Selena diam-diam menyelinap ke kamar mandi membawa sepucuk surat titipan dari Bayyu. Shinta yang telah membawakan untukknya. Tak sabar membaca isi tulisan tangan mantan kekasih yang masih disimpannya rapat dalam hati itu.
Tentang Tamu Spesial
'Surat ini aku tulis tepat sehari sebelum pernikahanmu. Hai, apa kabar? Semoga kamu baik-baik saja dan semestinya memang baik-baik saja. 🙂Oh, ya, selamat atas pernikahamu. Maaf, aku tidak bisa datang. Padahal, dulu, saat aku menikah, kamu berjiwa besar untuk memenuhi undanganku. Tapi, aku sebaliknya.
Jujur, aku belum sanggup. Maaf, ya. Semoga melalui surat ini sudah terwakilkan kehadiranku. Semoga kamu tak kecewa.Aku mau jujur dan berterima kasih karena kamu dulu mau datang ke pernikahanku. Aku yakin itu bukan hal yang mudah untukmu. Tapi, terima kasih dan minta maaf, jika ada hal yang kurang berkenan.
Beberapa bulan berlaluIntensitas Glenn Bagas bertemu Airin sedikit berkurang. Bukan karena rasa kecewanya. Itu bukan kali pertama ia mendapatkan penolakan Airin. Sudah biasa. Tapi, ia memang sedang disibukkan menyiapkan keberangkatannya ke Negeri Kincir Angin.Sementara itu, Airin sudah memulai aktivitas barunya menjadi dosen Sastra Inggris. Di tengah kesibukannya itu, batinnya masih terus berkonflik. Ada rasa yang hilang di hatinya. Juga rasa bersalah. Airin dilema sendiri menafsiran perasaannya. Beberapa waktu ketika ia benar-benar sendiri, barulah ia merasakan betapa kehadiran Glenn begitu berarti. Tapi, ia juga belum bisa untuk memulai hubungan yang baru. Masih dihantui rasa takut dengan kegagalannya yang dulu.Maka, demi memperoleh kemantapan hatinya untuk melangkah ke depan, ia melakukan salat istikharah. Meminta petunjuk kepada Allah untuk memilih jalan hidupnya.Ia tak ingin salah langkah lagi. Maka, kali ini, ia tak hanya melibatkan Allah, tapi memang sepenuhnya menyerahkan
"Tak baik membatalkan lamaran, sementara tanggal pernikahan sudah di ujung mata. Terlebih kamu pihak perempuan. Perempuan selalu menjadi pihak yang tak diuntungkan. Ibu takut kena karma.""Tapi, Ibu, Mas Bayyu sendiri yang mengakui dirinya mendua. Bahkan, ia tidak bisa, meski hanya sekedar berjanji, untuk meninggalkan perempuan itu, Bu. Apa Airin kuat, Bu, hidup dengan lelaki yang hatinya telah terisi nama lain. Bahkan Airin belum memulai biduk rumah tangga. Bukankah Airin masih bisa menentukan jalan?" Perempuan bermata sendu itu tak mampu menahan air matanya untuk tidak menggenangi mata. Sementara itu, wanita paruh baya yang telah melahirkannya itu hanya mampu menenangkan putri semata wayangnya dengan pelukan."Ibu paham betul bagaimana perasaanmu,Nduk.Bahkan, hampir semua wanita pernah merasakan bagaimana sakit hati, kecewa, dan putus asa dikhianati pasangan. Tapi anak Ibu adalah wanita yang kuat. Pasti bisa melewati ujian ini. Anggaplah
Sudah satu minggu Airin mendiamkan Bayyu. Meski lelaki itu tak henti memberinya perhatian—tentu saja dianggapnya semu—namun itu tak cukup mampu membuatnya luluh. Sesungguhnya, perempuan itu tak sungguh-sungguh ingin mengakhiri hubungannya dengan Bayyu. Bagaimanapun, cinta Airin lelaki itu telanjur dalam, bahkan telah melemahkan lobus frontal yang menghuni tempurung kepalanya. Ia tak mampu lagi berpikir jernih. Ia telah terbutakan dengan cinta Uttara Bayyu, lelaki yang hampir tak memiliki cela di matanya. Tentu sebelum seorang Selena Oktora, merisak bahtera asmaranya.“Nduk, ada paket,” suara Ibu terdengar memanggilnya dari balik pintu kamar. Ia membuka daun pintu dengan wajah yang masih terlihat kusut dan menerima paket yang tak diketahui pengirimnya itu. Dahinya mengernyit.“Katanya dari siapa, Bu?”“Mas ojolnya tadi Cuma bilang dari Mas-Mas, gitu,” air muka Ibu terlihat mengingat-ingat perkataan
Lepas kebersamaan mereka malam itu, rasa cinta semakin membuncah di hati Selena. Perasaannya kepada Bayyu sudah menjelma candu. Candu itulah yang membawa langkahnya kian bersemangat memasuki kantor pagi itu. Tak langsung menuju meja kerjanya, ia terlebih dulu menghampiri sebuah ruangan yang belakangan terakhir menjadi tempat favoritnya di kantor. Berharap seseorang yang dinantinya telah bertengger di sana. Tapi, nihil. Rindunya tak mendapatkan tempat pagi itu. Ia terpaksa berbalik menuju ruang kerjanya. Hatinya mendengus kecewa.***“Assalamualaikum,Mas. Sudah sampai mana?”“Walaikumsalam,Ai. Masih di rumah, nih. Bentar lagi berangkat. Tunggu, ya.”“Oke, Mas. Hati-hati di jalan. Jangan ngebut, tapi cepetan, ya,” tutup seorang gadis di ujung telepon dengan tawa khasnya. Lelaki itu mengulas senyum yang hanya bisa ia nikmati seorang diri. Ia baru menyadari jika mereka jarang sekali tertawa bersama belakangan ini.Bayyu mem
Memutuskan menemui perempuan itu sebenarnya telah meruntuhkan harga diriku sendiri. Seolah-olah akulah yang telah menjadi budak asmara Mas Bayyu dan terbutakan olehnya yang dengan sadar telah mengkhianatiku. Tentu saja aku tidak senaif itu.“Rin, di sini ada junior yang sepertinya dekat dengan Bayyu. Tapi kamu jangan berpikir macam-macam dulu, ya, itu masih pradugaku saja. Aku belum ada bukti. Mungkin kamu bisa lebih waspada.” Ucapan Mbak Shinta empat bulan silam itu sebenarnya sudah menjadi alarm untukku. Kebetulan, aku mengenal Mbak Shinta secara tidak sengaja di rumah Bu Hera. Perempuan itu rupanya masih ada garis keponakan dengan dosen pembimbing tesisku itu. Ia tinggal di tempat Bu Hera, lebih tepatnya menempati salah satu kontrakan milik Bu Hera.Aku yang dulu sering berkunjung ke rumah Bu Hera untuk bimbingan, akhirnya mengenal dan menjadi akrab dengan Mbak Shinta. Terlebih setelah tahu ia dulu ternyata teman kuliah Mas Bayyu dan secara kebetulan pul
Tidak mudah mengakhiri kisah saat perasaan cinta sedang ranum-ranumnya. Jika pada akhirnya kisah itu memang selesai, perasaan di dalam dada mungkin justru tidak pernah usai.***Bayyu baru saja menyelesaikan pertemuan dengan mitra bisnisnya dari salah satu perusahaan finansial raksasa nasional. Sebenarnya ia masih ingin berlama-lama mengobrol dengan koleganya jika saja getar ponselnya tidak terus-terusan meneror.Lima panggilan tak terjawab dari Selena. Ia sempat ingin memaki jika saja tak ingat mencintai perempuan itu. Mungkin ada yang sangat penting hingga staff terkasihnya itu sampai menelpon berkali-kali di jam kantor.“Ada apa, Say…” Belum paripurna ia memanggil ‘sayang’, ucapannya sudah terpotong oleh barisan rel kereta makian dan luapan emosi perempuan di seberang telepon.Percuma memotong bicara perempuan yang sedang emosi. Bayyu akhirnya diam dan menunggu suara di telinganya diam.“Sudah selesa
Menggunakan taksi online, Selena menuju The Garden sesuai dengan petunjuk lokasi yang dikirim Bayyu. Perlu waktu sekitar 20 menit untuk menjangkaunya. Manik matanya menikmati suasana malam yang tersaji di balik kaca. Ia tidak tahu untuk alasan apa Bayyu memintanya datang ke tempat itu, yang jelas, amarahnya sendiri pada lelaki itu belum padam. Mungkin, malam itu iapun harus menuntaskan kecamuk di dadanya sendiri. Untuk konsekuensi apapun, ia telah mempersiapkan hatinya dengan baik. Plang nama hotel sudah terbaca. Artinya, ia sudah sampai di tempat tujuan. Entah untuk alasan apa pula, jantungnya mendadak memburu. Bukankah ini bukan kali pertamanya mereka bertemu? Ia menarif nafas panjang. Menetralkan perasaannya sendiri sebelum akhirnya mengambil langkah cantik, memasuki lobi hotel yang menawan. Seorang concierge pria menyambutnya dengan ramah.“Selamat datang di hotel kami, Nona Selena Oktora,” sapa pegawai hotel sembar
Selena berada pada pilihan yang sulit bergelut dengan nurani dan hasratnya sendiri. Nuraninya jelas memintanya segera pulang. Tak patut berduaan bersama lelaki malam-malam, terlebih tanpa adanya ikatan halal. Sementara hasratnya masih berusaha untuk menahannya lama-lama. Ini momen terakhirnya. Bayyu menangkap kebimbangan itu. “Kalau kamu ragu, ayo, aku antar pulang saja,” tangan Bayyu menarik pergelangan tangan Selena hendak mengajaknya meninggalkan lantai 28. Tetapi, baru selangkah Bayyu beranjak, Selena menghentikannya. Ia memutuskan menerima tawaran Bayyu. “Aku sudah kepalang basah memulai ini. Sudah pula telanjur sampai di sini. Rugi dong kalau aku hanya dapat makan malam gratis. Waktuku berharga,” ucap Selena menantang. Bayyu tertawa. Ia menyukai bahwa perempuannya menyambut jala yang ia tebar.