Beranda / Romansa / Kehidupan Kedua / 48. Turunkan Aku

Share

48. Turunkan Aku

Penulis: Blessing Night
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Nadisa Tirta Sanjaya akhirnya menerima permintaan dari Jevano. Ia kini duduk di samping sang pemuda. Berada di jok tengah mobilnya, karena orang yang mengemudikan mobil Jevano adalah tangan kanan dari sang lelaki Hartono.

Nadisa sempat mengernyit tatkala melihat lelaki berkulit tan yang ada di kursi pengemudi. Lelaki itu mengenakan sebuah topi hitam yang nyaris menutupi separuh wajahnya.

Lagi-lagi, Nadisa merasa tidak asing dengannya.

"Jalankan mobilnya, Haikal. Lalu gunakan head phone-mu. Jangan mendengarkan kami atau aku tidak akan segan memecatmu." Jevano berkata dengan tegas.

"Baik, Tuan Muda."

Ya, sejak kejadian tempo hari, di mana Jevano nyaris membahayakan Nadisa di mobilnya, Jevano memutuskan untuk selalu mengajak Haikal jika ingin menemui Nadisa. Setidaknya, ia ingin agar dirinya tidak lepas kendali di hadapan Nadisa. Atau parahnya mengancam nyawa sang dara.

Ia takut akan kebencian yang kian lama kian besar di benak Nadisa.

"Langsung ke intinya saja. Kamu mau bicara apa, Jeva
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Kehidupan Kedua   49. Boleh Ikut?

    Nadisa tidak dapat menyembunyikan senyumnya. Rasa kesal yang sejak tadi bersarang di benaknya juga telah hilang entah ke mana. Hari Minggu yang awalnya Nadisa kira akan berakhir menyebalkan, ternyata tidak berjalan seperti yang ia pikirkan. Bertemu Narendra, nyatanya cukup menjadi sumber bahagia untuk sang dara."Boleh aku duduk?" tanya Narendra. Melihat ke arah kursi di samping Nadisa."Kamu nggak perlu minta izin, Narendra. Tentu saja boleh," kata Nadisa seraya tertawa pelan. Agaknya merasa gemas karena Narendra masih saja bertingkah sangat sopan di hadapannya.Narendra pun duduk di samping Nadisa. Dengan senyuman di wajah manisnya."Nadisa, kamu-" ucapan Narendra terhenti.Hal itu karena dirinya melihat seorang pria berpakaian sporty tengah berdiri tepat di samping Nadisa. Kedua mata milik pria asing itu secara terang-terangan memandangi paha putih Nadisa yang memang terlihat. Karena Nadisa hanya mengenakan celana pendeknya."Wow..." gumam pria itu.Narendra berdehem kencang dan s

  • Kehidupan Kedua   50. Jatuh Hati

    Nadisa berjalan bersisian dengan Narendra, memasuki kompleks perumahan elit yang tidak jauh berbeda dengan tempat tinggalnya. Nadisa jadi yakin, kalau orang yang akan diajari oleh Narendra adalah anak dari orang kaya. Mungkin malah salah satu kolega Nadisa? Perempuan atau laki-laki, ya?"Ingin bertanya sesuatu, Nadisa?" tanya Narendra, memecah keheningan di antara keduanya.Nadisa sempat mengerjap kaget, sebelum akhirnya tertawa. "Apakah begitu kentara kalau aku sedang kebingungan?" tanya Nadisa.Narendra sedikit menundukkan kepala, menghindari tatapan Nadisa. "Tidak, hanya … aku bisa merasakannya saja."Nadisa merasa takjub dalam hati. Tapi gadis itu menutupinya dengan menganggukkan kepalanya beberapa kali."Jadi, ingin bertanya apa, Nadisa?" ulang Narendra."Anak yang kamu ajar ini, perempuan?" tanya Nadisa."Dia anak laki-laki. Leon, namanya," jawab Narendra. "Anaknya manis dan lucu. Kamu mungkin akan suka mengobrol dengannya. Ah, seingatku dia juga punya seekor kucing. Kamu bisa

  • Kehidupan Kedua   51. Kak Sasa dan Lele

    "Leon, Kakak datang."Narendra berkata seraya mendekati Leon. Leon yang awalnya sedang duduk bersandar pun menegakkan tubuhnya. Membuat Milo yang ada di pangkuannya melompat turun."Kak Naren–eh? Itu siapa di samping Kakak?" tanya Leon.Milo, kucing bersurai putih panjang itu, berlari ke arah Nadisa. Langsung disambut oleh sang dara, yang kemudian memeluknya.Nadisa menyempatkan diri untuk menoleh ke arah Narendra. Sedikit banyak, Nadisa penasaran Narendra akan memperkenalkannya sebagai apa pada muridnya. Pacar? Sahabat? Atau …"Teman Kakak, Leon."Ah, seharusnya Nadisa Tirta Sanjaya tidak berharap terlalu banyak.Kedua bahu Nadisa sedikit menurun. Bahkan senyuman indah di bibir tipisnya pun luntur. Ia hanya dianggap sebagai teman, ternyata."Miaw!" Milo membuka suara, seraya mendusal ke arah bahu Nadisa."Wah, Milo kayaknya suka sama temannya Kak Naren." Leon berkata diselingi tawa kecil.Nadisa tersenyum sopan. Gadis Sanjaya itu mengekori Narendra yang mendekati Leon. Hendak memulai

  • Kehidupan Kedua   52. Kecelakaan

    Langit perlahan mulai gelap. Menandakan bahwa malam akan segera datang dan matahari jelas harus menyingkir dari singgasananya. Memberikan ruang untuk rembulan yang membuat langit jadi temaram.Di tengah suasana yang kian gelap itu, beberapa anak muda tampak berkumpul di suatu jalan raya di pinggiran Jakarta, tepatnya di jalan menuju pegunungan dekat ibu kota. Lokasinya yang tidak berada di pusat kota itu membuat kondisi di sana tampak cukup sepi. Tidak terdapat banyak kendaraan yang lalu lalang. Hanya ada mereka, para anak pengusaha kaya di ibu kota.Jevano sudah berada di atas motor sport merah milik Marko. Menggeber mesinnya. Kemudian menoleh pada Ajiandra, lawan balapannya saat ini."Hey, Bocah. Mau taruhan apa untuk balapan kita?" tanya Jevano."Tidak perlu taruhan. Aku hanya sedang bosan dan butuh hiburan. Jadi aku tidak membutuhkan taruhan." Ajiandra menjawab santai. "Aku sudah cukup senang hanya dengan mendapat kemenangan."Lelaki bertubuh tinggi kurus yang sebenarnya lebih mu

  • Kehidupan Kedua   53. Mengobati Jevano

    Nyonya Wijaya yang jatuh pingsan membuat Nadisa membulatkan matanya. Untung saja wanita cantik itu tetap bersandar pada sofa, bukannya jatuh terhuyung ke lantai."T-tante?!" pekik Nadisa dengan kelewat kagetnya."Waduh, aku lupa kalau Mami takut darah. Bro, kamu duduk dulu di sini, ya. Aku angkut Mami ke kamarnya dulu," izin Marko. "Hey, Cantik, kalau bisa, tolong rawat temanku dulu ya. Ini aku sudah bawa perban dan alkohol untuk membersihkan lukanya. Nanti aku bantu juga untuk merawatnya, setelah membawa Mami ke kamar."Tanpa menunggu persetujuan dari Nadisa, Marko Wijaya sudah terlebih dahulu mendudukkan tubuh lemah Jevano di sofa samping Nadisa. Kemudian menggendong sang Mami ke arah kamarnya. Melewati Leon dan Narendra yang menatap kebingungan melihat kehadirannya.Nadisa memandangi Jevano, yang kini terdiam dengan tatapan sayu. Lutut dan sikunya mengalirkan darah. Dengan beberapa luka di wajah tampannya.Jevano juga mengalihkan pandangannya untuk menghindari Nadisa. Dalam hati, J

  • Kehidupan Kedua   54. Kak Sasa Suka Lele?

    "Mami kenapa, Ko? Kok pingsan?" tanya Leon, tatkala sang kakak kembali melewati ruang tengah, untuk tiba di ruang tamu. Sepertinya ada teman sang Kakak di luar sana. Karena Leon dapat mendengar sayup-sayup suara dari ruang tamu sana."Bukan urusan anak kecil. Kamu belajar saja yang rajin," ucap Marko dengan santai. "Hey, Bung, ajari adikku yang benar, ya. Aku keluar dulu." Tepat setelah mengatakannya, Marko kembali melanjutkan langkah."Aish, Koko memang biang kerok! Awas saja kalau Mami sampai kenapa-kenapa! Akan Leon adukan ke Papi!" kesal Leon dengan pipi yang menggembung besar.Narendra menatap punggung Marko yang kian menjauh, menuju ruang tamu. Nadisa 'kan sedang ada di sana. Seharusnya, Nadisa bersama dengan sang Nyonya Wijaya. Tapi wanita paruh baya itu baru saja dibawa oleh Marko kembali ke kamarnya.Narendra jadi khawatir.Apa Nadisa baik-baik saja di luar sana?Secara tiba-tiba, Milo berjalan cepat menuju ruang tengah, kemudian melompat ke arah pangkuan Narendra. "Miaw! M

  • Kehidupan Kedua   55. Kecupan

    "Kok tiba-tiba diam? Wajahmu itu sudah seperti mau menelan orang, Jevan." Marko berkomentar dengan santai.Jevano menoleh pada Marko."Apa? Jangan menatapku begitu! Kamu benaran mau memakanku atau bagaimana?" tantang Marko. "Kalau mau memakanku dalam konteks yang 'itu', sudah kubilang 'kan kalau aku ini masih lurus? Aku tidak–" BUGH!Celotehan Marko Wijaya terpaksa dihentikan karena wajahnya dihantam dengan bantal. Yang tentu saja pelaku pelemparannya ada Jevano Putra Hartono."Shut up, Marko." Jevano bicara dengan suara beratnya. Baru kemudian ia bertanya. "Laki-laki yang tadi dengan Leon itu, kamu kenal?""Tidak terlalu. Aku cuma tahu kalau dia orang miskin yang dekat dengan mamiku dan disuruh menjadi tutor Leon. Kenapa? Kamu mau beralih dari aku ke dia? Iy–" Bugh! "Astaga, kamu sudah babak belur tapi tenagamu masih kayak raksasa! Sakit tahu, Jevan!"Marko mengeluh kesal karena lagi-lagi wajah tampannya dihantam menggunakan bantal oleh Jevano."Tidak bisakah Leon mengganti tutornya?

  • Kehidupan Kedua   56. Kantor Menjadi Gempar

    Gadis Sanjaya itu tidak dapat menahan lengkungan senyum di bibir tipisnya. Ia bahkan tertawa kecil, tatkala menutup rapat pintu utama kediamannya. Gila. Nadisa pasti sudah gila!Bisa-bisanya Nadisa mencium pipi Narendra!Hal yang tidak pernah Nadisa bayangkan sebelumnya. Habisnya, Nadisa merasa kesal dengan Narendra yang tidak berani mengungkapkan isi hatinya. Jadilah Nadisa ingin menunjukkan, bahwa dirinya telah lebih dulu jatuh hati pada sang Bagaskara.Siapa tahu, Narendra akan lebih percaya diri ke depannya. Iya 'kan?"Disa?"Suara lembut bernada keibuan itu berhasil menarik Nadisa dari alam bawah sadarnya. Sukses membuat sang gadis Sanjaya kehilangan senyumnya dan mengerjapkan mata, kaget lantaran mendapati Mama Ayu sudah berada di depannya."Mama? Belum tidur?" tanya Nadisa dengan cepat."Belum, Mama kepikiran kamu yang belum pulang. Jadi tidak tenang untuk tidur duluan." Mama Ayu berkata lemah. Wajah cantiknya terlihat lelah, mungkin efek mengantuk."Seharusnya Mama tidur saja.

Bab terbaru

  • Kehidupan Kedua   80. Ada yang Aneh

    Jeffrey masih berada dalam mobilnya. Kini memegang telepon genggam, guna mengabari salah satu anak buahnya yang ada di kantor cabang Bandung sana. Pasalnya, Jeffrey yang seharusnya tiba di Bandung siang nanti, kemungkinan akan terlambat karena harus memenuhi permintaan Nadisa.Ah, jangan khawatir. Bahkan sang Mama juga bicara bahwa kantor tempatnya bekerja adalah milik keluarga. Jadi Jeffrey rasa, tidak apa jika ia terlambat sesekali seperti ini.Tepat setelah mengabari anak buahnya, Jeffrey pun hendak menjalankan mobilnya untuk menuju pusat perbelanjaan di pusat Kota Jakarta. Akan tetapi, pemandangan yang tersaji di lobi kantor Sanjaya membuat Jeffrey mengernyitkan dahi.Di hadapannya, dapat ia lihat Karenia yang mengenakan blazer cokelat, dipadukan dengan rok senada sepanjang setengah paha. Kernyitan di dahi Jeffrey kian menguat, tatkala melihat Karenia berlari dengan penuh senyuman. Menyongsong satu orang yang mengenakan jas hitam."Kak! Kak Jevan!"Dari perawakan yang tinggi tegap

  • Kehidupan Kedua   79. Ada Waktu Luang?

    Nadisa bergegas mengambil tasnya yang ada di nakas samping ranjang. Kemudian beranjak menuju pintu kamarnya. Tepat ketika tangannya mencapai tuas pintu, ekor mata Nadisa melihat eksistensi suatu benda yang tersampir di sofa kamarnya.Jaket milik Narendra Bagaskara.Ah, saking lelahnya Nadisa, gadis itu jadi belum sempat mencuci jaket yang kemarin dipinjamkan oleh sang Bagaskara. Ia melirik ke arah jam dinding di kamarnya. Sudah tidak ada waktu lebih.Nadisa pun memutuskan untuk berlalu dari kamarnya. Turun menuju lantai satu kediaman mewah milik keluarga Sanjaya. Tempat dimana Jeffrey dan Mama Ayu berada.Napas Nadisa sempat tertahan. Kepala cantiknya tanpa sengaja memutar kejadian kemarin malam. Tatkala tamparan keras sang Mama mendarat di pipi putih mulusnya.Jeffrey yang awalnya fokus pada serealnya, kini mendongak dan melambaikan tangannya. Memberi tanda agar Nadisa mendekat ke meja makan."Sini, Disa. Sarapan." Jeffrey berkata tanpa berpikir panjang

  • Kehidupan Kedua   78. Lembutnya Mama

    Mesin mobil yang dikendarai oleh Jeffrey Tirta Sanjaya akhirnya mati, tatkala kendaraan tersebut telah tiba di pekarangan rumah yang dirinya dan Nadisa tinggali. Pria dengan lesung di kedua pipi itu baru saja menoleh pada sang Adik, tetapi Nadisa tanpa kata segera meninggalkan dirinya. Keluar dari mobil dan memasuki rumah mewah mereka.Jeffrey mengusak rambutnya ke belakang, memandangi punggung kecil Nadisa yang perlahan menjauh.Jujur saja, Jeffrey tidak tahu menahu bagaimana adiknya bisa sangat membenci Jevano Putra Hartono. Sampai-sampai Nadisa berani membohongi Mama mereka, hanya untuk menghindari lelaki yang memang dipilih sang Mama untuknya. Setahu Jeffrey, Jevano adalah lelaki yang baik dan sempurna. Tidak ada salahnya mendekatkan Jevano dengan Nadisa yang juga tak kalah sempurna.Tapi apa mungkin Jeffrey melewatkan sesuatu? Apa Nadisa mengetahui sesuatu tentang Jevano, yang tidak Jeffrey dan Mama Ayu ketahui? Dan lagi, sosok lelaki yang yang menemani sang Adik di tengah dingin

  • Kehidupan Kedua   77. Suara Jeffrey

    Kedua anak Adam dan Hawa itu berjalan di tengah remangnya malam. Kembali menuju kediaman Sanjaya. Akan tetapi, tepat ketika keduanya tiba di gerbang kompleks Nadisa, satu sosok pria yang familiar pun muncul di sana.Jeffrey Tirta Sanjaya.Pria tampan bertubuh tegap dengan setelan kaos dan celana denim, juga dilengkapi jaket hitam-merah yang terlihat mahal. Tampak turun dari mobilnya tatkala melihat eksistensi sang adik tak jauh darinya.Bola mata gelap yang sarat akan rasa khawatir itu sempat melirik ke arah Narendra Bagaskara seraya mengangkat alis, tapi kemudian ia memilih abai dan memusatkan atensi pada Nadisa seorang. Dapat dilihat oleh Jeffrey, kedua mata Nadisa yang membengkak dan merah. Jelas sekali bahwa sang adik semata wayangnya baru saja menangis hebat."Disa, kita pulang, ya?" tanya Jeffrey dengan lembut.Nadisa terdiam di posisinya. Gadis cantik itu mengusap pipinya yang masih sedikit basah menggunakan lengan berbalut jaket milik Narendra.Jeffrey yang melihat hal tersebu

  • Kehidupan Kedua   76. Pendengar yang Baik

    "Kamu-"Ucapan Nadisa Tirta Sanjaya dibalas dengan senyuman yang melebar di wajah lelaki itu."Iya, Nadisa. Ini aku, Naren."Suara yang menenangkan itu membuat Nadisa kian bingung."Kenapa ... kamu bisa ada di sana? Bukankah ... kamu seharusnya sudah pulang sejak tadi?" tanya Nadisa dengan suara sengaunya. Hidungnya memerah, akibat dari tangisannya. Matanya pun terlihat sedikit membengkak."Mau minum dulu sebelum kita mengobrol lagi hari ini?" tanya Narendra dengan tenang. Tangannya menjulurkan satu gelas kertas berisikan teh hangat.Tangan berkulit putih milih sang gadis Sanjaya tampak bergetar tatkala menerima teh yang diberikan Narendra. Kemudian menyesapnya pelan. Melegakan dahaga di tenggorokannya yang perih karena menangis kencang.Narendra kemudian membuang pandangannya ke depan, memusatkan atensinya pada Sungai Hanja."Hari ini banyak yang terjadi ya, Nadisa." Narendra berkata pelan. "Terkadang, kalau kita sedang merasa bahagia, kesedihan justru akan datang tanpa bisa kita cega

  • Kehidupan Kedua   75. Lari

    Malam kian larut tatkala kedua kaki jenjang Nadisa melangkah, lebih tepatnya berlari, menjauhi kediaman mewahnya. Air mata kembali berlinang di wajahnya yang cantik jelita. Pun ia terisak pelan. Mengingat bagaimana ucapan tajam sang Mama beserta tamparan yang ia dapatkan di pipi putihnya.Di tengah pelariannya itu, gerimis mulai turun membasahi bumi. Entahlah. Mungkin semesta ingin agar air mata Nadisa tidak dapat dilihat oleh manusia lainnya. Agar hanya Nadisa yang tahu bahwa hatinya kini terasa sangat perih. Karena tindakan sang Mama yang begitu menyakiti.Padahal, Nadisa Tirta Sanjaya hanya ingin menghindari takdir buruknya.Ia hanya tidak ingin terjebak dengan Jevano Putra Hartono untuk kali kedua. Ia tidak ingin menjatuhkan hatinya lagi pada lelaki brengsek seperti Jevano. Ia tidak ingin ... mati sia-sia hanya karena menjadi korban dari hubungan rahasia Jevano dan Karenia.Nadisa hanya ingin bahagia, dengan keluarga juga orang-orang yang dikasihinya. Mama Ayu. Kak Jeffrey. Juga Na

  • Kehidupan Kedua   74. Perseteruan

    Nadisa masih bergeming di posisinya. Dengan satu tangan yang memegangi pipi kiri, tempat yang baru saja menjadi sasaran dari tangan Ayu Tirta Sanjaya. Pipinya memang terasa sangat sakit, tapi lebih dari itu, hati Nadisa jauh lebih perih."Mama menampar Disa....?" lirih Nadisa. "Disa salah apa, Ma? Disa salah apa sampai Mama tega menampar Disa?" cecar Nadisa dengan penuh rasa kecewa. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia berusaha menahan tangisannya karena tidak ingin dianggap lemah oleh sang Mama.Mama Ayu mengepalkan tangannya. Masih menatap sang putri dengan mata yang melebar, nyalang. Dipenuhi amarah dan kecewa."Kenapa Mama diam? Jawab Disa! Kenapa Mama tega menampar Disa?!" teriak Nadisa. Emosinya sudah sampai di ubun-ubun."Kamu masih bertanya?! Setelah kebohongan kamu ke Mama, kamu masih bisa bertanya alasan Mama menampar kamu?! Iya?!" balas sang Mama.Jawaban dari Ayu Tirta Sanjaya membuat Nadisa membelalakkan mata dengan jantung yang mulai berdegup kencang. Pupil m

  • Kehidupan Kedua   73. Tamparan

    Langit kini telah menjadi gelap. Pun jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan Jeffrey Tirta Sanjaya telah menunjukkan pukul delapan malam. Sudah waktunya untuk beristirahat.Akan tetapi, lelaki tampan bernama lengkap Jeffrey Tirta Sanjaya itu justru baru saja menghentikan laju mobilnya. Memarkirkan kendaraan mahal itu di depan kediamannya. Ya, kediaman Sanjaya yang berlokasi di Jakarta.Entah ada angin apa hari ini, Mama Ayu akhirnya mengizinkan Jeffrey untuk pulang ke rumah mereka, meski hanya untuk satu hari. Maklum, Jeffrey memang harus mengurus kantor cabang yang ada di Bandung. Jadi tentu saja ia tidak bisa berlama-lama di rumah yang selalu saja ia rindukan.Lelaki tampan itu mengeluarkan dua kantung besar dari bagasi mobil hitamnya. Kantung berisikan bolu cokelat yang tempo hari Nadisa pesan. Juga beberapa susu yang sekiranya sang Mama dan sang adik suka."Sini saya bantu, Tuan." Pak Asep menawarkan bantuan. Beliau memang yang tadi membukakan pintu gerbang untuk Jeffrey.

  • Kehidupan Kedua   72. Ubah Rencana

    Puk. Puk. Puk.Setiap kali kaki itu melangkah, pasir pantai yang dipijaknya akan membentuk jejak kaki. Mengikuti bentuk sandal yang kedua orang itu kenakan. Satu berukuran besar, dan satu lagi lebih kecil.Jejak kaki itu terlihat di sepanjang pesisir pantai, di dekat deburan ombak yang terlihat tidak terlalu besar. Hanya sesekali membasahi kaki. Tanpa bisa menyeret dua insan yang tengah berjalan di bawah cerahnya mentari."Indah sekali, ya. Pantai di Jakarta ternyata nggak buruk juga." Nadisa membuka percakapan di antara keduanya.Narendra menipiskan bibirnya, tersenyum manis. Ia memandangi Nadisa yang kini berjalan mundur, agar bisa berbincang dengan dirinya. Embusan angin pantai menerbangkan helaian rambut hitamnya dengan sedikit kencang."Iya, indah sekali." Perkataan itu terlontar, tatkala Narendra memandangi Nadisa Tirta Sanjaya. Entah ditujukan untuk pantai yang ia kunjungi, atau untuk gadis yang ia cintai."Iya 'kan? Sudah gitu, di bagian sini tid

DMCA.com Protection Status