Usai menghindari Jevano Putra Hartono di lapangan beberapa saat lalu, Nadisa Tirta Sanjaya dan Narendra Bagaskara berjalan bersisian. Melintasi jalan kompleks yang akan mengantarkan keduanya menuju kediaman megah milik keluarga Sanjaya.Nadisa menendang pelan kerikil di dekat kakinya. Membuat Narendra menoleh dan tersenyum kecil."Masih kesal, ya?" tanya Narendra. Lelaki itu tampaknya sangat peka terhadap perasaan Nadisa. Bahkan tanpa sedikit pun Nadisa bicara, Narendra tetap dapat memahami isi hati sang dara.Nadisa meringis kecil."Sedikit," sahut Nadisa. "Harusnya kita bisa lebih bersenang-senang saat main basket tadi. Karena ada dia, semuanya jadi berantakan. Menyebalkan."Narendra menganggukkan kepalanya beberapa kali, memberi tanda bahwa ia mendengarkan keluh kesah dari sang gadis Sanjaya. Baru kemudian Narendra kembali membuka suara."Tapi menurutku tidak berantakan, tuh?" kata Narendra.Nadisa menoleh dengan alis yang sedikit terangkat. Memandangi wajah Narendra yang terlihat
"Kakak?!" pekik Nadisa dengan kaget.Sosok lelaki tampan di depan sana, yang ternyata adalah Jeffrey Tirta Sanjaya, segera berjalan mendekati Nadisa dan seorang lelaki di sampingnya. Alih-alih terfokus pada Nadisa, Jeffrey justru fokus pada Narendra Bagakara.Lelaki itu lagi. Lelaki yang pernah mengantarkan Nadisa pulang tempo hari. Lelaki yang juga diusir secara tidak langsung oleh Jeffrey."Masih punya nyali rupanya," sindir Jeffrey. Jelas saja ditujukan untuk Narendra. Hingga lelaki itu menggigit bibir bawahnya pelan."Kak Jeff!" tegur Nadisa.Jeffrey mengarahkan fokusnya pada Nadisa sekarang. Melihat bagaimana adiknya yang cantik itu terlihat marah padanya. Hingga Jeffrey mau tidak mau menghela napasnya."Maaf," lirih Jeffrey pelan."Tidak apa-apa, Pak Jeffrey tidak perlu meminta maaf pada saya." Narendra berkata dengan tenang.Sedikit banyak, Narendra memang sadar diri akan posisinya di sini. Memang, Nadisa sendiri menerimanya dengan respons yang sangat baik. Gadis cantik yang Na
Nadisa melangkah turun dari mobil Jeffrey yang terparkir beberapa meter dari gerbang kediaman Sanjaya. Mereka berdua tidak ingin ambil risiko akan ketahuan bertemu oleh sang Mama. Semua akan menjadi runyam jika Mama Ayu mengetahui Jeffrey telah melanggar perintahnya.Jeffrey menurunkan kaca mobilnya."Disa," panggil Jeffrey.Nadisa yang awalnya sudah ingin pergi pun jadi tertahan. Kembali menoleh pada Jeffrey."Disa akan baik-baik saja 'kan selama Kakak tidak di rumah?" tanya Jeffrey pelan. Sedikit rasa gamang mulai tumbuh di hatinya."Tentu saja, Kak." Nadisa menjawab dengan senyuman tipis di bibirnya."Jaga Mama juga ya, Disa?" tanya Jeffrey.Nadisa mengangguk pelan. "Iya, Kakak bisa mengandalkan Disa. Sudah, sana Kakak kembali ke Bandung. Saat kita bertemu lagi, jangan lupa bawakan Disa susu dan kue cokelat yang banyak ya. Jangan pulang dengan tangan hampa begini," canda Nadisa.Jeffrey tertawa kecil.Jeffrey memang tidak sempat membelikan oleh-oleh sedikit pun. Ia terlalu mengkhaw
"Untuk soal nomor ini, kamu bisa memakai formula yang tadi aku berikan, Leon." Narendra menunjuk sebuah soal yang ada si buku paket di hadapannya. Membimbing seorang anak sekolah menengah pertama yang duduk tepat di sampingnya."Oh begitu ya, Kak Naren." Leon mengangguk paham.Tepat saat itu, seorang lelaki yang mengenakan jaket kulit berwarna hitam dan denim hitam panjang melintasi ruang tengah yang dijadikan tempat belajar oleh Leon dan Narendra. Narendra sempat meliriknya sekilas.Lelaki itu berpapasan dengan wanita cantik yang Narendra tahu merupakan mami dari Leon."Mau ke mana kamu, Marko? Sekarang sudah larut malam!" tegur wanita itu, Nyonya Wijaya.Marko terkekeh pelan. "Biasa, Mi. Ada teman yang butuh bantuan Marko."Nyonya Wijaya mendengus kesal."Kamu ini! Bukannya bantu adik kamu belajar di sana sama Naren, malah keluyuran!""Yah, bagi-bagi rezeki dong, Mi. Kalau Marko yang ngajarin Leon, nanti si Miskin itu bakal dapat duit dari mana? Iya nggak? Hehehe… Sudah ya, Mi. Mark
Nadisa Tirta Sanjaya akhirnya menerima permintaan dari Jevano. Ia kini duduk di samping sang pemuda. Berada di jok tengah mobilnya, karena orang yang mengemudikan mobil Jevano adalah tangan kanan dari sang lelaki Hartono.Nadisa sempat mengernyit tatkala melihat lelaki berkulit tan yang ada di kursi pengemudi. Lelaki itu mengenakan sebuah topi hitam yang nyaris menutupi separuh wajahnya.Lagi-lagi, Nadisa merasa tidak asing dengannya."Jalankan mobilnya, Haikal. Lalu gunakan head phone-mu. Jangan mendengarkan kami atau aku tidak akan segan memecatmu." Jevano berkata dengan tegas."Baik, Tuan Muda."Ya, sejak kejadian tempo hari, di mana Jevano nyaris membahayakan Nadisa di mobilnya, Jevano memutuskan untuk selalu mengajak Haikal jika ingin menemui Nadisa. Setidaknya, ia ingin agar dirinya tidak lepas kendali di hadapan Nadisa. Atau parahnya mengancam nyawa sang dara.Ia takut akan kebencian yang kian lama kian besar di benak Nadisa."Langsung ke intinya saja. Kamu mau bicara apa, Jeva
Nadisa tidak dapat menyembunyikan senyumnya. Rasa kesal yang sejak tadi bersarang di benaknya juga telah hilang entah ke mana. Hari Minggu yang awalnya Nadisa kira akan berakhir menyebalkan, ternyata tidak berjalan seperti yang ia pikirkan. Bertemu Narendra, nyatanya cukup menjadi sumber bahagia untuk sang dara."Boleh aku duduk?" tanya Narendra. Melihat ke arah kursi di samping Nadisa."Kamu nggak perlu minta izin, Narendra. Tentu saja boleh," kata Nadisa seraya tertawa pelan. Agaknya merasa gemas karena Narendra masih saja bertingkah sangat sopan di hadapannya.Narendra pun duduk di samping Nadisa. Dengan senyuman di wajah manisnya."Nadisa, kamu-" ucapan Narendra terhenti.Hal itu karena dirinya melihat seorang pria berpakaian sporty tengah berdiri tepat di samping Nadisa. Kedua mata milik pria asing itu secara terang-terangan memandangi paha putih Nadisa yang memang terlihat. Karena Nadisa hanya mengenakan celana pendeknya."Wow..." gumam pria itu.Narendra berdehem kencang dan s
Nadisa berjalan bersisian dengan Narendra, memasuki kompleks perumahan elit yang tidak jauh berbeda dengan tempat tinggalnya. Nadisa jadi yakin, kalau orang yang akan diajari oleh Narendra adalah anak dari orang kaya. Mungkin malah salah satu kolega Nadisa? Perempuan atau laki-laki, ya?"Ingin bertanya sesuatu, Nadisa?" tanya Narendra, memecah keheningan di antara keduanya.Nadisa sempat mengerjap kaget, sebelum akhirnya tertawa. "Apakah begitu kentara kalau aku sedang kebingungan?" tanya Nadisa.Narendra sedikit menundukkan kepala, menghindari tatapan Nadisa. "Tidak, hanya … aku bisa merasakannya saja."Nadisa merasa takjub dalam hati. Tapi gadis itu menutupinya dengan menganggukkan kepalanya beberapa kali."Jadi, ingin bertanya apa, Nadisa?" ulang Narendra."Anak yang kamu ajar ini, perempuan?" tanya Nadisa."Dia anak laki-laki. Leon, namanya," jawab Narendra. "Anaknya manis dan lucu. Kamu mungkin akan suka mengobrol dengannya. Ah, seingatku dia juga punya seekor kucing. Kamu bisa
"Leon, Kakak datang."Narendra berkata seraya mendekati Leon. Leon yang awalnya sedang duduk bersandar pun menegakkan tubuhnya. Membuat Milo yang ada di pangkuannya melompat turun."Kak Naren–eh? Itu siapa di samping Kakak?" tanya Leon.Milo, kucing bersurai putih panjang itu, berlari ke arah Nadisa. Langsung disambut oleh sang dara, yang kemudian memeluknya.Nadisa menyempatkan diri untuk menoleh ke arah Narendra. Sedikit banyak, Nadisa penasaran Narendra akan memperkenalkannya sebagai apa pada muridnya. Pacar? Sahabat? Atau …"Teman Kakak, Leon."Ah, seharusnya Nadisa Tirta Sanjaya tidak berharap terlalu banyak.Kedua bahu Nadisa sedikit menurun. Bahkan senyuman indah di bibir tipisnya pun luntur. Ia hanya dianggap sebagai teman, ternyata."Miaw!" Milo membuka suara, seraya mendusal ke arah bahu Nadisa."Wah, Milo kayaknya suka sama temannya Kak Naren." Leon berkata diselingi tawa kecil.Nadisa tersenyum sopan. Gadis Sanjaya itu mengekori Narendra yang mendekati Leon. Hendak memulai
Jeffrey masih berada dalam mobilnya. Kini memegang telepon genggam, guna mengabari salah satu anak buahnya yang ada di kantor cabang Bandung sana. Pasalnya, Jeffrey yang seharusnya tiba di Bandung siang nanti, kemungkinan akan terlambat karena harus memenuhi permintaan Nadisa.Ah, jangan khawatir. Bahkan sang Mama juga bicara bahwa kantor tempatnya bekerja adalah milik keluarga. Jadi Jeffrey rasa, tidak apa jika ia terlambat sesekali seperti ini.Tepat setelah mengabari anak buahnya, Jeffrey pun hendak menjalankan mobilnya untuk menuju pusat perbelanjaan di pusat Kota Jakarta. Akan tetapi, pemandangan yang tersaji di lobi kantor Sanjaya membuat Jeffrey mengernyitkan dahi.Di hadapannya, dapat ia lihat Karenia yang mengenakan blazer cokelat, dipadukan dengan rok senada sepanjang setengah paha. Kernyitan di dahi Jeffrey kian menguat, tatkala melihat Karenia berlari dengan penuh senyuman. Menyongsong satu orang yang mengenakan jas hitam."Kak! Kak Jevan!"Dari perawakan yang tinggi tegap
Nadisa bergegas mengambil tasnya yang ada di nakas samping ranjang. Kemudian beranjak menuju pintu kamarnya. Tepat ketika tangannya mencapai tuas pintu, ekor mata Nadisa melihat eksistensi suatu benda yang tersampir di sofa kamarnya.Jaket milik Narendra Bagaskara.Ah, saking lelahnya Nadisa, gadis itu jadi belum sempat mencuci jaket yang kemarin dipinjamkan oleh sang Bagaskara. Ia melirik ke arah jam dinding di kamarnya. Sudah tidak ada waktu lebih.Nadisa pun memutuskan untuk berlalu dari kamarnya. Turun menuju lantai satu kediaman mewah milik keluarga Sanjaya. Tempat dimana Jeffrey dan Mama Ayu berada.Napas Nadisa sempat tertahan. Kepala cantiknya tanpa sengaja memutar kejadian kemarin malam. Tatkala tamparan keras sang Mama mendarat di pipi putih mulusnya.Jeffrey yang awalnya fokus pada serealnya, kini mendongak dan melambaikan tangannya. Memberi tanda agar Nadisa mendekat ke meja makan."Sini, Disa. Sarapan." Jeffrey berkata tanpa berpikir panjang
Mesin mobil yang dikendarai oleh Jeffrey Tirta Sanjaya akhirnya mati, tatkala kendaraan tersebut telah tiba di pekarangan rumah yang dirinya dan Nadisa tinggali. Pria dengan lesung di kedua pipi itu baru saja menoleh pada sang Adik, tetapi Nadisa tanpa kata segera meninggalkan dirinya. Keluar dari mobil dan memasuki rumah mewah mereka.Jeffrey mengusak rambutnya ke belakang, memandangi punggung kecil Nadisa yang perlahan menjauh.Jujur saja, Jeffrey tidak tahu menahu bagaimana adiknya bisa sangat membenci Jevano Putra Hartono. Sampai-sampai Nadisa berani membohongi Mama mereka, hanya untuk menghindari lelaki yang memang dipilih sang Mama untuknya. Setahu Jeffrey, Jevano adalah lelaki yang baik dan sempurna. Tidak ada salahnya mendekatkan Jevano dengan Nadisa yang juga tak kalah sempurna.Tapi apa mungkin Jeffrey melewatkan sesuatu? Apa Nadisa mengetahui sesuatu tentang Jevano, yang tidak Jeffrey dan Mama Ayu ketahui? Dan lagi, sosok lelaki yang yang menemani sang Adik di tengah dingin
Kedua anak Adam dan Hawa itu berjalan di tengah remangnya malam. Kembali menuju kediaman Sanjaya. Akan tetapi, tepat ketika keduanya tiba di gerbang kompleks Nadisa, satu sosok pria yang familiar pun muncul di sana.Jeffrey Tirta Sanjaya.Pria tampan bertubuh tegap dengan setelan kaos dan celana denim, juga dilengkapi jaket hitam-merah yang terlihat mahal. Tampak turun dari mobilnya tatkala melihat eksistensi sang adik tak jauh darinya.Bola mata gelap yang sarat akan rasa khawatir itu sempat melirik ke arah Narendra Bagaskara seraya mengangkat alis, tapi kemudian ia memilih abai dan memusatkan atensi pada Nadisa seorang. Dapat dilihat oleh Jeffrey, kedua mata Nadisa yang membengkak dan merah. Jelas sekali bahwa sang adik semata wayangnya baru saja menangis hebat."Disa, kita pulang, ya?" tanya Jeffrey dengan lembut.Nadisa terdiam di posisinya. Gadis cantik itu mengusap pipinya yang masih sedikit basah menggunakan lengan berbalut jaket milik Narendra.Jeffrey yang melihat hal tersebu
"Kamu-"Ucapan Nadisa Tirta Sanjaya dibalas dengan senyuman yang melebar di wajah lelaki itu."Iya, Nadisa. Ini aku, Naren."Suara yang menenangkan itu membuat Nadisa kian bingung."Kenapa ... kamu bisa ada di sana? Bukankah ... kamu seharusnya sudah pulang sejak tadi?" tanya Nadisa dengan suara sengaunya. Hidungnya memerah, akibat dari tangisannya. Matanya pun terlihat sedikit membengkak."Mau minum dulu sebelum kita mengobrol lagi hari ini?" tanya Narendra dengan tenang. Tangannya menjulurkan satu gelas kertas berisikan teh hangat.Tangan berkulit putih milih sang gadis Sanjaya tampak bergetar tatkala menerima teh yang diberikan Narendra. Kemudian menyesapnya pelan. Melegakan dahaga di tenggorokannya yang perih karena menangis kencang.Narendra kemudian membuang pandangannya ke depan, memusatkan atensinya pada Sungai Hanja."Hari ini banyak yang terjadi ya, Nadisa." Narendra berkata pelan. "Terkadang, kalau kita sedang merasa bahagia, kesedihan justru akan datang tanpa bisa kita cega
Malam kian larut tatkala kedua kaki jenjang Nadisa melangkah, lebih tepatnya berlari, menjauhi kediaman mewahnya. Air mata kembali berlinang di wajahnya yang cantik jelita. Pun ia terisak pelan. Mengingat bagaimana ucapan tajam sang Mama beserta tamparan yang ia dapatkan di pipi putihnya.Di tengah pelariannya itu, gerimis mulai turun membasahi bumi. Entahlah. Mungkin semesta ingin agar air mata Nadisa tidak dapat dilihat oleh manusia lainnya. Agar hanya Nadisa yang tahu bahwa hatinya kini terasa sangat perih. Karena tindakan sang Mama yang begitu menyakiti.Padahal, Nadisa Tirta Sanjaya hanya ingin menghindari takdir buruknya.Ia hanya tidak ingin terjebak dengan Jevano Putra Hartono untuk kali kedua. Ia tidak ingin menjatuhkan hatinya lagi pada lelaki brengsek seperti Jevano. Ia tidak ingin ... mati sia-sia hanya karena menjadi korban dari hubungan rahasia Jevano dan Karenia.Nadisa hanya ingin bahagia, dengan keluarga juga orang-orang yang dikasihinya. Mama Ayu. Kak Jeffrey. Juga Na
Nadisa masih bergeming di posisinya. Dengan satu tangan yang memegangi pipi kiri, tempat yang baru saja menjadi sasaran dari tangan Ayu Tirta Sanjaya. Pipinya memang terasa sangat sakit, tapi lebih dari itu, hati Nadisa jauh lebih perih."Mama menampar Disa....?" lirih Nadisa. "Disa salah apa, Ma? Disa salah apa sampai Mama tega menampar Disa?" cecar Nadisa dengan penuh rasa kecewa. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia berusaha menahan tangisannya karena tidak ingin dianggap lemah oleh sang Mama.Mama Ayu mengepalkan tangannya. Masih menatap sang putri dengan mata yang melebar, nyalang. Dipenuhi amarah dan kecewa."Kenapa Mama diam? Jawab Disa! Kenapa Mama tega menampar Disa?!" teriak Nadisa. Emosinya sudah sampai di ubun-ubun."Kamu masih bertanya?! Setelah kebohongan kamu ke Mama, kamu masih bisa bertanya alasan Mama menampar kamu?! Iya?!" balas sang Mama.Jawaban dari Ayu Tirta Sanjaya membuat Nadisa membelalakkan mata dengan jantung yang mulai berdegup kencang. Pupil m
Langit kini telah menjadi gelap. Pun jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan Jeffrey Tirta Sanjaya telah menunjukkan pukul delapan malam. Sudah waktunya untuk beristirahat.Akan tetapi, lelaki tampan bernama lengkap Jeffrey Tirta Sanjaya itu justru baru saja menghentikan laju mobilnya. Memarkirkan kendaraan mahal itu di depan kediamannya. Ya, kediaman Sanjaya yang berlokasi di Jakarta.Entah ada angin apa hari ini, Mama Ayu akhirnya mengizinkan Jeffrey untuk pulang ke rumah mereka, meski hanya untuk satu hari. Maklum, Jeffrey memang harus mengurus kantor cabang yang ada di Bandung. Jadi tentu saja ia tidak bisa berlama-lama di rumah yang selalu saja ia rindukan.Lelaki tampan itu mengeluarkan dua kantung besar dari bagasi mobil hitamnya. Kantung berisikan bolu cokelat yang tempo hari Nadisa pesan. Juga beberapa susu yang sekiranya sang Mama dan sang adik suka."Sini saya bantu, Tuan." Pak Asep menawarkan bantuan. Beliau memang yang tadi membukakan pintu gerbang untuk Jeffrey.
Puk. Puk. Puk.Setiap kali kaki itu melangkah, pasir pantai yang dipijaknya akan membentuk jejak kaki. Mengikuti bentuk sandal yang kedua orang itu kenakan. Satu berukuran besar, dan satu lagi lebih kecil.Jejak kaki itu terlihat di sepanjang pesisir pantai, di dekat deburan ombak yang terlihat tidak terlalu besar. Hanya sesekali membasahi kaki. Tanpa bisa menyeret dua insan yang tengah berjalan di bawah cerahnya mentari."Indah sekali, ya. Pantai di Jakarta ternyata nggak buruk juga." Nadisa membuka percakapan di antara keduanya.Narendra menipiskan bibirnya, tersenyum manis. Ia memandangi Nadisa yang kini berjalan mundur, agar bisa berbincang dengan dirinya. Embusan angin pantai menerbangkan helaian rambut hitamnya dengan sedikit kencang."Iya, indah sekali." Perkataan itu terlontar, tatkala Narendra memandangi Nadisa Tirta Sanjaya. Entah ditujukan untuk pantai yang ia kunjungi, atau untuk gadis yang ia cintai."Iya 'kan? Sudah gitu, di bagian sini tid