"Pergilah. Sekeras apapun usahamu meminta maaf, itu akan sia-sia. Rasa sakitku belum kering. Mustahil aku bisa memaafkanmu sekarang. Pergilah dari hadapanku segera."
Airin menolak permintaan maaf Selena. Bukan karena tak punya hati, sebab memang sudah tak ada lagi ruang di hatinya untuk memberi maaf. Baik untuk Selena ataupun Uttara Bayyu. Rasa sakit hati dan kecewanya benar-benar telah menutup pintu maafnya rapat-rapat.Tapi, bukan Selena jika mudah menyerah begitu saja. Terlebih, ketika ia menyadari kehadiran seseorang di balik pintu depan. Sedang mengamati percakapannya dan Airin. Selena buru-buru mengatur strategi untuk mencari muka. Berupaya memperbaiki nama baiknya. Selena segera bangkit dan mendekat ke arah Airin duduk. Menekuk kakinya di depan Airin. Berlutut meminta maaf. Airin terkejut melihat pemandangan tak biasa di depannya. Buru-buru ia berdiri dan menjauh dari Selena. Tapi, tangan Selena menahan Airin. Memaksanya berhenti sejenak."AkAirin menghujani wajah tampan putranya dengan ciuman dan pelukan untuk pertama dan terakhir kalinya. Wajah putihnya tampak seperti bayi yang tengah tertidur pulas. Damai sekali. Sayang sekali, Airin belum sempat melihat putranya membuka mata atau mendengar tangisnya sekalipun.Bayi itu hanya mampu bertahan empat jam saja sejak ia dilahirkan. Memang masih memasuki 8 bulan, belum waktunya lahir. Terlebih, kondisi jantungnya melemah. Sempat masuk ruang NICU, tapi, nyatanya nyawanya tak bisa bertahan lebih lama. Airin saja belum sempat melihat wajahnya apalagi memeluk atau menyusuinya. Ia sudah harus kehilangan bahkan sebelum ia memiliki sepenuhnya. Itu yang sangat-sangat disesalkannya sebagai ibu.Air matanya sudah mulai surut, tapi kesedihan di wajahnya masih menggenang. Berulang kali ia berusaha menyadari kenyataan bahwa kehilangan di hadapannya adalah nyata, berulang kali pula ia harus membuka hatinya lapang-lapang. Ikhlas itu memang berat
Selena diam-diam menyelinap ke kamar mandi membawa sepucuk surat titipan dari Bayyu. Shinta yang telah membawakan untukknya. Tak sabar membaca isi tulisan tangan mantan kekasih yang masih disimpannya rapat dalam hati itu.Tentang Tamu Spesial'Surat ini aku tulis tepat sehari sebelum pernikahanmu. Hai, apa kabar? Semoga kamu baik-baik saja dan semestinya memang baik-baik saja. 🙂Oh, ya, selamat atas pernikahamu. Maaf, aku tidak bisa datang. Padahal, dulu, saat aku menikah, kamu berjiwa besar untuk memenuhi undanganku. Tapi, aku sebaliknya.Jujur, aku belum sanggup. Maaf, ya. Semoga melalui surat ini sudah terwakilkan kehadiranku. Semoga kamu tak kecewa.Aku mau jujur dan berterima kasih karena kamu dulu mau datang ke pernikahanku. Aku yakin itu bukan hal yang mudah untukmu. Tapi, terima kasih dan minta maaf, jika ada hal yang kurang berkenan.
Beberapa bulan berlaluIntensitas Glenn Bagas bertemu Airin sedikit berkurang. Bukan karena rasa kecewanya. Itu bukan kali pertama ia mendapatkan penolakan Airin. Sudah biasa. Tapi, ia memang sedang disibukkan menyiapkan keberangkatannya ke Negeri Kincir Angin.Sementara itu, Airin sudah memulai aktivitas barunya menjadi dosen Sastra Inggris. Di tengah kesibukannya itu, batinnya masih terus berkonflik. Ada rasa yang hilang di hatinya. Juga rasa bersalah. Airin dilema sendiri menafsiran perasaannya. Beberapa waktu ketika ia benar-benar sendiri, barulah ia merasakan betapa kehadiran Glenn begitu berarti. Tapi, ia juga belum bisa untuk memulai hubungan yang baru. Masih dihantui rasa takut dengan kegagalannya yang dulu.Maka, demi memperoleh kemantapan hatinya untuk melangkah ke depan, ia melakukan salat istikharah. Meminta petunjuk kepada Allah untuk memilih jalan hidupnya.Ia tak ingin salah langkah lagi. Maka, kali ini, ia tak hanya melibatkan Allah, tapi memang sepenuhnya menyerahkan
"Tak baik membatalkan lamaran, sementara tanggal pernikahan sudah di ujung mata. Terlebih kamu pihak perempuan. Perempuan selalu menjadi pihak yang tak diuntungkan. Ibu takut kena karma.""Tapi, Ibu, Mas Bayyu sendiri yang mengakui dirinya mendua. Bahkan, ia tidak bisa, meski hanya sekedar berjanji, untuk meninggalkan perempuan itu, Bu. Apa Airin kuat, Bu, hidup dengan lelaki yang hatinya telah terisi nama lain. Bahkan Airin belum memulai biduk rumah tangga. Bukankah Airin masih bisa menentukan jalan?" Perempuan bermata sendu itu tak mampu menahan air matanya untuk tidak menggenangi mata. Sementara itu, wanita paruh baya yang telah melahirkannya itu hanya mampu menenangkan putri semata wayangnya dengan pelukan."Ibu paham betul bagaimana perasaanmu,Nduk.Bahkan, hampir semua wanita pernah merasakan bagaimana sakit hati, kecewa, dan putus asa dikhianati pasangan. Tapi anak Ibu adalah wanita yang kuat. Pasti bisa melewati ujian ini. Anggaplah
Sudah satu minggu Airin mendiamkan Bayyu. Meski lelaki itu tak henti memberinya perhatian—tentu saja dianggapnya semu—namun itu tak cukup mampu membuatnya luluh. Sesungguhnya, perempuan itu tak sungguh-sungguh ingin mengakhiri hubungannya dengan Bayyu. Bagaimanapun, cinta Airin lelaki itu telanjur dalam, bahkan telah melemahkan lobus frontal yang menghuni tempurung kepalanya. Ia tak mampu lagi berpikir jernih. Ia telah terbutakan dengan cinta Uttara Bayyu, lelaki yang hampir tak memiliki cela di matanya. Tentu sebelum seorang Selena Oktora, merisak bahtera asmaranya.“Nduk, ada paket,” suara Ibu terdengar memanggilnya dari balik pintu kamar. Ia membuka daun pintu dengan wajah yang masih terlihat kusut dan menerima paket yang tak diketahui pengirimnya itu. Dahinya mengernyit.“Katanya dari siapa, Bu?”“Mas ojolnya tadi Cuma bilang dari Mas-Mas, gitu,” air muka Ibu terlihat mengingat-ingat perkataan
Lepas kebersamaan mereka malam itu, rasa cinta semakin membuncah di hati Selena. Perasaannya kepada Bayyu sudah menjelma candu. Candu itulah yang membawa langkahnya kian bersemangat memasuki kantor pagi itu. Tak langsung menuju meja kerjanya, ia terlebih dulu menghampiri sebuah ruangan yang belakangan terakhir menjadi tempat favoritnya di kantor. Berharap seseorang yang dinantinya telah bertengger di sana. Tapi, nihil. Rindunya tak mendapatkan tempat pagi itu. Ia terpaksa berbalik menuju ruang kerjanya. Hatinya mendengus kecewa.***“Assalamualaikum,Mas. Sudah sampai mana?”“Walaikumsalam,Ai. Masih di rumah, nih. Bentar lagi berangkat. Tunggu, ya.”“Oke, Mas. Hati-hati di jalan. Jangan ngebut, tapi cepetan, ya,” tutup seorang gadis di ujung telepon dengan tawa khasnya. Lelaki itu mengulas senyum yang hanya bisa ia nikmati seorang diri. Ia baru menyadari jika mereka jarang sekali tertawa bersama belakangan ini.Bayyu mem
Memutuskan menemui perempuan itu sebenarnya telah meruntuhkan harga diriku sendiri. Seolah-olah akulah yang telah menjadi budak asmara Mas Bayyu dan terbutakan olehnya yang dengan sadar telah mengkhianatiku. Tentu saja aku tidak senaif itu.“Rin, di sini ada junior yang sepertinya dekat dengan Bayyu. Tapi kamu jangan berpikir macam-macam dulu, ya, itu masih pradugaku saja. Aku belum ada bukti. Mungkin kamu bisa lebih waspada.” Ucapan Mbak Shinta empat bulan silam itu sebenarnya sudah menjadi alarm untukku. Kebetulan, aku mengenal Mbak Shinta secara tidak sengaja di rumah Bu Hera. Perempuan itu rupanya masih ada garis keponakan dengan dosen pembimbing tesisku itu. Ia tinggal di tempat Bu Hera, lebih tepatnya menempati salah satu kontrakan milik Bu Hera.Aku yang dulu sering berkunjung ke rumah Bu Hera untuk bimbingan, akhirnya mengenal dan menjadi akrab dengan Mbak Shinta. Terlebih setelah tahu ia dulu ternyata teman kuliah Mas Bayyu dan secara kebetulan pul
Tidak mudah mengakhiri kisah saat perasaan cinta sedang ranum-ranumnya. Jika pada akhirnya kisah itu memang selesai, perasaan di dalam dada mungkin justru tidak pernah usai.***Bayyu baru saja menyelesaikan pertemuan dengan mitra bisnisnya dari salah satu perusahaan finansial raksasa nasional. Sebenarnya ia masih ingin berlama-lama mengobrol dengan koleganya jika saja getar ponselnya tidak terus-terusan meneror.Lima panggilan tak terjawab dari Selena. Ia sempat ingin memaki jika saja tak ingat mencintai perempuan itu. Mungkin ada yang sangat penting hingga staff terkasihnya itu sampai menelpon berkali-kali di jam kantor.“Ada apa, Say…” Belum paripurna ia memanggil ‘sayang’, ucapannya sudah terpotong oleh barisan rel kereta makian dan luapan emosi perempuan di seberang telepon.Percuma memotong bicara perempuan yang sedang emosi. Bayyu akhirnya diam dan menunggu suara di telinganya diam.“Sudah selesa