Memutuskan menemui perempuan itu sebenarnya telah meruntuhkan harga diriku sendiri. Seolah-olah akulah yang telah menjadi budak asmara Mas Bayyu dan terbutakan olehnya yang dengan sadar telah mengkhianatiku. Tentu saja aku tidak senaif itu.
“Rin, di sini ada junior yang sepertinya dekat dengan Bayyu. Tapi kamu jangan berpikir macam-macam dulu, ya, itu masih pradugaku saja. Aku belum ada bukti. Mungkin kamu bisa lebih waspada.” Ucapan Mbak Shinta empat bulan silam itu sebenarnya sudah menjadi alarm untukku. Kebetulan, aku mengenal Mbak Shinta secara tidak sengaja di rumah Bu Hera. Perempuan itu rupanya masih ada garis keponakan dengan dosen pembimbing tesisku itu. Ia tinggal di tempat Bu Hera, lebih tepatnya menempati salah satu kontrakan milik Bu Hera.
Aku yang dulu sering berkunjung ke rumah Bu Hera untuk bimbingan, akhirnya mengenal dan menjadi akrab dengan Mbak Shinta. Terlebih setelah tahu ia dulu ternyata teman kuliah Mas Bayyu dan secara kebetulan pula sekantor dengan Mas Bayyu. Aku jadi leluasa untuk sekedar bertanya atau mencari informasi tentang kegiatan kekasihku itu ketika di kantor. Tak jarang, Mbak Shintalah yang memberiku informasi duluan. Seperti yang belakangan ini ia lakukan.
[Aku mau menemui perempuan itu, Mbak. Mbak bisa temani aku?] Pesan itu kukirim ke nomor Mbak Shinta tepat setelah aku chat selingkuhan Mas Bayyu. Mengajaknya bertemu. Aku pikir, aku butuh orang ketiga untuk menjadi penetralisir keadaan kalau-kalau aku khilaf atau ingin berbuat yang tidak-tidak setelah melihat perempuan itu.
[Ketemu Selena??] Aku muak dengan nama itu.
[Mbak mau kan temani aku ketemu dia?] Pintaku yang langsung dibalas segera oleh wanita yang digantungkan nasibnya oleh suaminya itu. Tak jelas ia dicerai atau tidak. Suaminya pergi meninggalkannya, setelah empat tahun kebersamaan mereka tak dihadiri tangisan bayi, tanpa kabar, tanpa kembali.
[Maaf, Rin, aku nggak bisa. Aku nggak mau ikut campur terlalu jauh urusan kalian. Lebih-lebih, ini menyangkut Bayyu. Meski di luar ia teman, tapi di kantor ia tetap atasanku. Kamu selesaikan masalah ini sendiri, ya. Aku dukung kamu dari jauh. Sorry, ya.] Aku mengerti posisi Mbak Shinta cukup sulit dan aku hargai itu.
Aku menghela napas panjang. Menata emosiku sendiri. Sebuah pesan yang kukirim untuk perempuan itu sebelumnya rupanya telah berbalas setelah sekian dua puluh menit terlewati.
[Bisakah kita bertemu hari ini? AIRIN.] Kubaca lagi pesan yang kukirim kepada perempuan itu ketika emosi menguasai kepalaku tadi. Sengaja tak kumulai dengan salam. Aku tidak sedang ingin menjalin silaturahmi ataupun mendoakan kebaikan untuknya. Tak lupa juga kutuliskan namaku dengan huruf kapital bercetak tebal. Jika dia peka, dia pasti tahu maksudku dan aku yakin tentu dia sudah tahu siapa aku.
[Dimana?] Hanya sekata itu balasannya. Oh, rupanya dia juga tak ingin beramah tamah denganku, perempuan yang telah ia sakiti dengan sengaja. Baiklah, sepertinya bendera perang telah dikibarkan di seberang sana.
[Kafe Andalas. Sekarang.]
[OK] Oh, lagi-lagi darahku mendidih membaca pesan to the point-nya. Benar-benar sedikitpun tak ada basa-basinya denganku. Tak ada akhlak. Jemariku segera memesan ojek daring melalui aplikasi dan menitik lokasi kafe yang berada tak jauh dari kantor Mas Bayyu itu berada. Sekitar 10 menit jaraknya dari kampusku. Segera kutinggalkan lobi ketika ojol yang kupesan sudah menunjukkan tanda mendekati lokasiku.
***
Perempuan itu tampak gelisah setelah memandangi layar ponsel di balik meja kerjanya.Tak terpikirkan sekalipun olehnya, perempuan yang namanya hanya ia kenal dari mulut Bayyu itu menghubunginya. Memintanya bertemu. Jelas itu membuatnya sedikit gugup. Terlebih Bayyu tak sedang ada di kantor siang itu. Tak ada yang bisa ia mintai pertimbangan. Meski dengan tangan gemetaran, ia tetap menyanggupi permintaan itu. Ia beranjak dari kursi dan meninggalkan pekerjaan yang telah ia rampungkan. Jam makan siang itu akan ia habiskan dengan rival asmaranya.
Selena mengemasi tas kerjanya dan berjalan menuju lobi kantor dengan menghampiri ruangan Bayyu terlebih dahulu. Terlihat hanya ada Mbak Shinta yang sedang merapikan berkas laporan yang ada di meja lelaki itu. Padahal ia sangat berharap lelaki itu ada di sana. Paling tidak ia bisa menuntaskan sedikit rindunya untuk bekalnya menemui Airin.
Ia mengetuk pintu ruang kerja yang menjadi favoritnya itu. Berpamitan pada sekretaris Bayyu.
“Mbak Shin, aku makan siang di luar dulu, ya. Ini laporanku sudah selesai,” ujar perempuan 25 tahun itu kepada senior kerjanya sambil menyerahkan seberkas dokumen yang terbalut map.
“Oke, makasih, Len. Sendirian aja, nih?” Mendapat pertanyaan Mbak Shinta seperti itu, Selena hanya mengulas senyum tipis dan berpamitan meninggalkan kantor.
“Mungkin nanti aku sedikit telat balik kantornya, Mbak,” tutup Lena seraya melangkahkan kaki meninggalkan Mbak Shinta. Perempuan 30 tahun itu menatap punggung juniornya dengan dada yang ikut berloncatan. Ia berharap pertemuan Selena dan Airin akan baik-baik saja. Meskipun ia sendiri tidak yakin dengan itu, tapi ia bisa memastikan jika kedua perempuan itu cukup berkelas untuk tidak saling jambak atau cakar-cakaran di tempat umum. Ia ngeri sendiri membayangkan jika itu benar terjadi dan segera menepis imajinasinya.
***
Airin sudah sampai lebih dulu di kafe Andalas. Lantai satu cukup dipadati pengunjung. Mata elang Airin berkeliling. Tak ada meja yang tak bertuan. Maklum, jam makan siang. Kakinya memutuskan melangkah ke lantai dua. Di sana tak sepadat lantai satu. Airin menemukan meja kosong yang berada di sudut ruangan, dekat jendela. Ia memilih spot itu sebab selain sekitarnya cukup lengang, netranya bisa leluasa menikmati pemandangan di luar jendela. Termasuk mengamati kedatangan perempuan yang sama sekali tak ingin ia sebut namanya.
Segelas signature chocolate telah menemani lima belas menitnya menunggu. Akhirnya, ekor mata Airin menangkap sosok yang ditunggu turun dari taksi online, memasuki pelataran kafe. Perempuan berblazer abu-abu itu berjalan dengan anggun. Bahkan dari lantai dua saja ia masih dapat menangkap aura kepercayaan diri yang begitu kuat dari sosok yang membuatnya geram itu.
Airin cukup berbesar hati untuk mengakui bahwa perempuan yang sangat dibencinya itu memang cantik. Sangat cantik bahkan. Ia tahu Bayyu tak akan mudah meletakkan ketertarikannya pada sembarang wanita. Cukup Airin terkesima dengan sosok Selena dalam hati. Buru-buru ia menarik napas dalam. Menata emosinya. Membenarkan hijab lilac yang sebenarnya masih cukup rapi.
Selena menaiki lantai dua, sesuai instruksi Airin melalui perpesanan hijau. Bunyi langkah sepatunya yang kian dekat cukup membuat jantung Airin terpacu. Baru sekali ini ia mendatangi seseorang yang tidak ingin dia lihat. Ia berharap tetap bisa mengendalikan emosinya sendiri. Ia tak ingin lebih meruntuhkan harga dirinya dengan memaki atau memperlihatkan emosinya. Ia harus tampak lebih berkelas dan elegan. Pikir Airin membesarkan hatinya.
Selena tiba di hadapan Airin dan menyunggingkan senyum dari bibir tipisnya yang terbalut lipstick merah. Ia menganggukkan kecil, lantas duduk setelah Airin membalasnya dengan anggukan kepala juga, pertanda mempersilakannya duduk.“Mau pesan apa?” tawar Airin pada Selena membuka percakapan yang terasa canggung.
“Aku pikir kita tidak sedang berencana untuk makan siang bersama, bukan begitu, Mbak?” tegas Selena mengingatkan Airin untuk segera to the point pada maksudnya. Ia sebetulnya cukup gugup berhadapan dengan kekasih Bayyu, namun ia cukup piawai mengendalikan emosinya, hingga itu tak dapat disadari lawan bicaranya.
“Baiklah, sepertinya kita sepemikiran. Aku juga tidak ingin kita terlihat seperti sepasang teman baik yang duduk bersama. Jadi, sejauh apa hubungannya dengan Mas Bayyu?” tandas Airin. Tatapannya tajam menghunus bola mata kecoklatan yang bermukim di netra Selena. Mendapat pertanyaan demikian, perempuan di hadapan Airin itu masih terlihat tenang, tapi jauh di dalam sana yang tak diketahui Airin, dadanya bergemuruh.
“Tentu belum sejauh hubungan kalian.”
“Maka berhentilah. Jalanmu masih cukup panjang dan kau bisa temukan banyak pria lain yang jauh lebih baik dari Mas Bayyu. Dan single,” tegas Airin.
“Aku tidak akan mengakhiri sesuatu yang tidak kumulai. Mbak perlu tahu, di sini, Mas Bayyulah yang berhak menentukan akhir dari semuanya. Sebab, dia yang menarikku lebih dulu ke lingkar hidup kalian. Bukan aku yang mau,” kilah Selena penuh percaya diri.
“Tentu kau masih bisa memilih, jika kamu mau dan cukup tahu diri,” sengaja Airin memberikan penekanan di tiga kata terakhirnya. Selena membuang muka. Tersenyum kesal. Airin mengeluarkan ponsel dari tasnya. Mengutak-atik sebentar isi galerinya. Menujukkan sebuah potret lensa ke arah Selena. Seorang lelaki kurus dan tampak tak terawat memenuhi layar. Selena mengernyitkan dahi.
“Apakah kau mengenal lelaki di foto ini?” pancing Airin, sementara yang ditanya masih sibuk mengenali sosok berkemeja hitam di samping alphard putih yang semakin membuat keduanya kontradiktif. Selena lamat-lamat dapat menangkap guratan wajah lelaki itu. Tapi ia cukup sangsi untuk mengenalinya sebab penampilan lelaki di foto itu lebih mirip driver, jauh berbeda dengan penampilan yang dikenalnya sekarang.
“Mungkin kau ragu, tapi itu benar. Ini Mas Bayyu, 4 tahun lalu,” Airin menangkan guratan keraguan di wajah Selena yang berusaha menyembunyikan keterkejutannya. Jemari Airin mengusap layar dan menggeser beberapa potret lelaki itu di masa lalu.
“Mas Bayyu empat tahun lalu bukanlah siapa-siapa dan sangat jauh dari gelimang harta, seperti yang kau lihat saat ini. Bahkan, mungkin, jika empat tahun lalu kau ada di sana, mungkin kau akan berpikir ulang untuk mau didekatinya. Tapi, aku bersedia menerima dan menemani Mas Bayyu berproses empat tahun lamanya, sampai detik ini ia mencapai segala kesuksesan yang dulu hanya menjadi angan-angannya. Bahkan bermimpi saja ia sungkan.”
Selena menatap lurus Airin. Perempuan berhijab itu paham maksud tatapan lawan bicaranya.
“Aku ingin tegaskan bahwa kau sedang berdiri di tempat yang tak seharusnya kau pijak. Apa yang kau nikmati dari Mas Bayyu saat ini, termasuk hatinya, itu bukanlah hakmu. Aku yang menemaninya berproses di masa-masa sulitnya selama empat tahun ini dan sudah selayaknya bukan jika aku menginginkan hakku atas Mas Bayyu sepenuhnya. Aku tak ingin berbagi kepada siapapun. Secuilpun. Jadi, mundurlah. Tak seharusnya kau turut menikmati apa yang seharusnya menjadi milik perempuan lain.
Selena mengatur napas. Ada detik panjang yang menjadi jembatan keheningan kedua perempuan itu.
“Tapi bukan aku yang memilih mendekati Mas Bayyu lebih dulu, Mbak. Tentu Mbak juga paham betul bagaimana karakter lelaki yang kita cintai. Mas Bayyulah yang lebih dulu mengejarku. Bukan aku. Dan seperti yang sudah kukatakan di awal, aku tidak akan mengakhiri sesuatu yang tidak aku mulai. Jadi, serahkan keputusannya pada Mas Bayyu, Mbak. Aku akan mundur jika dia yang memintaku dan aku rasa dia tidak akan melakukan itu.”
Kali ini giliran dada Airin yang dibuat bergemuruh.
“Jadi kau akan tetap memperjuangkan cintamu?” Airin menyeringai.
“Mengapa tidak, jika Mas Bayyu menginginkannya?” Selena memperlihatkan senyum penuh percaya diri. Ia tahu betul perempuan di hadapannya sedang berusaha mengaduk-aduk emosinya. Tapi ia juga tahu bagaimana memainkan bidak caturnya siang itu.
“Hhmh, rupanya kau benar-benar wanita yang teguh pada pendirian. Baiklah, mari kita lihat saja sampai sejauh mana kau mampu berjuang dan bertahan. Dalam situasi ini, tentu kau bukanlah pihak yang diuntungkan. Dan, aku harap kau tidak akan melewatkan momen ini agar matamu benar-benar terbuka, jika di sini, kau bukanlah siapa-siapa dan tentunya, tidak akan mendapatkan apa-apa. Jadi, jangan lupa datang, ya. Aku benar-benar ingin kau menyaksikan hari bahagia kami,” Airin tersenyum penuh kemenangan. Di tengah percakapan ia mengeluarkan senjata pamungkasnya. Meletakkannya tepat di hadapan Selena yang mendadak membelalak. Airin tersenyum puas melihat pemandangan itu.
Airin bangkit penuh kemenangan. Gerak badannya mendekati posisi duduk Selena. Sedikit mencondongkan badannya sehingga rona kecoklatan mahkota Selena bisa jelas terpampang di wajahnya.
“Pastikan kau tidak melewatkan tanggal ini,” telunjuk Airin mengetuk pelan sesuatu yang tadi disodorkan ke hadapan Selena. Ia tak menyangka, jika sampel undangan yang lupa ia tunjukkan ke Bayyu pagi tadi, akan menjadi kartu As-nya siang itu.
Airin berlalu meninggalkan Selena yang masih mematung menatap undangan bercorak floral di hadapannya. Tangan Lena gemetaran meraih kertas itu. Matanya nanar menyaksikan potret dua manusia tengah bergandeng mesra penuh tawa bahagia, seolah sedang menertawakan kebodohannya siang itu.
“Uttara Bayyu! Bisa-bisanya kau menyembunyikan ini dariku!” maki Selena seorang diri. Tangannya meraih undangan itu dan merobeknya kasar. Emosinya porak poranda menyadari tanggal yang dilihatnya tinggal dua minggu lagi. Ia merasa sangat dibodohi Bayyu. Ia berjanji akan segera membuat perhitungan dengan lelaki itu.
Tidak mudah mengakhiri kisah saat perasaan cinta sedang ranum-ranumnya. Jika pada akhirnya kisah itu memang selesai, perasaan di dalam dada mungkin justru tidak pernah usai.***Bayyu baru saja menyelesaikan pertemuan dengan mitra bisnisnya dari salah satu perusahaan finansial raksasa nasional. Sebenarnya ia masih ingin berlama-lama mengobrol dengan koleganya jika saja getar ponselnya tidak terus-terusan meneror.Lima panggilan tak terjawab dari Selena. Ia sempat ingin memaki jika saja tak ingat mencintai perempuan itu. Mungkin ada yang sangat penting hingga staff terkasihnya itu sampai menelpon berkali-kali di jam kantor.“Ada apa, Say…” Belum paripurna ia memanggil ‘sayang’, ucapannya sudah terpotong oleh barisan rel kereta makian dan luapan emosi perempuan di seberang telepon.Percuma memotong bicara perempuan yang sedang emosi. Bayyu akhirnya diam dan menunggu suara di telinganya diam.“Sudah selesa
Menggunakan taksi online, Selena menuju The Garden sesuai dengan petunjuk lokasi yang dikirim Bayyu. Perlu waktu sekitar 20 menit untuk menjangkaunya. Manik matanya menikmati suasana malam yang tersaji di balik kaca. Ia tidak tahu untuk alasan apa Bayyu memintanya datang ke tempat itu, yang jelas, amarahnya sendiri pada lelaki itu belum padam. Mungkin, malam itu iapun harus menuntaskan kecamuk di dadanya sendiri. Untuk konsekuensi apapun, ia telah mempersiapkan hatinya dengan baik. Plang nama hotel sudah terbaca. Artinya, ia sudah sampai di tempat tujuan. Entah untuk alasan apa pula, jantungnya mendadak memburu. Bukankah ini bukan kali pertamanya mereka bertemu? Ia menarif nafas panjang. Menetralkan perasaannya sendiri sebelum akhirnya mengambil langkah cantik, memasuki lobi hotel yang menawan. Seorang concierge pria menyambutnya dengan ramah.“Selamat datang di hotel kami, Nona Selena Oktora,” sapa pegawai hotel sembar
Selena berada pada pilihan yang sulit bergelut dengan nurani dan hasratnya sendiri. Nuraninya jelas memintanya segera pulang. Tak patut berduaan bersama lelaki malam-malam, terlebih tanpa adanya ikatan halal. Sementara hasratnya masih berusaha untuk menahannya lama-lama. Ini momen terakhirnya. Bayyu menangkap kebimbangan itu. “Kalau kamu ragu, ayo, aku antar pulang saja,” tangan Bayyu menarik pergelangan tangan Selena hendak mengajaknya meninggalkan lantai 28. Tetapi, baru selangkah Bayyu beranjak, Selena menghentikannya. Ia memutuskan menerima tawaran Bayyu. “Aku sudah kepalang basah memulai ini. Sudah pula telanjur sampai di sini. Rugi dong kalau aku hanya dapat makan malam gratis. Waktuku berharga,” ucap Selena menantang. Bayyu tertawa. Ia menyukai bahwa perempuannya menyambut jala yang ia tebar.
Pagi-pagi sekali, Airin telah bersiap untuk menuju hotel The Garden seperti yang ditunjukkan Glenn Bagas. Ia telah memesan ojek online sebelumnya, tinggal berpamitan pada ibunya dan menunggu di depan rumah.“Bu, Airin pamit keluar dulu, ya?” Airin mengetok pintu kamar ibunya, mendekati beliau yang masih mengenakan mukena dan tasbih di genggaman. Airin meraih punggung tangan ibunya dan menciumnya.“Mau kemana sepagi ini, Nduk?” tanya perempuan paruh baya itu keheranan. Tak langsung menjawab, Airin hanya tersenyum. Tapi, tentu wanita yang melahirkannya itu dapat menangkap kegelisahan di wajah putrinya. Naluri ibu selalu lebih kuat.“Ada apa? Kamu ada masalah lagi sama Bayyu?” Isyarat tangan ibunya menahan Airin untuk duduk di sebelahnya dan mau tidak mau membuat Airin bercerita. Airin sudah terbiasa terbuka untuk masalah apapun kepada ibunya.
Tak seperti yang disangka Bayyu, Airin justru tak pernah meminta penjelasan apapun sepulang dari hotel itu. Bahkan, ketika ia berusaha ingin menjelaskan tentang kejadian malam itu—tentu tidak sepenuhnya akan ia ceritakan, terutama kekhilafan yang ia nikmati bersama Selena—Airin selalu mengalihkan fokus pembicaraan mereka. Bayyu tak ambil pusing sebenarnya. Ia justru harusnya lega. Tapi, kebiasannya yang selalu jujur, membuatnya merasa terbebani perasaan bersalah bertubi-tubi.Ada rasa ganjil memberati hatinya. Perasaan bersalah menyisir hatinya. Ia telah mengkhianati cinta Airin terlalu jauh. Tapi, ia juga tetap tak ingin kehilangan Airin, sosok keibuan, berpengetahuan baik, dan telah terbukti kesetiaannya mendampinginya dari minus. Sejauh ini, Airin tidak pernah mengecewakannya. Justru ialah yang terlampau sering menyakiti dan mengecewakan perempuan itu.Jauh di lubuk hatinya, tak sepenuhnya disadarinya, ia sangat mencintai Airin. Bahkan, tak rela Airin be
Akhirnya hari yang dinantikan tiba. Sabtu pagi, Bayyu dan Airin akan melaksanakan prosesi ijab kabul. Airin yang semula tak acuh dengan Bayyu, dingin terhadapnya, pelan-pelan melunak juga. Usaha Bayyu untuk meluluhkan kembali hatinya tampaknya membuahkan hasil.Airin sudah kembali ceria, penuh kelembutan, dan mencintai Bayyu, meski cintanya saat ini tidak sepenuhnya bulat seperti sedia kala. Masih sulit baginya untuk melupakan segala bentuk pengkhianatan Bayyu, tapi Airin berusaha memaafkan. Lagi-lagi itu karena nasihat ibunya dan tentu saja niatnya untuk menjadi istri yang baik.Ia bertekad untuk memulai pernikahannya dengan hati yang lapang, tanpa kebencian, dendam, ataupun perasaan lain yang memberati hatinya. Berharap Bayyupun demikian.Sebelum prosesi ijab kabul dimulai, Bayyu mendatangi Airin di ruang rias. Perempuan itu baru saja selesai di-make up. Kebaya putih dan hija
Rangkaian selebrasi pernikahan Bayyu telah usai. Seluruh tamu undangan beserta keluarga besar telah meninggalkan venue, termasuk Bayyu dan Airin. Hanya saja, mereka itu tak lantas menuju kediaman, melainkan ke sebuah hotel yang telah dipesan Bayyu dengan tajuk “honeymoon package’. Setiba di resepsionis dan melakukan check in, mereka diantar ke sebuah kamar yang dinamai Towers Room. Pemandangan kamar ala pengantin baru menyambut kehadiran mereka di kamar seluas 42 m2 tersebut. Sebuket mawar merah dan juga kelopak-kelopaknya yang disusun membentuk simbol hati, perlambang cinta, menyapa di atas tempat tidur. Airin terkesima. Bunga mawar merah adalah kesukaannya. Bayyu tertawa jenaka dalam hati, untung saja ia tidak salah pilih mawar ungu. Bisa celaka urusannya. Ah, tiba-tiba pemandangan seperti itu mengingatkannya akan kejadian di The Garden tempo hari. Bayangan Selena mendadak mengganggu pikirannya. Bayyu buru-buru menepis ingatan yang tak seharusnya muncul
“Ce-rai??” eja Bayyu dengan terbata, mengulangi pernyataan yang baru saja dilontarkan Airin. “Baru beberapa jam yang lalu kita sah menjadi suami istri, Ai. Berikrar di depan penghulu, orang tua, dan juga Tuhan. Kamu jangan main-main dengan kat-“ belum sempat Bayyu melanjutkan ucapannya, Airin sudah menyambarnya bak kilat. “Kamu yang mempermainkan pernikahan kita dari awal, Mas. Bahkan jauh sebelum pernikahan ini ada. Kamu yang memulai, kamu yang jahat di sini, bukan aku!” tegas Airin histeris. Bayyu terdiam, tertunduk. Tergugu. Bersamaan dengan itu, badannya luruh, berlutut di depan Airin, masih dengan kondisi handuk terlilit di badannya. Kedua tangannya berusaha meraih tangan istrinya untuk digenggam, tapi buru-buru ditepis Airin. “Jangan sentuh aku, Mas. Pakailah bajumu. Aku tidak mau melihat bayang-bayang perempuan itu ada di badanmu. Aku masih harus berdamai dengan diri sendiri. Aku belum bisa memaafkanmu untuk kekhilafanmu yang ini. Maaf. Berdiri