Nadisa tidak dapat menyembunyikan senyumnya. Rasa kesal yang sejak tadi bersarang di benaknya juga telah hilang entah ke mana. Hari Minggu yang awalnya Nadisa kira akan berakhir menyebalkan, ternyata tidak berjalan seperti yang ia pikirkan. Bertemu Narendra, nyatanya cukup menjadi sumber bahagia untuk sang dara."Boleh aku duduk?" tanya Narendra. Melihat ke arah kursi di samping Nadisa."Kamu nggak perlu minta izin, Narendra. Tentu saja boleh," kata Nadisa seraya tertawa pelan. Agaknya merasa gemas karena Narendra masih saja bertingkah sangat sopan di hadapannya.Narendra pun duduk di samping Nadisa. Dengan senyuman di wajah manisnya."Nadisa, kamu-" ucapan Narendra terhenti.Hal itu karena dirinya melihat seorang pria berpakaian sporty tengah berdiri tepat di samping Nadisa. Kedua mata milik pria asing itu secara terang-terangan memandangi paha putih Nadisa yang memang terlihat. Karena Nadisa hanya mengenakan celana pendeknya."Wow..." gumam pria itu.Narendra berdehem kencang dan s
Nadisa berjalan bersisian dengan Narendra, memasuki kompleks perumahan elit yang tidak jauh berbeda dengan tempat tinggalnya. Nadisa jadi yakin, kalau orang yang akan diajari oleh Narendra adalah anak dari orang kaya. Mungkin malah salah satu kolega Nadisa? Perempuan atau laki-laki, ya?"Ingin bertanya sesuatu, Nadisa?" tanya Narendra, memecah keheningan di antara keduanya.Nadisa sempat mengerjap kaget, sebelum akhirnya tertawa. "Apakah begitu kentara kalau aku sedang kebingungan?" tanya Nadisa.Narendra sedikit menundukkan kepala, menghindari tatapan Nadisa. "Tidak, hanya … aku bisa merasakannya saja."Nadisa merasa takjub dalam hati. Tapi gadis itu menutupinya dengan menganggukkan kepalanya beberapa kali."Jadi, ingin bertanya apa, Nadisa?" ulang Narendra."Anak yang kamu ajar ini, perempuan?" tanya Nadisa."Dia anak laki-laki. Leon, namanya," jawab Narendra. "Anaknya manis dan lucu. Kamu mungkin akan suka mengobrol dengannya. Ah, seingatku dia juga punya seekor kucing. Kamu bisa
"Leon, Kakak datang."Narendra berkata seraya mendekati Leon. Leon yang awalnya sedang duduk bersandar pun menegakkan tubuhnya. Membuat Milo yang ada di pangkuannya melompat turun."Kak Naren–eh? Itu siapa di samping Kakak?" tanya Leon.Milo, kucing bersurai putih panjang itu, berlari ke arah Nadisa. Langsung disambut oleh sang dara, yang kemudian memeluknya.Nadisa menyempatkan diri untuk menoleh ke arah Narendra. Sedikit banyak, Nadisa penasaran Narendra akan memperkenalkannya sebagai apa pada muridnya. Pacar? Sahabat? Atau …"Teman Kakak, Leon."Ah, seharusnya Nadisa Tirta Sanjaya tidak berharap terlalu banyak.Kedua bahu Nadisa sedikit menurun. Bahkan senyuman indah di bibir tipisnya pun luntur. Ia hanya dianggap sebagai teman, ternyata."Miaw!" Milo membuka suara, seraya mendusal ke arah bahu Nadisa."Wah, Milo kayaknya suka sama temannya Kak Naren." Leon berkata diselingi tawa kecil.Nadisa tersenyum sopan. Gadis Sanjaya itu mengekori Narendra yang mendekati Leon. Hendak memulai
Langit perlahan mulai gelap. Menandakan bahwa malam akan segera datang dan matahari jelas harus menyingkir dari singgasananya. Memberikan ruang untuk rembulan yang membuat langit jadi temaram.Di tengah suasana yang kian gelap itu, beberapa anak muda tampak berkumpul di suatu jalan raya di pinggiran Jakarta, tepatnya di jalan menuju pegunungan dekat ibu kota. Lokasinya yang tidak berada di pusat kota itu membuat kondisi di sana tampak cukup sepi. Tidak terdapat banyak kendaraan yang lalu lalang. Hanya ada mereka, para anak pengusaha kaya di ibu kota.Jevano sudah berada di atas motor sport merah milik Marko. Menggeber mesinnya. Kemudian menoleh pada Ajiandra, lawan balapannya saat ini."Hey, Bocah. Mau taruhan apa untuk balapan kita?" tanya Jevano."Tidak perlu taruhan. Aku hanya sedang bosan dan butuh hiburan. Jadi aku tidak membutuhkan taruhan." Ajiandra menjawab santai. "Aku sudah cukup senang hanya dengan mendapat kemenangan."Lelaki bertubuh tinggi kurus yang sebenarnya lebih mu
Nyonya Wijaya yang jatuh pingsan membuat Nadisa membulatkan matanya. Untung saja wanita cantik itu tetap bersandar pada sofa, bukannya jatuh terhuyung ke lantai."T-tante?!" pekik Nadisa dengan kelewat kagetnya."Waduh, aku lupa kalau Mami takut darah. Bro, kamu duduk dulu di sini, ya. Aku angkut Mami ke kamarnya dulu," izin Marko. "Hey, Cantik, kalau bisa, tolong rawat temanku dulu ya. Ini aku sudah bawa perban dan alkohol untuk membersihkan lukanya. Nanti aku bantu juga untuk merawatnya, setelah membawa Mami ke kamar."Tanpa menunggu persetujuan dari Nadisa, Marko Wijaya sudah terlebih dahulu mendudukkan tubuh lemah Jevano di sofa samping Nadisa. Kemudian menggendong sang Mami ke arah kamarnya. Melewati Leon dan Narendra yang menatap kebingungan melihat kehadirannya.Nadisa memandangi Jevano, yang kini terdiam dengan tatapan sayu. Lutut dan sikunya mengalirkan darah. Dengan beberapa luka di wajah tampannya.Jevano juga mengalihkan pandangannya untuk menghindari Nadisa. Dalam hati, J
"Mami kenapa, Ko? Kok pingsan?" tanya Leon, tatkala sang kakak kembali melewati ruang tengah, untuk tiba di ruang tamu. Sepertinya ada teman sang Kakak di luar sana. Karena Leon dapat mendengar sayup-sayup suara dari ruang tamu sana."Bukan urusan anak kecil. Kamu belajar saja yang rajin," ucap Marko dengan santai. "Hey, Bung, ajari adikku yang benar, ya. Aku keluar dulu." Tepat setelah mengatakannya, Marko kembali melanjutkan langkah."Aish, Koko memang biang kerok! Awas saja kalau Mami sampai kenapa-kenapa! Akan Leon adukan ke Papi!" kesal Leon dengan pipi yang menggembung besar.Narendra menatap punggung Marko yang kian menjauh, menuju ruang tamu. Nadisa 'kan sedang ada di sana. Seharusnya, Nadisa bersama dengan sang Nyonya Wijaya. Tapi wanita paruh baya itu baru saja dibawa oleh Marko kembali ke kamarnya.Narendra jadi khawatir.Apa Nadisa baik-baik saja di luar sana?Secara tiba-tiba, Milo berjalan cepat menuju ruang tengah, kemudian melompat ke arah pangkuan Narendra. "Miaw! M
"Kok tiba-tiba diam? Wajahmu itu sudah seperti mau menelan orang, Jevan." Marko berkomentar dengan santai.Jevano menoleh pada Marko."Apa? Jangan menatapku begitu! Kamu benaran mau memakanku atau bagaimana?" tantang Marko. "Kalau mau memakanku dalam konteks yang 'itu', sudah kubilang 'kan kalau aku ini masih lurus? Aku tidak–" BUGH!Celotehan Marko Wijaya terpaksa dihentikan karena wajahnya dihantam dengan bantal. Yang tentu saja pelaku pelemparannya ada Jevano Putra Hartono."Shut up, Marko." Jevano bicara dengan suara beratnya. Baru kemudian ia bertanya. "Laki-laki yang tadi dengan Leon itu, kamu kenal?""Tidak terlalu. Aku cuma tahu kalau dia orang miskin yang dekat dengan mamiku dan disuruh menjadi tutor Leon. Kenapa? Kamu mau beralih dari aku ke dia? Iy–" Bugh! "Astaga, kamu sudah babak belur tapi tenagamu masih kayak raksasa! Sakit tahu, Jevan!"Marko mengeluh kesal karena lagi-lagi wajah tampannya dihantam menggunakan bantal oleh Jevano."Tidak bisakah Leon mengganti tutornya?
Gadis Sanjaya itu tidak dapat menahan lengkungan senyum di bibir tipisnya. Ia bahkan tertawa kecil, tatkala menutup rapat pintu utama kediamannya. Gila. Nadisa pasti sudah gila!Bisa-bisanya Nadisa mencium pipi Narendra!Hal yang tidak pernah Nadisa bayangkan sebelumnya. Habisnya, Nadisa merasa kesal dengan Narendra yang tidak berani mengungkapkan isi hatinya. Jadilah Nadisa ingin menunjukkan, bahwa dirinya telah lebih dulu jatuh hati pada sang Bagaskara.Siapa tahu, Narendra akan lebih percaya diri ke depannya. Iya 'kan?"Disa?"Suara lembut bernada keibuan itu berhasil menarik Nadisa dari alam bawah sadarnya. Sukses membuat sang gadis Sanjaya kehilangan senyumnya dan mengerjapkan mata, kaget lantaran mendapati Mama Ayu sudah berada di depannya."Mama? Belum tidur?" tanya Nadisa dengan cepat."Belum, Mama kepikiran kamu yang belum pulang. Jadi tidak tenang untuk tidur duluan." Mama Ayu berkata lemah. Wajah cantiknya terlihat lelah, mungkin efek mengantuk."Seharusnya Mama tidur saja.