Ana mengerjapkan matanya menyesuaikan cahaya matahari yang masuk kedalam kamarnya. Ia menatap jendela kamarnya yang tirainya terbuka menyebabkan silau. Ah sepertinya semalam ia lupa menutup tirai jendela kamarnya. Bahkan ia juga lupa untuk makan semalam.
Alexa berjalan masuk kedalam kamar mandi. Kedua tangannya bertumpu di atas wastafel menyangga badannya. Matanya menatap pantulan dirinya di cermin. Ana menghela nafas melihat bercak merah di lehernya. Ia tidak pernah menyukai bercak merah ini karena ia memang tidak menginginkannya. Saat ia keluar kamar pasti semua orang di rumah ini akan membicarakan tentang bercak merah di lehernya. Ia benar-benar membenci seorang Gerald Sleeve.Ana berjalan menuju shower dan mulai menanggalkan satu persatu pakaiannya. Tak butuh waktu lama untuk Ana membersihkan dirinya. Ia memilih dres warna kuning pastel tanpa lengan. Hampir semua baju di lemari ini adalah dres. Jika kalian berpikir mungkin Ana menyukai memakai dres. Maka kalian salah, ia bahkan tidak membeli satupun baju di lemari ini. Semua baju ini Gerald yang membelinya dan itu pun pasti laki-laki itu menyuruh anak buahnya untuk melakukannya. Ana tidak membawa satu barang pun miliknya ke rumah ini. Ia hanya membawa dirinya saat pertama kali datang ke rumah ini.Kriuk kriukAna menyentuh perutnya yang berbunyi. Dia tidak akan bohong jika sekarang ia merasa sangat lapar. Semalam ia tidak makan karena ulah iblis yang tidak tahu diri itu. Baiklah sepertinya ia harus makan untuk mengisi perutnya. Ana berjalan ke arah pintu kamarnya. Dahinya mengerut, ia tidak bisa membuka pintunya. Apa Gerald masih menguncinya dari luar? Pria itu benar-benar gila mengurungnya disini dan membiarkannya mati kelaparan."Siapapun buka pintunya!" teriak Ana dengan suara keras agar semua orang di luar mendengarnya.Tak lama suara putaran kunci terdengar. Ana sedikit memundurkan badannya dari pintu. Pintu terbuka memperlihatkan sosok Kevin yang berdiri sambil menatapnya. Ana segera melangkahkan kakinya keluar dari kamar. Rumah milik Gerald sangat besar dan luas sampai ia lelah mengelilingi rumah ini. Rumah ini memiliki tiga lantai. Lantai satu ada ruang tamu, ruang tengah, dapur, dan ruang makan. Lantai dua ada tiga kamar besar dan ruang baca. Sedangkan lantai tiga Ana tidak tahu ada apa di lantai tiga. Ia tidak pernah menginjakkan kakinya di lantai tiga karena Gerald melarangnya. Yang ia tahu lantai tiga adalah daerah kekuasaan Gerald. Gerald tidak memperbolehkan siapapun untuk naik ke lantai tiga.Ana menghentikan langkahnya saat ia melihat punggung lebar Gerald sedang berada di ruang makan. Laki-laki itu sedang menikmati sarapannya. Ana menjadi ragu untuk melangkahkan kakinya kesana. "Ada apa?" suara berat Gerald menggema di ruang makan. Gerald membalikkan badannya dan matanya langsung bertatapan dengan mata Ana. "Kau tidak mau makan? Atau mau berdiri di sana seharian." tanya Gerald sambil menunjuk kursi di sampingnya dengan dagunya. Ana meneguk ludahnya susah payah karena ditatap seperti itu oleh Gerald. Ana melangkahkan kakinya ke meja makan dengan ragu. Ia menarik salah satu kursi yang paling ujung. Ia tidak cukup berani untuk duduk di samping Gerald. Ini juga masih pagi ia malas mencari masalah dengan laki-laki itu. "Non ingin makan apa biar bibi ambilkan." kata perempuan setengah baya. Namanya bi Asri. Di rumah ini ada dua orang pembantu yang mengurus rumah. Dari mulai membersihkan rumah sampai memasak. Umur bi Asri sudah kepala lima. Bi Asri sudah bekerja di rumah ini sekitar dua puluh tahun. Dan satu pembantu lainnya adalah Asti ponakan dari bi Asri. Asti umurnya masih muda dan tidak terlalu jauh dari umurnya, kalau tidak salah dua puluh enam tahun. Ia cukup dekat dengan bi Asri tapi ia tidak begitu dekat dengan Asti. Entahlah perempuan itu selalu menatapnya dengan sengit seolah ia adalah musuhnya."Saya bisa ambil sendiri bi." tolak Ana halus. Ana melirik ke arah Gerald yang masih menatapnya. Tubuhnya merinding di tatap Gerald seperti itu. Ana langsung mengalihkan pandangannya. Ia memilih mengambil lauk ke piringnya dan berusaha untuk tidak terpengaruh dengan kehadiran Gerald. Setiap ada pria itu suasana selalu menjadi mencekam.Ana memakan makanannya dengan lahap. Rasa lapar yang ia rasakan sudah tidak bisa ia tahan lagi. Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Ia sangat ingin bertemu dengan neneknya dan mengetahui bagaimana keadaan neneknya saat ini."Emmm...." bola mata Ana bergerak ke kanan dan ke kiri. Ia sedikit tidak yakin untuk bertanya kepada Gerald."Ada apa? Kau ingin mengatakan sesuatu?" tanya Gerald dengan suara yang mengintimidasi. "Emm apa aku boleh pulang ke rumahku? Aku ingin bertemu dengan nenek ku." ujar Ana."Tidak." satu kata Gerald dapat membuat mata Ana berkaca-kaca.Laki-laki itu selalu egois. Dia selalu mempermainkan hidup Ana. Apa ia tidak pernah merasa merindukan orang yang dia sayangi? Apa dia tidak pernah mencemaskan seseorang? Tentu saja tidak. Karena seorang Gerald Sleeve adalah manusia yang tidak punya hati."Aku mohon, biarkan aku bertemu dengan nenekku. Aku berjanji tidak akan kabur darimu." Ana menatap Gerald dengan tatapan memohon. Bukannya menjawab Gerald malah pergi meninggalkan meja makan. Ana menatap tidak percaya punggung Gerald yang semakin menjauh. Laki-laki itu benar-benar tidak berperasaan.Setelah Gerald pergi dari rumah. Ana mencari cara agar ia bisa pergi menemui neneknya. Ana berjalan mengendap-endap ke arah pintu. Ia membuka pintu itu dengan sangat hati-hati agar tidak menimbulkan suara. Ana menyembulkan kepalanya keluar mengecek kondisi di luar rumah. "Sepertinya aman." gumam Ana.Ia keluar dan kembali menutup pintu dengan hati-hati. Ana berlari cepat ke arah pintu gerbang yang terasa sangat jauh. Halaman rumah Gerald terlalu besar sampai membuat dirinya harus berlari agar tidak ketahuan. Ana menatap pagar hitam tinggi di depannya. Bagaimana ia bisa keluar jika pagarnya terkunci. Ana celingukan mencari cara keluar dari sini. Matanya menemukan tangga bambu tidak jauh dari tempatnya berdiri. Segera Ana mengambil tangga tersebut dan menaruhnya bersandar di pagar. Ana segera menaiki tangga tersebut sebelum ada yang melihatnya. Sesampainya di atas Ana terlihat kebingungan karena tidak tahu cara bagaimana untuk turun. Pagar yang ia naiki sangat tinggi. Ia tidak tahu apa yang terjadi jika ia nekat melompat ke bawah. Tapi sepertinya ia memang harus melompat ke bawah karena tidak ada cara lain. Ana menarik nafasnya dalam-dalam mengumpulkan keberanian untuk melompat. Ana berhitung sampai tiga sebelum melompat ke bawah.Brukk"Ashh." Ana meringis pantatnya mendarat di jalanan yang sangat keras.Ana melihat keadaan kaki kirinya yang mengeluarkan sedikit darah di bagian lutut. Pantas saja ia merasa perih pada kakinya. Ana berusaha bangkit dan berjalan dengan tertatih-tatih. Ia tidak membawa sepeserpun uang. Sekarang yang terpenting ia harus keluar dari kawasan rumah Gerald. Rumah Gerald seperti memasuki sebuah hutan. Dan hanya ada satu jalan yang bisa membawanya keluar. Dan Ana yakini jika dari masuk jalan ini sampai rumah Gerald adalah milik laki-laki itu. Ana tidak bisa bayangkan seberapa kaya laki-laki itu. Ana mengernyitkan keningnya saat melihat cahaya muncul dari tikungan jalan. Ana langsung berlari ke balik pohon pinus yang besar. Ia menyembunyikan tubuhnya dibalik pohon. Untungnya di setiap jalanan ini terdapat banyak pohon pinus besar yang bisa dijadikan tempat persembunyian.Sebuah mobil bmw hitam melewatinya. Ana mengintip dari balik pohon, ia bisa melihat Gerald berada di dalam mobil tersebut. Deg!Ana harus segera pergi dari sini sebelum Gerald menyadarinya jika ia tidak ada di rumah. Ana berlari sekencang mungkin meski harus menahan sakit di kakinya. Ana bisa bernafas lega saat ia sudah sampai ke jalan raya. Ia menghentikan salah satu angkutan umum yang lewat. Perlu waktu setengah jam untuk bisa sampai di rumahnya. Ia menatap rumah sederhana satu lantai yang masih sama. Sudah sejak tiga bulan ia meninggalkan rumah ini tanpa memberitahukan neneknya. Neneknya pasti sangat mencemaskannya karena tiba-tiba menghilang. Ana mengetuk pintu dengan pelan. Tak lama seorang perempuan paruh baya keluar dari dalam rumah. Ana mengerutkan keningnya. Ia tidak mengenali siapa perempuan yang ada di depannya. "Maaf cari siapa?" tanya perempuan paruh baya tersebut dengan ramah."Emm maaf nenek saya tinggal di rumah ini. Ibu ini siapa ya?" Ana berbalik bertanya siapa perempuan itu."Oh anda nona Ana?" tanya perempuan itu dengan mata berbinar. Ana menganggukan kepalanya."Saya bi Ami, sudah tiga bulan ini saya yang mengurus nenek Yatmi." ujar bi Ami.Ana mengerutkan keningnya ia merasa tidak menyewa orang untuk mengurus neneknya. Apa ayahnya yang mengirim orang untuk mengurus neneknya? Jika benar itu bagus, berarti ayahnya masih peduli dengan neneknya."Silahkan masuk non." bi Ami membuka pintu lebar-lebar menyuruh Ana untuk masuk."Silahkan duduk non, bibi ambilkan minum dulu." ujar bi Ami sebelum melenggang pergi ke dapur.Ana menatap ruang tamu yang hanya digelari tikar. Ana memilih duduk yang nyaman untuk dirinya. "Ini non silahkan diminum." bi Ami memberikan segelas teh hangat."Bi Ami saya mau tanya boleh?" tanya Ana dengan sopan."Iya boleh atuh non." "Emm apa yang menyuruh bi Ami untuk merawat nenek adalah ayah saya?" tanya Ana."Bukan non tapi tuan Gerald yang menyuruh saya mengurus nenek non." balas bi Ami yang membuat Ana membelalakan matanya.Ana tidak pernah berpikir jika Gerald akan melakukan ini. Ia pikir laki-laki itu tidak punya perasaan. "Bagaimana keadaan nenek saya bi?" Ana celingukan mencari sosok neneknya."Keadaan nenek kurang sehat non. Kemarin saya mengantar nenek periksa mata ke dokter dan dokter bilang jika pandangan nenek akan hilang jika tidak segera di operasi." jelas bi Ami.Jantung Ana terasa berhenti berdetak. Sebelumnya neneknya memang pernah merasa aneh dengan matanya. Ana pernah meminta neneknya untuk memeriksakan matanya ke rumah sakit. Tapi neneknya terus menolak dan mengatakan jika itu cuman sakit mata biasa dan akan sembuh sendiri. "Nenek dimana bi?" "Ada di kamar non." "Saya mau menemui nenek bi." Ana bangkit dari duduknya, ia berjalan ke arah kamar neneknya.***Ana terdiam di depan pintu kamar neneknya. Senyum terlukis indah di bibirnya. Seorang wanita paruh baya sedang duduk termenung menatap jendela kamar. Ana sangat begitu merindukan neneknya."Nenek." panggil Ana sambil berjalan pelan mendekati neneknya."Ana, apa itu kau?" nenek langsung membalikkan badannya. Nenek terlihat sangat bahagia, tangannya meraba-raba apa saja di sekitarnya."Nenek aku di sini." Ana memegang tangan neneknya mengarahkan badan neneknya untuk menghadap ke arah nya.Ana mengerutkan keningnya, sepertinya ada yang salah dengan kondisi mata neneknya. Neneknya seperti tidak bisa melihatnya. Jadi benar yang dikatakan oleh bi Ami jika mata neneknya sedang tidak baik-baik saja."Apa nenek bisa melihatku?" tanya Ana. Matanya mulai berkaca-kaca melihat keadaan neneknya."Mungkin nenek tidak bisa melihatmu, tapi nenek selalu ingat wajah cucu kesayangan nenek. Mendengar suaramu itu sudah cu
"Aww sakit." Ana merintih kesakitan sambil memegangi pergelangan tangannya.Sesampainya di rumah, Gerald langsung menarik tangan Ana dengan kasar. Bahkan Ana harus terseok-seok karena Gerald berjalan dengan cepat. Ia sudah seperti sapi yang dipaksa untuk bekerja. "Aku mohon lepaskan tanganku." Ana terus-terusan merintih kesakitan. Ia menatap pergelangan tangannya yang membiru akibat cengkraman kuat jari Gerald. Semua orang yang ada di rumah hanya menatap Ana dengan wajah prihatin. Tapi berbeda dengan Asti yang menatap jengah ke arah Ana, seolah-olah hal ini sudah sangat biasa di rumah ini.Sesampainya di kamar Ana, Gerald langsung menghempaskan tubuh Ana ke atas ranjang. Sedikit terdengar suara dentuman saat tubuh Ana memantul di ranjang. Gerald berjalan mendekat, satu kakinya menekuk ke atas ranjang. Tangan Gerald mencengkram dagu Ana agar gadis itu menatap ke arahnya. "Aku sudah memberikanmu peringatan berulang kali tapi kau selalu tak mengindahkannya."
"Sir hari ini kita ada rapat dengan tuan Peter pukul dua siang." ujar Jack asisten Gerald.Jari Gerald yang sedang menggeser layar tablet berhenti seketika saat mendengar nama ayahnya disebutkan. "Apa anda ingin meng cancel nya sir?" tanya Jack memastikan. Ia sangat tahu bagaimana hubungan antara kedua orang ayah dan anak itu. "Tidak perlu." tolak Gerald. Entah sudah berapa lama ia tidak bertemu ayahnya itu. Apa Gerald merindukan ayahnya? Jawabannya tidak, ia tidak pernah merindukan laki-laki tua itu.Tiba-tiba Gerald tersenyum ketika ia mengingat kejadian kemarin. Sepertinya kemarin ia membuat Ana sangat kelelahan. Ia ingat setelah melakukannya ia tertidur di atas badan Ana. Ia yakin jika perempuan itu pasti merasa sangat berat saat tubuh besarnya menindih tubuh mungilnya. Bahkan saat ia terbangun dari tidurnya ia masih dalam posisi yang sama. Karena tidak tega melihat Ana yang kelelahan, akhirnya Gerald menyingkir dari tubuh Ana dan melepaskan tali di tangan
Gerald berdecak kesal karena pagi ini kondisi meja makan yang biasanya terhidang berbagai makanan lezat terlihat sepi. "Bi Asri!" masih pagi Gerald sudah harus mengeluarkan tenaganya."Ya tuan." Gerald mengerutkan keningnya, ia memanggil bi Asri tapi malah Asti yang datang. "Dimana bi Asri?" tanya Gerald dengan wajah datarnya."Bibi sedang istirahat di kamarnya karena sakit tuan." ujar Asti.Gerald menganggukkan kepalanya tanda mengerti. "Buatkan sarapannya." perintah Gerald."Baik tuan." Asti beranjak kembali ke dapur.Gerald menduduki salah satu kursi yang ada di meja makan. Seperti sudah kebiasaan pagi, Gerald membuka beberapa berita mengenai bisnis dan perekonomian negara dan dunia. Tangannya yang sedang sibuk menggeser layar tablet tiba-tiba harus berhenti karena kedatangan seseorang yang menarik salah satu kursi di hadapannya.Gerald menatap Ana yang
Ana berjalan memasuki dapur ia merasa bosan berada di kamar terus menerus. Sesampainya di dapur ia tidak melihat Asti berada di sana. Ana mengedikkan bahunya tak acuh, tidak ada Asti disana malah membuatnya bebas berada di dapur. Ana membuka kulkas yang ternyata terisi penuh macam-macam makanan dan minuman. Ana beralih membuka rak dapur yang juga terisi dengan berbagai makanan dan bahan-bahan. Ana ingin membuat sesuatu untuk dirinya sendiri tetapi ia bingung harus membuat apa. Akhirnya Ana memutuskan untuk membuat spaghetti marinara. Kurang dari setengah jam ia berkutat di dapur membuat spaghetti dan akhirnya jadi. Ana tersenyum mencium bau harum dari spaghetti buatannya. Ia jadi tidak sabar untuk memakan spaghetti buatannya. Ana membawa piring spaghetti ke meja makan."Ah lupa! aku sedang membuat kue." Ana menepuk keningnya, ia melupakan kue nya yang masih ada di dalam oven. Ana beranjak kembali ke dapur meninggalkan spaghe
Ana membawa sepotong kue matcha buatannya untuk diberikan ke Gerald. Ia tidak salah dengarkan jika tadi Gerald menyuruhnya untuk mengantarkan kue ke kamarnya. Bukankah pria itu tidak suka jika ada orang yang masuk ke wilayahnya di lantai tiga? Ana jadi bimbang untuk naik ke lantai tiga. Bagaimana jika Gerald tiba-tiba memarahinya dan lupa dengan apa yang dikatakannya tadi.Ah sudahlah Ana meyakinkan dirinya sendiri jika lebih baik ia mengantarkan kue ini ke kamar Gerald. Sejak tiga bulan ia tinggal di rumah ini, ini pertama kalinya ia menginjakkan kakinya di lantai tiga kawasan kekuasaan milik Gerald. Di lantai tiga ini tidak terlalu banyak barang, hanya ada beberapa rak dan sofa. Dan di lantai tiga ini hanya ada dua pintu yang artinya hanya ada dua ruangan. Ana tidak tahu yang mana kamar Gerald karena kedua pintu tersebut memiliki warna dan corak yang sama. Ana mendekat ke salah satu pintu yang ada di dekat balkon. Ana mengetuk pintu di depannya beberap
"Apa yang kau lakukan." Ana menatap Gerald dengan takut. Ia kembali waspada dengan setiap gerakan Gerald. "Kenapa kau sangat terburu-buru sekali." ujar Gerald sambil tangannya menyingkirkan rambut Ana hingga memperlihatkan leher putih gadis itu."Kau harusnya merasa beruntung karena kau orang satu-satunya yang ku perbolehkan untuk masuk ke dalam kamarku." ujar Gerald dengan nada sombong.Ana bahkan berpikir ia sama sekali tidak berminat untuk masuk ke dalam kamar pria itu, dan dimana ia harus merasa bangga jika ia sama sekali tidak menginginkannya. Saat ini di pikiran Ana hanyalah bagaimana agar ia lepas dari cengkraman singa di depannya dan segera keluar dari kamar ini. Setelah ini ia tidak ingin menginjakkan kaki di daerah kekuasaan Gerald lagi. "Apa kau baru saja mandi?" tanya Gerald yang terdengar ambigu."Aku suka bau sabun mu." sekarang Ana berpikir jika Gerald benar-benar laki-laki mesum. Awalnya Gerald mengendus wangi sabun Ana di leher g
Gerald sedang menikmati teh nya di sore hari. Matanya tidak dapat lepas menatap Alexa yang sedang duduk di dekat jendela sambil membaca buku. Sepertinya perempuan itu sangat bosan sampai bingung ingin melakukan apa. Gerald langsung pura-pura mengalihkan perhatiannya pada ponsel saat Ana tiba-tiba menutup bukunya. Gerald mencuri lirik gerakan Ana tanpa sepengetahuan gadis itu. Ana berjalan mendekati bi Asri yang baru saja melewati ruang tengah. "Bibi mau kemana?" tanya Ana."Bibi mau menyiram tanaman non." "Kenapa bibi yang menyiram? Tukang kebunnya kemana?" Ana mengerutkan keningnya, bi Asri sebelumnya tidak pernah melakukan tugas tukang kebun setaunya. "Kebetulan tukang kebunnya lagi libur non." balas bi Asri."Biar aku bantu ya bi, bibi kan masih belum sehat banget." Alexa dengan senang hati menawarkan bantuan kepada bi Asri."Aduh nggak perlu non." ujar bi Asri merasa tidak enak.
"Sayang." Gerald menenggelamkan kepalanya di ceruk leher Ana. Sesekali ia menghisap atau menggigit gemas leher Ana. Ana memutar bola matanya jengah. Sudah kelima kalinya Gerald hanya memanggilnya tanpa mengatakan apa-apa. Ana menjauhkan tubuhnya dari jangkauan suaminya itu."Aku lagi dandan, jangan ganggu ah." kesal Ana karena sedari tadi Gerald terus menempel padanya dan tidak mau melepaskan pelukannya."Habisnya kamu wangi." ujar Gerald sambil terus menciumi leher Ana."Kamu aja yang bau karena belum mandi." ejek Ana."Kamu mau kemana sih pagi-pagi gini udah cantik aja." Gerald menatap dari pantulan cermin dengan pandangan tidak suka."Mau ke sekolahannya Aron ambil rapot." "Eve ikut?" Ana menggelengkan kepalanya. "Kamu hari ini liburkan, tolong jagain Eve ya." Gerald mencabikkan bibirnya dengan kesal. "Kenapa nggak diajak aja, masa aku harus nemen
Waktu berlalu dengan begitu cepat sampai sulit untuk menyadarinya. Hari demi hari terus berganti, bulan demi bulan terus berganti, hingga tahun demi tahun terus berganti. Sudah hampir tujuh tahun usia pernikahan Ana dan Gerald tanpa terasa. Tidak banyak yang berubah dari tahun-tahun sebelumnya. Hanya saja Gerald yang dulu telah berubah menjadi seorang Gerald yang lebih baik lagi. Hari-harinya dipenuhi oleh Ana yang selalu ada di sampingnya."Emmmh faster…" Ana terengah-engah dalam kegiatan panas mereka. "Jangan keluar dulu, tunggu aku." ujar Gerald sambil terus memompa tubuhnya."Aahhh akuhhh su daahh tidakkhh tahan." Ana memejamkan matanya menahan sesuatu yang ingin keluar dari bawah sana."Bersamahhh ahhhhkhhhkh." Gerald mengerang saat milik Ana Benar-benar menjepitnya dengan sangat erat.Cupp"Ahhh I love you." Gerald membaringkan badannya ke samping badan Ana dan menarik selimut untuk menut
"Arabella?" Rachel langsung berlari menghampiri Gerald begitu mendengar nama putrinya disebut oleh laki-laki itu."Dimana putriku? Katakan dimana putriku?" Rachel terlihat tak sabaran mendengar keberadaan putrinya itu. "Katakan dimana putriku!" Rachel berteriak seperti orang kesetanan karena tidak mendapat respon dari Gerald atas pertanyaannya."Arabella telah tiada." Ana menatap ke arah Gerald dengan pandangan tidak percaya. Ia tidak percaya jika laki-laki itu akan mengatakannya langsung tanpa berpikir panjang. Rachel tertawa keras mendengarnya. Sedangkan Peter terduduk di atas lantai karena terlalu terkejut."Tidak mungkin, putriku masih hidup hahahaha dia masih hidup. Kau berbohong!" Rachel mendorong tubuh Gerald hingga tubuh Gerald mundur beberapa langkah."Putriku masih hiduppp." Rachel berjalan kesana kemari dengan senyum dibibirnya."Kau tidak apa-apa?" Ana menanyakan kead
Ana menggeliat dalam tidurnya. Matanya masih ingin terpejam meski cahaya matahari berusaha menerobos kamarnya untuk mengganggu tidur nyenyaknya. Semalam ia baru tertidur pukul tiga pagi hingga akhirnya hari ini membuatnya ia bangun kesiangan. Untungnya hari ini hari minggu jadi Ana bisa bermalas-malasan di tempat tidurnya. Ana menepuk-nepuk samping tempat tidurnya. Ia tersenyum mengingat makan malam romantisnya dengan Gerald. Mereka sangat menikmatinya semalam. Mereka memakan steak, kemudian dilanjut berdansa di bawah sinar bulan, dan kemudian mereka melanjutkan kegiatan malam mereka dikamar.Wajah Ana memerah seperti tomat kala mengingat bagaimana ia menjadi sangat agresif semalam. Tidak, sepertinya sejak ia hamil ia menjadi lebih agresif ketika mereka melakukannya. Ana selalu ingin memimpin dan Gerald dengan senang hati memberikan kendali kepadanya."Morning honey." Cupp"Morning." "Kau masih ingin tidur?
Ana bergerak mendekat ke arah Gerald. Dipeluknya laki-laki itu dengan tulus. Ia tahu Gerald sebenarnya orang yang baik. Hanya saja karena hatinya tertutup oleh dendam membuatnya jadi seperti ini. Setiap orang memiliki kesempatan dalam merubah hidupnya menjadi lebih baik, dan Ana yakin Gerald akan menjadi orang yang lebih baik setelah ia menyadari semua kesalahannya. "Aku ingin menjadi seorang ayah yang dibanggakan oleh anakku dimasa depan, bukannya dibenci oleh anakku." gumam Gerald sambil terisak di pelukan Ana. Tangan Ana mengusap punggung Gerald untuk menenangkan suaminya itu. Ini bukan pertama kalinya bagi Ana melihat Gerald yang menangis. Tapi setiap Ana melihat Gerald menangis, ia seperti melihat sisi lain yang selama ini Gerald coba sembunyikan. Selama ini Gerald selalu terlihat galak, dingin, dan tegas, tapi sebenarnya Gerald memiliki sisi yang lembut juga."Terimakasih sudah mengatakan semuanya." ujar Ana sambil tersenyum. Ia menghargai keberanian Gerald yang mau berkata ju
Setelah makan malam Ana langsung pergi ke kamar. Ia langsung mengambil buku novel yang beberapa hari ini ia baca. Malam ini rencananya ia akan menamatkan novelnya itu. Hanya kurang empat bab maka satu buku novel berhasil ia tamatkan selama satu minggu. Ana tetap terfokus pada buku di tangannya ketika Gerald masuk kedalam kamar. Perempuan itu enggan melirik meski sebentar saja. Ana memang selalu begitu jika sudah asyik membaca, maka dunianya akan terfokus pada satu titik.Gerald berpura-pura mencari sesuatu di dekat Ana untuk menarik perhatian perempuan itu. Tapi sayangnya Ana tidak tertarik dengan apa yang Gerald lakukan. Gerald mendengus melihat Ana yang sibuk dengan buku novelnya. Gerald mengintip apa yang membuat Ana sampai begitu mengabaikannya. Gerald melihat buku novel yang Ana baca, tidak ada yang menarik hanya berisi tulisan yang berupa paragraf saja. Gerald menaiki tempat tidur dengan pelan. Ia dengan sengaja merebahkan kepalanya ke atas paha Ana. Dan benar yang ia lakukan l
Gerald berjalan menghampiri Ana. Satu tangannya langsung melingkar posessive di pinggang Ana. Dengan sengaja ia memanas-manasi Jane yang sedang menatap ke arah ia dan Ana. Gerald memang berniat mengusir Jane dari ruangannya. Jika perempuan itu tidak bisa diusir secara halus, maka Gerald akan menggunakan caranya sendiri untuk mengusir perempuan itu."Kau bisa pergi sekarang, atau perlu aku panggilkan satpam kesini?" ujar Gerald kepada Jane."Gak bisa Ge, ada yang mau aku bicarakan sama kamu." balas Jane yang tetap kekeh dengan pendiriannya."Nggak ada yang perlu dibicarakan lagi. Ini terakhir kalinya kita bertemu dan terakhir kalinya saya melihat wajah kamu." ujar Gerald datar.Jane tercengang mendengar penuturan Gerald. "Maksud kamu apa?" "Kerjasama kita sudah selesai dan saya sudah memutuskan untuk tidak melanjutkan kerjasama kita." jelas Gerald.Jane benar-benar terkejut mendengar keputusan Gerald yang tiba-tiba. Benar-benar sebuah kesialan untuknya, ia baru saja ingin memulai mend
"Nggak mungkin!" Jane menatap foto di depannya dengan pandangan tidak percaya. Selama dua hari ini ia menyuruh seorang mata-mata untuk mencari keberadaan Arabella. Dan alangkah terkejutnya saat mengetahui apa yang terjadi pada perempuan itu. Ia mendapati berita jika Arabella telah tiada. Dan orang yang telah membunuh Arabella adalah Gerald kakak tirinya sendiri. Wajah Jane berubah menjadi pucat, ia memikirkan bagaimana jika Gerald mengetahui kalau selama ini ia juga ikut terlibat membantu Arabella untuk menghancurkan hubungannya dengan Ana. Apa Gerald juga akan membunuhnya dan membakarnya seperti dia membunuh Arabella? Jika Gerald dengan mudahnya bisa membunuh adik tirinya sendiri yang memiliki ikatan darah dengannya, tentu saja Gerald akan dengan mudah membunuhnya bukan?Jane berjalan mondar-mandir memikirkan cara agar dirinya tidak ketahuan kalau ia juga terlibat. Ia menjentikkan jarinya, sebuah ide terlintas di kepalanya. Jika ia berhasil membuat Gerald kembali jatuh cinta padanya
"Bagaimana dok keadaan istri saya?" tanya Gerald dengan wajah ingin tahu."Bisa beritahu saya keluhan apa saja yang bu Ana rasakan?" tanya dokter perempuan itu.Benar, Gerald memang sengaja mencari dokter perempuan untuk memeriksa Ana. Padahal yang seharusnya saat ini bekerja adalah dokter laki-laki. Gerald keras kepala dan akhirnya ia menawarkan untuk membayar lima kali lipat dengan syarat jika dokter yang memeriksa Ana harus berjenis kelamin perempuan."Mual, pusing, lemas, tapi mual saya hanya air saja dok." keluh Ana.Dokter itu tersenyum penuh arti. "Untuk memastikan keadaan ibu Ana, saya menyarankan untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut dengan dokter Hana." dokter tersebut menulis sesuatu di atas kertas yang entah berisi apa Ana sendiri sulit membacanya."Dokter Hana? Apa saya ada penyakit dalam dok? Apa saya akan di operasi?" tanya Ana dengan perasaan takut jika dirinya harus sampai di operasi.Gerald mengusap tangan Ana mencoba menenangkan perempuan itu. Ia juga jadi khawat