"Tak baik membatalkan lamaran, sementara tanggal pernikahan sudah di ujung mata. Terlebih kamu pihak perempuan. Perempuan selalu menjadi pihak yang tak diuntungkan. Ibu takut kena karma."
"Tapi, Ibu, Mas Bayyu sendiri yang mengakui dirinya mendua. Bahkan, ia tidak bisa, meski hanya sekedar berjanji, untuk meninggalkan perempuan itu, Bu. Apa Airin kuat, Bu, hidup dengan lelaki yang hatinya telah terisi nama lain. Bahkan Airin belum memulai biduk rumah tangga. Bukankah Airin masih bisa menentukan jalan?" Perempuan bermata sendu itu tak mampu menahan air matanya untuk tidak menggenangi mata. Sementara itu, wanita paruh baya yang telah melahirkannya itu hanya mampu menenangkan putri semata wayangnya dengan pelukan."Ibu paham betul bagaimana perasaanmu, Nduk. Bahkan, hampir semua wanita pernah merasakan bagaimana sakit hati, kecewa, dan putus asa dikhianati pasangan. Tapi anak Ibu adalah wanita yang kuat. Pasti bisa melewati ujian ini. Anggaplah ini adalah ujian pra pernikahan yang hanya menguji kesetiaan dan keyakinanmu terhadap pilihanmu.Jika kamu mampu melewati ini, niscaya ujian-ujian yang lebih berat setelah pernikahan nanti pasti akan bisa kamu lewati. Sabar, ya, Nduk," tangan senja Ibu mengelus punggung Airin dengan pelan, berusaha menyalurkan kekuatan kepada putrinya tersebut.Airin pamit ke kamar. Meminta waktu sendiri untuk menata hati dan mengurai pikirannya yang kusut.***[Len...]Bip-bip. Sebuah notifikasi pesan dari aplikasi perpesanan hijau. Wanita itu tersenyum tipis membaca nama pengirim yang tertera di layar ponselnya. Uttara Bayyu.[Ya? Ada apa?][Aku sudah berterus terang pada Airin. Tentang hubungan kita.] Glek. Kerongkongan Selena mendadak tercekat. Ia tak menyangka lelaki itu akan bertindak seberani itu.[Kamu sudah gila?] Tidak ada kalimat lain yang bisa ia ucapkan saat itu, selain menganggap kejujuran itu sebagai suatu yang tak waras, yang tentu akan menjadi petaka bagi hubungan Bayyu dengan calon istrinya. Juga petaka bagi dirinya sendiri. Ia yang telah menjadi duri dalam hubungan itu.[Kau yang sudah membuatku tergila-gila. Tapi aku akan tetap menikahinya. Juga mencintaimu.] Perempuan 25 tahun ini terdiam. Tak lagi membalas pesan itu. Meski ia sakit harus merelakan lelaki yang teramat dicintainya harus menikah dengan orang lain, tapi ia juga tersentuh dengan kalimat terakhir itu.Perempuan itu gusar. Ia tak tahu harus berdiri di mana. Haruskah ia menjadi perempuan baik-baik yang harus pergi dan tak lagi mengusik hubungan orang, ataukah tetap memperjuangkan cinta lelaki yang telah mampu mengusir trauma masa kecilnya? Toh, janur kuning belum sepenuhnya melengkung, bukan?'Aku takkan mundur. Terkadang, Tuhan memang mempertemukan cinta yang tepat dengan jalan dan situasi yang salah. Kalau aku harus menempuh jalan yang salah saat ini, sepertinya aku tak masalah,' ujarnya seraya bercermin, menguatkan dirinya sendiri. Sebuah senyum misterius terpantul di cermin riasnya. Sungguh hanya ia dan Tuhan yang tahu maksud tersembunyi di balik senyum itu.***Pagi itu kantor masih tampak sepi. Masih jam tujuh lebih seperempat. Aktivitas baru dimulai pukul delapan. Tapi hari itu tampak lain. Uttara Bayyu telah menduduki singgasana kerjanya. Selama delapan tahun ia bekerja di kantor keuangan tersebut, baru hari itu ia berangkat sangat awal. Bahkan kantor masih sepi, hanya ada beberapa OB yang sedang menjalankan tugasnya.Bayyu tampak bersemangat. Kemeja abu-abu yang dikenakannya terlihat sangat kontras dengan rona wajahnya yang cerah ceria. Hatinya sudah tak sabar menantikan seseorang.Pucuk dicinta ulam tiba. Seseorang yang dinanti-nanti muncul di hadapannya. Lengkap dengan pemandangan yang sangat menyegarkan bagi mata lelaki. Setelan blazer hitam dan inner putih, dipadupadankan dengan celana panjang berwarna hitam senada yang sempurna menampakkan kaki jenjangnya. Rambut kecoklatan tergerai manja di bawah bahu, sesekali menutupi wajahnya yang selicin porselen. Sungguh kecantikan yang paripurna."Wah, kamu bawa apa ini?" Sapa Bayu riang ketika menerima sekotak bekal sarapan yang dibawa Selena."Tadi aku bangun kepagian. Terus pengen masak aja dan aku ingat kalau nasi uduk itu kesukaan kamu," ujar perempuan yang akrab disapa Lena membuat alasan. Sebenarnya memang ia telah membuat sarapan itu secara khusus untuk Bayyu. Bahkan, ia sampai bertanya-tanya pada OB yang biasa melayani Bayyu menu yang disukai atasannya itu. Semua itu ia lakukan karena hatinya sedang berbunga. Seperti mendapat kekuatan baru untuk memperjuangkan sesuatu dalam hidupnya. Bayyu tampak sumringah. Ia buka kotak makan itu hendak menyantapnya segera. "Kamu temani aku makan, ya?" Pinta Bayyu dengan tatapan penuh harap. Sementara itu, perempuan berparas Indo dan hidung bangir yang sedang ditatap pun tak kuasa menolak ketika tangan lembut Bayyu menyetuh punggung tangannya. Ia hanya bisa menjawabnya dengan anggukan, sementara degup jantungnya berlompatan.Drrt..drtt.. Ponsel Bayyu bergetar. Sebuah pesan singkat menuju smartphone miliknya. Dari Airin. Ia abaikan pesan calon istrinya itu dan lanjut menyantap sarapannya. Matanya tak lepas memandang shepia-nya yang duduk manis di hadapannya."Kalau kurang, di rumah masih ada sisa," goda Selena yang melihat makanan di kotak bekal miliknya telah tandas."Masak aku dikasih sisa," protes Bayyu seolah memang benar-benar tak terima."Kalau begitu biar aku masakkan lagi nanti di rumah. Spesial untukmu," tawar perempuan itu dengan senyum misterius yang kali ini langsung ditangkap Bayyu sebagai pertanda lampu hijau."Besok Sabtu kamu harus menepati janjimu itu," ucap Bayyu dibarengi dengan senyum dan tatapan genit pada staff bawahannya itu. Mereka lantas segera berpisah, Selena kembali ke ruangannya, sebab para pegawai lain mulai berdatangan.Selagi perempuannya pergi, Bayyu ingat akan pesan Airin yang sempat ia abaikan. Ia lantas membuka pesan singkat yang memintanya untuk bertemu sore nanti. Bayyu mengiyakan lewat pesan balasannya.
***
"Aku mau membatalkan rencana pernikahan kita," ucapan Airin terdengar lugas dan tegas. Sore itu mereka bertemu di rumah Airin. Mereka mengobrol di taman kecil yang terletak di samping rumah.
"Aku sudah bilang, aku akan menikahimu. Itu janjiku dulu yang akan kutepati sekarang," Bayyu masih menjawabnya dengan nada datar seperti biasa mereka berkomunikasi.
"Kalau gitu lepaskan perempuan itu!" Tegas perempuan berhijab itu mengultimatum.
"Aku juga sudah bilang, aku tidak bisa."
"Jadi, lebih baik kamu lepaskan aku! Biar aku yang mundur dan cari jalan bahagiaku sendiri," pungkas Airin yang wajahnya mulai terlihat memerah. Matanya panas.
"Itu aku juga tidak mau. Intinya, aku akan tetap menikah denganmu dan mencintai kalian berdua. Itu pilihanku."
Sudah habis kesabaran Airin. Tak sanggup lagi beradu argumen dengan kepala batu di hadapannya itu.
"Baiklah. Kalau gitu biar aku yang membuat perhitungan dengan perempuan jalang itu!" Tangan Airin melepas cincin lamaran pemberian Bayyu dengan kasar dan melemparnya penuh amarah ke tanah. Ia berbalik meninggalkan lelaki itu seorang diri.
Sudah satu minggu Airin mendiamkan Bayyu. Meski lelaki itu tak henti memberinya perhatian—tentu saja dianggapnya semu—namun itu tak cukup mampu membuatnya luluh. Sesungguhnya, perempuan itu tak sungguh-sungguh ingin mengakhiri hubungannya dengan Bayyu. Bagaimanapun, cinta Airin lelaki itu telanjur dalam, bahkan telah melemahkan lobus frontal yang menghuni tempurung kepalanya. Ia tak mampu lagi berpikir jernih. Ia telah terbutakan dengan cinta Uttara Bayyu, lelaki yang hampir tak memiliki cela di matanya. Tentu sebelum seorang Selena Oktora, merisak bahtera asmaranya.“Nduk, ada paket,” suara Ibu terdengar memanggilnya dari balik pintu kamar. Ia membuka daun pintu dengan wajah yang masih terlihat kusut dan menerima paket yang tak diketahui pengirimnya itu. Dahinya mengernyit.“Katanya dari siapa, Bu?”“Mas ojolnya tadi Cuma bilang dari Mas-Mas, gitu,” air muka Ibu terlihat mengingat-ingat perkataan
Lepas kebersamaan mereka malam itu, rasa cinta semakin membuncah di hati Selena. Perasaannya kepada Bayyu sudah menjelma candu. Candu itulah yang membawa langkahnya kian bersemangat memasuki kantor pagi itu. Tak langsung menuju meja kerjanya, ia terlebih dulu menghampiri sebuah ruangan yang belakangan terakhir menjadi tempat favoritnya di kantor. Berharap seseorang yang dinantinya telah bertengger di sana. Tapi, nihil. Rindunya tak mendapatkan tempat pagi itu. Ia terpaksa berbalik menuju ruang kerjanya. Hatinya mendengus kecewa.***“Assalamualaikum,Mas. Sudah sampai mana?”“Walaikumsalam,Ai. Masih di rumah, nih. Bentar lagi berangkat. Tunggu, ya.”“Oke, Mas. Hati-hati di jalan. Jangan ngebut, tapi cepetan, ya,” tutup seorang gadis di ujung telepon dengan tawa khasnya. Lelaki itu mengulas senyum yang hanya bisa ia nikmati seorang diri. Ia baru menyadari jika mereka jarang sekali tertawa bersama belakangan ini.Bayyu mem
Memutuskan menemui perempuan itu sebenarnya telah meruntuhkan harga diriku sendiri. Seolah-olah akulah yang telah menjadi budak asmara Mas Bayyu dan terbutakan olehnya yang dengan sadar telah mengkhianatiku. Tentu saja aku tidak senaif itu.“Rin, di sini ada junior yang sepertinya dekat dengan Bayyu. Tapi kamu jangan berpikir macam-macam dulu, ya, itu masih pradugaku saja. Aku belum ada bukti. Mungkin kamu bisa lebih waspada.” Ucapan Mbak Shinta empat bulan silam itu sebenarnya sudah menjadi alarm untukku. Kebetulan, aku mengenal Mbak Shinta secara tidak sengaja di rumah Bu Hera. Perempuan itu rupanya masih ada garis keponakan dengan dosen pembimbing tesisku itu. Ia tinggal di tempat Bu Hera, lebih tepatnya menempati salah satu kontrakan milik Bu Hera.Aku yang dulu sering berkunjung ke rumah Bu Hera untuk bimbingan, akhirnya mengenal dan menjadi akrab dengan Mbak Shinta. Terlebih setelah tahu ia dulu ternyata teman kuliah Mas Bayyu dan secara kebetulan pul
Tidak mudah mengakhiri kisah saat perasaan cinta sedang ranum-ranumnya. Jika pada akhirnya kisah itu memang selesai, perasaan di dalam dada mungkin justru tidak pernah usai.***Bayyu baru saja menyelesaikan pertemuan dengan mitra bisnisnya dari salah satu perusahaan finansial raksasa nasional. Sebenarnya ia masih ingin berlama-lama mengobrol dengan koleganya jika saja getar ponselnya tidak terus-terusan meneror.Lima panggilan tak terjawab dari Selena. Ia sempat ingin memaki jika saja tak ingat mencintai perempuan itu. Mungkin ada yang sangat penting hingga staff terkasihnya itu sampai menelpon berkali-kali di jam kantor.“Ada apa, Say…” Belum paripurna ia memanggil ‘sayang’, ucapannya sudah terpotong oleh barisan rel kereta makian dan luapan emosi perempuan di seberang telepon.Percuma memotong bicara perempuan yang sedang emosi. Bayyu akhirnya diam dan menunggu suara di telinganya diam.“Sudah selesa
Menggunakan taksi online, Selena menuju The Garden sesuai dengan petunjuk lokasi yang dikirim Bayyu. Perlu waktu sekitar 20 menit untuk menjangkaunya. Manik matanya menikmati suasana malam yang tersaji di balik kaca. Ia tidak tahu untuk alasan apa Bayyu memintanya datang ke tempat itu, yang jelas, amarahnya sendiri pada lelaki itu belum padam. Mungkin, malam itu iapun harus menuntaskan kecamuk di dadanya sendiri. Untuk konsekuensi apapun, ia telah mempersiapkan hatinya dengan baik. Plang nama hotel sudah terbaca. Artinya, ia sudah sampai di tempat tujuan. Entah untuk alasan apa pula, jantungnya mendadak memburu. Bukankah ini bukan kali pertamanya mereka bertemu? Ia menarif nafas panjang. Menetralkan perasaannya sendiri sebelum akhirnya mengambil langkah cantik, memasuki lobi hotel yang menawan. Seorang concierge pria menyambutnya dengan ramah.“Selamat datang di hotel kami, Nona Selena Oktora,” sapa pegawai hotel sembar
Selena berada pada pilihan yang sulit bergelut dengan nurani dan hasratnya sendiri. Nuraninya jelas memintanya segera pulang. Tak patut berduaan bersama lelaki malam-malam, terlebih tanpa adanya ikatan halal. Sementara hasratnya masih berusaha untuk menahannya lama-lama. Ini momen terakhirnya. Bayyu menangkap kebimbangan itu. “Kalau kamu ragu, ayo, aku antar pulang saja,” tangan Bayyu menarik pergelangan tangan Selena hendak mengajaknya meninggalkan lantai 28. Tetapi, baru selangkah Bayyu beranjak, Selena menghentikannya. Ia memutuskan menerima tawaran Bayyu. “Aku sudah kepalang basah memulai ini. Sudah pula telanjur sampai di sini. Rugi dong kalau aku hanya dapat makan malam gratis. Waktuku berharga,” ucap Selena menantang. Bayyu tertawa. Ia menyukai bahwa perempuannya menyambut jala yang ia tebar.
Pagi-pagi sekali, Airin telah bersiap untuk menuju hotel The Garden seperti yang ditunjukkan Glenn Bagas. Ia telah memesan ojek online sebelumnya, tinggal berpamitan pada ibunya dan menunggu di depan rumah.“Bu, Airin pamit keluar dulu, ya?” Airin mengetok pintu kamar ibunya, mendekati beliau yang masih mengenakan mukena dan tasbih di genggaman. Airin meraih punggung tangan ibunya dan menciumnya.“Mau kemana sepagi ini, Nduk?” tanya perempuan paruh baya itu keheranan. Tak langsung menjawab, Airin hanya tersenyum. Tapi, tentu wanita yang melahirkannya itu dapat menangkap kegelisahan di wajah putrinya. Naluri ibu selalu lebih kuat.“Ada apa? Kamu ada masalah lagi sama Bayyu?” Isyarat tangan ibunya menahan Airin untuk duduk di sebelahnya dan mau tidak mau membuat Airin bercerita. Airin sudah terbiasa terbuka untuk masalah apapun kepada ibunya.
Tak seperti yang disangka Bayyu, Airin justru tak pernah meminta penjelasan apapun sepulang dari hotel itu. Bahkan, ketika ia berusaha ingin menjelaskan tentang kejadian malam itu—tentu tidak sepenuhnya akan ia ceritakan, terutama kekhilafan yang ia nikmati bersama Selena—Airin selalu mengalihkan fokus pembicaraan mereka. Bayyu tak ambil pusing sebenarnya. Ia justru harusnya lega. Tapi, kebiasannya yang selalu jujur, membuatnya merasa terbebani perasaan bersalah bertubi-tubi.Ada rasa ganjil memberati hatinya. Perasaan bersalah menyisir hatinya. Ia telah mengkhianati cinta Airin terlalu jauh. Tapi, ia juga tetap tak ingin kehilangan Airin, sosok keibuan, berpengetahuan baik, dan telah terbukti kesetiaannya mendampinginya dari minus. Sejauh ini, Airin tidak pernah mengecewakannya. Justru ialah yang terlampau sering menyakiti dan mengecewakan perempuan itu.Jauh di lubuk hatinya, tak sepenuhnya disadarinya, ia sangat mencintai Airin. Bahkan, tak rela Airin be