“Bulan depan kita ke puncak saja mungkin ya? Sudah lama kita tidak menginap di villa. Rasa-rasanya terakhir kesana setengah tahunan yang lalu ‘kan?” Aditya melirik Jihan dari kaca spion dalam. “Boleh.”Aditya menautkan alis mendengar jawaban singkat Jihan. Sejak tadi, istrinya itu memang lebih banyak diam. Biasanya, Jihan yang akan meramaikan suasana. Dia bercerita apa saja sepanjang perjalanan.Dua anak mereka sudah tertidur sejak sepuluh menit mobil berjalan meninggalkan pantai. Mereka kelelahan setelah seharian bermain. Seperti biasa, selama perjalanan pulang kayak beradik itu akan tertidur sampai rumah.“Besok ada pemotretan dimana?” Aditya kembali melirik pada Jihan yang entah sedang sibuk memperhatikan apa di luar sana. Sepi. Perjalanan kali ini terasa hampa tanpa celoteh riang wanita itu.Biasanya, Jihan akan mengajaknya berbicara walau sering tidak Aditya tanggapi. Wanita itu menceritakan kegiatannya sebulan ke belakang. Kabar ke
“Saya salah. Saya br*ngsek. Baj*ngan. Bangs*at. Semua. Saya pendosa dan pezina. Saya akui itu. Tolong, tolong beri saya kesempatan untuk memperbaiki diri. Demi anak-anak. Demi Damar dan Rayna. Please.”Jihan memejamkan mata saat lengkingan suara Rayna terdengar. Dua anaknya itu seperti tidak pernah lelah bercanda. Awalnya main-main, lama-lama jadi saling adu pitting.“Baru sekarang Mas ingat mereka.” Jihan menghapus air mata yang mengalir begitu saja tidak dapat dicegah. “Apa saat sedang berada dalam pelukan para wanita yang Mas rengkuh Mas ingat anak kita? Saat kalian berada di puncak kenikmatan bersimbah peluh ada bayangan wajah Rayna dan Damar melintas di pikiran Mas?”“Maaf … maaf ….” Aditya memegang tangan Jihan erat.“Selama ini aku bertahan demi anak-anak dan keluarga kita, Mas. Sekarang sudah berakhir ….”“Saya akan selesaikan semua, Jihan. Saya akan bereskan kekacauan yang disebabkan oleh Ralin. Saya janji.”Jihan mengge
“Apa kamu benar-benar hamil?” Aditya mencengkram tangan Ralin yang berusaha menyusup menyingkap baju kaos yang dipakainya.“Kenapa? Aman kok, Mas, berhubungan.” Ralin mengedipkan mata. “Kangen.” Suara Ralin terdengar sedikit mendesah saat merapatkan badan.“Cukup, Ralin!” Aditya menyentak badan Ralin hingga wanita berkulit putih itu terhuyung saat pelukannya dilepaskan secara paksa. Aditya menyugar rambutnya. Setelah menarik napas panjang untuk mengendalikan emosi dan keinginan sebagai lelaki yang mendadak memuncak, Aditya menoleh pada Ralin yang sudah duduk kembali di sofa sambil memperhatikannya.“Berapa bulan?”Wanita berambut panjang dengan bagian bawah sedikit bergelombang itu hanya tersenyum lebar. Dia senang melihat Aditya tertekan dan kacau. Baru kali ini dia melihat pengusaha sukses itu sangat panik dan sulit mengendalikan diri. Biasanya, Aditya selalu tampil mempesona dengan sikap dewasanya yang sedikit cuek.“Kamu tidak hamil.”
"Kemana, Pak?""Langsung pulang saja." Aditya langsung menyandarkan tubuh saat mobil yang dikendarai oleh Pardi meluncur di jalanan kota. Hampir jam sembilan malam, itu artinya kurang sepuluh menit dari dua jam dia berbicara dengan Ralin.“Jihan Qirani.” Aditya mendesiskan nama itu. Matanya menatap keluar. Lampu kendaraan di jalan membuat indah suasana malam. Kota ini masih ramai seperti biasa. Semakin malam, kehidupan tengah kota malah seperti baru dibangunkan. Pusat-pusat hiburan seperti cahaya lampu yang dikerubungi oleh laron.Wanita itu, perempuan luar biasa yang bisa membuatnya berhenti menjadi petualang cinta. Umurnya sudah lewat tiga puluh tahun ketika bertemu dengan Jihan. Istrinya itu menjadi model salah satu unit usahanya.Dia yang jatuh cinta pada pandangan pertama, semakin tertarik saat mengenal wanita itu lebih dalam. Kegigihannya bekerja untuk membantu meringankan ekonomi keluarga menjadi nilai tambah di mata Aditya. Cantik, sarjana
"Halo, Mbak Jihan, perkenalkan, aku Ralin, kekasih suamimu."Mendadak ruangan yang diperuntukkan bagi talent berdandan itu hening. Tempat yang tadinya ramai oleh canda dan tawa menjadi senyap seketika. Ruangan itu sempurna tanpa suara. Hanya terdengar pendingin ruangan yang berdesing pelan menandakan benda itu bekerja secara maksimal.Hampir secara bersamaan, semua orang yang ada di ruangan itu menoleh pada gadis muda yang berdiri santai di samping meja rias Jihan. Wanita itu tersenyum lebar dan mengulurkan tangan pada Jihan yang masih terpaku menatapnya dengan wajah kebingungan. Ketukan di pintu membuat kesibukan yang sempat terhenti menggeliat kembali. “Jihan, siap-siap yuk. Giliran kamu perform lima menit lagi.”“Oke, Mas Galang.” Jihan mengangkat jempol sambil mengedipkan mata pada crew stasiun televisi swasta itu. “Sudah, Kak?” Jihan menoleh pada Sisi, MUA yang sejak tadi memoles wajahnya dengan riasan dan memastikan pakaian yang dia kenakan menempel dengan sempurna di tubuh lan
“Nanti ya, Kak? Aku persiapan tampil dulu. Sebentar lagi giliranku.” Ralin tersenyum lebar pada beberapa wartawan yang sejak tadi terus mengikutinya kemanapun. Gadis itu berjalan cepat meninggalkan awak media yang terus menanyakan tentang ucapannya pada Jihan tadi.Saat akan naik ke panggung, Ralin melihat Jihan sedang melakukan konferensi pers. Kembalinya Jihan ke dunia modeling yang sepuluh tahun ini ditinggalkannya memang menarik atensi publik cukup tinggi. Di sampingnya, lelaki bertubuh atletis dengan tinggi seratus delapan puluh sentimeter duduk mendampingi sambil sesekali bercanda dengan dua mereka.Ralin menarik napas panjang. Dia urung melanjutkan langkah saat Aditya menoleh. Hatinya bergemuruh ketika tatapan mereka bertemu. Walau jarak mereka cukup jauh, Ralin dapat merasakan sorot mata lelaki itu menatapnya tajam. Sekejap, pria berusia empat puluh satu tahun itu langsung mengalihkan pandangan lagi.Ralin tersenyum tipis. Dia menarik napas panjang untuk mengendalikan getar-ge
“Apa salah satu alasan Jihan kembali ke dunia modeling adalah karena merasa kalah saing dengan Ralin?”“Ralin?” Aditya menautkan alis dan secara refleks mengulangi nama yang disebutkan oleh awak media barusan. Dia menoleh cepat pada Jihan yang juga sedang menatap dirinya dengan sorot mata yang sulit diartikan.“Apa Anda mengenal Ralin?” Sontak para awak media langsung fokus pada Aditya. Lelaki itu menarik napas panjang. Rahangnya terkatup rapat, dia tidak menyangka pertanyaan itu akan muncul malam ini.“Saya merasa inilah saatnya saya kembali ke dunia yang sudah membesarkan nama saya.” Jihan menjawab tenang saat keadaan mulai tidak terkendali. “Kedua anak saya sudah mandiri. Rayna sepuluh tahun dan adiknya, Damar, sebentar lagi genap berusia tujuh tahun.” Jihan tersenyum lebar. Tangannya bergerak menggandeng tangan Aditya.“Saya merindukan masa-masa saat menjadi model. Masa-masa penuh perjuangan dulu sebelum saya dipersunting oleh lelaki tampan di samping saya ini.” Jihan dan Aditya b
“Ya, aku mundur.”Aditya menegakkan badan. Tubuhnya terasa kaku seketika. Dia menatap Jihan tidak percaya. Suara lembut istrinya barusan terasa menghantam dadanya.“Aku menyerah di usia sebelas tahun pernikahan kita.” Jihan menekan dada. Bibirnya tertarik membentuk segaris senyuman tipis. Ucapan suaminya barusan kembali terngiang di telinga. “Saya begini dari dulu. Kamu juga tahu itu. Kalau kamu tidak terima, silahkan mundur!” Ah … ringan benar kalimat itu keluar dari bibir Aditya. Seolah dia tak ada harganya sebagai seorang istri dari dua anaknya.“Apa maksudmu?” Napas Aditya memburu. Lelaki itu menajamkan pandangan melihat Jihan justru tersenyum diantara tangis. Dia tersengal saat Jihan mengangkat kepala. Mereka bertemu pandang. Tatapan itu, mata cemerlang Jihan menampakkan luka yang teramat sangat.Aditya memalingkan wajah. Dia tidak sanggup melihat wajah Jihan yang basah. Selama mereka menikah, baru kali ini dia melihat istrinya itu meneteskan air mata.“Seperti yang Mas ucapkan
"Kemana, Pak?""Langsung pulang saja." Aditya langsung menyandarkan tubuh saat mobil yang dikendarai oleh Pardi meluncur di jalanan kota. Hampir jam sembilan malam, itu artinya kurang sepuluh menit dari dua jam dia berbicara dengan Ralin.“Jihan Qirani.” Aditya mendesiskan nama itu. Matanya menatap keluar. Lampu kendaraan di jalan membuat indah suasana malam. Kota ini masih ramai seperti biasa. Semakin malam, kehidupan tengah kota malah seperti baru dibangunkan. Pusat-pusat hiburan seperti cahaya lampu yang dikerubungi oleh laron.Wanita itu, perempuan luar biasa yang bisa membuatnya berhenti menjadi petualang cinta. Umurnya sudah lewat tiga puluh tahun ketika bertemu dengan Jihan. Istrinya itu menjadi model salah satu unit usahanya.Dia yang jatuh cinta pada pandangan pertama, semakin tertarik saat mengenal wanita itu lebih dalam. Kegigihannya bekerja untuk membantu meringankan ekonomi keluarga menjadi nilai tambah di mata Aditya. Cantik, sarjana
“Apa kamu benar-benar hamil?” Aditya mencengkram tangan Ralin yang berusaha menyusup menyingkap baju kaos yang dipakainya.“Kenapa? Aman kok, Mas, berhubungan.” Ralin mengedipkan mata. “Kangen.” Suara Ralin terdengar sedikit mendesah saat merapatkan badan.“Cukup, Ralin!” Aditya menyentak badan Ralin hingga wanita berkulit putih itu terhuyung saat pelukannya dilepaskan secara paksa. Aditya menyugar rambutnya. Setelah menarik napas panjang untuk mengendalikan emosi dan keinginan sebagai lelaki yang mendadak memuncak, Aditya menoleh pada Ralin yang sudah duduk kembali di sofa sambil memperhatikannya.“Berapa bulan?”Wanita berambut panjang dengan bagian bawah sedikit bergelombang itu hanya tersenyum lebar. Dia senang melihat Aditya tertekan dan kacau. Baru kali ini dia melihat pengusaha sukses itu sangat panik dan sulit mengendalikan diri. Biasanya, Aditya selalu tampil mempesona dengan sikap dewasanya yang sedikit cuek.“Kamu tidak hamil.”
“Saya salah. Saya br*ngsek. Baj*ngan. Bangs*at. Semua. Saya pendosa dan pezina. Saya akui itu. Tolong, tolong beri saya kesempatan untuk memperbaiki diri. Demi anak-anak. Demi Damar dan Rayna. Please.”Jihan memejamkan mata saat lengkingan suara Rayna terdengar. Dua anaknya itu seperti tidak pernah lelah bercanda. Awalnya main-main, lama-lama jadi saling adu pitting.“Baru sekarang Mas ingat mereka.” Jihan menghapus air mata yang mengalir begitu saja tidak dapat dicegah. “Apa saat sedang berada dalam pelukan para wanita yang Mas rengkuh Mas ingat anak kita? Saat kalian berada di puncak kenikmatan bersimbah peluh ada bayangan wajah Rayna dan Damar melintas di pikiran Mas?”“Maaf … maaf ….” Aditya memegang tangan Jihan erat.“Selama ini aku bertahan demi anak-anak dan keluarga kita, Mas. Sekarang sudah berakhir ….”“Saya akan selesaikan semua, Jihan. Saya akan bereskan kekacauan yang disebabkan oleh Ralin. Saya janji.”Jihan mengge
“Bulan depan kita ke puncak saja mungkin ya? Sudah lama kita tidak menginap di villa. Rasa-rasanya terakhir kesana setengah tahunan yang lalu ‘kan?” Aditya melirik Jihan dari kaca spion dalam. “Boleh.”Aditya menautkan alis mendengar jawaban singkat Jihan. Sejak tadi, istrinya itu memang lebih banyak diam. Biasanya, Jihan yang akan meramaikan suasana. Dia bercerita apa saja sepanjang perjalanan.Dua anak mereka sudah tertidur sejak sepuluh menit mobil berjalan meninggalkan pantai. Mereka kelelahan setelah seharian bermain. Seperti biasa, selama perjalanan pulang kayak beradik itu akan tertidur sampai rumah.“Besok ada pemotretan dimana?” Aditya kembali melirik pada Jihan yang entah sedang sibuk memperhatikan apa di luar sana. Sepi. Perjalanan kali ini terasa hampa tanpa celoteh riang wanita itu.Biasanya, Jihan akan mengajaknya berbicara walau sering tidak Aditya tanggapi. Wanita itu menceritakan kegiatannya sebulan ke belakang. Kabar ke
Dulu, tidak sedikit yang mendekatinya saat belum menikah dengan Aditya. Mulai dari rekan seprofesi, pengusaha, pejabat, bahkan ada juga konglomerat yang memintanya menjadi istri kedua dengan iming-iming materi yang tidak sedikit.Namun, hanya Aditya yang mampu meraih hatinya. Hanya pemilik usaha air minum kemasan yang mata airnya sekalian menyatu dengan tempat wisata konsep alam itulah yang bisa meyakinkannya untuk mantap berumah tangga.“Bapak atau Ibu ada telepon?” Nia kembali memecah keheningan setelah mereka terdiam cukup lama.“Belum.” Jihan menjawab singkat. Dia melambaikan tangan pada Rayna yang mengacungkan kelapa muda padanya. Jihan mengangkat kelapa miliknya, menunjukkan pada Rayna kalau dia juga sudah punya.Jihan memalingkan wajah saat Aditya menoleh padanya. Ah … lelaki itu terlihat sangat menawan saat topless seperti itu. Perutnya yang sixpack dengan dada bidang membuat penampilan lelaki berusia empat puluh satu tahun itu sangat menggoda.Aditya Buana, pengusaha sukses
“Damar! Damar! Aduh! HAHAHA … Damar, awas kamu ya!” Rayna berteriak-teriak di antara tawanya. Anak wanita berkulit putih yang rambutnya dikepang dua itu terpingkal-pingkal. Bajunya basah dan kotor terkena pasir. Sejak tadi, dia dan Damar saling dorong saat ombak datang.“Dih! Kak Rayna curang!” Damar menatap kesal pada kakaknya yang kembali tertawa-tawa. Rayna bahkan sampai meringkuk di pasir setelah menghancurkan istana pasir buatan Damar. “Kita berdamai saja! Tadi kamu duluan yang menarik-narik bajuku sampai terjatuh dan basah begini ‘kan?” Rayna nyengir sambil mendekati Damar yang sedang menatap istana pasirnya yang sudah tidak berbentuk lagi. Dia mengibas-ngibaskan baju agar pasir yang menempel berjatuhan.“Ish! Kak Rayna!”Rayna kembali tertawa kencang melihat wajah Damar yang cemberut karena terkena pasir dari bajunya. Mereka memang senang sekali bertengkar. Bahkan hal-hal remeh pun bisa menjadi perdebatan panjang.Di sini, Jihan tersenyum lebar melihat kedua anaknya yang asik
“Bersiap-siaplah, Mas, anak-anak sudah menunggu.” Jihan melepaskan pelukan saat suara riang Rayna dan Damar terdengar di luar sana. Dia bergegas menuju meja rias dan memoles sedikit make up agar wajahnya yang habis menangis tidak kentara.Seperti biasa, setiap akhir pekan di minggu ketiga mereka akan jalan-jalan. Kemana saja. Menikmati waktu bersama sambil membawa perbekalan sendiri. Bulan kemarin mereka berkemah di kaki bukit perbatasan kota. Dua bulan sebelumnya mereka menghabiskan waktu seharian dengan bermain di waterboom pusat kota. Hari ini, tujuan mereka adalah pantai. Asin angin laut dan debur ombak sepertinya cocok untuk menghabiskan waktu bersama keluarga.“Aku di depan!” Rayna langsung membuka pintu mobil dan bergegas menguncinya.“Rayna, jangan lari-lari! Nanti jatuh.” Jihan melotot pada Rayna yang sudah duduk di kursi depan mobil.“Kak Rayna curang! Bulan kemarin Kakak sudah di depan. Hari ini giliran Damar yang duduk sebelahan sama Papa. Buka!” Damar memukul-mukul kaca m
“Kamu serius mau mengajukan gugatan?”Jihan yang sedang merapikan kotak bekal menatap Aditya yang berdiri di pintu dapur. Lelaki itu menarik napas panjang dan menarik kursi. Dia duduk diam memperhatikan tangan istrinya yang cekatan menyiapkan perbekalan.“Buahnya mau langsung di iris semua, Bu?” Rumi, wanita setengah baya yang sudah bekerja di rumah mereka sejak Damar lahir mendekat sambil membawa buah-buahan yang sudah dicuci.“Melon dan pepaya dipotong kotak kecil-kecil, Bi, biar gampang nanti dimakan pakai garpu. Mangga sama apel bawa masing-masing tiga saja. Langsung taruh di rantang saja, nanti biar saya kupas sendiri. Terima kasih ya, Bi.” Jihan memberikan arahan sambil tangannya sibuk memasukkan ayam masak rica-rica, sambal, rebusan labu siam, buncis dan bayam.“Tolong ambil kerupuk udang itu, Mas.” Jihan menunjuk toples besar di samping Aditya. “Terima kasih.” Jihan tersenyum tipis. Wanita yang memiliki alis tebal itu langsung sibuk menata perbekalan dalam satu keranjang.“Kam
Satu jam lebih dua puluh menit, pemotretan akhirnya selesai. Jihan langsung menuju ruangan untuk beristirahat yang sudah disediakan. Sebagai model senior yang sudah punya nama, dia memang diistimewakan.Ah … tidak mudah untuk sampai di tahap ini. Dulu, masa-masa masih merintis, ruangan tempat dia istirahat itu bisa ditempati sampai belasan model. Mereka berjubel menunggu giliran. Sesak. Lapar. Lelah. Semua rasa berbaur menjadi satu.Makan tisu yang dicelupkan pada air lemon sudah menjadi konsumsi sehari-hari untuk mengganjal perut saat sedang ada event. Semua dilakukan oleh para talent agar tetap langsing dan memenuhi kriteria yang dibutuhkan oleh penyelenggara acara.Dimarahi, dicaci, semua sudah dia lewati. Jihan kenyang oleh makian saat namanya belum diperhitungkan. Sungguh, gemerlap dunia model yang selalu tampil cantik dan penuh kemewahan tak seindah yang selalu diperlihatkan.“Foto-foto kemesraan Ralin dan Aditya menggemparkan media hari ini. Di salah satu foto dengan latar Mena