"Kakak?!" pekik Nadisa dengan kaget.Sosok lelaki tampan di depan sana, yang ternyata adalah Jeffrey Tirta Sanjaya, segera berjalan mendekati Nadisa dan seorang lelaki di sampingnya. Alih-alih terfokus pada Nadisa, Jeffrey justru fokus pada Narendra Bagakara.Lelaki itu lagi. Lelaki yang pernah mengantarkan Nadisa pulang tempo hari. Lelaki yang juga diusir secara tidak langsung oleh Jeffrey."Masih punya nyali rupanya," sindir Jeffrey. Jelas saja ditujukan untuk Narendra. Hingga lelaki itu menggigit bibir bawahnya pelan."Kak Jeff!" tegur Nadisa.Jeffrey mengarahkan fokusnya pada Nadisa sekarang. Melihat bagaimana adiknya yang cantik itu terlihat marah padanya. Hingga Jeffrey mau tidak mau menghela napasnya."Maaf," lirih Jeffrey pelan."Tidak apa-apa, Pak Jeffrey tidak perlu meminta maaf pada saya." Narendra berkata dengan tenang.Sedikit banyak, Narendra memang sadar diri akan posisinya di sini. Memang, Nadisa sendiri menerimanya dengan respons yang sangat baik. Gadis cantik yang Na
Nadisa melangkah turun dari mobil Jeffrey yang terparkir beberapa meter dari gerbang kediaman Sanjaya. Mereka berdua tidak ingin ambil risiko akan ketahuan bertemu oleh sang Mama. Semua akan menjadi runyam jika Mama Ayu mengetahui Jeffrey telah melanggar perintahnya.Jeffrey menurunkan kaca mobilnya."Disa," panggil Jeffrey.Nadisa yang awalnya sudah ingin pergi pun jadi tertahan. Kembali menoleh pada Jeffrey."Disa akan baik-baik saja 'kan selama Kakak tidak di rumah?" tanya Jeffrey pelan. Sedikit rasa gamang mulai tumbuh di hatinya."Tentu saja, Kak." Nadisa menjawab dengan senyuman tipis di bibirnya."Jaga Mama juga ya, Disa?" tanya Jeffrey.Nadisa mengangguk pelan. "Iya, Kakak bisa mengandalkan Disa. Sudah, sana Kakak kembali ke Bandung. Saat kita bertemu lagi, jangan lupa bawakan Disa susu dan kue cokelat yang banyak ya. Jangan pulang dengan tangan hampa begini," canda Nadisa.Jeffrey tertawa kecil.Jeffrey memang tidak sempat membelikan oleh-oleh sedikit pun. Ia terlalu mengkhaw
"Untuk soal nomor ini, kamu bisa memakai formula yang tadi aku berikan, Leon." Narendra menunjuk sebuah soal yang ada si buku paket di hadapannya. Membimbing seorang anak sekolah menengah pertama yang duduk tepat di sampingnya."Oh begitu ya, Kak Naren." Leon mengangguk paham.Tepat saat itu, seorang lelaki yang mengenakan jaket kulit berwarna hitam dan denim hitam panjang melintasi ruang tengah yang dijadikan tempat belajar oleh Leon dan Narendra. Narendra sempat meliriknya sekilas.Lelaki itu berpapasan dengan wanita cantik yang Narendra tahu merupakan mami dari Leon."Mau ke mana kamu, Marko? Sekarang sudah larut malam!" tegur wanita itu, Nyonya Wijaya.Marko terkekeh pelan. "Biasa, Mi. Ada teman yang butuh bantuan Marko."Nyonya Wijaya mendengus kesal."Kamu ini! Bukannya bantu adik kamu belajar di sana sama Naren, malah keluyuran!""Yah, bagi-bagi rezeki dong, Mi. Kalau Marko yang ngajarin Leon, nanti si Miskin itu bakal dapat duit dari mana? Iya nggak? Hehehe… Sudah ya, Mi. Mark
Nadisa Tirta Sanjaya akhirnya menerima permintaan dari Jevano. Ia kini duduk di samping sang pemuda. Berada di jok tengah mobilnya, karena orang yang mengemudikan mobil Jevano adalah tangan kanan dari sang lelaki Hartono.Nadisa sempat mengernyit tatkala melihat lelaki berkulit tan yang ada di kursi pengemudi. Lelaki itu mengenakan sebuah topi hitam yang nyaris menutupi separuh wajahnya.Lagi-lagi, Nadisa merasa tidak asing dengannya."Jalankan mobilnya, Haikal. Lalu gunakan head phone-mu. Jangan mendengarkan kami atau aku tidak akan segan memecatmu." Jevano berkata dengan tegas."Baik, Tuan Muda."Ya, sejak kejadian tempo hari, di mana Jevano nyaris membahayakan Nadisa di mobilnya, Jevano memutuskan untuk selalu mengajak Haikal jika ingin menemui Nadisa. Setidaknya, ia ingin agar dirinya tidak lepas kendali di hadapan Nadisa. Atau parahnya mengancam nyawa sang dara.Ia takut akan kebencian yang kian lama kian besar di benak Nadisa."Langsung ke intinya saja. Kamu mau bicara apa, Jeva
Nadisa tidak dapat menyembunyikan senyumnya. Rasa kesal yang sejak tadi bersarang di benaknya juga telah hilang entah ke mana. Hari Minggu yang awalnya Nadisa kira akan berakhir menyebalkan, ternyata tidak berjalan seperti yang ia pikirkan. Bertemu Narendra, nyatanya cukup menjadi sumber bahagia untuk sang dara."Boleh aku duduk?" tanya Narendra. Melihat ke arah kursi di samping Nadisa."Kamu nggak perlu minta izin, Narendra. Tentu saja boleh," kata Nadisa seraya tertawa pelan. Agaknya merasa gemas karena Narendra masih saja bertingkah sangat sopan di hadapannya.Narendra pun duduk di samping Nadisa. Dengan senyuman di wajah manisnya."Nadisa, kamu-" ucapan Narendra terhenti.Hal itu karena dirinya melihat seorang pria berpakaian sporty tengah berdiri tepat di samping Nadisa. Kedua mata milik pria asing itu secara terang-terangan memandangi paha putih Nadisa yang memang terlihat. Karena Nadisa hanya mengenakan celana pendeknya."Wow..." gumam pria itu.Narendra berdehem kencang dan s
Nadisa berjalan bersisian dengan Narendra, memasuki kompleks perumahan elit yang tidak jauh berbeda dengan tempat tinggalnya. Nadisa jadi yakin, kalau orang yang akan diajari oleh Narendra adalah anak dari orang kaya. Mungkin malah salah satu kolega Nadisa? Perempuan atau laki-laki, ya?"Ingin bertanya sesuatu, Nadisa?" tanya Narendra, memecah keheningan di antara keduanya.Nadisa sempat mengerjap kaget, sebelum akhirnya tertawa. "Apakah begitu kentara kalau aku sedang kebingungan?" tanya Nadisa.Narendra sedikit menundukkan kepala, menghindari tatapan Nadisa. "Tidak, hanya … aku bisa merasakannya saja."Nadisa merasa takjub dalam hati. Tapi gadis itu menutupinya dengan menganggukkan kepalanya beberapa kali."Jadi, ingin bertanya apa, Nadisa?" ulang Narendra."Anak yang kamu ajar ini, perempuan?" tanya Nadisa."Dia anak laki-laki. Leon, namanya," jawab Narendra. "Anaknya manis dan lucu. Kamu mungkin akan suka mengobrol dengannya. Ah, seingatku dia juga punya seekor kucing. Kamu bisa
"Leon, Kakak datang."Narendra berkata seraya mendekati Leon. Leon yang awalnya sedang duduk bersandar pun menegakkan tubuhnya. Membuat Milo yang ada di pangkuannya melompat turun."Kak Naren–eh? Itu siapa di samping Kakak?" tanya Leon.Milo, kucing bersurai putih panjang itu, berlari ke arah Nadisa. Langsung disambut oleh sang dara, yang kemudian memeluknya.Nadisa menyempatkan diri untuk menoleh ke arah Narendra. Sedikit banyak, Nadisa penasaran Narendra akan memperkenalkannya sebagai apa pada muridnya. Pacar? Sahabat? Atau …"Teman Kakak, Leon."Ah, seharusnya Nadisa Tirta Sanjaya tidak berharap terlalu banyak.Kedua bahu Nadisa sedikit menurun. Bahkan senyuman indah di bibir tipisnya pun luntur. Ia hanya dianggap sebagai teman, ternyata."Miaw!" Milo membuka suara, seraya mendusal ke arah bahu Nadisa."Wah, Milo kayaknya suka sama temannya Kak Naren." Leon berkata diselingi tawa kecil.Nadisa tersenyum sopan. Gadis Sanjaya itu mengekori Narendra yang mendekati Leon. Hendak memulai
Langit perlahan mulai gelap. Menandakan bahwa malam akan segera datang dan matahari jelas harus menyingkir dari singgasananya. Memberikan ruang untuk rembulan yang membuat langit jadi temaram.Di tengah suasana yang kian gelap itu, beberapa anak muda tampak berkumpul di suatu jalan raya di pinggiran Jakarta, tepatnya di jalan menuju pegunungan dekat ibu kota. Lokasinya yang tidak berada di pusat kota itu membuat kondisi di sana tampak cukup sepi. Tidak terdapat banyak kendaraan yang lalu lalang. Hanya ada mereka, para anak pengusaha kaya di ibu kota.Jevano sudah berada di atas motor sport merah milik Marko. Menggeber mesinnya. Kemudian menoleh pada Ajiandra, lawan balapannya saat ini."Hey, Bocah. Mau taruhan apa untuk balapan kita?" tanya Jevano."Tidak perlu taruhan. Aku hanya sedang bosan dan butuh hiburan. Jadi aku tidak membutuhkan taruhan." Ajiandra menjawab santai. "Aku sudah cukup senang hanya dengan mendapat kemenangan."Lelaki bertubuh tinggi kurus yang sebenarnya lebih mu