“Boleh Mama masuk?” Jihan tersenyum saat melihat Rayna sedang sibuk di meja belajarnya. Lepas isya’ memang menjadi jadwal Rayna mengulang pelajaran atau mengerjakan pekerjaan rumah. Jihan baru menemukan waktu untuk bicara karena setelah istirahat siang tadi, Rayna ada les private.
“Boleh, Ma.” Rayna tersenyum lebar.“Rayna tidak jadi ikut cerdas cermat?” Jihan bertanya hati-hati. Sebelum bertanya, dia sudah memastikan Rayna tidak sedang mengerjakan tugas sekolah. Anak itu hanya sedang mengulang pelajaran saja.“Kata teman-teman dari sekolah lain, Rayna sebentar lagi punya Mama baru. Kata mereka juga, Rayna akan segera punya adik dari Mama baru itu. Apa itu benar, Ma?”Jihan menahan napas saat mendengar pertanyaan anaknya. Seperti ada belati tajam yang dihunuskan tepat ke dadanya. Apa yang dia takutkan selama ini terjadi. Permasalahan yang mereka hadapi mulai berdampak pada kehidupan anak-anak.“Rayna malu sering diejek, Ma. Setiap ada peSaat menjadi seorang Ibu, Jihan sangat paham posisinya. Kedua orangtua Jihan memberinya pemahaman yang sangat baik tentang tanggung jawab. Meski dilahirkan dari keluarga yang serba kekurangan, sejak kecil Jihan melihat sendiri kedua orangtuanya mengerjakan apa saja demi memenuhi kebutuhan lima anaknya karena rasa tanggung jawab.Jihan paham sekali, kedua anaknya tidak pernah minta dilahirkan. Saat dia menyatakan siap menjadi orangtua, detik itu juga dia harus siap dengan tanggung jawab di pundaknya. Dia bertanggung jawab memberikan kehidupan yang layak. Dia bertanggung jawab untuk memberikan kasih sayang. Dia juga bertanggung jawab memberikan perlindungan dan pendidikan. Karena itulah, Jihan kuat selama ini. Dia menekan sakit demi buah hati. Dia mengorbankan perasaan agar kedua anaknya tidak kekurangan kasih sayang. Tidak dapat dipungkiri, kalau mereka berpisah, kasih sayang itu tidak akan penuh mereka dapatkan."Mama tahu Reva?""Yang beberapa k
“Rumahmu nyaman sekali, Mas. Halamannya sejuk, sangat homey sekali.”Aditya menautkan alis membaca pop up notification di ponselnya. Lelaki itu berhenti sebentar mengecek laporan penjualan dan pendistribusian air mingguan. Dia memutuskan membuka pesan Ralin setelah sekian lama diabaikan.“Mawar merah ini pasti pilihan Mbak Jihan ya? Coba kalau aku, aku lebih suka anggrek bulan. Terkesan lebih elegan.”Aditya menahan napas saat foto yang dikirimkan Ralin berhasil diunduh. Serumpun mawar merah yang sedang mekar menarik perhatiannya. Dia hafal sekali, pot bunga itu terletak di dekat teras tempat biasa mereka duduk bersama. Di samping air mancur yang di kelilingi kolam berisi ikan koi.“Dulu, Mas janji akan menemui Bapak dan Ibu, ingat ‘kan? Sayangnya tidak pernah kejadian sampai detik ini. Mereka menanyakan tentang keributan di luar sana, Mas. Aku bingung bagaimana menjelaskan. Jadinya, kubawa saja Bapak dan Ibu ke rumahmu.”Aditya mene
Kejadian lucu beberapa minggu lalu membuat Jihan mengulum senyum. Aditya mendadak menjadi posesif sekali. Suaminya itu tiba-tiba cemburu tidak jelas padanya hanya karena pemilik brand yang akan bekerjasama dengannya membantu membuka tutup botol untuk Jihan minum.“Ternyata, orang yang sering berselingkuh takut diselingkuhi juga ya.” Jihan ingat sekali wajah Aditya seperti kepiting rebus saat dia mengatakan itu. Lelakinya itu memilih membisu dan mendiamkannya hingga waktu makan malam.Sakit atas penghianatan itu masih perih terasa. Bahkan, bayangan Aditya menjamah tubuh perempuan lain masih sering membayang di pelupuk mata. Setiap kali mereka bercinta, benak Jihan selalu bertanya-tanya apakah Aditya sedang membandingkan dirinya dengan perempuan yang pernah dia tiduri?Ah … tapi hidup harus terus berjalan. Jihan paham sekali konsekuensi atas keputusan yang dia ambil. Dia sudah memutuskan memberi Aditya kesempatan. Mau tidak mau, dia mencoba berdamai dengan k
Jihan menarik napas panjang melihat Aditya terdiam. Dia tahu, suaminya lemah kalau sudah menyangkut pembicaraan tentang orangtua dan anak. Lelaki itu tentu membayangkan Rayna, anak mereka."Begini." Jihan akhirnya memutuskan ikut masuk dalam pembicaraan. Dia sudah memutuskan bertahan pada pernikahan. Maka, sebisa mungkin dia akan memperjuangkan ikatan itu agar tidak terputus oleh apapun.Bukan dia tidak menaruh simpati pada orangtua Ralin. Namun, dia tidak mungkin mengorbankan pernikahan mereka atau menyetujui berbagi suami hanya karena kasihan. Tidak. Jihan tidak mau.Tangan yang saat ini dia genggam adalah takdir miliknya. Jadi, sebisa mungkin tidak akan pernah Jihan lepaskan. Kalau ada masalah dariuar, dia anggap sebagai ujian pernikahan. "Ralin, bicaralah. Kenapa kau begitu berkeras menginginkan Mas Aditya? Bukankah saat memulai hubungan kau sudah tahu dia pria beristri dan posisimu hanya sebagai simpanan?” Jihan menatap Ralin yang sejak tadi
“Kita pulang, Ralin!” Suara berat dari pria separuh baya yang memakai batik lengan pendek itu terdengar. Dia langsung mengambil tangan anaknya saat wanita berusia dua puluh lima tahun itu masih terpaku di sofa.Jihan memasang wajah datar saat Ralin berjalan keluar. Wanita dengan rambut sepinggang itu melewati Jihan dengan dagu sedikit terangkat. Jihan hanya tersenyum miris melihat sikap pongah yang ditunjukkan oleh mantan wanita simpanan suaminya.“Ralin bilang, kalian sedang dalam proses perceraian.” Ibunda Ralin menatap Jihan saat akan keluar. “Dia membuka berita kedekatan di media agar memudahkan proses di pengadilan. Itu dilakukan atas permintaan Aditya yang berjanji akan menikahi dia setelahnya. Tetapi, kalian berbaikan sehingga dia menjadi satu-satunya yang dirugikan saat ini.”Jihan menarik napas panjang. Matanya melirik Ralin yang mulai memasuki mobil. Dua tahun lalu, Ralin sempat memposting dia mendapatkan kado ulang tahun mobil dari kekasihnya. Kabar itu tentu saja menjadi t
Sebenarnya, sejak awal, dia paham sekali posisinya di sisi Aditya. Dia hanya wanita bayaran yang suatu saat pasti ditinggalkan. Namun, saat hari itu tiba, dia tidak rela. Apalagi melihat Jihan kembali tampil sebagai model senior. Hal itu membuat rasa iri di hatinya semakin berkobar.Sejak awal, dia selalu iri dengan wanita itu. Dia menginginkan posisi Jihan sebagai istri sah dari Aditya Buana, pengusaha tampan, mapan dan juga perkasa. Usia empat puluh tahun seolah menjadi puncak kejayaan lelaki itu. Fisiknya bagus, sikapnya dewasa dan usahanya sedang bagus-bagusnya. Hal itu membuat Ralin tidak terima saat Aditya ingin mengakhiri semua.Ralin menghapus air matanya yang mengalir mengingat perjalanan yang pernah dia lalui. Biarlah, biarlah orangtuanya tidak mengetahui semua kepahitan yang dia jalani selama ini. Cukup hanya dia yang menyimpan semua cerita kelam yang tidak mereka ketahui itu untuk dirinya sendiri.Tepat jam tujuh malam, delapan jam setelah kejadian siang itu, mobil Aditya
“Aamiin ya rabbal alamin.” Kalimat penutup doa memenuhi mushola rumah itu. Jihan tersenyum lebar melihat Aditya mengusap kepala Rayna dan Damar yang mencium tangannya. Setelah kedua anaknya menepi, Jihan maju dan mengambil tangan Aditya. Lelaki itu mencium keningnya lama saat dia mengangkat kepala.“Maaf.” Jihan mengangguk mendengar bisikan Aditya. Entah sudah berapa kali kata itu terucap dari bibir suaminya. Entah ratusan, mungkin ribuan, tak terhitung lagi. Setiap ada kesempatan, Aditya selalu mengucapkan maaf atas kesalahan yang pernah dia buat.Dua tahun berlalu cepat. Hubungan Aditya dan Jihan membaik setelah badai besar yang menghantam rumah tangga mereka selama bertahun-tahun akhirnya mereda. Mereka belajar bersama untuk terus memperbaiki diri. Menyatukan lagi tujuan pernikahan yang sempat kehilangan arah.Saling menekan ego dan tidak pernah putus komunikasi. Porsi memberi dan menerima yang seimbang hingga rasa mengalah demi pasangan justru menumbuhkan lagi cinta yang sempat ha
Jihan menggeleng. Dia tahu Aditya pasti tertampar dengan ucapannya. “Sudahlah.” Jihan menunjuk lampu merah. Beberapa detik lagi, lampu hijau menyala.Setelah mengikuti banyak kajian dan seminar-seminar tentang pernikahan dan kehidupan berumah tangga, Jihan akhirnya mengerti satu hal. Menikah merupakan penyatuan diri antara istri dan suami. Tetapi, setelah ada anak, hubungan itu menjadi satu kesatuan keluarga yg tidak lagi hanya mementingkan kebahagiaan pasangan saja. Ada anak yang juga berhak bahagia bersama kedua orangtuanya yang mengharapkan mereka lahir ke dunia.Jihan memandang Aditya yang sedang fokus menyetir. Lelaki itu memang lebih senang membawa mobil tanpa sopir jika bepergian dengan keluarga kecilnya. Apa lagi kali ini perjalanannya dekat saja.Aditya berubah banyak. Dia rajin menyimak kajian rutin setiap jum’at di kantornya. Lelaki itu juga menjadi imam shalat untuk anak dan istrinya setiap kali berjamaah. Hal yang bahkan dalam mimpi pun, Jihan tidak berani memikirkannya
Selain usaha air minum, Aditya juga mempunyai tempat wisata keluarga yang di dalamnya terdapat penginapan dan rumah makan dengan konsep alam. Pemasukan dari sektor inilah yang goyah. Masyarakat ramai-ramai mengecam usaha lelaki itu karena selama ini keluarga Jihan dan Aditya terkenal harmonis dan baik-baik saja.Walau berita tentang mereka akhirnya tenggelam dan tidak lagi dibicarakan, tapi ingatan tentang hal itu masih membekas dalam ingatan. Begitulah, konsekuensi dari aib yang terbuka. Selamanya, orang akan mengingat cela yang pernah dilakukan.Sebagai istri, Jihan selalu menguatkan Aditya. Pelan-pelan, usaha mereka mulai bangkit kembali. Dua tahun yang penuh perjuangan dan mereka masih terus berpegangan tangan untuk melewati masa-masa ini.Rayna dan Damar pun seakan mengerti, mereka tidak pernah bertanya kenapa tidak liburan ke luar negeri lagi. Biasanya, dua-tiga bulan sebelum ulang tahun pernikahan, dua Kakak beradik itu sudah ribut bertanya mereka akan menghabiskan liburan ke n
Jihan menggeleng. Dia tahu Aditya pasti tertampar dengan ucapannya. “Sudahlah.” Jihan menunjuk lampu merah. Beberapa detik lagi, lampu hijau menyala.Setelah mengikuti banyak kajian dan seminar-seminar tentang pernikahan dan kehidupan berumah tangga, Jihan akhirnya mengerti satu hal. Menikah merupakan penyatuan diri antara istri dan suami. Tetapi, setelah ada anak, hubungan itu menjadi satu kesatuan keluarga yg tidak lagi hanya mementingkan kebahagiaan pasangan saja. Ada anak yang juga berhak bahagia bersama kedua orangtuanya yang mengharapkan mereka lahir ke dunia.Jihan memandang Aditya yang sedang fokus menyetir. Lelaki itu memang lebih senang membawa mobil tanpa sopir jika bepergian dengan keluarga kecilnya. Apa lagi kali ini perjalanannya dekat saja.Aditya berubah banyak. Dia rajin menyimak kajian rutin setiap jum’at di kantornya. Lelaki itu juga menjadi imam shalat untuk anak dan istrinya setiap kali berjamaah. Hal yang bahkan dalam mimpi pun, Jihan tidak berani memikirkannya
“Aamiin ya rabbal alamin.” Kalimat penutup doa memenuhi mushola rumah itu. Jihan tersenyum lebar melihat Aditya mengusap kepala Rayna dan Damar yang mencium tangannya. Setelah kedua anaknya menepi, Jihan maju dan mengambil tangan Aditya. Lelaki itu mencium keningnya lama saat dia mengangkat kepala.“Maaf.” Jihan mengangguk mendengar bisikan Aditya. Entah sudah berapa kali kata itu terucap dari bibir suaminya. Entah ratusan, mungkin ribuan, tak terhitung lagi. Setiap ada kesempatan, Aditya selalu mengucapkan maaf atas kesalahan yang pernah dia buat.Dua tahun berlalu cepat. Hubungan Aditya dan Jihan membaik setelah badai besar yang menghantam rumah tangga mereka selama bertahun-tahun akhirnya mereda. Mereka belajar bersama untuk terus memperbaiki diri. Menyatukan lagi tujuan pernikahan yang sempat kehilangan arah.Saling menekan ego dan tidak pernah putus komunikasi. Porsi memberi dan menerima yang seimbang hingga rasa mengalah demi pasangan justru menumbuhkan lagi cinta yang sempat ha
Sebenarnya, sejak awal, dia paham sekali posisinya di sisi Aditya. Dia hanya wanita bayaran yang suatu saat pasti ditinggalkan. Namun, saat hari itu tiba, dia tidak rela. Apalagi melihat Jihan kembali tampil sebagai model senior. Hal itu membuat rasa iri di hatinya semakin berkobar.Sejak awal, dia selalu iri dengan wanita itu. Dia menginginkan posisi Jihan sebagai istri sah dari Aditya Buana, pengusaha tampan, mapan dan juga perkasa. Usia empat puluh tahun seolah menjadi puncak kejayaan lelaki itu. Fisiknya bagus, sikapnya dewasa dan usahanya sedang bagus-bagusnya. Hal itu membuat Ralin tidak terima saat Aditya ingin mengakhiri semua.Ralin menghapus air matanya yang mengalir mengingat perjalanan yang pernah dia lalui. Biarlah, biarlah orangtuanya tidak mengetahui semua kepahitan yang dia jalani selama ini. Cukup hanya dia yang menyimpan semua cerita kelam yang tidak mereka ketahui itu untuk dirinya sendiri.Tepat jam tujuh malam, delapan jam setelah kejadian siang itu, mobil Aditya
“Kita pulang, Ralin!” Suara berat dari pria separuh baya yang memakai batik lengan pendek itu terdengar. Dia langsung mengambil tangan anaknya saat wanita berusia dua puluh lima tahun itu masih terpaku di sofa.Jihan memasang wajah datar saat Ralin berjalan keluar. Wanita dengan rambut sepinggang itu melewati Jihan dengan dagu sedikit terangkat. Jihan hanya tersenyum miris melihat sikap pongah yang ditunjukkan oleh mantan wanita simpanan suaminya.“Ralin bilang, kalian sedang dalam proses perceraian.” Ibunda Ralin menatap Jihan saat akan keluar. “Dia membuka berita kedekatan di media agar memudahkan proses di pengadilan. Itu dilakukan atas permintaan Aditya yang berjanji akan menikahi dia setelahnya. Tetapi, kalian berbaikan sehingga dia menjadi satu-satunya yang dirugikan saat ini.”Jihan menarik napas panjang. Matanya melirik Ralin yang mulai memasuki mobil. Dua tahun lalu, Ralin sempat memposting dia mendapatkan kado ulang tahun mobil dari kekasihnya. Kabar itu tentu saja menjadi t
Jihan menarik napas panjang melihat Aditya terdiam. Dia tahu, suaminya lemah kalau sudah menyangkut pembicaraan tentang orangtua dan anak. Lelaki itu tentu membayangkan Rayna, anak mereka."Begini." Jihan akhirnya memutuskan ikut masuk dalam pembicaraan. Dia sudah memutuskan bertahan pada pernikahan. Maka, sebisa mungkin dia akan memperjuangkan ikatan itu agar tidak terputus oleh apapun.Bukan dia tidak menaruh simpati pada orangtua Ralin. Namun, dia tidak mungkin mengorbankan pernikahan mereka atau menyetujui berbagi suami hanya karena kasihan. Tidak. Jihan tidak mau.Tangan yang saat ini dia genggam adalah takdir miliknya. Jadi, sebisa mungkin tidak akan pernah Jihan lepaskan. Kalau ada masalah dariuar, dia anggap sebagai ujian pernikahan. "Ralin, bicaralah. Kenapa kau begitu berkeras menginginkan Mas Aditya? Bukankah saat memulai hubungan kau sudah tahu dia pria beristri dan posisimu hanya sebagai simpanan?” Jihan menatap Ralin yang sejak tadi
Kejadian lucu beberapa minggu lalu membuat Jihan mengulum senyum. Aditya mendadak menjadi posesif sekali. Suaminya itu tiba-tiba cemburu tidak jelas padanya hanya karena pemilik brand yang akan bekerjasama dengannya membantu membuka tutup botol untuk Jihan minum.“Ternyata, orang yang sering berselingkuh takut diselingkuhi juga ya.” Jihan ingat sekali wajah Aditya seperti kepiting rebus saat dia mengatakan itu. Lelakinya itu memilih membisu dan mendiamkannya hingga waktu makan malam.Sakit atas penghianatan itu masih perih terasa. Bahkan, bayangan Aditya menjamah tubuh perempuan lain masih sering membayang di pelupuk mata. Setiap kali mereka bercinta, benak Jihan selalu bertanya-tanya apakah Aditya sedang membandingkan dirinya dengan perempuan yang pernah dia tiduri?Ah … tapi hidup harus terus berjalan. Jihan paham sekali konsekuensi atas keputusan yang dia ambil. Dia sudah memutuskan memberi Aditya kesempatan. Mau tidak mau, dia mencoba berdamai dengan k
“Rumahmu nyaman sekali, Mas. Halamannya sejuk, sangat homey sekali.”Aditya menautkan alis membaca pop up notification di ponselnya. Lelaki itu berhenti sebentar mengecek laporan penjualan dan pendistribusian air mingguan. Dia memutuskan membuka pesan Ralin setelah sekian lama diabaikan.“Mawar merah ini pasti pilihan Mbak Jihan ya? Coba kalau aku, aku lebih suka anggrek bulan. Terkesan lebih elegan.”Aditya menahan napas saat foto yang dikirimkan Ralin berhasil diunduh. Serumpun mawar merah yang sedang mekar menarik perhatiannya. Dia hafal sekali, pot bunga itu terletak di dekat teras tempat biasa mereka duduk bersama. Di samping air mancur yang di kelilingi kolam berisi ikan koi.“Dulu, Mas janji akan menemui Bapak dan Ibu, ingat ‘kan? Sayangnya tidak pernah kejadian sampai detik ini. Mereka menanyakan tentang keributan di luar sana, Mas. Aku bingung bagaimana menjelaskan. Jadinya, kubawa saja Bapak dan Ibu ke rumahmu.”Aditya mene
Saat menjadi seorang Ibu, Jihan sangat paham posisinya. Kedua orangtua Jihan memberinya pemahaman yang sangat baik tentang tanggung jawab. Meski dilahirkan dari keluarga yang serba kekurangan, sejak kecil Jihan melihat sendiri kedua orangtuanya mengerjakan apa saja demi memenuhi kebutuhan lima anaknya karena rasa tanggung jawab.Jihan paham sekali, kedua anaknya tidak pernah minta dilahirkan. Saat dia menyatakan siap menjadi orangtua, detik itu juga dia harus siap dengan tanggung jawab di pundaknya. Dia bertanggung jawab memberikan kehidupan yang layak. Dia bertanggung jawab untuk memberikan kasih sayang. Dia juga bertanggung jawab memberikan perlindungan dan pendidikan. Karena itulah, Jihan kuat selama ini. Dia menekan sakit demi buah hati. Dia mengorbankan perasaan agar kedua anaknya tidak kekurangan kasih sayang. Tidak dapat dipungkiri, kalau mereka berpisah, kasih sayang itu tidak akan penuh mereka dapatkan."Mama tahu Reva?""Yang beberapa k