"Halo, Mbak Jihan, perkenalkan, aku Ralin, kekasih suamimu."
Mendadak ruangan yang diperuntukkan bagi talent berdandan itu hening. Tempat yang tadinya ramai oleh canda dan tawa menjadi senyap seketika. Ruangan itu sempurna tanpa suara. Hanya terdengar pendingin ruangan yang berdesing pelan menandakan benda itu bekerja secara maksimal. Hampir secara bersamaan, semua orang yang ada di ruangan itu menoleh pada gadis muda yang berdiri santai di samping meja rias Jihan. Wanita itu tersenyum lebar dan mengulurkan tangan pada Jihan yang masih terpaku menatapnya dengan wajah kebingungan. Ketukan di pintu membuat kesibukan yang sempat terhenti menggeliat kembali. “Jihan, siap-siap yuk. Giliran kamu perform lima menit lagi.” “Oke, Mas Galang.” Jihan mengangkat jempol sambil mengedipkan mata pada crew stasiun televisi swasta itu. “Sudah, Kak?” Jihan menoleh pada Sisi, MUA yang sejak tadi memoles wajahnya dengan riasan dan memastikan pakaian yang dia kenakan menempel dengan sempurna di tubuh langsingnya. “Yap, sudah!" Sisi menjawab kikuk. "Yuk-yuk do’a dulu.” Sisi memanggil tim yang lain. Delapan orang yang tadi sibuk dengan urusan masing-masing langsung membentuk lingkaran. Mereka berdo’a seperti kebiasaan Jihan sepuluh tahun yang lalu setiap akan tampil. “Yuk, Bu, langsung mendekat ke stage saja." Nia langsung mempersilakan Jihan dan membantunya berdiri. Jihan mengangguk pada managernya sambil mengucapkan terima kasih. Dia berkaca sekali lagi, memastikan penampilannya sudah rapi. Sebelum melangkah, Jihan menatap Ralin yang masih berdiri di dekatnya. "Bu Jihan? Ayo!" Nia langsung menarik tangan Jihan pelan agar segera meninggalkan tempat itu. "Sebentar lagi Ibu tampil, pastikan semua terpukau seperti sepuluh tahun lalu." Jihan menarik napas panjang. Dia bergegas melangkah keluar dari ruangan. Sebelum berbelok di ujung lorong, dia melirik sekilas pada Ralin yang dihampiri oleh beberapa wartawan. Senyum tipis gadis itu tertangkap jelas di mata Jihan. "Fokus, Bu, biar aku yang urus wanita tidak jelas itu." Nia mengelus punggung Jihan pelan saat menyadari modalnya sesekali menoleh ke belakang. Jihan menarik napas panjang saat dentum musik mulai terdengar. Irama yang hanya diputar saat dia akan tampil. Instrumen miliknya. Hanya dia. Musik itu seakan melekat pada Jihan, menjadi ciri khas tersendiri yang selalu dinanti. "Setelah sepuluh tahun vakum dari dunia modeling yang melambungkan namanya, malam ini, sang supermodel kembali ke panggung kejayaannya." Jihan menarik napas panjang mendengar suara MC. Dia memejamkan mata, berusaha menyerap semua energi dan euforia yang ada disekitarnya. Saat buncah itu memenuhi dada, Jihan membuka mata sambil sedikit mengangkat dagu. Ya, wanita itu sudah mendapatkan kembali seluruh kepercayaan dirinya. "Sambutlah, bintang yang akan membuat trend baru di dunia fashion. Seseorang yang menjadi kiblat dunia model di negeri ini. Wanita yang diberi gelar Matahari Terbit Dari Timur oleh para perancang busana karena pesonanya. Jihan Qirani!" Suara tepukan tangan dan teriakan nama Jihan langsung memenuhi ruangan itu. Gegap gempita terasa seperti menggetarkan dinding mendengar keriuhan yang tercipta. Jihan tersenyum lebar menyambut panggung miliknya. "Jihan! Jihan! Jihan!" Lampu sorot dan blitz kamera langsung melahap rakus tubuh Jihan saat dia melangkah untuk pertama kali di atas panggung. Dengan anggun, Jihan melambaikan tangan beberapa kali. Sebelum memutar badan di ujung panggung, Jihan tersenyum lebar hingga giginya sedikit terlihat. "Gaun rancangan dari Latifah Wulandari yang dikenakan Jihan hari ini, cocok untuk dikenakan saat …." Jihan berhenti tepat di tengah panggung saat MC memperkenalkan gaun tosca yang dia kenakan. Dia meletakkan kedua tangan di pinggang seperti gaya para Puteri Indonesia di ajang bergengsi itu. Sesekali, Jihan membenarkan ujung jilbabnya yang jatuh ke dada. Dia menatap ke seluruh ruangan. Dadanya berdebar kencang merasakan kemewahan atmosfer panggung lagi. Sepuluh tahun dia istirahat dari dunia modeling yang melambungkan namanya. Hari ini, Jihan kembali. Bisnis fashion yang sempat redup belakangan langsung menggeliat saat wajah Jihan bertebaran di spanduk dan poster seluruh kota. Dulu, apapun yang dia kenakan selalu menjadi trendsetter hingga para perancang busana dan pemilik usaha fashion berlomba-lomba menjadikannya sebagai brand ambassador mereka. "Alhamdulillah." Nia, Sisi dan anggota tim langsung menyambut Jihan saat dia turun dari panggung. Malam itu, semarak tak hanya disana saja, tapi menyebar ke seluruh kota. Pesona Jihan tak luntur. Dia tampil memukau seperti sepuluh tahun lalu di masa-masa keemasannya. "Selamat, Sayang." Jihan menoleh saat mendengar suara Aditya Buana, suaminya. Senyumnya mengembang saat lelaki itu menyerahkan sebuket besar mawar merah dan mencium pipinya. "Aduuuuh, meleleh deh." Yang lain langsung berseru-seru melihat adegan romantis yang terjadi tepat di hadapan mereka. "Kapan pulang?" Jihan menerima buket bunga dan langsung menyelipkan tangan di lengan Aditya. Wangi maskulin langsung memenuhi hidungnya. Aroma yang selalu dia rindukan. "Baru saja tiba, dari bandara saya langsung kemari." Jihan tersenyum lebar menatap mata sendu suaminya. Aditya Buana, seorang pengusaha air minum dan pemilik tempat wisata yang cukup terkenal di kota mereka. "Mama, Mama." Jihan langsung menoleh pada suara yang sangat dia kenal. Rayna dan Damar, kedua anaknya itu berlari kecil menghampirinya. Jihan tertawa sambil merentangkan tangan. "Mama cantik sekali." Rayna mencium pipi Jihan. "Terima kasih, Anak manis." Jihan menoel hidung bangir putrinya yang bulan lalu genap berusia sepuluh tahun. "Damar bangga sekali sama Mama." Damar menyerahkan setangkai mawar merah lengkap dengan daunnya. "Mama juga bangga sama Kakak dan Adik." Jihan menerima bunga kesukaannya dan mencium kening Damar. Setelahnya, kedua anak itu langsung menempel pada Aditya. Seminggu di luar kota untuk mengontrol salah satu usahanya, membuat kerinduan kedua anak itu membuncah pada Papa mereka. Jihan tersenyum tipis menatap kehangatan anak dan ayah itu. Malam ini sempurna menjadi miliknya andai Ralin tidak menemuinya tadi. Dia sungguh tidak menyangka gadis yang usianya sepuluh tahun di bawahnya itu akan mengatakan sesuatu yang sangat memalukan sekaligus menyakitkan walau kebenarannya belum pasti. Jihan tidak habis pikir wanita itu bisa berkata dengan sangat lantangnya di depan semua orang. Bahkan, Ralin seolah sengaja benar menunggu momen ketika wartawan menyambangi ruangan tempatnya sedang dirias. "Halo, Mbak Jihan, perkenalkan, aku Ralin, kekasih suamimu." Ucapan Ralin terus memenuhi otak Jihan saat menatap wajah tampan suaminya yang penuh senyuman. "Saya bangga sekali bisa menjadikanmu sebagai seorang istri." Aditya melingkarkan tangan di pinggang Jihan saat blitz kamera wartawan dengan beringas mengabadikan kebersamaan mereka berempat. Jihan tersenyum tipis. Ini pertama kalinya Aditya mau tampil hangat dan mesra dengannya di depan publik setelah dia melahirkan Rayna. Mereka tampil mesra hanya di tahun pertama pernikahan. Setelah kelahiran Rayna, Aditya seolah tenggelam dalam dunia dan kesibukannya sendiri hingga Jihan seringkali memeluk sepi. Seharusnya, malam ini menjadi malam terindah bagi Jihan. Setelah tidur panjangnya selama sepuluh tahun, Aditya yang dulu kembali. Lelaki yang membuat cinta Jihan begitu dalam karena kehangatan dan kelembutan sikapnya. Ya, seharusnya.“Nanti ya, Kak? Aku persiapan tampil dulu. Sebentar lagi giliranku.” Ralin tersenyum lebar pada beberapa wartawan yang sejak tadi terus mengikutinya kemanapun. Gadis itu berjalan cepat meninggalkan awak media yang terus menanyakan tentang ucapannya pada Jihan tadi.Saat akan naik ke panggung, Ralin melihat Jihan sedang melakukan konferensi pers. Kembalinya Jihan ke dunia modeling yang sepuluh tahun ini ditinggalkannya memang menarik atensi publik cukup tinggi. Di sampingnya, lelaki bertubuh atletis dengan tinggi seratus delapan puluh sentimeter duduk mendampingi sambil sesekali bercanda dengan dua mereka.Ralin menarik napas panjang. Dia urung melanjutkan langkah saat Aditya menoleh. Hatinya bergemuruh ketika tatapan mereka bertemu. Walau jarak mereka cukup jauh, Ralin dapat merasakan sorot mata lelaki itu menatapnya tajam. Sekejap, pria berusia empat puluh satu tahun itu langsung mengalihkan pandangan lagi.Ralin tersenyum tipis. Dia menarik napas panjang untuk mengendalikan getar-ge
“Apa salah satu alasan Jihan kembali ke dunia modeling adalah karena merasa kalah saing dengan Ralin?”“Ralin?” Aditya menautkan alis dan secara refleks mengulangi nama yang disebutkan oleh awak media barusan. Dia menoleh cepat pada Jihan yang juga sedang menatap dirinya dengan sorot mata yang sulit diartikan.“Apa Anda mengenal Ralin?” Sontak para awak media langsung fokus pada Aditya. Lelaki itu menarik napas panjang. Rahangnya terkatup rapat, dia tidak menyangka pertanyaan itu akan muncul malam ini.“Saya merasa inilah saatnya saya kembali ke dunia yang sudah membesarkan nama saya.” Jihan menjawab tenang saat keadaan mulai tidak terkendali. “Kedua anak saya sudah mandiri. Rayna sepuluh tahun dan adiknya, Damar, sebentar lagi genap berusia tujuh tahun.” Jihan tersenyum lebar. Tangannya bergerak menggandeng tangan Aditya.“Saya merindukan masa-masa saat menjadi model. Masa-masa penuh perjuangan dulu sebelum saya dipersunting oleh lelaki tampan di samping saya ini.” Jihan dan Aditya b
“Ya, aku mundur.”Aditya menegakkan badan. Tubuhnya terasa kaku seketika. Dia menatap Jihan tidak percaya. Suara lembut istrinya barusan terasa menghantam dadanya.“Aku menyerah di usia sebelas tahun pernikahan kita.” Jihan menekan dada. Bibirnya tertarik membentuk segaris senyuman tipis. Ucapan suaminya barusan kembali terngiang di telinga. “Saya begini dari dulu. Kamu juga tahu itu. Kalau kamu tidak terima, silahkan mundur!” Ah … ringan benar kalimat itu keluar dari bibir Aditya. Seolah dia tak ada harganya sebagai seorang istri dari dua anaknya.“Apa maksudmu?” Napas Aditya memburu. Lelaki itu menajamkan pandangan melihat Jihan justru tersenyum diantara tangis. Dia tersengal saat Jihan mengangkat kepala. Mereka bertemu pandang. Tatapan itu, mata cemerlang Jihan menampakkan luka yang teramat sangat.Aditya memalingkan wajah. Dia tidak sanggup melihat wajah Jihan yang basah. Selama mereka menikah, baru kali ini dia melihat istrinya itu meneteskan air mata.“Seperti yang Mas ucapkan
“Mau kemana?” Aditya menautkan alis melihat Jihan yang sedang memoles wajah di depan meja rias. Lelaki itu melirik jam mewah di tangannya, hampir tepat jam empat. Setelah proses penandatanganan kontrak kerjasama dengan pelanggan baru selesai, dia memang langsung pulang.“Mas sudah pulang?” Jihan bertanya heran. Wanita itu mengambil tas kerja suaminya dan mencium tangan Aditya.Inilah yang Aditya suka, semarah apapun, Jihan tetap menghormatinya sebagai suami dan melayaninya dengan baik. Bahkan, setelah perdebatan mereka tadi malam yang membuat Jihan berkeras ingin bercerai, wanita itu tetap menjalankan kewajibannya saat Aditya meminta hak. Seminggu mengurus pekerjaan di luar kota membuat keinginan itu begitu kuat.“Tumben.” Jihan tersenyum tipis. Dia kembali melanjutkan merias wajah setelah meletakkan tas kerja Aditya. Mendadak, Jihan tertawa kecil. Dia merasa geli melihat Aditya sudah di rumah sesore ini. Biasanya, lelaki itu selalu pulang di atas jam sembilan malam. Paling cepat jam
Aditya menghembuskan napas kencang. Baru kali ini Jihan sangat keras. Walaupun sikapnya tetap lembut seperti biasa, tapi wanita itu tegas mengatakan keputusan yang akan dia ambil.Mereka diam sepanjang sisa perjalanan. Jihan memilih menyibukkan diri memperhatikan kendaraan yang berlalu lalang. Sesekali, wanita itu membenarkan hijab yang dia kenakan. “Kenapa berhijab?” Aditya mendadak teringat pertanyaannya setahun yang lalu. Mereka akan menghadiri acara gathering keluarga bersama karyawan hari itu. Aditya sedikit heran karena Jihan tampil dengan tunik selutut dan hijab kekinian.“Tidak apa-apa. Aku mulai rutin mengikuti kajian, Mas. Tahun depan usiaku menginjak pertengahan kepala tiga, aku ingin mulai memperbaiki diri.”Aditya hanya mengangguk mendengar jawaban istrinya saat itu. Sejujurnya, Jihan terlihat sangat manis dengan hijab bunga-bunga yang dia kenakan. Namun, lidahnya kelu untuk memuji. Bertahun-tahun kata rayuan sudah tak pernah lagi dia ucapkan. Lagipula, tanpa dia katakan
Satu jam lebih dua puluh menit, pemotretan akhirnya selesai. Jihan langsung menuju ruangan untuk beristirahat yang sudah disediakan. Sebagai model senior yang sudah punya nama, dia memang diistimewakan.Ah … tidak mudah untuk sampai di tahap ini. Dulu, masa-masa masih merintis, ruangan tempat dia istirahat itu bisa ditempati sampai belasan model. Mereka berjubel menunggu giliran. Sesak. Lapar. Lelah. Semua rasa berbaur menjadi satu.Makan tisu yang dicelupkan pada air lemon sudah menjadi konsumsi sehari-hari untuk mengganjal perut saat sedang ada event. Semua dilakukan oleh para talent agar tetap langsing dan memenuhi kriteria yang dibutuhkan oleh penyelenggara acara.Dimarahi, dicaci, semua sudah dia lewati. Jihan kenyang oleh makian saat namanya belum diperhitungkan. Sungguh, gemerlap dunia model yang selalu tampil cantik dan penuh kemewahan tak seindah yang selalu diperlihatkan.“Foto-foto kemesraan Ralin dan Aditya menggemparkan media hari ini. Di salah satu foto dengan latar Mena
“Kamu serius mau mengajukan gugatan?”Jihan yang sedang merapikan kotak bekal menatap Aditya yang berdiri di pintu dapur. Lelaki itu menarik napas panjang dan menarik kursi. Dia duduk diam memperhatikan tangan istrinya yang cekatan menyiapkan perbekalan.“Buahnya mau langsung di iris semua, Bu?” Rumi, wanita setengah baya yang sudah bekerja di rumah mereka sejak Damar lahir mendekat sambil membawa buah-buahan yang sudah dicuci.“Melon dan pepaya dipotong kotak kecil-kecil, Bi, biar gampang nanti dimakan pakai garpu. Mangga sama apel bawa masing-masing tiga saja. Langsung taruh di rantang saja, nanti biar saya kupas sendiri. Terima kasih ya, Bi.” Jihan memberikan arahan sambil tangannya sibuk memasukkan ayam masak rica-rica, sambal, rebusan labu siam, buncis dan bayam.“Tolong ambil kerupuk udang itu, Mas.” Jihan menunjuk toples besar di samping Aditya. “Terima kasih.” Jihan tersenyum tipis. Wanita yang memiliki alis tebal itu langsung sibuk menata perbekalan dalam satu keranjang.“Kam
“Bersiap-siaplah, Mas, anak-anak sudah menunggu.” Jihan melepaskan pelukan saat suara riang Rayna dan Damar terdengar di luar sana. Dia bergegas menuju meja rias dan memoles sedikit make up agar wajahnya yang habis menangis tidak kentara.Seperti biasa, setiap akhir pekan di minggu ketiga mereka akan jalan-jalan. Kemana saja. Menikmati waktu bersama sambil membawa perbekalan sendiri. Bulan kemarin mereka berkemah di kaki bukit perbatasan kota. Dua bulan sebelumnya mereka menghabiskan waktu seharian dengan bermain di waterboom pusat kota. Hari ini, tujuan mereka adalah pantai. Asin angin laut dan debur ombak sepertinya cocok untuk menghabiskan waktu bersama keluarga.“Aku di depan!” Rayna langsung membuka pintu mobil dan bergegas menguncinya.“Rayna, jangan lari-lari! Nanti jatuh.” Jihan melotot pada Rayna yang sudah duduk di kursi depan mobil.“Kak Rayna curang! Bulan kemarin Kakak sudah di depan. Hari ini giliran Damar yang duduk sebelahan sama Papa. Buka!” Damar memukul-mukul kaca m
Jihan menarik napas panjang melihat Aditya terdiam. Dia tahu, suaminya lemah kalau sudah menyangkut pembicaraan tentang orangtua dan anak. Lelaki itu tentu membayangkan Rayna, anak mereka."Begini." Jihan akhirnya memutuskan ikut masuk dalam pembicaraan. Dia sudah memutuskan bertahan pada pernikahan. Maka, sebisa mungkin dia akan memperjuangkan ikatan itu agar tidak terputus oleh apapun.Bukan dia tidak menaruh simpati pada orangtua Ralin. Namun, dia tidak mungkin mengorbankan pernikahan mereka atau menyetujui berbagi suami hanya karena kasihan. Tidak. Jihan tidak mau.Tangan yang saat ini dia genggam adalah takdir miliknya. Jadi, sebisa mungkin tidak akan pernah Jihan lepaskan. Kalau ada masalah dariuar, dia anggap sebagai ujian pernikahan. "Ralin, bicaralah. Kenapa kau begitu berkeras menginginkan Mas Aditya? Bukankah saat memulai hubungan kau sudah tahu dia pria beristri dan posisimu hanya sebagai simpanan?” Jihan menatap Ralin yang sejak tadi
Kejadian lucu beberapa minggu lalu membuat Jihan mengulum senyum. Aditya mendadak menjadi posesif sekali. Suaminya itu tiba-tiba cemburu tidak jelas padanya hanya karena pemilik brand yang akan bekerjasama dengannya membantu membuka tutup botol untuk Jihan minum.“Ternyata, orang yang sering berselingkuh takut diselingkuhi juga ya.” Jihan ingat sekali wajah Aditya seperti kepiting rebus saat dia mengatakan itu. Lelakinya itu memilih membisu dan mendiamkannya hingga waktu makan malam.Sakit atas penghianatan itu masih perih terasa. Bahkan, bayangan Aditya menjamah tubuh perempuan lain masih sering membayang di pelupuk mata. Setiap kali mereka bercinta, benak Jihan selalu bertanya-tanya apakah Aditya sedang membandingkan dirinya dengan perempuan yang pernah dia tiduri?Ah … tapi hidup harus terus berjalan. Jihan paham sekali konsekuensi atas keputusan yang dia ambil. Dia sudah memutuskan memberi Aditya kesempatan. Mau tidak mau, dia mencoba berdamai dengan k
“Rumahmu nyaman sekali, Mas. Halamannya sejuk, sangat homey sekali.”Aditya menautkan alis membaca pop up notification di ponselnya. Lelaki itu berhenti sebentar mengecek laporan penjualan dan pendistribusian air mingguan. Dia memutuskan membuka pesan Ralin setelah sekian lama diabaikan.“Mawar merah ini pasti pilihan Mbak Jihan ya? Coba kalau aku, aku lebih suka anggrek bulan. Terkesan lebih elegan.”Aditya menahan napas saat foto yang dikirimkan Ralin berhasil diunduh. Serumpun mawar merah yang sedang mekar menarik perhatiannya. Dia hafal sekali, pot bunga itu terletak di dekat teras tempat biasa mereka duduk bersama. Di samping air mancur yang di kelilingi kolam berisi ikan koi.“Dulu, Mas janji akan menemui Bapak dan Ibu, ingat ‘kan? Sayangnya tidak pernah kejadian sampai detik ini. Mereka menanyakan tentang keributan di luar sana, Mas. Aku bingung bagaimana menjelaskan. Jadinya, kubawa saja Bapak dan Ibu ke rumahmu.”Aditya mene
Saat menjadi seorang Ibu, Jihan sangat paham posisinya. Kedua orangtua Jihan memberinya pemahaman yang sangat baik tentang tanggung jawab. Meski dilahirkan dari keluarga yang serba kekurangan, sejak kecil Jihan melihat sendiri kedua orangtuanya mengerjakan apa saja demi memenuhi kebutuhan lima anaknya karena rasa tanggung jawab.Jihan paham sekali, kedua anaknya tidak pernah minta dilahirkan. Saat dia menyatakan siap menjadi orangtua, detik itu juga dia harus siap dengan tanggung jawab di pundaknya. Dia bertanggung jawab memberikan kehidupan yang layak. Dia bertanggung jawab untuk memberikan kasih sayang. Dia juga bertanggung jawab memberikan perlindungan dan pendidikan. Karena itulah, Jihan kuat selama ini. Dia menekan sakit demi buah hati. Dia mengorbankan perasaan agar kedua anaknya tidak kekurangan kasih sayang. Tidak dapat dipungkiri, kalau mereka berpisah, kasih sayang itu tidak akan penuh mereka dapatkan."Mama tahu Reva?""Yang beberapa k
“Boleh Mama masuk?” Jihan tersenyum saat melihat Rayna sedang sibuk di meja belajarnya. Lepas isya’ memang menjadi jadwal Rayna mengulang pelajaran atau mengerjakan pekerjaan rumah. Jihan baru menemukan waktu untuk bicara karena setelah istirahat siang tadi, Rayna ada les private.“Boleh, Ma.” Rayna tersenyum lebar.“Rayna tidak jadi ikut cerdas cermat?” Jihan bertanya hati-hati. Sebelum bertanya, dia sudah memastikan Rayna tidak sedang mengerjakan tugas sekolah. Anak itu hanya sedang mengulang pelajaran saja.“Kata teman-teman dari sekolah lain, Rayna sebentar lagi punya Mama baru. Kata mereka juga, Rayna akan segera punya adik dari Mama baru itu. Apa itu benar, Ma?” Jihan menahan napas saat mendengar pertanyaan anaknya. Seperti ada belati tajam yang dihunuskan tepat ke dadanya. Apa yang dia takutkan selama ini terjadi. Permasalahan yang mereka hadapi mulai berdampak pada kehidupan anak-anak.“Rayna malu sering diejek, Ma. Setiap ada pe
“Beberapa waktu belakangan ini, konsentrasi Rayna sepertinya sedang terganggu, Bu Jihan. Beberapa kali saya mendapat laporan dari guru kalau Rayna sering melamun di tengah proses belajar-mengajar. Tidak biasanya dia seperti ini.”Jihan menarik napas panjang mendengar penjelasan wanita setengah baya di hadapannya. Sejak Rayna sekolah SD empat tahun yang lalu, ini kali pertama Jihan masuk ke ruang konseling. Damar maupun Rayna tidak pernah membuat keributan besar sehingga harus melibatkan orangtua untuk menyelesaikannya.“Apa di rumah Rayna biasa saja, Bu Jihan?” Wanita itu tersenyum melihat Jihan yang terdiam seperti memikirkan sesuatu. Dia melepaskan kacamata dan meletakkannya di meja. Sebelum melanjutkan pembicaraan, dia menarik napas panjang. “Kami tidak mau sampai ada yang mengganggu kegiatan belajar Rayna. Apalagi dia siswa yang berprestasi. Itulah sebabnya kami memanggil Bu Jihan hari ini.”“Beberapa hari ini saya banyak kegiatan di luar, Miss. J
“Astaghfirullah.”Jihan membuka mata dan menoleh heran pada Nia. Sejenak kemudian, dia mengalihkan pandangan pada sopir yang duduk di depan. Pikirannya yang sedang tidak disini membuat dia tidak menyimak berita sejak tadi. Dia akhirnya ikut mendengarkan saat Nia memberi kode dengan memiringkan kepala ke arah radio.“AA menangis histeris saat melaporkan suaminya ke kantor polisi. Lelaki yang sudah menikah dengannya sejak tujuh tahun yang lalu itu tega mempe**osa anak gadisnya yang mulai beranjak remaja. Padahal, menurut keterangan AA, YM sangat menyayangi anaknya karena sudah ikut merawat dan membesarkan sejak kecil. Mereka menikah saat korban baru berusia lima tahun.”“Banyak kejadian begini, Bu. Baru banget kejadian minggu lalu, Bapak tega memukuli anak sambungnya hingga tangan anak itu patah. Alasannya karena anak itu mengambil mainan adiknya yang merupakan anak kandung si Bapak.”“Sebenarnya, bukan hanya masalah orangtua sambung sih, Pak. Ada juga orang tua kandung yang tega melaku
“Aku tunggu kau bisa membuat Mas Aditya menceraikanku. Coba saja, Ralin. Aku tidak akan memasukkan gugatan sampai dia yang menceraikan. Mari kita lihat, apakah cintanya sebesar yang selalu kau banggakan padaku.”“Munafik!” Ralin mendesis. Dia tersenyum sinis menatap Jihan yang berdiri tenang di hadapannya. “Aku tahu, Mbak Jihan begini karena Mas Aditya kaya ‘kan? Mbak tidak ingin kehilangan kemewahan sehingga enggan berpisah darinya. Mbak memilih bertahan walau tahu cinta itu sudah tak ada di antara kalian.”Jihan menautkan alis mendengar ucapan Ralin barusan. Gadis yang usianya sepuluh tahun dibawahnya ini benar-benar membuatnya muak. Andai menurutkan hati, sudah sejak tadi dia ingin mencakar dan menjambak wanita lain suaminya itu.“Tidak salah seorang istri mengkhawatirkan harta suaminya. Di dalam harta itu, terdapat haknya dan anak-anak mereka. Yang aneh itu, kalau ada wanita yang mengkhawatirkan harta suami wanita lain. Lucu sekali.” Jihan terkekeh pelan.Ralin mengatupkan mulutn
Keesokan harinya, Jihan langsung bersiap-siap setelah Rayna dan Dafa berangkat sekolah. Seperti janjinya pada Aditya dulu saat diizinkan memulai karir lagi, dia tidak akan mengabaikan kewajibannya. Walau hari ini ada pemotretan pagi, Jihan tidak meninggalkan rumah sebelum anak dan suaminya berangkat. Dia bahkan ikut sarapan dan bercanda bersama seperti biasa.“Iya, Nia? Aku berangkat sebentar lagi.” Jihan tersenyum mendengar lengkingan suara Nia di seberang sana. Sahabat sekaligus manajernya itu tetap saja cerewet padahal sudah paham sekali dia bagaimana.Tidak sampai setengah jam, Jihan sudah bertarung di jalan. Macet. Ratusan kendaraan roda dua, roda empat dan roda banyak memenuhi jalan. Setiap mata awas mencari peluang. Celah sedikit saja menjadi incaran agar bisa segera sampai di tempat tujuan.Perang klakson dan makian memenuhi udara. Entahlah, orang-orang menjadi lebih emosi saat seperti ini. Apa gunanya terus-terusan membunyikan klakson saat sedang