"Akh!"
Matahari baru saja menampakkan sinarnya ketika Previta terbangun dari tidurnya.
Ia merasa ada yang aneh, seperti ada firasat buruk yang mengganggu tidurnya semalaman. Dengan langkah gontai, ia berjalan menuju kamar Gion, kakaknya, untuk memastikan semuanya baik-baik saja.
Namun, pemandangan yang dilihatnya di dalam kamar Gion membuat jantungnya berhenti sejenak. Pria itu terbaring di ranjang, kejang-kejang dengan keringat dingin mengucur deras di dahinya. "Kakak!" teriak Previta panik, ia segera berlari mendekati. Dengan cepat, gadis itu menghubungi layanan darurat, suaranya bergetar saat melaporkan keadaan kakaknya. "Tolong, kakak saya kejang-kejang! Kami di Jalan Rottan Nomor 12, tolong cepat datang!" serunya dengan panik. Tak berselang lama, suara sirine ambulance terdengar mendekat. Paramedis berderap masuk, kemudian membawa Gion ke rumah sakit terdekat. Sementara Previta, ia mengikuti ambulance dengan penuh kecemasan. Meski hubungan mereka belakangan tidak terlalu baik, ia tak henti-hentinya berdoa agar kakaknya baik-baik saja. Setibanya di rumah sakit, Gion langsung dibawa ke ruang gawat darurat dan Previta hanya bisa menunggu di luar dengan hati yang gelisah. Waktu terasa berjalan sangat lambat, setiap detik yang berlalu semakin menambah beban di hatinya. Setelah beberapa jam yang mencekam, seorang dokter keluar dari ruang gawat darurat. "Anda keluarga pasien?" tanya dokter itu dengan raut wajah serius. Previta mengangguk cepat. "Iya, saya adiknya. Bagaimana keadaan kakak saya, Dok?" "Keadaannya sudah stabil sekarang, tapi kami masih harus memantau keadaannya. Sepertinya dia mengalami serangan kejang yang cukup parah. Anda bisa menunggunya di ruang perawatan, dia akan segera dipindahkan ke sana," jelas dokter itu. Previta mengembuskan napas lega. Tak ayal masih ada kekhawatiran di hatinya, tetapi ia dengan patuh mengikuti petunjuk dokter menuju ruang perawatan. Tepat setelah ia sampai, Gion dipindahkan ke ruang tersebut, masih dalam keadaan tak sadarkan diri. "Aku di sini, Kak. Kamu tidak boleh kenapa-kenapa ...," lirih Previta menyatukan kedua tangan mereka penuh harap seraya terus menatap ke arah Gion. Entah bagaimana, Gion yang terbaring tak berdaya akhirnya mulai sadar.Ia membuka matanya perlahan, merasakan kepalanya berdenyut hebat. Pandangannya kabur sejenak sebelum akhirnya fokus pada sosok adiknya yang duduk di kursi samping ranjang.
"Previta ...?" Suara Gion serak, mencoba mengumpulkan kekuatannya. Gadis remaja itu segera berdiri, matanya berkaca-kaca melihat sang kakak mulai sadar. "Syukurlah Kakak sudah bangun! Kamu membuatku sangat khawatir, Kak." Gion mencoba duduk, meski tubuhnya masih terasa lemah. "Apa yang terjadi? Aku ingat ... aku di kamar, lalu tiba-tiba semuanya gelap." "Kemarin aku melihat Kakak kejang-kejang saat tidur, lalu aku langsung menghubungi rumah sakit dan mereka membawamu ke sini. Dokter bilang Kakak mengalami serangan kejang yang parah," jelas Previta dengan suara sedikit bergetar. Gion mengangguk pelan, mencoba mencerna informasi yang diberikan adiknya. Namun sedetik kemudian, ia menyadari ada sesuatu yang aneh, lalu pria itu melihat ke sekeliling ruangan dan merasa ada yang berbeda. Sejurus kemudian pandangannya tertumbuk pada sebuah kalender meja di nakas di sebelah brankar yang ia tempati. Kedua alisnya bertautan dengan kencang. Ingatan tentang kejadian tragis di klub mulai memenuhi pikirannya. Namun, mengapa seperti ada yang salah di kalender yang ia lihat saat ini? "Tunggu, tahun berapa sekarang?" tanya Gion tiba-tiba, matanya menatap Previta dengan penuh kebingungan. "Lah, kok tiba-tiba nanya tahun, kenapa?" jawab Previta dengan alis terangkat. "Ini kalender kok, tertulis tahun 2022? Kalender lama kenapa masih dipajang ...?" Gion merasa kepalanya berputar. Ia mengingat dengan jelas bahwa seharusnya ia sudah mati. Apa ia sedang bermimpi? "Ini tahun 2022, Kakak. Memangnya ini tahun berapa?" cetus Previta heran melihat gelagat sang kakak. Apa kakaknya sedang mengigau? "Tahun 2022? Nggak mungkin ...! Bercanda kamu!" seru Gion, tetapi wajah Previta terlihat serius. Sang adik mengerutkan kening. Ia kebingungan dengan reaksi kakaknya. "Kak, kamu kenapa? Apa ada yang salah?" Gion menutup matanya, mencoba menenangkan diri. Apakah mungkin ini kesempatan kedua untuk mengubah nasibnya? Untuk menghindari kematian yang mengerikan itu? Ia harus memastikan bahwa kejadian itu tidak akan terulang lagi. "Aku baik-baik saja, hanya sedikit bingung," jawab Gion akhirnya, ia berusaha menyembunyikan kegelisahannya. "Terima kasih sudah menyelamatkanku, Vi." Previta tersenyum ragu. "Tentu saja, bagaimanapun Kakak adalah kakakku." Gion menyadarinya, ia ingat awal mula pertikaian dirinya dengan sang adik terjadi pada tahun ini, karena kebodohannya yang lebih percaya pada orang lain. "Maafkan Kakak ...," ucap Gion tiba-tiba. Previta menaikkan sebelah alisnya heran, menunggu Gion menyelesaikan kalimatnya. "... Setelah ini Kakak janji akan percaya padamu dan akan selalu ada untukmu. Seperti janjiku pada ibu." Gion menatap adiknya dengan serius dan penuh ketulusan dalam setiap kata-katanya, sedangkan Previta masih mencerna ucapan kakak satu-satunya itu. Pada akhirnya, gadis itu hanya mengangguk singkat dan tidak terlalu menganggap serius perkataan Gion. Ia sedang tidak dalam mood yang bagus untuk membahas masalah itu. "Kakak harus banyak istirahat. Aku belum menghubungi manager-mu, ponselmu juga di rumah, dia pasti mencari Kakak," ujar Previta, sambil membantu Gion berbaring, setelahnya ia berpamitan pergi keluar. Menghela napas pasrah, Gion memejamkan matanya. Pria itu berusaha untuk tetap tenang dalam situasi yang masih sangat membingungkan baginya. Yang pasti, ia harus mulai menyesuaikan diri dengan kenyataan baru ini. Bertekad menggunakan kesempatan ini sebaik mungkin dan mencari cara untuk menghindari tragedi yang akan datang dan menyelidiki siapa saja yang sekiranya terlibat pada kejadian tersebut. Dunia hiburan penuh dengan intrik dan tipu daya, dan Gion tahu ia harus lebih waspada kali ini. Ia tidak boleh membiarkan dirinya terjebak dalam perangkap yang sama. Kini, misinya hanyalah menjadi seorang aktor hebat sesuai tujuan awalnya dan meninggalkan semua kebodohannya di masa lalu. Ia tidak akan mudah percaya lagi pada orang-orang di sekitarnya dan akan selalu berhati-hati dalam setiap langkah yang diambil beserta konsekuensinya!"Tunggu pembalasanku...!"
."Benar-benar bodoh." Gion mengutuk dirinya sendiri. Bagaimana tidak! Ia sedang berdiri di depan lemari pakaian di kamarnya, mengamati isi dari lemari besar itu. Baju-baju yang tersimpan rapih di dalam sana memiliki desain serta model yang terlalu feminim untuk dipakai oleh pria dewasa. Gion berpikir, bagaimana bisa saat itu ia tertarik membelinya dan merasa baik-baik saja saat memakainya di hadapan publik? Meskipun baju-baju itu dirancang bisa dipakai oleh pria maupun wanita, tetap saja, bukannya terlihat modis justru akan terlihat sangat aneh. Kebiasaannya memakai semua itu adalah berawal dari rekomendasi salah satu teman wanitanya saat ia terpikirkan untuk mengubah gaya berpakaiannya. Awalnya, teman-teman dan rekan sesama artisnya memujinya cocok saat menambahkan kesan lucu karena dinilai sesuai dengan wajah serta proporsi tubuh mungilnya. Mereka bilang penggemarnya juga menyukainya, sehingga entah bagaimana ia akhirnya menuruti untuk mempertahankan gaya berpakaiannya. Sayan
"Hari baru, gaya baru." . . Tidak ada lagi reaksi yang berlebihan. Gion sadar bahwa selama ini dirinya sudah terlalu mempermalukan diri sendiri dengan menempeli partnernya itu dan bertingkah seperti jalang murahan. Sungguh menjijikan. Selain itu, Ia masih sangat marah saat mengingat Jensen dengan sengaja menjebaknya malam itu. Hal itu semakin membuka lebar matanya bahwa selama ini keberadaannya sangat mengganggu di sisi pria itu hingga Jensen begitu membencinya. Gerak-geriknya diperhatikan oleh satu orang di ruangan itu tanpa Gion sadari. Entah kenapa, Jensen merasa ada yang salah dari Gion selain penampilannya. Tapi tidak tahu apa itu. Mungkin hanya perasaannya saja, pikirnya. Meeting beragendakan jadwal Gion dan Jenjen selama satu bulan kedepan pun di mulai. Gion memperhatikan dengan santai, ia sudah tahu dan mengerti isi dari pembahasan tersebut. Dan kalau dipikir-pikir sekarang, pekerjaan serta perannya saat ini cukup membosankan, terasa tidak sebanding dengan saat dirin
"Aku tidak suka, dan aku tidak mau memakainya," tukas Gion. Di masa lalu, pakaian itu membuatnya dibicarakan semua orang. Tapi, bukan dalam sudut pandang positif.Di sisi lain, Alice tertegun sejenak, menatap Gion dengan tatapan tidak senang. "Kamu serius? Gion, ini bukan waktunya untuk main-main. Pakaian ini disiapkan oleh pihak brand untuk acara hari ini dan aku sudah menyiapkan riasan yang sesuai. Berhenti bersikap kekanakan, pergi dan ganti bajumu!"Gion berdecak kesal, akhirnya ia membawa setelan itu ke dalam bilik ganti. Dengan terpaksa ia memakai baju itu, namun sebelum keluar dari bilik, ia menghubungi seseorang terlebih dahulu agar membawakan sesuatu untuknya."Lihat, pakaian itu sangat cocok untukmu. Kemari, biar aku sempurnakan dengan keajaiban riasanku," ucap Alice menatap penuh kekaguman pada Gion yang baru saja keluar dari bilik ganti.Sayangnya, tak sampai di sana, Gion kembali menyuarakan ketidakpuasan terhadap komponen make up yang digunakan oleh Alice saat merias wa
"Untuk saat ini, tidak ada kegiatan berarti yang sedang aku kerjakan. Tapi aku berencana membuat sesuatu yang mungkin akan mengejutkan Ginovers. Untuk projek dengan Jensen, kami akan bekerja seperti basanya.""Wah, bolehkah kamu memberitahu kami sedikit informasi tentang rencana tersebut? Apakah itu tur luar negeri atau syuting acara show?" tanya sang pembawa acara dengan nada bercanda."Aku masih memikirkannya. Kalian semua akan tahu nanti," jawab Gion, melirik kerumunan penggemar sambil terkekeh ringan.Pertanyaan dan pembahasan lainnya terus bergulir, sampai salah satu penggemar yang mendapat kesempatan terdengar bertanya, "Bagaimana cara kamu menanggapi kritik atau kebencian yang muncul di media sosial?"Gion mendengarkan dengan seksama kemudian menghela napas sebelum menjawab, "Kritik adalah bagian dari hidup, terutama bagi seseorang yang berada di dunia hiburan. Aku selalu berusaha untuk menerima kritik yang membangun dan mengabaikan komentar negatif yang tidak berdasar selama t
Di belakang Gion, Alice yang masih berdiri kaku di tempatnya merasa semakin bingung. Gion biasanya tidak akan menghindar atau terlihat ragu dalam memutuskan sesuatu yang menyangkut teman-temannya. Akan tetapi, hari ini, ada sesuatu yang berbeda darinya dan itu sangat mengganggunya. Karin yang memperhatikan situasi ini juga semakin merasa khawatir. Karena seperti yang publik ketahui, hubungan antara Gion dan Bryan tidak sebaik ini, bahkan sering kali Gion mewanti-wanti agar menolak tawaran yang memungkinkannya bertemu dengan Bryan. Tak ingin membiarkan situasi ini bertahan lebih lama, Karin memutuskan menghampiri mereka, berniat mengalihkan perhatian Gion sebelum sesuatu yang tidak diinginkan terjadi."Gion, kita harus bicara sebentar," bisik Karin ketika sudah cukup dekat.Gion menoleh dan mengangguk pada Bryan. "Sebenarnya ada banyak hal yang perlu aku bicarakan denganmu, tapi maaf, sekarang aku harus pergi. Mungkin kita bisa bicara lagi nanti?"Bryan tersenyum kecil, matanya menunj
Karin tampak kebingungan dengan reaksi Gion. Akan tetapi, ia tidak mau memikirkan hal lain dulu selain menyelesaikan masalah ini. "Pertama-tama kita harus meluruskan hubunganmu dengan Bryan! Apa kalian benar-benar sudah baikan? Aku tidak tahu dia dan managernya sudah tahu masalah ini atau belum. Aku akan mencari mereka. Kamu tunggu saja di ruangan ini." Karin kemudian menyerahkan sebuah kartu akses salah satu ruangan di hotel itu kepada Gion.Gion menerimanya dan bergegas keluar dari ruang pesta menuju ke kamar yang dimaksud. Karena Tommy dan petinggi brand lainnya telah meninggalkan pesta lebih dulu, mereka tidak perlu khawatir ikut meninggalkan pesta saat itu. Jika berita ini menyebar tanpa penjelasan yang tepat, itu bisa merusak reputasi mereka berdua dan juga proyek yang sedang mereka kerjakan.Sementara itu, Karin dengan hati-hati membawa Bryan dan managernya menjauh dari keramaian pesta, berusaha menghindari sorotan. Ketika mereka sampai di tempat yang lebih sepi, Bryan menatap K
Alice duduk di sudut ruang tamu apartemennya yang luas, menatap keluar jendela dengan pandangan kosong. Kota yang tampak tenang di luar sana seolah tak menyadari badai yang tengah berputar di dalam pikirannya. Dia menyesap anggur dari gelasnya, memikirkan banyak hal. "Bagaimana Dia bisa begitu naif?" gumam Alice pada dirinya sendiri. Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini adalah hal yang benar untuk dilakukan—bahwa Gion pantas menerima semua ini. Namun, rasa takut akan konsekuensi dari tindakannya tak bisa sepenuhnya ia abaikan. Bagaimana jika Gion mengetahui apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana jika pria itu memusuhinya? Bayangan itu membuat hatinya berdebar. Ketika bel pintu apartemennya berbunyi, Alice merasa gugup. Dia berjalan ke pintu dan membukanya, menemui sosok yang sudah ia tunggu-tunggu. "Hey, bukannya kamu ikut menemani Gion hari ini?" tanya orang itu setelah masuk dan menutup pintu dibelakangnya. Alice tampak bingung harus memulai dari mana. Yang kelua
Keesokan paginya. Gion menjalani rutinitas pagi yang sudah jarang ia lakukan, berjoging dan berolahraga ringan di depan rumah. Previta yang baru keluar untuk joging bahkan terheran-heran melihat polah tingkah kakaknya itu. Dia mendekat untuk memastikan, "Kak?" Gion berbalik, memandangnya dan tersenyum dengan peluh menetes di dahinya. "Sudah siap?" "Kakak menungguku?" kata Previta, bingung. "Sudah lama kita nggak joging bareng, ayo!" Tanpa berlama-lama lagi, Gion menarik tangan adiknya itu dan keluar dari rumah untuk joging bersama. Selesai joging di sekitar komplek perumahan selama kurang lebih 1 jam, keduanya kembali ke rumah. Gion harus bersiap untuk pergi ke agensi, sementara Previta ada kelas pagi. Gion selesai bersiap lebih awal. Ia langsung pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan, sekaligus bekal bagi mereka berdua. Perasannya sedang bagus, oleh karenanya ia berinisiatif memasak tiga menu sederhana kesukaan mereka. "Dek, rumah yang pernah kamu tawarkan ke Kakak ha
Usai bertemu Riko, Gion bertolak ke gedung agensi dan langsung menuju lift, menekan tombol lantai 6—di mana ruang rekaman berada.Hanya butuh waktu kurang dari 5 menit untuk sampai, sementara atmosfer di ruangan itu tampak tidak ada yang berubah dari yang diingatnya, selain ini adalah pertama kalinya ia menginjakan kaki di tempat itu lagi setelah 2 tahun.Sambil menunggu artis lain menyelesaikan rekaman, Gion memilih melatih nada dan suaranya terlebih dahulu bersama seorang instruktur profesional. Meskipun suaranya sudah bagus tanpa berlatih sekalipun, ia terkadang tetap tidak percaya diri dengan suaranya.Tak berselang lama, ketukan pintu terdengar, dan manajer rekaman muncul dari balik pintu, memberi isyarat kalau gilirannya sudah tiba. Gion berdiri, merapikan bajunya sedikit, dan mengambil nafas panjang sebelum melangkah masuk ke ruang rekaman.Di dalam booth, suasana terasa lebih sunyi. Hanya ada mikrofon, beberapa alat rekaman, dan kaca besar yang memisahkannya dengan ruangan kon
Keesokan paginya. Gion menjalani rutinitas pagi yang sudah jarang ia lakukan, berjoging dan berolahraga ringan di depan rumah. Previta yang baru keluar untuk joging bahkan terheran-heran melihat polah tingkah kakaknya itu. Dia mendekat untuk memastikan, "Kak?" Gion berbalik, memandangnya dan tersenyum dengan peluh menetes di dahinya. "Sudah siap?" "Kakak menungguku?" kata Previta, bingung. "Sudah lama kita nggak joging bareng, ayo!" Tanpa berlama-lama lagi, Gion menarik tangan adiknya itu dan keluar dari rumah untuk joging bersama. Selesai joging di sekitar komplek perumahan selama kurang lebih 1 jam, keduanya kembali ke rumah. Gion harus bersiap untuk pergi ke agensi, sementara Previta ada kelas pagi. Gion selesai bersiap lebih awal. Ia langsung pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan, sekaligus bekal bagi mereka berdua. Perasannya sedang bagus, oleh karenanya ia berinisiatif memasak tiga menu sederhana kesukaan mereka. "Dek, rumah yang pernah kamu tawarkan ke Kakak ha
Alice duduk di sudut ruang tamu apartemennya yang luas, menatap keluar jendela dengan pandangan kosong. Kota yang tampak tenang di luar sana seolah tak menyadari badai yang tengah berputar di dalam pikirannya. Dia menyesap anggur dari gelasnya, memikirkan banyak hal. "Bagaimana Dia bisa begitu naif?" gumam Alice pada dirinya sendiri. Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini adalah hal yang benar untuk dilakukan—bahwa Gion pantas menerima semua ini. Namun, rasa takut akan konsekuensi dari tindakannya tak bisa sepenuhnya ia abaikan. Bagaimana jika Gion mengetahui apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana jika pria itu memusuhinya? Bayangan itu membuat hatinya berdebar. Ketika bel pintu apartemennya berbunyi, Alice merasa gugup. Dia berjalan ke pintu dan membukanya, menemui sosok yang sudah ia tunggu-tunggu. "Hey, bukannya kamu ikut menemani Gion hari ini?" tanya orang itu setelah masuk dan menutup pintu dibelakangnya. Alice tampak bingung harus memulai dari mana. Yang kelua
Karin tampak kebingungan dengan reaksi Gion. Akan tetapi, ia tidak mau memikirkan hal lain dulu selain menyelesaikan masalah ini. "Pertama-tama kita harus meluruskan hubunganmu dengan Bryan! Apa kalian benar-benar sudah baikan? Aku tidak tahu dia dan managernya sudah tahu masalah ini atau belum. Aku akan mencari mereka. Kamu tunggu saja di ruangan ini." Karin kemudian menyerahkan sebuah kartu akses salah satu ruangan di hotel itu kepada Gion.Gion menerimanya dan bergegas keluar dari ruang pesta menuju ke kamar yang dimaksud. Karena Tommy dan petinggi brand lainnya telah meninggalkan pesta lebih dulu, mereka tidak perlu khawatir ikut meninggalkan pesta saat itu. Jika berita ini menyebar tanpa penjelasan yang tepat, itu bisa merusak reputasi mereka berdua dan juga proyek yang sedang mereka kerjakan.Sementara itu, Karin dengan hati-hati membawa Bryan dan managernya menjauh dari keramaian pesta, berusaha menghindari sorotan. Ketika mereka sampai di tempat yang lebih sepi, Bryan menatap K
Di belakang Gion, Alice yang masih berdiri kaku di tempatnya merasa semakin bingung. Gion biasanya tidak akan menghindar atau terlihat ragu dalam memutuskan sesuatu yang menyangkut teman-temannya. Akan tetapi, hari ini, ada sesuatu yang berbeda darinya dan itu sangat mengganggunya. Karin yang memperhatikan situasi ini juga semakin merasa khawatir. Karena seperti yang publik ketahui, hubungan antara Gion dan Bryan tidak sebaik ini, bahkan sering kali Gion mewanti-wanti agar menolak tawaran yang memungkinkannya bertemu dengan Bryan. Tak ingin membiarkan situasi ini bertahan lebih lama, Karin memutuskan menghampiri mereka, berniat mengalihkan perhatian Gion sebelum sesuatu yang tidak diinginkan terjadi."Gion, kita harus bicara sebentar," bisik Karin ketika sudah cukup dekat.Gion menoleh dan mengangguk pada Bryan. "Sebenarnya ada banyak hal yang perlu aku bicarakan denganmu, tapi maaf, sekarang aku harus pergi. Mungkin kita bisa bicara lagi nanti?"Bryan tersenyum kecil, matanya menunj
"Untuk saat ini, tidak ada kegiatan berarti yang sedang aku kerjakan. Tapi aku berencana membuat sesuatu yang mungkin akan mengejutkan Ginovers. Untuk projek dengan Jensen, kami akan bekerja seperti basanya.""Wah, bolehkah kamu memberitahu kami sedikit informasi tentang rencana tersebut? Apakah itu tur luar negeri atau syuting acara show?" tanya sang pembawa acara dengan nada bercanda."Aku masih memikirkannya. Kalian semua akan tahu nanti," jawab Gion, melirik kerumunan penggemar sambil terkekeh ringan.Pertanyaan dan pembahasan lainnya terus bergulir, sampai salah satu penggemar yang mendapat kesempatan terdengar bertanya, "Bagaimana cara kamu menanggapi kritik atau kebencian yang muncul di media sosial?"Gion mendengarkan dengan seksama kemudian menghela napas sebelum menjawab, "Kritik adalah bagian dari hidup, terutama bagi seseorang yang berada di dunia hiburan. Aku selalu berusaha untuk menerima kritik yang membangun dan mengabaikan komentar negatif yang tidak berdasar selama t
"Aku tidak suka, dan aku tidak mau memakainya," tukas Gion. Di masa lalu, pakaian itu membuatnya dibicarakan semua orang. Tapi, bukan dalam sudut pandang positif.Di sisi lain, Alice tertegun sejenak, menatap Gion dengan tatapan tidak senang. "Kamu serius? Gion, ini bukan waktunya untuk main-main. Pakaian ini disiapkan oleh pihak brand untuk acara hari ini dan aku sudah menyiapkan riasan yang sesuai. Berhenti bersikap kekanakan, pergi dan ganti bajumu!"Gion berdecak kesal, akhirnya ia membawa setelan itu ke dalam bilik ganti. Dengan terpaksa ia memakai baju itu, namun sebelum keluar dari bilik, ia menghubungi seseorang terlebih dahulu agar membawakan sesuatu untuknya."Lihat, pakaian itu sangat cocok untukmu. Kemari, biar aku sempurnakan dengan keajaiban riasanku," ucap Alice menatap penuh kekaguman pada Gion yang baru saja keluar dari bilik ganti.Sayangnya, tak sampai di sana, Gion kembali menyuarakan ketidakpuasan terhadap komponen make up yang digunakan oleh Alice saat merias wa
"Hari baru, gaya baru." . . Tidak ada lagi reaksi yang berlebihan. Gion sadar bahwa selama ini dirinya sudah terlalu mempermalukan diri sendiri dengan menempeli partnernya itu dan bertingkah seperti jalang murahan. Sungguh menjijikan. Selain itu, Ia masih sangat marah saat mengingat Jensen dengan sengaja menjebaknya malam itu. Hal itu semakin membuka lebar matanya bahwa selama ini keberadaannya sangat mengganggu di sisi pria itu hingga Jensen begitu membencinya. Gerak-geriknya diperhatikan oleh satu orang di ruangan itu tanpa Gion sadari. Entah kenapa, Jensen merasa ada yang salah dari Gion selain penampilannya. Tapi tidak tahu apa itu. Mungkin hanya perasaannya saja, pikirnya. Meeting beragendakan jadwal Gion dan Jenjen selama satu bulan kedepan pun di mulai. Gion memperhatikan dengan santai, ia sudah tahu dan mengerti isi dari pembahasan tersebut. Dan kalau dipikir-pikir sekarang, pekerjaan serta perannya saat ini cukup membosankan, terasa tidak sebanding dengan saat dirin
"Benar-benar bodoh." Gion mengutuk dirinya sendiri. Bagaimana tidak! Ia sedang berdiri di depan lemari pakaian di kamarnya, mengamati isi dari lemari besar itu. Baju-baju yang tersimpan rapih di dalam sana memiliki desain serta model yang terlalu feminim untuk dipakai oleh pria dewasa. Gion berpikir, bagaimana bisa saat itu ia tertarik membelinya dan merasa baik-baik saja saat memakainya di hadapan publik? Meskipun baju-baju itu dirancang bisa dipakai oleh pria maupun wanita, tetap saja, bukannya terlihat modis justru akan terlihat sangat aneh. Kebiasaannya memakai semua itu adalah berawal dari rekomendasi salah satu teman wanitanya saat ia terpikirkan untuk mengubah gaya berpakaiannya. Awalnya, teman-teman dan rekan sesama artisnya memujinya cocok saat menambahkan kesan lucu karena dinilai sesuai dengan wajah serta proporsi tubuh mungilnya. Mereka bilang penggemarnya juga menyukainya, sehingga entah bagaimana ia akhirnya menuruti untuk mempertahankan gaya berpakaiannya. Sayan