpelukan. Kami menangis bahagia sekaligus beredih. Karena itu artinya kami tidak bisa bersama-sama lagi.Wulan akan melanjutkan kuliah di Kota Padang Sumatera Barat karena papanya dipindah t
Pov ErlanggaSebelum kepergian Mama kami adalah keluarga yang harmonis. Hidupku begitu sempurna memiliki kedua orang tua yang amat sangat menyayangiku.Namun, semua berubah saat kami harus kehilangan jantung dalam keluarga. Mama meninggal setelah berjuang melawan penyakit kanker.Aku seperti anak ayam kehilangan induknya. Setiap hari hanya ditemani asisten rumah tangga. Papa menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Mungkin itu salah satu cara yang beliau lakukan untuk menutupi rasa kehilangan atas Mama.Tiga tahun setelah Mama meninggal. Papa menikah lagi dengan Tante Lisa, salah satu staf di perusahaannya. Bukannya membaik hubungan kami justru semakin buruk.Sejujurnya aku belum ikhlas ada yang menggantikan posisi Mama di rumah ini. Rasanya terlalu menyakitkan bila mengingat semua kenangan yang pernah kami lalui bersama.Sikap Papa padaku semakin buruk. Hampir setiap hari kami bertengkar. Karena aku tidak betah di rumah. Aku lebih memilih meng
Malam ini Kak Erlan menjemputku, setelah mendapat ijin dari Ayah dan Bunda, ia mengajakku ke taman kota.Aku melihat Kak Erlan tidak seperti biasanya. Tampaknya ada sesuatu yang ia sembunyikan. Dari tadi kami hanya duduk di bangku taman, tangannya menggenggam erat tanganku."Ada apa?" tanyaku sambil menatapnya."Ada kamu di hatiku," jawabnya sambil tersenyum jahil membuatku mendengus sebal."Gombal!""Tapi suka kan digombalin," ucapnya sambil meletakkan tanganku ke dadanya. Kami saling diam entah apa yang ada sedang ia pikirkan. karena tidak seperti biasanya ia begini.CupAku mencium pipinya. Kak Erlan sempat terkejut tapi kemudian tersenyum. "Jangan mancing," ucapnya menggodaku.Aku memukul pelan tangannya, ia malah menangkapnya dan menatapku intens."Dee, kakak ada kerjaan di Surabaya," ungkapnya tanpa sedikit pun berpaling dari menatapku.Entah aku harus senang atau sedih mendengar kabar ini. Aku senang karena
Sudah tiga bulan Kak Erlan pergi tanpa memberi kabar. Aku sangat merindukannya, senyumnya, tawanya, dan kekonyolannya. Semua yang ada padanya aku rindu. Entah bagaimana kabarnya Kak Erlan. Aku hanya bisa berdoa semoga di sana ia baik-baik saja dan segera kembali untukku dan cinta kami. Hari ini aku dan Ria pergi ke sebuah Mall. Sudah lama sekali kita tidak jalan bareng, karena kesibukan kuliah kami masing-masing. Rencananya Ria mau cari kado untuk Angga yang akan berulang tahun. "Sha, sudah ada kabar dari Kak Erlan?" tanya Ria pada saat kami sedang menikmati makan siang. Aku hanya menggelengkan kepala dan tersenyum kecil. "Sabar, Sha. Aku yakin Kak Erlan baik-baik aja di sana. Dan aku juga yakin Kak Erlan enggak akan macam-macam," ucapnya sambil mengusap punggung tanganku. "Iya, Ri. Aku pun berharap begitu, meskipun Kak Erlan enggak pernah kasih kabar," sahutku. "Delisa!" sapa seseorang di depan meja kami membuat
TokTok ."Dek!" panggil Bunda dari luar sambil mengetok pintu kamarku."Iya Bun, sebentar," sahutku yang sedang merapikan buku pelajaran."Ada temanmu di depan," ucap Bunda saat aku muncul di balik pintu"Siapa Bun?" tanyaku penasaran."Rio kalau enggak salah namanya," jawab Bunda."Makasih, Bun. Nanti adik temuin," ujarku.Bunda mengangguk kemudian melangkah ke dapur. Sementara aku beranjak ke depan untuk menemui Kak Rio."Kak," sapaku begitu sampai di teras."Hai, Dek?" balasnya membuatku keheranan."Kok panggil adek?" tanyaku."Abis tadi Bunda panggil kamu Adek. Boleh kan, kalau aku juga panggilkamu Adek," jawabnya.Aku sempat berpikir sebentar kemudian mengangguk ragu. "Kakak ada apa ke sini?""Mau main aja emang enggak boleh, ya?""Boleh aja, kok. Tapi kenapa enggak telepon dulu?""Kalau telepon dulu pasti kamu akan cari alasan untuk mel
Jam pelajaran sudah selesai, Aku segera merapihkan buku dan peralatan tulisku."Sha, bareng enggak?" tanya Haris yang sudah berdiri di samping mejaku."Iya Ris, tapi aku mau ke toilet dulu, ya," jawabku."Aku tunggu di parkiran, ya, Sha," ucap Harus lagi."Oke," sahutku kemudian.Setiap hari aku selalu bareng sama Haris. Meski cuma sampai halte dekat kampus. Kemudian aku naik bus menuju rumah.Haris sering menawarkan untuk mengantarku sampai ke rumah, tetapi aku selalu menolaknya, karena tak mau merepotkan, sebab rumahku berlawanan arah dengan rumahnya.Keluar dari toilet ada Jelita dan teman-temanya. Kampus sudah mulai sepi karena hari sudah hampir sore."Permisi, Kak," ucapku saat hendak melewati mereka.BrukTiba-tiba salah satu dari mereka mendorongku hingga terjatuh."Udah aku peringatin, kamu jangan pernah deketin Rio. Kamu budek atau bodoh, sih!" maki Jelita sambil menarik rambut dan menatap ta
Sudah tiga bulan Kak Erlan pergi tanpa memberi kabar. Aku sangat merindukannya, senyumnya, tawanya, dan kekonyolannya. Semua yang ada padanya aku rindu. Entah bagaimana kabarnya Kak Erlan. Aku hanya bisa berdoa semoga di sana ia baik-baik saja dan segera kembali untukku dan cinta kami. Hari ini aku dan Ria pergi ke sebuah Mall. Sudah lama sekali kita tidak jalan bareng, karena kesibukan kuliah kami masing-masing. Rencananya Ria mau cari kado untuk Angga yang akan berulang tahun. "Sha, sudah ada kabar dari Kak Erlan?" tanya Ria pada saat kami sedang menikmati makan siang. Aku hanya menggelengkan kepala dan tersenyum kecil. "Sabar, Sha. Aku yakin Kak Erlan baik-baik aja di sana. Dan aku juga yakin Kak Erlan enggak akan macam-macam," ucapnya sambil mengusap punggung tanganku. "Iya, Ri. Aku pun berharap begitu, meskipun Kak Erlan enggak pernah kasih kabar," sahutku. "Delisa!" sapa seseorang di depan meja kami membuat
Malam ini Kak Erlan menjemputku, setelah mendapat ijin dari Ayah dan Bunda, ia mengajakku ke taman kota.Aku melihat Kak Erlan tidak seperti biasanya. Tampaknya ada sesuatu yang ia sembunyikan. Dari tadi kami hanya duduk di bangku taman, tangannya menggenggam erat tanganku."Ada apa?" tanyaku sambil menatapnya."Ada kamu di hatiku," jawabnya sambil tersenyum jahil membuatku mendengus sebal."Gombal!""Tapi suka kan digombalin," ucapnya sambil meletakkan tanganku ke dadanya. Kami saling diam entah apa yang ada sedang ia pikirkan. karena tidak seperti biasanya ia begini.CupAku mencium pipinya. Kak Erlan sempat terkejut tapi kemudian tersenyum. "Jangan mancing," ucapnya menggodaku.Aku memukul pelan tangannya, ia malah menangkapnya dan menatapku intens."Dee, kakak ada kerjaan di Surabaya," ungkapnya tanpa sedikit pun berpaling dari menatapku.Entah aku harus senang atau sedih mendengar kabar ini. Aku senang karena
Pov ErlanggaSebelum kepergian Mama kami adalah keluarga yang harmonis. Hidupku begitu sempurna memiliki kedua orang tua yang amat sangat menyayangiku.Namun, semua berubah saat kami harus kehilangan jantung dalam keluarga. Mama meninggal setelah berjuang melawan penyakit kanker.Aku seperti anak ayam kehilangan induknya. Setiap hari hanya ditemani asisten rumah tangga. Papa menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Mungkin itu salah satu cara yang beliau lakukan untuk menutupi rasa kehilangan atas Mama.Tiga tahun setelah Mama meninggal. Papa menikah lagi dengan Tante Lisa, salah satu staf di perusahaannya. Bukannya membaik hubungan kami justru semakin buruk.Sejujurnya aku belum ikhlas ada yang menggantikan posisi Mama di rumah ini. Rasanya terlalu menyakitkan bila mengingat semua kenangan yang pernah kami lalui bersama.Sikap Papa padaku semakin buruk. Hampir setiap hari kami bertengkar. Karena aku tidak betah di rumah. Aku lebih memilih meng
Hari pengumuman kelulusan akhirnya tiba juga. Semua murid SMA Nusa Bangsa dikumpulkan di lapangan pagi ini.Semua rasa jadi satu. Bahagia karena kami naik ke jenjang pendidikan yang tinggi. Sedih karena harus berpisah dengan teman-teman setelah kami menuntut ilmu selama tiga bersama.Aku, Ria, Wulan, dan Fina saling bergandengan tangan. Memberi kekuatan satu sama lain karena kami takut ada yang tidak lulus.Saat Kepala sekolah naik ke mimbar seketika suasana manjadi hening. Beliau memberikan sedikit wejangan untuk kami. Agar kami bisa menjaga dan mengharumkan nama sekolah di mana pun nantinya kami berada.Alhamdulillah semua murid SMA Nusa Bangsa dinyatakan lulus. Kami semua bersorak gembira mendengar pengumuman iniAku dan sahabatku saling berpelukan. Kami menangis bahagia sekaligus beredih. Karena itu artinya kami tidak bisa bersama-sama lagi.Wulan akan melanjutkan kuliah di Kota Padang Sumatera Barat karena papanya dipindah t
Pov DelisaHari ini Kak Erlan mengajakku menemani ia bertanding. Untuk pertama kalinya aku melihatnya bermain basket.Sampai di kampus Kak Erlan memperkenalkan aku dengan teman-temannya yang tanpa sengaja bertemu di depan ruang ganti pakaian.Mereka seperti tidak percaya kalau aku dan Kak Erlan berhubungan. Aku tahu mereka memandang aneh padaku. Entah apa yang mereka pikirkan tentang kami.Selama pertandingan mataku tak lepas dari melihatnya yang dengan lincahnya berlari sambil mendribble bola.Di sebrang lapangan kulihat ada seorang wanita yang selalu tersenyum pada Kak Erlan dan sesekali memberi semangat sambil meneriaki namanya.Ternyata Kak Erlan memang populer di kampusnya. Terbukti namanya paling banyak diteriaki oleh para penonton.Setiap habis memasukkan bola Kak Erlan selalu melihat padaku sambil tersenyum manis. Senyum yang selalu aku rindukan.Tim basket Kak Erlan memenangkan pertandingan kali ini, dengan skor
Pov ErlanggaHampir saja aku melakukan kesalahan. Melihat wajah Delisa yang cantik, hidungnya yang mancung, dan bibirnya yang merah merona. Namun, aku sadar gadisku masih di bawah umur dan tidak sepantasnya aku melakukannya.Saat aku mulai mendekat padanya, ia langsung memejamkan mata. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Saat aku tersadar kalau Delisa berbeda dengan mantan pacarku yang lain. Kuurungkan niat untuk menciumnya.Terkadang aku bingung, perasaanku padanya berbeda dengan mantan-mantanku yang lain. Apa rasa sayang ini lebih mirip sayang ke adik sendiri?Waktu aku tahu Delisa berbohong, karena ternyata ia masih anak SMA tidak membuatku marah. Justru aku merasa lucu karena tidak menyadari hal itu."Erlan!" Terdengar suara manja itu memanggilku."Ada apa?" tanyaku begitu ia sudah berdiri di sampingku."Ini buat kamu," jawabnya seraya menyerahkan sebuah undangan. "Jangan sampai enggak datang, ya," ucapnya lagi.
Setelah makan malam siap, aku memanggil ayah dan Bang Reno yang sedang mengobrol di ruang tengah."Dek, kata bunda tadi ada teman Adek main ke sini?" tanya Ayah di tengah makan malam."Iya, Yah namanya Kak Erlan," jawabku tanpa berani menatap Ayah."Wih, Adek abang sudah ada yang ngapelin rupanya," ucap Bang Reno sambil tersenyum jahil padaku."Apaan, sih, Bang. Emang enggak boleh temen aku main!" sahutku sebal."Ayah dan Bunda enggak larang Adek buat temenan dengan siapa pun. Yang penting Adek tahu batasannya dan bisa jaga diri," sambung Ayah sambil menatapku penuh kasih."Iya, Yah, aku enggak akan menghancurkan kepercayaan yang Ayah dan Bunda berikan," jawabku yakin."Ini adeknya Reno, bukan, ya?" tanya Bang Reno sambil mengacak-acak rambutku."Tapi Bunda suka, Yah," timpal Bunda yang membuat kami menatap heran padanya. "Maksud bunda, Nak Erlan itu anaknya sopan. Bunda enggam keberatan kalau dia main ke sini lagi,