“Mau kemana?” Aditya menautkan alis melihat Jihan yang sedang memoles wajah di depan meja rias. Lelaki itu melirik jam mewah di tangannya, hampir tepat jam empat. Setelah proses penandatanganan kontrak kerjasama dengan pelanggan baru selesai, dia memang langsung pulang.
“Mas sudah pulang?” Jihan bertanya heran. Wanita itu mengambil tas kerja suaminya dan mencium tangan Aditya. Inilah yang Aditya suka, semarah apapun, Jihan tetap menghormatinya sebagai suami dan melayaninya dengan baik. Bahkan, setelah perdebatan mereka tadi malam yang membuat Jihan berkeras ingin bercerai, wanita itu tetap menjalankan kewajibannya saat Aditya meminta hak. Seminggu mengurus pekerjaan di luar kota membuat keinginan itu begitu kuat. “Tumben.” Jihan tersenyum tipis. Dia kembali melanjutkan merias wajah setelah meletakkan tas kerja Aditya. Mendadak, Jihan tertawa kecil. Dia merasa geli melihat Aditya sudah di rumah sesore ini. Biasanya, lelaki itu selalu pulang di atas jam sembilan malam. Paling cepat jam delapan, itupun jarang. Dulu, Aditya selalu pulang sebelum maghrib di tahun-tahun awal pernikahan mereka. Jihan dengan senang hati mengurus rumah dan masak untuk makan malam mereka. Dia memang tidak ingin membayar ART. sengaja mencari kesibukan setelah Aditya memintanya berhenti dari dunia modeling dan fokus mengurus rumah. “Saya tidak suka kamu dikagumi oleh lelaki lain, Yang. Kamu mutlak milik saya. Saya adalah satu-satunya pria yang boleh menikmati keindahan raga yang kamu punya. Tidak usah khawatir, semua tanggung jawabmu akan saya ambil alih. Saya mampu membiayai Bapak dan Ibu serta ke empat adik-adik di desa.” Jihan mengambil hijab setelah selesai merias wajah. Ucapan Aditya di bulan ketiga pernikahan mereka kembali terngiang. Walau Aditya menyatakan kesiapan menggantikan Jihan untuk membantu perekonomian keluarganya, dia tidak serta merta bisa meninggalkan kontrak yang sudah terlanjur ditandatangani sejak lama. Dua bulan sebelum kelahiran Rayna, Jihan akhirnya resmi meninggalkan dunia modeling yang sudah membesarkan namanya. Sejak saat itu, Aditya mengambil alih tanggung jawab Jihan menyokong perekonomian keluarga sebagai tanggung jawab anak pertama dari lima bersaudara. Semua berubah setelah Rayna lahir. Jihan yang sibuk dengan pengalaman pertama sebagai Ibu baru sedikit abai pada Aditya. Sejak saat itu, hubungan mereka menjadi renggang. Lelaki itu tetap memenuhi semua kewajiban. Nafkah lahir Jihan tak pernah kekurangan, nafkah batin Aditya tak pernah melalaikan. Namun, kehangatan cinta telah menguap. Diantara mereka, seakan hanya menjalani kewajiban dan peran sebagai suami istri saja. Hambar. Kata yang tepat untuk mendeskripsikan pernikahan mereka sepuluh tahun ini. Apalagi sejak teror demi teror datang dari wanita-wanita suaminya di luar sana, membuat Jihan membatukan hati untuk melindungi kewarasan diri. “Mau kemana?” Aditya bertanya sekali lagi karena Jihan tak kunjung menjawab sejak tadi. “Aku ada pemotretan produk, Mas. Tidak akan lama, sebelum maghrib juga sudah di rumah lagi. Tempatnya dekat, tidak sampai dua puluh menit dari sini.” Jihan menyambar tas tangan setelah memastikan penampilannya rapi. “Rayna menjadi salah satu perwakilan kabupaten di ajang cerdas cermat tingkat provinsi minggu depan, dia fokus persiapan. Tadi setelah pulang sekolah dan istirahat sebentar, langsung berangkat lagi untuk latihan materi dengan teman-temannya dari sekolah lain.” Aditya mengangguk sambil mengikuti langkah Jihan. Sejujurnya, dia pulang cepat karena ada yang harus dibicarakan. Namun, sesore ini sudah di rumah mau tak mau mebangkitkan kenangan masa lalu. Dulu, dia selalu ingin cepat sampai rumah. Mendadak, kerinduan pada masa-masa pengantin baru mereka menyergap Aditya. Romantisme dimabuk cinta saat awal menapaki kehidupan berumah tangga. “Damar masih les piano, Mas, paling sekitar sejam lagi juga selesai.” Aditya kembali mengangguk. Denting piano terdengar dari belakang rumah. Dia memang sengaja membangun studio mini di dekat kolam saat mengetahui anak keduanya itu mempunyai ketertarikan pada dunia musik. “Ada lagi yang Mas mau tanyakan?” Jihan berbalik dan menatap Aditya saat sudah keluar rumah. Tangannya memencet tombol sehingga mobil hijau gelap di halaman menimbulkan suara. “Maksudmu?” Aditya menatap Jihan kebingungan. “Aku mau berangkat, kenapa sejak tadi terus mengikutiku?” “Ayo, saya antar.” “Hah?” Jihan terperangah melihat Aditya sudah melangkah dan merebut kunci mobil darinya. Seingat Jihan, terakhir kali Aditya mengantarnya adalah saat melahirkan Damar tujuh tahun yang lalu. Setelah itu, dia menjadi wanita mandiri yang melakukan semuanya sendiri tanpa bantuan suami. Lima menit keluar dari perumahan, ponsel Aditya berdering. Jihan melongok ke dashboard mobil. Bibirnya tertarik miring mengetahui siapa yang menelepon. “Pacarmu, Mas.” Dia menunjuk dengan dagunya. Aditya menghembuskan napas kencang. Foto Ralin yang mengenakan pakaian minim memenuhi layar ponselnya. Wajah cantik gadis berusia dua puluh lima tahun itu dipenuhi senyum dengan sebelah mata mengedip manja. Aditya mengabaikan panggilan hingga mati sendiri. Dia fokus menyetir mobil. Sejak tadi malam, dia memang mengabaikan semua panggilan dan pesan dari Ralin. Apa yang dilakukan wanita itu sudah melewati batas. Banyak pihak yang akan tersakiti akibat perbuatanya yang menurut Aditya tidak masuk akal. “Iya, Pak?” Aditya tersentak dari lamunan mendengar suara Jihan. Istrinya itu sedang mengangkat telepon entah dari siapa. “Baik, saya akan siapkan buku nikah, KTP dan Kartu Keluarga. Besok saya antar ke kantor Pak Praja saja langsung sekalian konsultasi.” Aditya menghembuskan napas kencang mendengar nama pengacara keluarga mereka disebut Jihan. Buku nikah? Kartu keluarga? Aditya menggeleng. Tangannya memegang erat kemudi sampai buku-buku jarinya memutih. “Tadi siang Pak Praja menelepon saya.” Ralin menoleh pada suaminya setelah menyimpan kembali ponsel. Wanita itu mengangguk pelan. Jadi itu alasan kenapa Aditya pulang cepat dari kantor hari ini. “Kamu yakin akan menggugat cerai?” Jihan kembali mengangguk pelan. Matanya menatap kendaraan yang berlalu lalang di jalan. Dia lelah dan ingin menyerah. Selama ini, Jihan bertahan demi anak dan keluarganya. Namun, semua sia-sia. Sepuluh tahun pengorbanannya tak ada guna. Percuma. Kekacauan yang dilakukan Ralin semalam akan berdampak besar pada mereka. Jihan bahkan tidak berani menonton televisi dan membuka media sosial miliknya. Dia juga hanya sesekali melihat ponsel untuk urusan pekerjaan. Dia belum siap mendengar berita panas yang beredar diluar sana. “Kamu siap menjadi janda? Menyandang status yang bagi sebagian besar orang adalah aib?” Jihan tersenyum mendengar ucapan Aditya. Aib? Ah, stigma janda di masyarakat memang mengerikan. Padahal, tidak ada yang dengan senang hati menyandang status itu. Entah berapa banyak pertimbangan dan pengorbanan yang sudah dilakukan hingga akhirnya mereka menyerah dan memilih menjalani hidup tanpa suami lagi. “Kamu siap dengan status itu?” “Kenapa tidak?” Aditya menggeleng pelan. Dia terdiam cukup lama untuk memilih kata. “Saya minta maaf, Jihan. Kalau kamu melakukan ini untuk menggertak, sudahilah saja. Saya akan membereskan kekacauan yang dibuat oleh Ralin. Kamu tenang saja.” Jihan tertawa getir mendengar ucapan suaminya yang seolah menggampangkan semua. “Aku serius, Mas. Aku menyerah. Aku tidak sedang berpura-pura lari agar kau kejar. Aku benar-benar ingin menyudahi semua.”Aditya menghembuskan napas kencang. Baru kali ini Jihan sangat keras. Walaupun sikapnya tetap lembut seperti biasa, tapi wanita itu tegas mengatakan keputusan yang akan dia ambil.Mereka diam sepanjang sisa perjalanan. Jihan memilih menyibukkan diri memperhatikan kendaraan yang berlalu lalang. Sesekali, wanita itu membenarkan hijab yang dia kenakan. “Kenapa berhijab?” Aditya mendadak teringat pertanyaannya setahun yang lalu. Mereka akan menghadiri acara gathering keluarga bersama karyawan hari itu. Aditya sedikit heran karena Jihan tampil dengan tunik selutut dan hijab kekinian.“Tidak apa-apa. Aku mulai rutin mengikuti kajian, Mas. Tahun depan usiaku menginjak pertengahan kepala tiga, aku ingin mulai memperbaiki diri.”Aditya hanya mengangguk mendengar jawaban istrinya saat itu. Sejujurnya, Jihan terlihat sangat manis dengan hijab bunga-bunga yang dia kenakan. Namun, lidahnya kelu untuk memuji. Bertahun-tahun kata rayuan sudah tak pernah lagi dia ucapkan. Lagipula, tanpa dia katakan
Satu jam lebih dua puluh menit, pemotretan akhirnya selesai. Jihan langsung menuju ruangan untuk beristirahat yang sudah disediakan. Sebagai model senior yang sudah punya nama, dia memang diistimewakan.Ah … tidak mudah untuk sampai di tahap ini. Dulu, masa-masa masih merintis, ruangan tempat dia istirahat itu bisa ditempati sampai belasan model. Mereka berjubel menunggu giliran. Sesak. Lapar. Lelah. Semua rasa berbaur menjadi satu.Makan tisu yang dicelupkan pada air lemon sudah menjadi konsumsi sehari-hari untuk mengganjal perut saat sedang ada event. Semua dilakukan oleh para talent agar tetap langsing dan memenuhi kriteria yang dibutuhkan oleh penyelenggara acara.Dimarahi, dicaci, semua sudah dia lewati. Jihan kenyang oleh makian saat namanya belum diperhitungkan. Sungguh, gemerlap dunia model yang selalu tampil cantik dan penuh kemewahan tak seindah yang selalu diperlihatkan.“Foto-foto kemesraan Ralin dan Aditya menggemparkan media hari ini. Di salah satu foto dengan latar Mena
“Kamu serius mau mengajukan gugatan?”Jihan yang sedang merapikan kotak bekal menatap Aditya yang berdiri di pintu dapur. Lelaki itu menarik napas panjang dan menarik kursi. Dia duduk diam memperhatikan tangan istrinya yang cekatan menyiapkan perbekalan.“Buahnya mau langsung di iris semua, Bu?” Rumi, wanita setengah baya yang sudah bekerja di rumah mereka sejak Damar lahir mendekat sambil membawa buah-buahan yang sudah dicuci.“Melon dan pepaya dipotong kotak kecil-kecil, Bi, biar gampang nanti dimakan pakai garpu. Mangga sama apel bawa masing-masing tiga saja. Langsung taruh di rantang saja, nanti biar saya kupas sendiri. Terima kasih ya, Bi.” Jihan memberikan arahan sambil tangannya sibuk memasukkan ayam masak rica-rica, sambal, rebusan labu siam, buncis dan bayam.“Tolong ambil kerupuk udang itu, Mas.” Jihan menunjuk toples besar di samping Aditya. “Terima kasih.” Jihan tersenyum tipis. Wanita yang memiliki alis tebal itu langsung sibuk menata perbekalan dalam satu keranjang.“Kam
“Bersiap-siaplah, Mas, anak-anak sudah menunggu.” Jihan melepaskan pelukan saat suara riang Rayna dan Damar terdengar di luar sana. Dia bergegas menuju meja rias dan memoles sedikit make up agar wajahnya yang habis menangis tidak kentara.Seperti biasa, setiap akhir pekan di minggu ketiga mereka akan jalan-jalan. Kemana saja. Menikmati waktu bersama sambil membawa perbekalan sendiri. Bulan kemarin mereka berkemah di kaki bukit perbatasan kota. Dua bulan sebelumnya mereka menghabiskan waktu seharian dengan bermain di waterboom pusat kota. Hari ini, tujuan mereka adalah pantai. Asin angin laut dan debur ombak sepertinya cocok untuk menghabiskan waktu bersama keluarga.“Aku di depan!” Rayna langsung membuka pintu mobil dan bergegas menguncinya.“Rayna, jangan lari-lari! Nanti jatuh.” Jihan melotot pada Rayna yang sudah duduk di kursi depan mobil.“Kak Rayna curang! Bulan kemarin Kakak sudah di depan. Hari ini giliran Damar yang duduk sebelahan sama Papa. Buka!” Damar memukul-mukul kaca m
“Damar! Damar! Aduh! HAHAHA … Damar, awas kamu ya!” Rayna berteriak-teriak di antara tawanya. Anak wanita berkulit putih yang rambutnya dikepang dua itu terpingkal-pingkal. Bajunya basah dan kotor terkena pasir. Sejak tadi, dia dan Damar saling dorong saat ombak datang.“Dih! Kak Rayna curang!” Damar menatap kesal pada kakaknya yang kembali tertawa-tawa. Rayna bahkan sampai meringkuk di pasir setelah menghancurkan istana pasir buatan Damar. “Kita berdamai saja! Tadi kamu duluan yang menarik-narik bajuku sampai terjatuh dan basah begini ‘kan?” Rayna nyengir sambil mendekati Damar yang sedang menatap istana pasirnya yang sudah tidak berbentuk lagi. Dia mengibas-ngibaskan baju agar pasir yang menempel berjatuhan.“Ish! Kak Rayna!”Rayna kembali tertawa kencang melihat wajah Damar yang cemberut karena terkena pasir dari bajunya. Mereka memang senang sekali bertengkar. Bahkan hal-hal remeh pun bisa menjadi perdebatan panjang.Di sini, Jihan tersenyum lebar melihat kedua anaknya yang asik
Dulu, tidak sedikit yang mendekatinya saat belum menikah dengan Aditya. Mulai dari rekan seprofesi, pengusaha, pejabat, bahkan ada juga konglomerat yang memintanya menjadi istri kedua dengan iming-iming materi yang tidak sedikit.Namun, hanya Aditya yang mampu meraih hatinya. Hanya pemilik usaha air minum kemasan yang mata airnya sekalian menyatu dengan tempat wisata konsep alam itulah yang bisa meyakinkannya untuk mantap berumah tangga.“Bapak atau Ibu ada telepon?” Nia kembali memecah keheningan setelah mereka terdiam cukup lama.“Belum.” Jihan menjawab singkat. Dia melambaikan tangan pada Rayna yang mengacungkan kelapa muda padanya. Jihan mengangkat kelapa miliknya, menunjukkan pada Rayna kalau dia juga sudah punya.Jihan memalingkan wajah saat Aditya menoleh padanya. Ah … lelaki itu terlihat sangat menawan saat topless seperti itu. Perutnya yang sixpack dengan dada bidang membuat penampilan lelaki berusia empat puluh satu tahun itu sangat menggoda.Aditya Buana, pengusaha sukses
“Bulan depan kita ke puncak saja mungkin ya? Sudah lama kita tidak menginap di villa. Rasa-rasanya terakhir kesana setengah tahunan yang lalu ‘kan?” Aditya melirik Jihan dari kaca spion dalam. “Boleh.”Aditya menautkan alis mendengar jawaban singkat Jihan. Sejak tadi, istrinya itu memang lebih banyak diam. Biasanya, Jihan yang akan meramaikan suasana. Dia bercerita apa saja sepanjang perjalanan.Dua anak mereka sudah tertidur sejak sepuluh menit mobil berjalan meninggalkan pantai. Mereka kelelahan setelah seharian bermain. Seperti biasa, selama perjalanan pulang kayak beradik itu akan tertidur sampai rumah.“Besok ada pemotretan dimana?” Aditya kembali melirik pada Jihan yang entah sedang sibuk memperhatikan apa di luar sana. Sepi. Perjalanan kali ini terasa hampa tanpa celoteh riang wanita itu.Biasanya, Jihan akan mengajaknya berbicara walau sering tidak Aditya tanggapi. Wanita itu menceritakan kegiatannya sebulan ke belakang. Kabar ke
“Saya salah. Saya br*ngsek. Baj*ngan. Bangs*at. Semua. Saya pendosa dan pezina. Saya akui itu. Tolong, tolong beri saya kesempatan untuk memperbaiki diri. Demi anak-anak. Demi Damar dan Rayna. Please.”Jihan memejamkan mata saat lengkingan suara Rayna terdengar. Dua anaknya itu seperti tidak pernah lelah bercanda. Awalnya main-main, lama-lama jadi saling adu pitting.“Baru sekarang Mas ingat mereka.” Jihan menghapus air mata yang mengalir begitu saja tidak dapat dicegah. “Apa saat sedang berada dalam pelukan para wanita yang Mas rengkuh Mas ingat anak kita? Saat kalian berada di puncak kenikmatan bersimbah peluh ada bayangan wajah Rayna dan Damar melintas di pikiran Mas?”“Maaf … maaf ….” Aditya memegang tangan Jihan erat.“Selama ini aku bertahan demi anak-anak dan keluarga kita, Mas. Sekarang sudah berakhir ….”“Saya akan selesaikan semua, Jihan. Saya akan bereskan kekacauan yang disebabkan oleh Ralin. Saya janji.”Jihan mengge
"Kemana, Pak?""Langsung pulang saja." Aditya langsung menyandarkan tubuh saat mobil yang dikendarai oleh Pardi meluncur di jalanan kota. Hampir jam sembilan malam, itu artinya kurang sepuluh menit dari dua jam dia berbicara dengan Ralin.“Jihan Qirani.” Aditya mendesiskan nama itu. Matanya menatap keluar. Lampu kendaraan di jalan membuat indah suasana malam. Kota ini masih ramai seperti biasa. Semakin malam, kehidupan tengah kota malah seperti baru dibangunkan. Pusat-pusat hiburan seperti cahaya lampu yang dikerubungi oleh laron.Wanita itu, perempuan luar biasa yang bisa membuatnya berhenti menjadi petualang cinta. Umurnya sudah lewat tiga puluh tahun ketika bertemu dengan Jihan. Istrinya itu menjadi model salah satu unit usahanya.Dia yang jatuh cinta pada pandangan pertama, semakin tertarik saat mengenal wanita itu lebih dalam. Kegigihannya bekerja untuk membantu meringankan ekonomi keluarga menjadi nilai tambah di mata Aditya. Cantik, sarjana
“Apa kamu benar-benar hamil?” Aditya mencengkram tangan Ralin yang berusaha menyusup menyingkap baju kaos yang dipakainya.“Kenapa? Aman kok, Mas, berhubungan.” Ralin mengedipkan mata. “Kangen.” Suara Ralin terdengar sedikit mendesah saat merapatkan badan.“Cukup, Ralin!” Aditya menyentak badan Ralin hingga wanita berkulit putih itu terhuyung saat pelukannya dilepaskan secara paksa. Aditya menyugar rambutnya. Setelah menarik napas panjang untuk mengendalikan emosi dan keinginan sebagai lelaki yang mendadak memuncak, Aditya menoleh pada Ralin yang sudah duduk kembali di sofa sambil memperhatikannya.“Berapa bulan?”Wanita berambut panjang dengan bagian bawah sedikit bergelombang itu hanya tersenyum lebar. Dia senang melihat Aditya tertekan dan kacau. Baru kali ini dia melihat pengusaha sukses itu sangat panik dan sulit mengendalikan diri. Biasanya, Aditya selalu tampil mempesona dengan sikap dewasanya yang sedikit cuek.“Kamu tidak hamil.”
“Saya salah. Saya br*ngsek. Baj*ngan. Bangs*at. Semua. Saya pendosa dan pezina. Saya akui itu. Tolong, tolong beri saya kesempatan untuk memperbaiki diri. Demi anak-anak. Demi Damar dan Rayna. Please.”Jihan memejamkan mata saat lengkingan suara Rayna terdengar. Dua anaknya itu seperti tidak pernah lelah bercanda. Awalnya main-main, lama-lama jadi saling adu pitting.“Baru sekarang Mas ingat mereka.” Jihan menghapus air mata yang mengalir begitu saja tidak dapat dicegah. “Apa saat sedang berada dalam pelukan para wanita yang Mas rengkuh Mas ingat anak kita? Saat kalian berada di puncak kenikmatan bersimbah peluh ada bayangan wajah Rayna dan Damar melintas di pikiran Mas?”“Maaf … maaf ….” Aditya memegang tangan Jihan erat.“Selama ini aku bertahan demi anak-anak dan keluarga kita, Mas. Sekarang sudah berakhir ….”“Saya akan selesaikan semua, Jihan. Saya akan bereskan kekacauan yang disebabkan oleh Ralin. Saya janji.”Jihan mengge
“Bulan depan kita ke puncak saja mungkin ya? Sudah lama kita tidak menginap di villa. Rasa-rasanya terakhir kesana setengah tahunan yang lalu ‘kan?” Aditya melirik Jihan dari kaca spion dalam. “Boleh.”Aditya menautkan alis mendengar jawaban singkat Jihan. Sejak tadi, istrinya itu memang lebih banyak diam. Biasanya, Jihan yang akan meramaikan suasana. Dia bercerita apa saja sepanjang perjalanan.Dua anak mereka sudah tertidur sejak sepuluh menit mobil berjalan meninggalkan pantai. Mereka kelelahan setelah seharian bermain. Seperti biasa, selama perjalanan pulang kayak beradik itu akan tertidur sampai rumah.“Besok ada pemotretan dimana?” Aditya kembali melirik pada Jihan yang entah sedang sibuk memperhatikan apa di luar sana. Sepi. Perjalanan kali ini terasa hampa tanpa celoteh riang wanita itu.Biasanya, Jihan akan mengajaknya berbicara walau sering tidak Aditya tanggapi. Wanita itu menceritakan kegiatannya sebulan ke belakang. Kabar ke
Dulu, tidak sedikit yang mendekatinya saat belum menikah dengan Aditya. Mulai dari rekan seprofesi, pengusaha, pejabat, bahkan ada juga konglomerat yang memintanya menjadi istri kedua dengan iming-iming materi yang tidak sedikit.Namun, hanya Aditya yang mampu meraih hatinya. Hanya pemilik usaha air minum kemasan yang mata airnya sekalian menyatu dengan tempat wisata konsep alam itulah yang bisa meyakinkannya untuk mantap berumah tangga.“Bapak atau Ibu ada telepon?” Nia kembali memecah keheningan setelah mereka terdiam cukup lama.“Belum.” Jihan menjawab singkat. Dia melambaikan tangan pada Rayna yang mengacungkan kelapa muda padanya. Jihan mengangkat kelapa miliknya, menunjukkan pada Rayna kalau dia juga sudah punya.Jihan memalingkan wajah saat Aditya menoleh padanya. Ah … lelaki itu terlihat sangat menawan saat topless seperti itu. Perutnya yang sixpack dengan dada bidang membuat penampilan lelaki berusia empat puluh satu tahun itu sangat menggoda.Aditya Buana, pengusaha sukses
“Damar! Damar! Aduh! HAHAHA … Damar, awas kamu ya!” Rayna berteriak-teriak di antara tawanya. Anak wanita berkulit putih yang rambutnya dikepang dua itu terpingkal-pingkal. Bajunya basah dan kotor terkena pasir. Sejak tadi, dia dan Damar saling dorong saat ombak datang.“Dih! Kak Rayna curang!” Damar menatap kesal pada kakaknya yang kembali tertawa-tawa. Rayna bahkan sampai meringkuk di pasir setelah menghancurkan istana pasir buatan Damar. “Kita berdamai saja! Tadi kamu duluan yang menarik-narik bajuku sampai terjatuh dan basah begini ‘kan?” Rayna nyengir sambil mendekati Damar yang sedang menatap istana pasirnya yang sudah tidak berbentuk lagi. Dia mengibas-ngibaskan baju agar pasir yang menempel berjatuhan.“Ish! Kak Rayna!”Rayna kembali tertawa kencang melihat wajah Damar yang cemberut karena terkena pasir dari bajunya. Mereka memang senang sekali bertengkar. Bahkan hal-hal remeh pun bisa menjadi perdebatan panjang.Di sini, Jihan tersenyum lebar melihat kedua anaknya yang asik
“Bersiap-siaplah, Mas, anak-anak sudah menunggu.” Jihan melepaskan pelukan saat suara riang Rayna dan Damar terdengar di luar sana. Dia bergegas menuju meja rias dan memoles sedikit make up agar wajahnya yang habis menangis tidak kentara.Seperti biasa, setiap akhir pekan di minggu ketiga mereka akan jalan-jalan. Kemana saja. Menikmati waktu bersama sambil membawa perbekalan sendiri. Bulan kemarin mereka berkemah di kaki bukit perbatasan kota. Dua bulan sebelumnya mereka menghabiskan waktu seharian dengan bermain di waterboom pusat kota. Hari ini, tujuan mereka adalah pantai. Asin angin laut dan debur ombak sepertinya cocok untuk menghabiskan waktu bersama keluarga.“Aku di depan!” Rayna langsung membuka pintu mobil dan bergegas menguncinya.“Rayna, jangan lari-lari! Nanti jatuh.” Jihan melotot pada Rayna yang sudah duduk di kursi depan mobil.“Kak Rayna curang! Bulan kemarin Kakak sudah di depan. Hari ini giliran Damar yang duduk sebelahan sama Papa. Buka!” Damar memukul-mukul kaca m
“Kamu serius mau mengajukan gugatan?”Jihan yang sedang merapikan kotak bekal menatap Aditya yang berdiri di pintu dapur. Lelaki itu menarik napas panjang dan menarik kursi. Dia duduk diam memperhatikan tangan istrinya yang cekatan menyiapkan perbekalan.“Buahnya mau langsung di iris semua, Bu?” Rumi, wanita setengah baya yang sudah bekerja di rumah mereka sejak Damar lahir mendekat sambil membawa buah-buahan yang sudah dicuci.“Melon dan pepaya dipotong kotak kecil-kecil, Bi, biar gampang nanti dimakan pakai garpu. Mangga sama apel bawa masing-masing tiga saja. Langsung taruh di rantang saja, nanti biar saya kupas sendiri. Terima kasih ya, Bi.” Jihan memberikan arahan sambil tangannya sibuk memasukkan ayam masak rica-rica, sambal, rebusan labu siam, buncis dan bayam.“Tolong ambil kerupuk udang itu, Mas.” Jihan menunjuk toples besar di samping Aditya. “Terima kasih.” Jihan tersenyum tipis. Wanita yang memiliki alis tebal itu langsung sibuk menata perbekalan dalam satu keranjang.“Kam
Satu jam lebih dua puluh menit, pemotretan akhirnya selesai. Jihan langsung menuju ruangan untuk beristirahat yang sudah disediakan. Sebagai model senior yang sudah punya nama, dia memang diistimewakan.Ah … tidak mudah untuk sampai di tahap ini. Dulu, masa-masa masih merintis, ruangan tempat dia istirahat itu bisa ditempati sampai belasan model. Mereka berjubel menunggu giliran. Sesak. Lapar. Lelah. Semua rasa berbaur menjadi satu.Makan tisu yang dicelupkan pada air lemon sudah menjadi konsumsi sehari-hari untuk mengganjal perut saat sedang ada event. Semua dilakukan oleh para talent agar tetap langsing dan memenuhi kriteria yang dibutuhkan oleh penyelenggara acara.Dimarahi, dicaci, semua sudah dia lewati. Jihan kenyang oleh makian saat namanya belum diperhitungkan. Sungguh, gemerlap dunia model yang selalu tampil cantik dan penuh kemewahan tak seindah yang selalu diperlihatkan.“Foto-foto kemesraan Ralin dan Aditya menggemparkan media hari ini. Di salah satu foto dengan latar Mena